A. Identitas Buku Judul buku : Jihad Intelektual (Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam) Pengarang : Ziauddin Sardar Penerbit : Risalah Gusti Tahun terbit : 1996 Tebal halaman : 169 B. Ringkasan buku 1. Membangun Kembali Peradaban...
moreA. Identitas Buku
Judul buku : Jihad Intelektual (Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam)
Pengarang : Ziauddin Sardar
Penerbit : Risalah Gusti
Tahun terbit : 1996
Tebal halaman : 169
B. Ringkasan buku
1. Membangun Kembali Peradaban Muslim
Ketika berfikir dan menulis tentang islam, kebanyakan kaun intelektual muslim baik yang modernis maupun yang tradisional sering memandang islam dalam kanvas yang sangat sempit dan mengikat. Islam sering ditampilkan lebih sebagai sebuah kawasan keagamaan; kaum modernis lebih suka membatasi islam pada batas-batas kesalehan pribadi, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual. ; sementara kaum tradisionalis pada umumnya selalu menggambarkan islam sebagai “tata-cara kehidupan yang lengkap” artinya prikelakuan manusia dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik.
Intelektual-intelektual muslim garda depan lainnya telah berupaya memproyeksikan islam sebagai sebuah sistem etik. Sebagai contoh, dalam esainya yang brillian “Islam the Concept of Religion and Foundation of Ethics and Morality”, Naquib al-Atts menjelaskan bahwa din islam bisa diikhtisarkan menjadi empat signifikasi primer: hutang (indebtedness), ketakwaan (submisivenes), kekuasaan yang bijaksana (judicious power), dan kecndrungan alamiah atau fitrah (natural inclinatio). Berdasarkan keempat signifikansi tersebut al-Attas kemudian menjadikan islam sebagai suatu sistem sosial dan etika “alamih”. Pervez Manzoor, di pihak lain, menyamakan syariah dengan sistem etik, dan kemudian memakai analisanya itu untuk mengembangkan sebuah teori islam kontemporer mengenai lingkungan.
Rekontruksi peradaban muslim secara esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan dunia islam. Kelompok sarjana “ pandangan hidup yang lengkap” telah merumuskan kembali posisi-posisi klasik dan tradisional untuk memecahkan problem-problem ummat sebgai mana para juris dan ulama pada masa lalu telah memecahkan problem-problem ummat pada masa mereka.
Kaum sosiologi berbicara mengenai “peradaban modern” yang dimaksudkan yang di maksudkan sebagai masyarakat-masyarakat urban dan masyarakat-masyarakat industri pada masa kini. Pendekatan-pendekatan pada studi semacam ini telah membakukan “peradaban” pada suatu epos historis yang khusus. Peradaban menjadi berarti suatu entitas historis dengan suatu jangka hidup tertentu. Ibnu khaldun mengenai bangkit dan hancurnya peradaban-peradaban misalnya, bisa bisa dilihat sebagai contoh dari penyajian sebuah wawasan yang “cyclic” mengenai sejarah.
Tetapi peradaban muslim tidak lebih ditentukan oleh masa sejarah tentu dengan pertimbangan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara esensial kita menghadapi tujuh tantangan besar. Jika kita menggambarkan peradaban muslim dalam skema bunga, maka kita dapat mengidentifikasi tujuh bidang yang memerlukan elaborasi kontemporer itu.
Pada pusat bunga, terletak pandangan-pandangan islam; ia memproduk benih-benih untuk pertumbuhan dan perkembangan masa depan. Pusat inti itu dikelilingi oleh dua lingkaran konsentrasi yang melambangkan ekspresi-ekspresi luar yang terpenting dari weltanschauung; struktur sosial dan politik, kegiatan ekonomi, sains dan teknologi, serta lingkungan. Bungan itu juga memiliki beberapa helai daun bunga sekunder yang melambangkan bidang-bidang seperti ersitektur, kesenian, pendidikan, perkembangan komunitas, perilaku sosial dan seterusnya. Tepi di sini kita hanya akan membicarakan daun-daun bunga primer saja.
Syariah adalah hukum islam dan etika yang dipandukan menjadi satu. Juris bersepakat bahwa sumber utama syariah adalah Qur’an, Sunnah, Ijma (konsesus pendapat), qiyas (penilaian atas analogi juristik) dan jihad (pemikiran bebas).
Para juristik klasik menggunakan ijma, qiyas, ijtihad, istihsan, istishlah dan urf sebagai metode untuk memecahkan problem-problem praktis.
Jadi para intelektual membangu peradaban muslim dengan cara Merekayasa pekerjaan untuk membangun kembali peradaban muslim membutuhkan perumusan baru dalam pendekatan terhadap islam sebagai peradaban. Hanya dengan mendekati islam sebagai peadaban masa depan, kita bisa sungguh-sungguh berbuat adil kepada din islam. Lebih dari itu, rekontruksi peradaban muslim, secara esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan dunia islam. Ia adalah proses pemberian format dan sekaligus transformasi terus menerus untuk mengubah fakta-fakta menjadi nilai-nilai; aksi-aksi menjadi tujuan-tujuan; dan harapan-harapan; menjadi kenyataan.
