Academia.eduAcademia.edu

Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah

2014, Institut Pemerintahan Dalam Negeri

Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah kaedah tentang Birokrasi dan Pemerintahan Daerah, serta Pelayanan Publik, sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kelimuan dan pembelajaran teori-teori birokrasi serta memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai birokrasi. Buku ini pula tersusun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis sebagai tenaga pengajar di lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Dalam buku ini mendeskripsikan mengenai birokrasi. Pokok-pokok pembahasan buku ini terdiri dari 8 bab yang akan membahas secara mendasar yaitu: Bab 1 tentang Makna Birokrasi Pemerintahan; Bab 2, tentang Teori Dasar Birokrasi, Bab 3 tentang Konsep Organisasi Birokrasi Pemerintahan, Bab 4 tentang Patologi Birokrasi, Bab 5 tentang Birokrasi Indonesia Dan Proses Demokratisasi, Bab 6 Birokrasi Pemerintahan Daerah, dan Bab 7 tentang Rekonstruksi Birokrasi Indonesia, serta Bab 8 tentang Birokrasi Dan Pelayanan Publik.

1 DAFTAR ISI PENGANTAR BAB I MAKNA BIROKRASI PEMERINTAHAN A. Hakekat Birokrasi B. Ciri dan Fungsi Birokrasi C. Memaknai Birokrasi 1 2 9 20 BAB II TEORI DASAR BIROKRASI Birokrasi Weberian Birokrasi Hegelian dan Marxis Birokrasi Albrow Post-birokrasi 26 28 41 46 50 BAB III A. B. C. D. KONSEP ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN Peran Birokrasi Pemerintah Kultur Birokrasi Indonesia Struktur Organisasi Birokrasi Kepemimpinan Birokrasi 58 60 70 82 88 BAB IV A. B. C. PATOLOGI BIROKRASI Hakekat Patologi Birokrasi Prilaku Birokrasi Korupsi A. B. C. D. 112 112 117 120 BAB V BIROKRASI INDONESIA DAN PROSES DEMOKRATISASI. A. Birokrasi dan Partai Politik. B. Pemilu. C. Pilkada. D. Birokrasi dan Integrasi Nasional. 135 135 146 155 161 BAB VI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH A. Sejarah Pemerintahan Daerah B. Hubungan Pemerintahan C. Struktur Organisasi pemerintahan Daerah 174 175 200 216 BAB VII REKONSTRUKSI BIROKRASI INDONESIA A. Arah dan Muatan Reformasi Birokrasi. B. Proses Perjalanan Reformasi Birokrasi 226 230 242 2 C. D. Penataan Birokrasi Pemerintahan Pusat dan Daerah Penataan Aparatur Pemerintahan Daerah 250 255 BAB VIII REKONSTRUKSI BIROKRASI PADA PELAYANAN PUBLIK A. Kinerja Pelayanan Publik B. Budaya dan Etika Pelayanan C. Standarisasi Kualitas Pelayanan Publik 267 271 277 288 DAFTAR PUSTAKA 300 3 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku yang berjudul ―Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah”. Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah kaedah tentang Birokrasi dan Pemerintahan Daerah, serta Pelayanan Publik, sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kelimuan dan pembelajaran teori-teori birokrasi serta memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai birokrasi. Buku ini pula tersusun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis sebagai tenaga pengajar di lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Dalam buku ini mendeskripsikan mengenai birokrasi. Pokok-pokok pembahasan buku ini terdiri dari 8 bab yang akan membahas secara mendasar yaitu: Bab 1 tentang Makna Birokrasi Pemerintahan; Bab 2, tentang Teori Dasar Birokrasi, Bab 3 tentang Konsep Organisasi Birokrasi Pemerintahan, Bab 4 tentang Patologi Birokrasi, Bab 5 tentang Birokrasi Indonesia Dan Proses Demokratisasi, Bab 6 Birokrasi Pemerintahan Daerah, dan Bab 7 tentang Rekonstruksi Birokrasi Indonesia, serta Bab 8 tentang Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Penulis menyadari bahwa buku ini ini masih terdapat kekurangan dalam mengulas secara mendetail rekontruksi dan prilaku birokrasi, dikarenakan keterbatasan penulis. Oleh karena itu dengan senang hati penulis akan menerima seluruh kritik dan saran yang bersifat membangun guna pengembangan konsep pengembangan birokrasi ke depan. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian buku ini. Semoga buku ini dapat menambah kaedah dalam pengembangan pengetahuan tentang birokrasi Indonesia di masa datang. Jatinangor, Oktober 2014 Penulis Irfan Setiawan, S.IP, M.Si 4 BAB I MAKNA BIROKRASI PEMERINTAHAN Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat. Setiap mendengar kata ―birokrasi‖, masyarakat umum langsung terpikir mengenai berbagai urusan yang mandek dan memiliki berbagai prosedur serta formalitas kaku. Masyarakat sering memandang birokrasi sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk. Hal ini terjadi karena masyarakat sering mengalami atau melihat praktek-praktek aparat birokrat yang melenceng dari proses penyelenggaraan tugas-tugasnya. Masyarakat pun memandang birokrasi dengan sesuatu yang menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulirformulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan masyarakat melewati banyak sekatsekat formalitas dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, kami diuraikan dan dijelaskan beberapa pengertian para ahli mengenai birokrasi. A. Hahekat Birokrasi Istilah birokrasi semula dikemukakan oleh Martin Albrow untuk memberikan atribut terhadap istilah yang dipergunakan oleh seorang physiocrat Perancis Vincent de Gournay yang untuk pertama kalinya memakai istilah birokrasi dalam menguraikan sistem pemerintahan Prusia di tahun 17451. Persoalan birokrasi ini 1 Thoha, Miftah. Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi. Widya Mandala. Yogyakarta 1991: 72. 5 memang sangat kompleks dan setiap orang, bahkan para ahli sendiri pun mempunyai cara pandang masing-masing dalam menjelaskan birokrasi. Martin Albrow2 menawarkan tujuh konsep birokrasi yang meliputi: 1) birokrasi sebagai organisasi sosial, 2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi, 3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, 4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik), 5) birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, 6) birokrasi sebagai sebuah organisasi, dan 7) birokrasi sebagai masyarakat modern. Sedangkan untuk definisi birokrasi, banyak sekali para ahli atau tokoh yang mendefinisikan tentang birokrasi, diantaranya adalah : a. PETER M BLAU dan W. MEYER Menurut Peter M. Blau dan W. Meyer dalam bukunya ―Bureaucracy‖ birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative dengang cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi. b. ROURKE Sedangkan menurut Rourke birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hirarki yang 2 Albrow, Martin, Birokrasi. Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996: 82-100. 6 jelas, dilakukan dengan tertulis, oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya. c. ALMOND dan POWEL Sementara itu Almond dan Powell, mengatakan bahwa birokrasi adalah …. Sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal, yang saling berhubungan dalam jenjang yang kompleks di bawah pembuat tugas atau peran formal (ketentuan atau peraturan dan bukan orang). d. LANCE CASTLE Lance Castle memberikan definisi birokrasi sebagai berikut : ―bureaucracy I mean the salaried people who are charged with the function of government‖. The army officers, the military bureacracy, are of course included. The bureaucracy of which Iam speaking doesn‘t always conform to Weber‘s notion of rational bureaucracy. e. YAHYA MUHAIMIN Sedang Yahya Muhaimin mengartikan birokrasi sebagai ―Keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu‖. f. HEGEL Hegel mencitrakan birokrasi sebagai mediating agent, penjembatan antara kepentingan-kepetingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Dan 7 melihat fungsi birokrasi sebagai penghubung antara negara dan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum, sedang civil society merepresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Karena tugasnya sebagai alat pemerintah ini maka birokrasi justru harus punya kemandirian. g. HAROLD LASKI Birokrasi menggambarkan keadaan rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibilitas terhadap peraturan, keterlambatan dalam pengambilan keputusan, dan menolak usaha-usaha untuk bereksperimen. Sehingga birokrasi adalah ancaman bagi pemerintahan yang demokratis. h. KARL MARX Birokrasi adalah alat kelas yang berkuasa, yaitu kaum borjuis dan kapitalis untuk mengeksploitasi kaum proletar. Birokrasi adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan dipergunakan untuk menhisap kelas proletar. i. KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ―biro‖ diartikan kantor dan istilah birokrasi mempunyai beberapa arti : 1) Pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat 2) Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri 3) Cara kerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat, serba menurut aturan, kebiasaan, dan banyak liku-likunya. Definisi dalam kamus bahasa 8 Indonesia ini nampaknya tidak hanya berusaha memberikan makna ―birokrasi‖ tetapi juga istilah turunan yang mengacu pada sifat atau kebiasaan birokrasi. Berdasarkan pendapat ahli tersebut, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa birokrasi adalah sistem kerja pemerintahan untuk mencapai tujuan Negara secara efektif dan efisien. Oleh karena itu kita perlu obyektif dan terbuka, untuk melihat bahwa tata kerja ini untuk tujuan bersama (bukan per individu atau per orang). Untuk pengdeskripsian organisasi ke dalam Pemerintahan Negara Indonesia, maka birokrasi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah, yang menjalankan tugas-tugas Negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah dibawah presiden dan Lembaga-lembaga Non Departemen, baik di tingkat pusat maupun di daerah seperti di tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, bahkan pada tingkat Kelurahan dan Desa. Syukur Abdullah3 membedakan birokrasi menjadi tiga kategori yang meliputi: 1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah. Tugas-tugas tersebut lebih bersifat ‖mengatur‖ (regulatif-function); 2) birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri, dan lain3 Abdullah, Syukur, Budaya Birokrasi Indonesia, PT Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1991: 229 9 lain. Fungsi pokoknya adalah fungsi pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); 3) birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Priyo Budi Santoso4 mengklasifikasikan berbagai macam pengertian yang sering muncul dalam istilah birokrasi menjadi tiga kategori, yaitu: 1) birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan Weberian Bureaucracy; 2) birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau-pathology) seperti diungkap oleh Karl Marx, Laski, Robert Michels, Donal P. Warwick, Michael Crocier, Fred Luthan, dan sebagainya; 3) birokrasi dalam pengertian netral (value-free), artinya tidak terkait dengan pengertian baik atau buruk. Dalam pengertian ini birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi dapat juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy). Birokrasi dalam berbagai literatur ilmu, sering dipergunakan dalam beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian yang sering 4 Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997: 14 10 terkandung dalam istilah birokrasi. Menurut Benveniste (1997 : 4), birokrasi diartikan sebagai : 1) Organisasi rasional (rational organization), 2) Ketidakefisienan organisasi (organizational ineffeciency), 3) pemerintahan oleh pejabat negara (rule by official), 4) adminsitrasi negara (public admnistration), 5) administrasi oleh pejabat (admnistration of official), 6) bentuk organisasi dengan ciri dan kualitas tertentu seperti hirarki serat peraturan-peraturan, dan 7) salah satu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality of modern soceity). Birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan ciri-ciri yang khusus, menjadi pusat perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber. Dalam karyanya ―The Theory Of economic and Social Organization‖, Weber mengemukakan konsepnya tentang ‗the ideal type of bureaucracy‘ dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Hal ini lebih lanjut dirangkum oleh Benveniste (1997 : 4) dalam empat ciri utama, yaitu : 1) adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegations of authority from the top to the bottom of an organization; 11 2) adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilites; 3) adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi-organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standars governing operations of organization and behavior of its members); 4) adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed on a career basis, with promotion based on qualifications and performance. B. Ciri dan Fungsi Birokrasi Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ‖The Theory of Economy and Social Organization‖, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Secara general, model birokrasi sering dideskripsikan sebagai kultur feodalisme dalam pemerintahan di Indonesia. Di dalamnya mengandung hak komunikasi yang lebih menekankan pada hak komunikasi para pemilik kekuasaan dalam struktur–struktur pemerintahan. Padahal, sebenarnya birokrasi merupakan 12 model ideal untuk mencapai tujuan organisasi yang juga mengunggulkan peranserta berbagai pihak dalam struktur untuk bekerja sesuai dengan kapasitas dan tanggungjawabnya. Dalam tinjuan sejarah, kapitalisme di Amerika Serikat berkembang karena dukungan birokrasi dalam tipe ideal (Timasheff, Nicholas, 1967; Weber, 2002). Bukan penyimpangan dari birokrasi yang sering kita dengar dengan istilah ―patologi birokrasi‖. Kemajuan birokratisasi di dalam dunia modern secara langsung bertalian dengan perluasan pembagian kerja di semua bidang kehidupan sosial5, yang secara konsisten dilakukan oleh negara demokratis dengan pelayanan publik yang memadai. Beberapa proposisi yang terkait dengan birokrasi antara lain adalah birokratisasi bertalian dengan perluasan pembagian kerja di semua bidang kehidupan sosial untuk mencapai kesejahteraan (Giddens, 1986). Ciri–ciri birokrasi menurut Max Weber adalah (a) Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized hierarchically) (b) Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence) (c) Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as determined by diplomas or examination) 5 Giddens, Anthony . 1986. Capitalism and Social Modern Theory : An Analysis of Writing of Mark, Durkheim and Max Weber, terjemahan Soeheba K., Jakarta : UI Press. 195. 13 (d) Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries accordingto rank) (e) Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant) (f) Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office) (g) Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and discipline) (h) Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi ratarata. (Promotion is based on superiors judgement). Sementara itu, fungsi birokrasi menurut Weber (dalam Giddens, 1986), secara substantif mencakup : (a) Spesialisasi yang memungkinkan produktivitas, (b) Struktur yang memberikan bentuk pada organisasi (c) Predictability (keadaan yang dapat diramalkan ) dan stabilitas yang dapat dikerjakan (d) Rasionalitas yang dapat diuji dan diunggulkan dalam tindakan menciptakan sinergi untuk memaksimalkan keuntungan. 14 Kendati birokrasi memiliki keunggulan dalam menjalankan roda organisasi, tetapi tidak bebas dari kelemahan yang faktual. Kritik Warren Bennis6 terhadap birokrasi, pada intinya adalah, walaupun birokrasi selalu dikaitkan dengan keteraturan dalam penyelenggaraan organisasi, tetapi tidak sepenuhnya bisa membuat efektivitas birokrasi. Beberapa faktor yang menghambat, anatara lain, birokrasi tidak cukup memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi dan pengembangan kepribadian yang matang karena terlalu banyak prosedur dan kekakuan struktur. Lebih banyak mengembangkan kompromi (conformity) dan pemikiran kelompok dengan berbagai macam keharusan yang sulit untuk dilakukan. Dalam dinamika perubahan, birokrasi seringkali tidak mampu memperhitungkan organisasi informal dan masalah yang timbul tidak terduga dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan kata lain, birokrasi bersifat sangat konvensional tidak mampu mengantisipasi perubahan. Karena itu, pola komunikasi dalam institusi pemerintah yang bersifat top–down, juga tetap berjalan tanpa hambatan berarti. Birokrasi juga sering dikaitkan dengan, sistem pengawasan dan wewenangnya sangat ketinggalan jaman. Ini dapat terjadi karena pola penyimpangan berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di lain pihak birokrasi menetapkan prosedur pengawasan selalu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Selain itu menurut Bennis (Myers dan Myers, 1988:34), birokrasi tidak mempunyai proses peradilan, dalam arti birokrasi hanya mampu 6 Myers, Michele Tolela and Gail E. Myers, Managing By Communication, New York, New Newsey, London, Mc. Graw Hill Int. Book. Co. 1988:31 15 memberikan sanksi administratif terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, tidak memiliki alat – alat yang cukup untuk menyelesaikan perbedaan– perbedaan dan konflik – konflik antara berbagai tingkatan (rank). Pola penyelesaian yang merujuk pada pedoman sentral yang seragam sering tidak mampu untuk menyelesaikan konflik dengan baik. Dalam kaitannya dengan komunikasi, karena struktur hirarki yang kuat, maka komunikasi dan ide – ide pembaharuan terhalang atau tersimpang karena pembagian pelapisan kekuasaan yang kuat. Bahkan ide yang berhasil sampai kepermukaan serta dipakai dalam organisasi sering diklaim sebagai kesuksesan pimpinannya yang sama sekali tidak terkait oleh dukungan bawahan. Weber telah membangun konsep birokrasi berdasarkan teori system kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legalrasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam analisis Weber, organisasi ―tipe ideal‖ yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu: 16 (a) A hierarchical system of authority (sistem kewenangan yang hierakis) (b) A systematic division of labour (pembagian kerja yang sistematis) (c) A clear specification of duties for anyoneworking in it (spesifikasi tuhas yang jelas) (d) Clear ang systematic diciplinary codes and procedures (kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis) (e) The control of operation through a consistent system of abstrac rules (kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten) (f) A consistent applications of general rules to specific cases (aplikasi kaidahkaidah umum kehal-hal pesifik dengan konsisten) (g) The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication (seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif) (h) A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both (sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya). Berdasarkan hal tersebut dapat di tarik benang merahnya bahwa birokrasi mempunyai Ciri-ciri pokok sebagai berikut: (a) adanya hirarki dalam organisasi, (b) profesionalisme dalam pelaksanaan pekerjaan, (c) terdapat aturan dan prosedur, (d) terjadinya pembagian kerja, (e) berkembangnya hubungan yang tidak pribadi/impersonal dalam organisasi. 