2. Jihad Intelektual Kaum Cendekiawan Muslim Tanggung Jawab Mereka
Jihad berarti melawan penidasan, despostisme dan ketidakadilan – dimanapun itu terjadi demi kepentingan yang tertindas, siapapun mereka. Jihad harus dilakukan pada berbagai level.
Didalam Al-Qur’an menggunakan kata jihad dalam beberapa pengertian “Dan mereka yang berjuang di jalan Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami, dan sesungguhnya Tuhan bersama mereka yang berbuat kebaikan.”(29:26). “Dan berjuanglah untuk Allah dengan sungguh-sungguh.”(22:78). Ibn Taimiyah mengatakan tentang dua syarat utama jihad. Dia mengutip sebuah hadits Nabi untuk menjelaskan pandangannya itu: “Engkau tetap memerintahkan yang baik dan melarang yang munkar, bahkan ketika engkar melihat keserakahan aiperturutkan, nafsu diumbar, harta duniawi diutamakan, sementara engkau tudak melihat ada yang memperhatikan seruhanmu. Lihatlah dirimu sendiri tinggalkan mereka; karena engkau akan menjumpai hari-hari kesabaran........... ketika orang dapat memetik buah dari amal perbuatannya.”
Demikianlah, seperti semua ketentuan-ketentuan islam jihad harus dilaksanakan dalam batas-batas hudud, yang dalam kasus ini adalah kesabaran yang sejati telah habis, pringatan yang keras harus diseruhkan terhadap ketidakadilan dan penindasan, sehingga jihad lidah dan tangan menjadi perlu. Para cendekiawan yang sangat menonjol dari ciri-ciri tersebut adalah mentalis guru. Ciri yang kedua adalah ketidakmampuannya menerima kritik.
Tujuan final jihad intelektual adalah menciptakan sebuah ruang intelektual yang merupakan perwujudan sejati pandangan-dunia dan kebudayaan islam, dan yang bisa melahirkan solusi-solusi pragmatis atas masalah-masalah kontemporer ummat muslim.
Para sarjana dan cendekiawan muslim mempunyai peran vital untuk menghilangkan ketidak adilan dan penindasan baik yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat muslim maupun masyarakat lain di dunia. Tetapi jika mereka memperoleh kepercayaan dan respek dari ummat, mereka harus mencurahkan tanggung jawab mereka secara lebih serius dan menunjukan perhatian yang positif terhadap kebudayaan dan nilai-nilai pandangan dunia islam. Mereka harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan sebagai pejuang-pejuang bebas sambil memodifikasi karakter dan ciri intelektual mereka untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutn masyarakat kontemporer.
Komunitas muslim harus memberika penghargaan yang menjadi hak kaum cendikiawannya. Nabi Muhammad saw pernah menegaskan tentang betapa pentingnya jihad intelektual bagi ummat, ketika beliau bersabda bahwa, “tinta seorang sarjana lebih mulia daripada darah seorang martir (syuhada).
3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam
Epistemologi, atau teori mengenai ilmu pengetahuan adalah inti-sentral setiap pandangan dunia. Didalam islam di dalam konteks islam, ia merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin munurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistimologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batasan-batasannya.
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban
Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisah dari pandangan dunia dan sistem keyakinan. Dari pada “meng-islamkan” disiplin yang telah berkembang dalam miliu sosial, etika, dan kultural barat, kaum cendikiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka untuk menciptakan paradigma islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan urgen masyarakat muslim bisa dilaksanakan.
4. Perlunya Sains Islam
Islam dirinya sendiri sebagai din : suatu deskripsi menyeluruh yang melebihi pengertian tradisional mengenai agama. Dengan demikian islm bukan hanya sekedar agama. Islam adalah suatu sistem politik dan metode organisasi sosial. Dimana islam dapat memecahkan masalah-masalah praktis, spiritual dan intelektual manusia. Oleh karena itu, ia adalah suatu kebudayaan dan sebuah pandangan dunia. Dengan demikian, din islam merupakan agama, kebudayaan, peradaban dan pandangan dunia.
Sistem ini bermuatan struktur yang utuh meliputi sebuah matriks mengenai nilai-nilai dan konsep-konsep abadi yang hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban dan pandangan dunia Islam. Nilai-nilai ini akan memberikan parameter-parameter bagi masyarakat muslim dan sekaligus petunjuk bagi peradaban Islam untuk mencapai nasibnya yang manifes.
Sistim Barat sains itu sendiri merupakan nilai tertinggi sehingga segala-galanya harus dikorbankan pada altar sains. Sementara dalam Islam sangat berbeda karena pencarian ilmu pengetahuan (ilm) hanya bermakna jika ilmu pegetahuan yang dicari menurut pandangan dunia-Islam adalah mencari karunia Allah. Dengan demikian sains dalam Islam bukanlah nilai itu sendiri, tetapi tunduk pada matriks nilai-nilai abadi. Oleh karena itu sains jelaslah tidak bebas nilai, berbeda dengan sains di Barat yang berupaya mengembangkan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban Barat, sementara sains Islam mengembangkan nilai-nilai pandangan Islam, misalnya dalam penggalian...