17 Dalam kehidupan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, birokrasi mempunyai peranan dan fungsi penting dalam menjalankan kehidupan di suatu negara. Namun, besarnya pengaruh kekuasaan dan politik birokrasi tidak mengakibatkan profesional atau mandul. Birokrasi dengan kultur yang dibangunnya, cenderung lebih sibuk melayani penguasa daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Misalnya, dalam bidang pelayanan publik, upaya yang telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan belum dapat terwujud. Upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat, dikarenakan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanannya kurang efektif, efesien, berbelitbelit, lamban, tidak merespons kepentingan pelanggan dalam hal ini masyarakat, yang ditimpakan kepada birokrasi. Semua ini merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Ketidakpuasan terhadap pelayanan aparat birokrasi, dapat terlihat pada keengganan masyarakat dalam pengurusan administrasi di kantor pemerintahan atau adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, tidak mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat inefesiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan aparat birokrasi yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Hal ini dikarenakan masih banyaknya peran unit organisasi berupa Kementerian atau Lembaga yang tumpang tindih, penyelenggaraan pemerintahan yang masih terasa sentralistik, kurangnya infrastruktur, masih menguatnya 18 budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas, serta sistem insentif/penghargaan dan sanksi belum maksimal Pada dasarnya birokrasi memiliki keterkaitan dengan fenomena kekuasaan, pemerintahan, negara, konstitusi (perundang-undangan), pemimpin, kebijakan (filosofi pemerintahan), dan lain-lain (kehidupan kenegaraan sehari-hari). Seperti diketahui bahwa individu tidak bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk mencapai kebutuhannya (saling bekerjasama untuk mencapai kebutuhan/tujuannya). Dari rasa kebersamaan tersebut maka timbul kesadaran untuk membentuk sebuah komunitas sosial. Komunitas yang mempunyai dasar dan aturan serta mempunyai pemimpin dikenal dengan sebutan NEGARA (state). Tetapi, dalam sebuah negara yang terdiri dari banyak kelompok dalam masyarakatnya, pasti akan ada keinginan yang berbeda-beda. Keinginan yang berbeda ini kadang-kadang tidak mampu disesuaikan (dicapai kesepakatan), sehingga timbul problem dan konflik. Sebuah konflik yang timbul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus menerus. Harus diatur agar konflik-konflik yang muncul tidak menjadi situasi yang membahayakan. Untuk mengatur konflikkonflik tersebut, dibuatlah sebuah peraturan. Negara harus menjamin bahwa peraturan itu bisa terlaksana sampai di tingkat bawah. Negara, secara sah memiliki kewenangan untuk mengatur rakyatnya. Oleh karena itu negara harus mempunyai alat-alat kelengkapan untuk melaksanakan kewenangannya itu. Di sinilah dibutuhkan alat kelengkapan negara yang disebut sebagai pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota, camat, kades dan pemimpin lain). Pemimpin-pemimpin tersebut disertai dengan 19 aparaturnya. Pemimpin dan aparatur tersebut harus cakap dalam mengatur konflik, menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial antara negara dan masyarakat. Dalam kontrak itu Negara mempunyai fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam, lingkungan, dan lain-lain. Untuk menjamin terlaksananya fungsifungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang mengoperasionalkan fungsi-fungsi secara riil. Di sinilah birokrasi dibutuhkan keberadaannya baik oleh negara maupun oleh rakyat. Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada. Sebaliknya, juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh organisasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Artinya jika birokrasi baik, maka Negara dan masyarakat juga akan baik. Demikian juga sebaliknya, jika birokrasinya amburadul maka negara dan masyarakatnya juga amburadul. Jadi Birokrasi memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat. Menjadi lembaga yang sangat bermanfaat atau lembaga yang (sangat) menyengsarakan. Contoh dari fungsi-fungsi negara yang dilaksanakan oleh birokrasi (di Indonesia) adalah : 1) Fungsi pertahanan-keamanan dilaksanakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, ABRI, dan Intelijen 2) Fungsi ketertiban dilaksanakan oleh Kepolisian 20 3) Fungsi Keadilan dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman, dan Kejaksanaan 4) Fungsi Pekerjaan Umum dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan Perhubungan 5) Fungsi kesejahteraan dilaksanakan oleh Departemen Sosial, Koperasi, Kesehatan, Pendidikan, dan Perdagangan. 6) Fungsi Pemeliharaan SDA dan lingkungan dilaksanakan oleh Departemen Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, dan sebagainya, dan seterusnya Sehingga, pada pundak organ dan aparat birokrasi terpikul beban dan peran yang menentukan kehidupan seluruh warga negara sejak lahir (permohonan akte kelahiran), menikah (permohonan akte nikah, Kartu keluarga, KTP) hingga mati (permohonan surat kematian). Berdasarkan hal tersebut terlihat pentingnya peran birokrasi sehingga dapat disimpulkan bahwa: 1) Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik. 2) Menurut Robert Presthus, pentingnya birokrasi diungkapkan dalam peranannya sebagai ―delegated legislation‖, ―initiating policy‖ dan‖internal drive for power, security and loyalty‖. 3) Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhatikan, (a) bagaimana para birokrat dipilih, 21 (b) apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan (c) bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan. 4) Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini. Dalam sebuah negara yang terdiri dari banyak kelompok dalam masyarakatnya, pasti akan ada keinginan yang berbeda-beda. Keinginan yang berbeda ini kadang-kadang tidak mampu disesuaikan (dicapai kesepakatan), sehingga timbul problem dan konflik. Konflik- konflik tersebut harus diatur. Untuk mengatur konflik-konflik tersebut, dibuatlah sebuah peraturan. Negara harus menjamin bahwa peraturan itu bisa terlaksana sampai di tingkat bawah. Oleh karena itu negara harus mempunyai alat-alat kelengkapan untuk melaksanakan kewenangannya itu. Di sinilah dibutuhkan alat kelengkapan negara yang disebut sebagai pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota, camat, kades dan pemimpin lain). Pemimpin-pemimpin tersebut disertai dengan aparaturnya (selanjutnya disebut Pemerintah). Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial antara negara dan masyarakat. Dalam kontrak itu Negara mempunyai fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan 22 pemeliharaan Sumber Daya Alam, lingkungan, dan lain-lain. Untuk menjamin terlaksananya fungsifungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang mengoperasionalkan fungsi-fungsi secara riil. Di sinilah birokrasi dibutuhkan keberadaannya baik oleh negara maupun oleh rakyat. Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada. Sebaliknya, juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh organisasi birokrasi. Dan peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Artinya jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat juga akan baik. Demikian juga sebaliknya, jika birokrasinya amburadul maka negara dan masyarakatnya juga amburadul. C. Memaknai Birokrasi Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pemahaman, yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada ―kebiroan‖ atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. pemahaman ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi. Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan7. 7 Eko Budi Sulistio, 2013, Konsep Birokrasi, staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/ files/2013/09/01Konsep-Birokrasi.pdf 23 Melihat penyelenggaran birokrasi dalam kehidupan sehari-hari, istilah Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai sebagai berikut8: 1) Bureaucracy as Rational Organization Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai sebagai suatu aktivitasnya. organisasi Setiap yang tindakan rasional birokrasi dalam melaksanakan hendaknya mengacu setiap pada pertimbangan-pertimbangan rasional. 2) Bureaucracy as Rule by Official Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati. 3) Bureaucracy as Organizational Ineficiency Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat. Karena itu masyarakat menjadi 8 Soesilo Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: Bumi Aksara. 24 apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak konsisten dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap sebagai tempat bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti pembengkakan pegawai, biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya. 4) Bureaucracy as Public Administration Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional. 5) Bureaucracy as Administration by Officials Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration. 6) Bureaucracy as the Organization Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana 25 setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung demi tercapainya tujuan organisasi. Organisasi sebagai sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung wewenang, tugas dan tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat bekerjasama secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada anggotanya. 7) Bureaucracy as Modern Society Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi. Sementara itu menurut Evers9, birokrasi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu: a) Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW). b) Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law. 9 Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: Bumi Aksara, 1996 26 c) Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut Orwelisasi. Dengan demikian maka pemahaman birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu. Ada beberapa yang memandang birokrasi secara positif, ada juga yang secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara netral (value free). 1. Makna Positif : Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan adanya penghubung antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan kebijakankebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat. Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel 2. Makna Negatif : Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dll. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, briokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja. Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun 27 birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik. Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil. BAB II TEORI DASAR BIROKRASI Sebagai suatu bentuk institusi, birokrasi telah ada sejak lama. keberadaannya terlihat ketika munculnya masalah-masalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi. Seperti ketika membangun dan mengatur saluran-saluran air ke seluruh penjuru negeri pada jaman Mesir Kuno telah melahirkan birokrasi skala besar yang pertama di dunia. 28 Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga membentuk birokrasi untuk menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal ini sebagaimana yang ditemui di Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana pengaturan birokrasinya mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Confucius tentang kepegawaian. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern. Dalam bentuknya yang modern, birokrasi pertama kali muncul di Perancis pada abad ke-18. Kemudian di abad ke-19, Jerman menjadi negara yang paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan disiplin, sampaisampai negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya. Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah menjadi paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat modern. Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap tatanan masyarakat modern yang dinamis dan rasional. Tanpa kehadiran birokrasi, tak dapat dibayangkan bagaimana suatu pemerintahan akan mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan pula bagaimana populasi manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah tertentu akan dapat diatur. Birokrasi merupakan faktisitas institusional masyarakat modern. Birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu diproblematisasikan lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi yang kompleks memberikan justifikasi yang lebih dari cukup bahwa keberadaannya 29 dilandasi oleh suatu perencanaan yang rasional dan sistematis. Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi. Dalam aktivitas keilmuan, birokrasi juga dapat berperan sebagai laboratorium ilmiah bagi penelitian sosial. Pencermatan atas strukturnya dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan hipotesis teoretis tentang sistem sosial pada umumnya. Karena latar dampak dan signifikansi yang tinggi dari birokrasi itulah, tak heran jika banyak bermunculan pemikiran yang beragam tentang birokrasi. Sebagai institusi masyarakat modern, refleksi tentang birokrasi menjadi imperatif untuk memahami dinamika dan problematika sosial di era modern secara lebih luas. Di universitas, kajian tentang birokrasi banyak dijumpai di berbagai jurusan dan program studi seperti ilmu politik, administrasi publik, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lain-lain. Dalam hal ini, pemikiran Max Weber, GWF Hegel, dan Karl Marx sebagai pemikiran klasik mengenai birokrasi akan dibahas di sini. Selain itu pula di bahas pemikiran birokrasi Albrow dan teori posbirokrasi. Di tengah kajian birokrasi yang semakin berkembang menyesuaikan dengan tren perubahan yang ada, pemikiran klasik tentang birokrasi bukanlah hal yang sama sekali tidak relevan karena pengamatan yang jeli akan menemukan betapa banyak mutiara kognitif yang terpendam di dalamnya. Pemikiran yang dicetuskan oleh tokoh tersebut banyak merefleksikan problem, isu, dan keprihatinan tentang birokrasi yang tetap saja bertahan sampai sekarang. A. Birokrasi Weberian 30 Teori birokrasi selalu dikaitkan dengan tokoh Max Weber. Begitu besar pengaruh pemikirannya, sehingga birokrasi senantiasa diasosiasikan dengan Weber. Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui bahwa, Max Weber merupakan seorang sosiolog dan intelektual Jerman yang dipandang sebagai bapak dari model birokratik yang banyak ditelaah dalam teori organisasi. Birokrasi Weber mendasarkan diri pada hubungan antara kewenangan menempatkan dan mengangkat pegawai bawahan dengan menentukan tugas dan kewajiban dimana perintah dilakukan secara tertulis; ada pengaturan mengenai hubungan kewenangan; dan promosi kepegawaian didasarkan pada aturanaturan tertentu. Weber memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia sebenarnya ingin menekankan pada kekuasaan yang sah (legitimate power). Ia mengatakan kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber pemerintah dalam sistem organisasi. Kewenangan tidak dapat bergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka atau benci. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak ada satu pun kewenangan yang bergantung pada motif-motif ideal. Dalam hal ini Weber10 menemukan tiga tipe ideal dari kewenangan atau otoritas, yaitu : 10 Said, Mas‘ud, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press, 2007: 14. 31 1. Otorita tradisional Otorita ini mendasarkan legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana diberlakukan pada masa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. 2. Otorita kharismatik Otorita ini dimungkinkan timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal tidak biasa. Individu yang dipatuhi itu, misalnya mempunyai sikap heroik, ciri, dan sifat-sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria-kriteria tradisional. Seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan-aturan tradisional atau oleh kemampuannya untuk meletupkan api revolusi. Otorita kharismatik, tidak bisa menerima satu pun sistem pengaturan bagi organisasi masyarakat. Dalam keadaan demikian, maka tidak ada hukum, hirarki, dan formulasi, kecuali tuntutan penghambaan untuk penguasa-penguasa kharismatik itu. Penguasa ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuantujuan. Otorita kharismatik merupakan lawan dari keteraturan rutin. Baik otorita kharismatik maupun tradisional, secara sah dijalankan berdasarkan inspirasi dan wahyu. Keduanya juga merupakan tipe otorita yang tidak tradisional. 3. Otorita legal-rasional Otorita ini didasarkan pada aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Kesetiaan dan kepatuhan adalah manakala seseorang 32 melaksanakan otorita kantornya hanya dengan legalitas formal dari pimpinannya dan hanya dalam jangkauan otorita kantornya. Otorita legal-rasional didasarkan pada aturan-aturan yang pasti. Aturan yang secara rasional telah dikembangkan oleh masyarakat. Beberapa aturan boleh jadi diubah untuk dapat meliputi perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya secara sistemik dan lebih mengandung perkiraan masa mendatang dibandingkan dengan otorita tradisional atau otorita kharismatik. Intisari dari otorita legal-rasional adalah birokrasi. Jantung dari birokrasi adalah sistem hubungan otorita yang dirumuskan secara rasional oleh aturan-aturan. Kemudian, Gerth dan Mills menyatakan bahwa dari gagasan kewenangan rasional/legal Weber menetapkan enam prinsip bagi sistem birokrasi modern11 yaitu : 1. Prinsip mengenai bidang-bidang yurisdiksi yang resmi dan tetap, pada umumnya ditata dengan aturan-aturan, yaitu dengan hukum atau peraturan-peraturan administratif. 2. Prinsip-prinsip mengenai hirarki jabatan dan mengenai tingkat-tingkat kewenangan yang bertingkat berarti suatu sistem super-ordinasi dan subordinasi yang ditata secara sungguh-sungguh, yaitu ada suatu pengawasan jabatan-jabatan yang lebih rendah oleh jabatan-jabatan yang lebih tinggi. 11 Santosa, Dr. Pandji, Administrasi Publik, Teori, dan Aplikasi Good Governance , Bandung: PT Refika Aditama., 2008: 8. 33 3. Manajemen kantor modern didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis yang disimpan. Badan pejabat-pejabat yang secara aktif terikat di dalam jabatan ―pemerintahan‖, bersama dengan aparat peralatan-peralatan dan file-file material masing-masing, menyusun suatu kantor. 4. Manajemen kantor, setidaknya semua manajemen kantor yang dispesialisasikan, dan manajemen yang demikian secara jelas modern, biasanya mensyaratkan pelatihan ahli dan menyeluruh. 5. Ketika jabatan sepenuhnya maju, aktivitas jabatan meminta kapasitas bekerja yang penuh dari pejabat. Pada awalnya dalam semua hal, keadaan normal di balik; bisnis pejabat diturunkan sebagai aktivitas sekunder. 6. Manajemen kantor mengikuti aturan-aturan umum, yang lebih atau kurang stabil, lebih atau kurang melelahkan, dan yang bisa dipelajari. Pengetahuan mengenai aturan-aturan ini menyiratkan suatu pembelajaran teknis spesial yang para pejabat punyai. Pembelajaran tersebut, melibatkan yurisprudensi, atau manajemen bisnis atau administratif. Chandler dan Plano mengungkapkan bahwa tipe ideal mengenai otorita legal-rasional Weber ini amat sejajar dengan prinsip yang dikembangkan dalam teori organisasi klasik. Keduanya memberikan tekanan pada arti efisiensi. Keduanya juga sama-sama menekankan keteraturan administrasi, dan menetapkan yurisdiksi wilayah tanggung jawab secara pasti dan resmi sebagai bagian dari pembagian sistematik terhadap bidang-bidang pekerjaan. Bahkan 34 kemiripan keduanya, masih menurut Chandler dan Plano12, juga dapat ditentukan dalan hal-hal berikut : 1. Otorita untuk memerintah 2. Prinsip-prinsip dari hirarki perkantoran dan jenjang tingkatan otorita yang terbangun dalam sistem superior dan subordinasi. 3. Sebuah birokrasi rasional seharusnya terdiri atas orang-orang yang bekerja sepenuh waktu, digaji, diangkat secara karier melalui latihan keahlian, dipilih berdasarkan kualifikasi teknis. 4. Mengurusi perbedaan manusiawi. Tipe ideal menurut Weber merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita memahami kehidupan sosial. Weber berpendapat adalah tidak memungkinkan bagi kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan. Adapun yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan organisasi lainnya. Dengan demikian, tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya. Dengan cara semacam ini kita menciptakan tipe ideal tersebut. Masih menurut Weber, tipe ideal itu bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain di dunia ini. Perbedaan antara kejadian senyatanya dengan tipe ideal itulah justru 12 Albrow, Martin, 1996: 9. 35 yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka kita bisa menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang membedakannya. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep ideal birokrasi Weberian. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam caracara sebagai berikut13 : 1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. 2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil. 3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. 4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang 13 Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada. 2008: 18-19). 36 menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. 5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif. 6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu. 7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif. 8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. 9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. Birokrasi Weberian selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah biro. Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Ia merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik dan menjadi wewenang dari pejabat politik yang menjadi masternya. Oleh karena itu, birokrasi merupakan suatu mesin politik yang melaksanakan kebijakan politik yang telah diambil atau dibuat oleh pejabat-pejabat politik. 37 Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian, setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggung jawab publik, kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat birokasi pemerintah telah diwujudkan. Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintah dalam pemikiran Weber dikenal sebagai konsep konservatif dari para pemikir di jamannya. Weber hanya ingin meletakkan birokrasi sebagai sebuah mesin, daripada dilihat sebagai suatu organisme yang mempunyai kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah negara. Menurut Sulistiyani14, model birokrasi yang diajukan Weber memiliki karakteristik ideal sebagai berikut: • Pembagian kerja Dalam menjalankan tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan 14 Sulistiyani, Ambar Teguh, Memahami Good Governence: Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta ,Gava Media, 2004: 9. 38 terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing. • Hirarki wewenang Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hirarkis atau berjenjang. Hirarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti semakin besar pula wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya. Hirarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hirarki tanggung jawab. Dalam hirarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya. • Pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu. • Impersonalitas hubungan Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya. • Kemampuan teknis 39 Jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam jabatan itu. Biasanya, kualifikasi atas para calon dilakukan dengan ujian atau berdasar sertifikat yang menunjukkan kemampuan mereka. • Karier Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan, bukan melalui pemilihan seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan daripada kepada rakyat pemilih. Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Dalam kondisi tertentu, birokrat itu juga memperole jaminan pekerjaan seumur hidup. Birokrasi yang digambarkan oleh Weber di atas sebenarnya memiliki banyak kelebihan. Misalnya pembagian kerja akan menghasilkan efisiensi. Hirarki wewenang memungkinkan pengendalian atas berbagai ragam jabatan dan memudahkan koordinasi yang efektif. Aturan main itu menjamin kesinambungan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, walaupun para pejabatnya bergantiganti, dan dengan demikian bisa menumbuhkan keajegan perilaku. Impersonalitas hubungan menjamin perlakuan yang adil bagi semua anggota masyarakat dan mendorong timbulnya pemerintah yang demokratik. Kemampuan teknis menjamin bahwa hanya orang-orang yang ahli yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Dan jaminan keberlangsungan jabatan membuat para pejabat itu tidak mudah dijatuhkan oleh tekanan-tekanan dari luar. Pendeknya, dengan karakteristik 40 seperti itu birokrasi akan bisa berfungsi sebagai sarana yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien. Model birokrasi Weber memuat asumsi bahwa birokrasi menjalankan fungsi ―administratif‖, yaitu menerapkan kebijakan publik yang dibuat melalui mekanisme proses ―politik‖ yang dilakukan oleh pejabat politik, bukan birokrat karier. Dengan pemisahan administrasi dari proses politik itu, maka birokrat diharap bisa bersikap netral dalam hal politik. Pejabat yang bersikap netral dalam politik diharapkan akan dengan patuh mengabdi pada rakyat, bukan demi kepentingan sekelompok orang atau kelompok politik tertentu. Menurut Peter M. Blau, birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis 15. Dari sini dapat disimpulkan birokrasi merupakan alat untuk mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat. Namun demikian, persepsi umum masyarakat mendengar kata birokrasi selalu identik dengan urusan yang rumit, bukan yang sederhana. Birokrasi identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses yang ribet, berbelit-belit dan tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir yang memakan waktu, proses perolehan ijin yang melalui banyak meja secara berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya. 15 Said, 2007: 29. 41 Sepanjang penilaian kita terhadap birokrasi bersifat objektif, maka tentu akan ada kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Setidaknya dapat kita pelajari dari tabel berikut : Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Birokrasi Max Weber Strength of Bureaucracy as seen by Max Weber  A division of labor into spheres of influence  A definite hierarchy of official offices  Clear norms and rules  Selection to office is by technical qualification  Promotioan by seniority  Disciplinary control over the incumbent of each office.  Better than feudal/traditional forms where people got appointed by favoritism or bribes Sumber: David Boje, Robert Gephart, and       Weaknesses of Bureaucracy Becomes an iron cage of control Red tape from all the rules and sign offs Hard to change this form Divisions of labor compartmentalize attention and response Hierarchy can mean silos (e.g. must go up and down chains of command to get things done). Certain irrationalities results Grace Ann Rosile16 Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa teori birokrasi Weber tidak lepas dari kelemahan. Kelemahan teori Weber adalah tidak mengakui adanya konflik antara otorita yang telah dibangun secara hirarkhis. Kelemahan lainnya adalah tidak mudahnya menghubungkan proses birokrasi dan modernisasi di kalangan negaranegara sedang berkembang. Apapun yang dikatakan orang mengenai teori birokrasinya, Weber dengan segala kehebatan pemikirannya tetap merupakan 16 Said, 2007: 30. 42 sumber gagasan yang tidak pernah habis. Setiap tipe yang dikembangkan Weber dikaitkan dengan tipe staf administrasi. Para pengkritik banyak mengemukakan pendapat bahwa struktur dan manajemen model birokrasi pemerintahan tradisional ala Weber sudah usang dan membutuhkan perubahan yang drastis. Birokrasi yang mengutamakan formalitas misalnya hanya akan menjadikan aparatnya bersikap pasif dan ―robotic‖ daripada menjadi seorang inovator yang kreatif, menjadi risk-avers daripada risk-taking. Struktur yang berjenjang hanya membuat pemborosan (high cost economy), inefficiency, dan bahkan pelencengan tujuan (displacement of goals). Struktur yang kaku juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi pegawai, karena selalu menggaji lebih banyak terhadap mereka yang ada di struktur yang lebih tinggi, walaupun mungkin kualitas dan kuantitas pekerjaannya lebih sedikit dibanding dengan pegawai yang lebih rendah17. Kelemahan kelemahan tersebut menyebabkan kinerja birokrasi cenderung berada pada posisi yang statis, berkutat pada rutinitas, dan kurang responsive terhadap perkembangan jaman. Bahkan para birokrat cenderung mencari keuntungan bagi diri dan organisasinya sendiri daripada kepentingan masyarakat secara umum. Kesuksesan seorang birokrat seringkali diukur dari sudut apakah dia mampu mempertahankan atau menaikkan anggaran bagi instansinya. Hal tersebut jelas bertentangan mengutamakan 17 dengan proses yang prinsip-prinsip competitive, pasar, yang menyukai pada pemberian umumnya insentif, Setiyono, Budi, Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang: Puskodak Undip, 2004:145 43 menghargai inovasi, mengutamakan pelanggan, memberikan gaji sesuai proporsi kerja dan sebagainya. B. Birokrasi Hegelian dan Marxis Renungan Hegel tentang birokrasi muncul dalam konteks filsafat sosial politiknya. Dilihat dari perspektif sistem pemikirannya yang utuh, birokrasi adalah anasir konseptual yang tercakup dalam apa yang disebutnya ―roh objektif‖, yakni tahapan menengah dari rangkaian perjalanan Roh (Geist) untuk mengenal dirinya yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial. Kita tidak akan membicarakan sistem metafisis Hegel tentang Roh ini. Cukuplah di sini untuk membicarakan letak dan fungsi birokrasi dalam ekonomi gagasan Hegel tentang kehidupan sosialpolitik. Birokrasi dipahami dalam konteks ― Sittlichkeit ‖, yang dapat diterjemahkan sebagai tatanan sosial-moral, sebagai suatu tahapan tertinggi dari kehidupan sosial. Dalam Philosophy of Right, Hegel mengatakan bahwa masyarakat sebagai sittlichkeit dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau substansi etis, yaitu keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Birokrasi adalah bagian dari negara yang berperan untuk memediasi kepentingan partikular dari masyarakat sipil dengan kepentingan universal dari negara. Dengan kata lain, birokrasi adalah jembatan antara negara dengan masyarakat sipil. Peran yang sekilas terlihat ganjil ini dapat kita pahami jika kita mengingat bahwa Hegel memberikan dua karakter pokok pada masyarakat sipil. Pertama, setiap anggota masyarakat sipil berusaha mengejar kepentingan 44 pribadinya. Mereka mengerahkan kekuatan reflektifnya dalam pertukaran pasar dan komodifikasi alam setelah dirinya keluar dari kepompong ―feodalistis‖ keluarga. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, anggota masyarakat sipil lainnya dipandang sebagai sarana untuk meraih tujuan pribadi. Akan tetapi, dan ini karakter pokok kedua dari masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi kepentingan pribadinya tersebut mau tidak mau anggota masyarakat sipil haruslah memuaskan kebutuhan dari anggota masyarakat sipil lainnya. Kepentingan diri yang bersifat timbal balik menjadi basis dari interaksi masyarakat sipil. Ini menujumkan tesis dari Adam Smith bahwa pengejaran kepentingan diri akan menciptakan tatanan sosial. Namun masyarakat sipil bukanlah substansi yang cukup-diri dan paripurna. Ada berbagai ekses negatif yang mencuat dalam dinamika masyarakat sipil karena terlalu mengedepankan, dalam istilah Isaiah Berlin, kebebasan negatif. Fluktuasi pasar yang liar menyebabkan kesejahteraan tidak dapat dibagi secara merata pada seluruh anggota masyarakat. Akibatnya terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang ekstrim. Lagipula, ketidaksamaan natural dalam hal fisik dan intelektual juga berakibat pada terjadinya ketidaksamaan kemampuan dan sumber daya, yang pada gilirannya tentu juga memengaruhi kesempatan anggota masyarakat untuk sejahtera. Masyarakat sipil adalah ―kerajaan kebebasan yang hewani‖. Untuk menetralisasi efek-efek buruk itulah kemudian negara turun tangan. Pasar perlu diintervensi dan diregulasi oleh negara. Negara harus menjamin bahwa seluruh anggota masyarakat sipil mempunyai derajat kebebasan yang 45 setara, baik dalam peluang pekerjaan dan kesejahteraan. Negara harus menciptakan hukum yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok yang kalah dalam persaingan pasar dan negara harus menyelenggarakan fungsi-fungsi yang tidak dirambah oleh pasar: pembangunan infrastruktur, penerangan jalan, kesehatan publik, dsb. Dalam hal ini, lembaga eksekutif memegang peranan yang penting karena dia bertugas untuk mengimplementasikan dan menegakkan hukum yang dikodifikasikan oleh negara. Lembaga eksekutif sendiri, oleh Hegel, dibagi menjadi tiga: birokrasi, polisi, dan kehakiman. Polisi adalah bagian dari lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai organ pelayan publik. Konsep polisi-nya Hegel tidak dapat dipahami secara sempit sebagai instansi yang identik dengan pengurusan masalah kriminal. Istilah „polisi‟ sendiri diambil dari pengertian ― politia‖, transliterasi Jerman dari kata Yunani „ politeia‟, yang artinya ―hal atau pengaturan publik‖. Polisi adalah bagian dari otoritas publik yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keteraturan sosial. Masalah publik adalah masalah polisi (polizeilich), maka misalnya polisi bertugas membenahi penerangan jalan, pembangunan jembatan, penarikan pajak, mengurusi masalah kesehatan warga, mengurusi perwalian anak dan orang-orang miskin. Sementara itu, fungsi utama dari birokrasi adalah memediasi kepentingan masyarakat sipil dengan kepentingan negara. Birokrasi memegang peranan yang krusial dalam sistem sosial- politik secara keseluruhan karena nasihat-nasihatnya mampu mengikat negara. Secara normatif, hukum memang dibuat oleh badan legislatif yang terdiri atas perwakilan masyarakat sipil. Akan tetapi, bagi Hegel 46 birokrasi dipercaya memiliki kemampuan untuk mengetahui kepentingan otentik dari masyarakat sipil. Hegel sebenarnya meragukan kemampuan dari masyarakat untuk secara kolektif-rasional menggali dan menemukan apakah yang sebenarnya menjadi kepentingan bersama mereka. Dalam logika dialektis, masyarakat sipil beserta perwakilannya dipostulatkan hanya mampu mengartikulasikan kepentingan partikular sedangkan birokrasilah yang mampu mengartikulasikan kepentingan universal dalam artian kebaikan bersama (bonum commune). Seperti Emmanuel Kant, Hegel juga mengatakan bahwa cukuplah secara potensial, dan tidak perlu secara aktual, bagi masyarakat untuk menyetujui hukum yang dibuat oleh negara. Jadi jika seseorang mungkin untuk menyetujui hukum, meski dalam kenyataannya dia tidak setuju dengan hukum tersebut, hukum tersebut tetaplah legitim dan rasional. Tentu, profil semacam itu mengandung potensi otoritarian dan Hegel sadar akan hal itu, termasuk bahaya korup dan otoritarian yang mungkin mengintai birokrasi. Oleh karenanya, Hegel menekankan bahwa kekuatan birokrasi haruslah dibatasi dengan cara memonitor aktivitasnya, baik dari atas oleh negara maupun dari bawah oleh masyarakat sipil. Oposisi dalam parlemen mempunyai hak untuk menuntut birokrasi agar lebih akuntabel. Karl Marx: Birokrasi Alienatif Pemikiran lain tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam tanggapannya atas optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap bahwa oposisi Hegelian antara kepentingan partikular dengan kepentingan 47 universal sebagai hal yang tak bermakna karena negara sesungguhnya tidak mencerminkan kepentingan universal. Bagi Marx, birokrasi selamanya hanya mencerminkan kepentingan partikular dari kelas dominan dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, birokrasi tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan dijalankan oleh kelas berkuasa untuk mengamankan kepentingannya. Justifikasi dan eksistensi dari birokrasi sepenuhnya tergantung kepada kelas yang berkuasa. Ketika birokrasi mengklaim telah merepresentasikan kepentingan universal masyarakat, sesungguhnya itu tak lebih dari selubung ideologis yang berusaha mengaburkan hakikatnya sebagai pelayan dominasi kelas penguasa. Dari perspektif kelas, kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi, mereka bukanlah bagian dari kelas sosial manapun karena posisinya yang non-organis, yakni tidak terkait secara langsung dengan proses produksi, di mana proses produksi inilah yang secara konstitutif mendefinisikan identitas kelas yang tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain, posisi sedemikian membuat mereka memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik dengan ―pemiliknya‖ (kaum borjuis) menjadi dimungkinkan, meskipun konflik tersebut. C. Birokrasi Martin Albrow Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah : 48 1. Birokrasi sebagai organisasi rasional Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuantujuan organisasi. Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai ―organisasi rasional‖, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai ―organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.‖ 2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar. 49 Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri. 3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat. Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik) Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. 5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat. Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. 50 Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi. 6. Birokrasi sebagai suatu organisasi Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut. 7. Birokrasi sebagai masyarakat modern Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern. Sejalan dengan teori birokrasi yang dikembangkan Weber yang disitir Martin Albrow dalam bukunya ―Birokrasi‖ (1996), bahwa birokrasi sebagai kekuasaan dan sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sehingga ada kemungkinan warga negara terancam bahkan pejabat melakukan penyimpangan. Tampaknya masalah kejujuran ini yang pejabat, sehingga kemungkinan kebebasan warga negara menjadi pangkal utama, karena sekarang dengan system penggajian yang lebih baik untuk kalangan DPR dan pemerintahan tetapi korupsi justru lebih banyak. 51 Untuk mendiagnosis dan menyembuhkan masalah-masalah birokrasi yang beerkmbang dalam suatu masalah dmokrasi, menurut Martin Albrow18 bahwa kita terlebih dahulu harus melihat prbedaan tiga posisi dasar tentang fungs-fungsi pejabat. Pertama, bahwa pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsinya semula. Kedua, pejabat benar-benar memiliki kekuasaan dan tugas semakin besar dan jabatan itu harus secara bijaksana. Ketiga, bahwa kekuasaan itu diperlukan oleh para pejabat dan yang harus dicari adalah yang dengannya pelayanan mereka dapat disalurkan bersama-sama. Penekanan yang berbeda pada fungsi pejabat Negara mencakup interprestasi yang berbeda tentang apa yang dipahami oleh administratif yang demokratis dan begitu juga mencaku erspektif yang berbeda tentang masalah birokrasi. Fungsi-fungsi pejabat dikhawatirkan terlalu diperluas terutama berkaitan dngan gagasan kekuasaan berdasarkan hukum dan pengawasan pemrintah oleh wakil yang dipilih. bahkan fungsi--fungsi pejabat dalam pembuatan kebijakan kurang dapat diterima lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan pemerintah yang mengekspresikan keinginan dasar rakyat dan gagasan tentang arus informasi yang bebas antara yang memerintah dan yang diperintah. Selanjutnya Albrow menyebut lima prinsip dalam birokrasi, yaitu pertama, kepastian dan hal-hal kedinasan harus diatur berdasarkan hukum, yang biasanya diwujudkan dalam berbagai peraturan dan ketentuan administrasi. Kedua, tata jenjang dalam kedinasan dan tingkat kewenangan (hierarki). Ketiga, didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis, yang aslinya tersipan tahan lama dan dalam 18 Martin Albrow (1996:109-110) 52 bentuk yang kuat. Keempat, spesialisasi yang didukung oleh keahlian terlatih. Kelima, hubungan kerja berdasarkan atas prinsip impersonal19. Mendasarkan uraian tersebut, maka birokrasi dipahami sebagai suatu badan administratif yang mempunyai kekuasaan, kewenangan dan prosedur administrasi tertentu yang bercirikan spesialisasi, sentralisasi dengan penggunaan pekerja yang diangkat dan digaji dalam kepegawaian negara. D. Post-birokrasi Pola piker yang berkembang dapat memberikan beberapa bahasa yang umum dan kerangka kerja yang dinamis untuk memahami manajemen publik baik dari perspektif aktor dan pendekatan struktur. Dari perspektif aktor, hubungan antara pola keyakinan bersama lebih atau kurang diorganisir sekitar pola pikir dan imajinasi manajerial lebih jelas. Seorang manajer yang berpandangan birokrasi murni (dalam arti Weberian) cenderung berperilaku berbeda dari manajer yang melihat pekerjaannya secara lebih "cara post-birokrasi." Dari perspektif sistem, organisasi pengaturan kelembagaan yang membentuk insentif dari orang di sektor publik juga akan dipengaruhi oleh apa yang harus menjadi tujuan dari pengaturan ini. Misalnya, paradigma birokrasi murni mengatur memaksimalkan efisiensi, sementara pendekatan yang post-birokrasi lebih peduli tentang adaptasi dinamis dan inovasi (masalah yang tidak ditangani dengan baik oleh paradigma birokrasi murni). 19 Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002 ; 75 – 78 53 Barzelay (1992) menjelaskan sejarah apa yang dia sebut gerakan reformasi birokrasi yang dibentuk oleh para reformis progresif di Amerika Serikat. Dia berpendapat bahwa pola pikir reformasi birokrasi ini, yang merupakan perbaikan penting atas pandangan dan teori yang telah menjadi usang dan kontraproduktif. Keberhasilan program ini menandakan munculnya paradigma post-birokrasi. Konsep reformaasi birokrasi baru ini menekankan penyampaian nilai kepada pelanggan, yang bertentangan dengan pengendalian biaya dan perjuangan untuk efisiensi. Pengembangan konseptual ini mencerminkan perkembangan teori-teori baru manajemen bisnis, dan didasarkan pada pentingnya efesiensi dari skala ekonomi, dan relevansi peningkatan fleksibilitas dan nilai pengiriman. Tabel 2.2 di bawah ini merangkum prinsip utama dari paradigma birokrasi dan post-birokrasi. Tabel 2.2 Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post- Bureaucratic 54 Bureaucratic Paradigm Post-Bureaucratic Paradigm Public Interest Result citizens value Efficiency Quality and Value Administration Product Control Winning adherence to norms Specify functions, authority and Indentify mission, service, costumers structure and outcomes Justify cost Delivery value Enforce responsibility Building accountability Strengthen working relationship Follow rules and procedures Understand and apply norms Identify and solve problems Continuously improve processes Operate administrative system Separate service from control Built support to norms Expand costumers choice Encourage collective action Provide incentives Measure and analysis result Enrich feedback Sumber : Barzelay & Armajani (1992: 538) Skowronek (1982) menyatakan bahwa birokrasi muncul di Amerika Serikat sebagai respon fungsional terhadap tuntutan politik untuk pengembangan 55 kapasitas negara dan perlunya memberikan respon yang seragam terhadap tuntutan sosial dan politik pada negara. Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya Barzelay & Armajani20 mengungkapkan mengenai paradigma post-bureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada pandangan ahli birokrasi murni, birokrasi ditekankan pada kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol, sementara post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir (outcome). Sementara bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab (reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai (bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja. Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma postbirokratik menekankan pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, 20 Barzelay, M. & Babak. J. Armajani, Classics of Public Administration, Fifth Edition, Wordawoith, Thomson Learning Academic ResourceCentre, Belmont,CA: 1992: 533 56 mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balik. Kritik yang paling banyak dilontarkan terhadap birokrasi murni adalah yang bersangkut-paut dengan kecenderungan empirik birokrasi yang mengarah pada pemusatan kekuasaan (oligarchy). Kritik yang dilontarkan oleh Michels21 dengan mengemukakan bahwa siapa saja yang membicarakan birokrasi, berarti membicarakan oligarkhi. Pendapat tersebut menunjukkan adanya kecenderungan organisasi birokrasi mengarah kepada oligarkhi, yaitu suatu pemusatan kekuasaan di tangan sebagian kecil individu, yang menggunakan kantornya untuk meningkatkan keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Kecenderungan ini disebutnya sebagai hukum besi oligarkhi. Kritik lain dikemukakan oleh Parkinson (1962) yang menyatakan bahwa birokrasi adalah mekanisme organisasi untuk mencapai efisiensi ditolak keras oleh Parkinson dengan hukum Parkinsonnya (Parkinson Law). Menurutnya, tugas-tugas birokrasi meluas sehingga menutupi waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya, jumlah pejabat tidak berhubungan sama sekali dengan volume pekerjaan. Birokrasi cenderung meluas bukan karena meningkatnya beban kerja, melainkan karena para pejabat ingin memiliki tambahan bawahan dalam rangka memperbanyak jumlah bawahan di bawah hirarki mereka. Meski beberapa pakar administrasi di negara-negara sedang berkembang masih meyakini pentingnya mentransformasi birokrasi tradisional atau patrimonial menuju birokrasi rasional, 21 Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997 57 ternyata para pakar administrasi di negara-negara maju justru sudah memikirkan alternatif penggantinya yang mereka sebut post bureaucracy. Menurut para pencetus gagasan organisasi post-birokrasi, sebagus apapun pengelolaannya, birokrasi tidak mampu manghapus keterbatasan yang melekat dalam dirinya sendiri. Hukum dasar birokrasi adalah orang bertanggung jawab hanya pada bidang spesialisasi dan tugasnya sendiri. Akibat langsung dari hukum ini adalah kerancuan antara tanggung jawab dengan kewenangan. Karena itu, paradigma sikap birokrat adalah: ―tugas saya hanya ini dan itu bukan tugas saya‖ atau bisa juga ‖ tugas anda bukan ini dan itu bukan tugas anda‖. Birokrasi yang memang memerlukan pemilahan dan pemisahan tanggung jawab menimbulkan beberapa akibat yang tidak diharapkan. secara sistematik birokrasi membatasi kreasi dan inovasi atau membelenggu intelegensi para anggotanya dengan mengasumsikan bahwa kualitas pribadi setiap manusia hanya sebatas pada spesialisasinya, birokrasi pun hanya membutuhkan sebagian kecil dari kecakapan para anggotanya. Kecakapan-kecakapan lain di luar jabaran tugas yang bersangkutan, menjadi sama sekali tidak berguna, dan bahkan tidak berwenang untuk diterapkan dalam birokrasi. kemudian segmentasi tanggung jawab mengakibatkan kegagalan birokrasi dalam mengontrol kelompok informal dalam organisasi formal secara efektif. Meski kelompok tersembunyi ini berhubungan langsung dengan kinerja sistem, sifat tersembunyinya menyulitkan birokrasi mengintrolnya. Sebagai alternatifnya, diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, 58 pemisahan orang berdasar fungsi secara apriori harus dihapuskan. Hubungan antar anggota lebih didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh dan karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang. Organisasi pasca-birokratik memiliki kelebihan atau perbedaan dengan organisasi birokrasi karena: 1. Lebih melembagakan dialog ke arah konsensus ketimbang otoritas, peraturan dan tradisi; 2. Lebih menggunakan pengaruh persuasif ketimbang kekuasaan dan perintah; 3. Lebih mempercayai anggota ketimbang menakutinya; 4. Lebih mementingkan misi organisasi keseluruhan daripada sebagian; 5. Lebih terbuka pada verifikasi dan publikasi ketimbang kerahasiaan. Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa post-birokrasi terlihat dari struktur organisasinya yang ramping, efektif dan efisien, serta mampu membedakan tugas mana yang masih perlu ditangani birokrasi dan mana yang sudah dapat diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian, segala urusan pemerintahan itu tidak seharusnya dimonopoli oleh birokrasi pemerintah. Paradigma Post-Birokrasi, secara operasional lebih menitikberatkan kepada misi, pelayanan, dan hasil akhir (outcome), menekankan pemberian nilai kepada masyarakat dan membangun akuntabilitas serta memperkuat hubungan kerja. Dengan demikian, birokrasi pemerintahan masa depan itu tidak hanya 59 menekankan kepentingan masyarakat, efesiensi, kontrol, fungsi, otoritas, serta struktur, melainkan lebih menekankan terhadap norma-norma, memperluas pilihan masyarakat, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, dan mengukur serta menganalisis hasil, juga memperkaya umpan balik. Birokrasi pemerintahan di masa depan harus pula diimbangi dengan penyempurnaan system dan prosedur kerja. Hal itu dicirikan sebagai sebuah organisasi yang modern yang cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas, biaya, dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanannya. Jadi aparat pemerintahan tidak lagi berpikir bagaimana merealisasikan dana yang tersedia dalam APBN/APBD, tapi bagaimana menggunakan anggaran yang terbatas dan seefisien mungkin serta manfaat apa yang akan diperoleh dari hasil program kegiatan pemerintah tersebut. Untuk itu selain perlunya rekontruksi birokrasi pemerintahan dari vertikal ke horizontal menjadi struktur ― flat ―, juga lebih banyak melimpahkan wewenang kepada level pemerintahan yang lebih dekat jangkauannya dengan masyarakat. Hal ini yang akan membuat pemerintah lebih aspiratif dan akomodatif serta keputusannya bisa dilaksanakan secara lebih cepat dan lebih tepat, dan juga akan membuat pemerintah lebih dekat dengan rakyat. BAB III KONSEP ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH 60 Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) adalah upaya memenuhi tuntutan baru tersebut22. Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model tersebut meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara lebih rinci keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Model birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh penting yang menjelaskan konsep birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yang digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi23. Birokrasi Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat 22 Imawan, Riswanda, Membedah Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1998: 85 23 Robbins, Stephen P,Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: Jusuf Udaya. Jakarta: Arcan. 1994: 338 61 pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk24. Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebenarnya diambil dari nama seorang jenderal militer yang tangguh dan seorang negarawan yang terkenal sebagai mantan Presiden Amerika Serikat yang ke-7 (1824-1932) – menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson25. Birokrasi model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, sepertinya ‖bernafas‖ saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di Amerika Serikat. Pada waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), ia mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu itu di Amerika Serikat untuk mengurusi hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang berimplikasi pada semakin banyaknya jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan pegawainya dikurangi26. 24 25 26 Eep Saefulloh Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru,.Yogyakarta, Pustaka Pelajar.1998: 192. Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194. Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195 62 A. Peran Birokrasi Pemerintah Birokrasi adalah merupakan organ utama dalam system dan kegiatan pemerintahan yang dapat berbuat atas nama negara. Oleh karenanya, birokrasi sangat kuat secara politis dan akibatnya cenderung menjadi the single authoritarian institution (satu-satunya institusi yang mempunyai kewenangan). Alasan mengapa birokrasi sangat kuat secara politis, selain karena kepemilikannya atas sumber-sumber kekuasaan, kedua adalah karena peran dan fungsi birokrasi yang sangat spesifik Peran dan fungsi ini tidak dapat diperankan oleh lembaga atau kelompok social lainnya, sehingga praktis birokrasi menjadi institusi yang paling berkuasa (the most powerfull institution) secara riil dalam sistem politik dibanding partai yang berkuasa (the ruling party) sekalipun. Peran birokrasi pemerintah telah menjadi objek penalaran yang menarik sejak lama. Sebagian berpendapat bahwa campur tangan birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatankekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Campur tangan birokrasi pemerintah hanya akan menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan dasar dari sistem demokrasi. Campur tangan birokrasi pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi, proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen. Tiga hal yang terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak baik yang harus dihindarkan. Berbeda pendapat tersebut yang melihat peran birokrasi pemerintah sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan birokrasi pemerintah, akan 63 terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok masyarakat bawah. Sehingga yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi monopoli yang dikuasai msyarakat ekonomi kuat. Karena itu perlu adanya peran birokrasi pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan untuk mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat. Birokrasi Pemerintah pada beberapa negara di masa sebelum perang dunia, banyak yang terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Perang telah merusakkan berbagai sendi-sendi kehidupan. Tak seorangpun lebih bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kelambanan dakam pembangunan dan bahkan kehancuran. Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan lain-lain. Meskipun negara-negara jajahan itu kemudian memperoleh kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui jalan yang sama. Dinegara-negara berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting karena beberapa hal: 1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu 1. serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu. 64 2. Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah. 3. Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar berbagai industri dan bisnis. 4. Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara terpusat seperti yang dilakukan Uni Sovyet. Sejak tahun 1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai mendapat kritik. Kritik itu terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme, yang antara lain diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan pemerintah terjadi mula-mula dimulai dengan kritik terhadap teori Keynes, meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang terjadi pada periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus dianggap melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu adalah era gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang selama 25 tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan ekonominya. Karena itu timbul anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga terhadap Teori Keynes yang melandasi intervensi pemerintah yang dianggap mempunyai kelemahan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana kompromi politik lebih menjadi landasan. Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga 65 berhubungan dengan pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien, pemborosan sumberdaya dan paternalistik. Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan melalui Washington Consensus mendorong negara-negara sedang berkembang untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara lain berisi: 1. liberalisasi perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan larangan-larangan lainnya). 2. kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi langsung. 3. privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke sektor swasta. 4. pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru. 5. harus ada perlindungan terhadap property right, baik disektor formal maupun sektor informal. Sementara itu IMF sebagai lembaga internasional mendorong negaranegara berkembang untuk memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa melihat dampak yang dapat timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang tersebut. Beberapa negara yang mengikuti ‖perintah‖ IMF seperti Argentina yang kondisi makro ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi 66 pengeluaran. Inflasi memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi sampai batas tertentu masih tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan kerja27. Untuk melihat peran birokrasi pemerintah, persoalan pertama yang perlu dijawab adalah, apa yang birokrasi pemerintahan yang sebaiknya perankan? Untuk membahas pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus dilihat secara sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada sebagai berikut: Pertama, kelompok neoliberal yang menganggap campur tangan pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu. Karena itu sikap pemerintah yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam urusan ekonomi atau pembangunan. Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyekproyek pionir. Pada public goods terdapat ketidakmampuan pasar dalam pengaturan pengadaan dan distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari barang-barang ini yang menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama, sulit dibedakan antara yang membayar dengan yang tidak membayar, baik dalam pengadaan maupun dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat 27 E. Stiglizt, Joseph, Globalization And It's Discontents, Quebecor fairfiled, 2003: 27 67 menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat sendirisendiri. Contoh dari public goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya dan sebagainya. Demikian juga dengan proyek-proyek pionir. Pengadaan dan pengelolaannya tidak mungkin diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyekproyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi ekonomis dinilai dalam jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini antara lain adalah jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan atau proyek percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan daerah baru. Di negara-negara berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang perlu diadakan, yang secara financial tidak menguntungkan dilihat dari waktu pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya, yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya terobosan, maka proyek pemanfaatannya adalah jalan-jalan penghubung kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat. Melihat pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik dan proyek-proyek terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta 68 dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam pembangunan disana cukup penting. Aliran ketiga adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism. Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana pemerintah itu berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat bertindak secara langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui kemitraan dengan pihak lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar negeri ataupun dengan pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini harus dilakukan dengan menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga sementara. Di Indonesia lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad hoc. Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja, untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek tersebut selesai dikerjakan. Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia. Ada pula lembaga ad hoc dalam arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu. Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan lebih dari satu atau serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi. Sebagai lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu tertentu. Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan fungsi yang bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang demikian adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga 69 yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di Indonesia. Lembaga khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan bahwa lembaga permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus yang sangat besar kepada lembaga permanen dipandang dapat mengganggu penyelenggaraan tugas keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Namun yang perlu diingat, bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu waktu akan berakhir. Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus itu akan berakhir (policy termination) atau harus berlanjut (continues)? Kalau harus berlanjut, apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam lembaga permanen atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru? Kalau diubah menjadi lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada dalan bidang yang bersangkutan. Dalam pendekatan institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan, strategi, dan struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan tujuan jangka panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau dipilih salah satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan ini tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya dilaksanakan melalui lembaga atau struktur tertentu28. 28 Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta:, 2006: 192-195 70 Bentuk pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan sentralisasi dalam kurun tertentu. Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh pada performance atau kinerja birokrasi pemerintahan dalam pembangunan. Desentralisasi cenderung lebih menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara sentralisasi lebih mengarah pada penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan kenyataan yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidakpuasan masyarakat. Bahkan dalam prosess penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang cenderung menimbulkan gejolak pemberontakan daerah yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Birokrasi setidaknya memiliki 4 (empat) tugas/peranan dalam penyelenggaraan negara yakni 1) Peran dalam proses input 2) Peran dalam proses legislatif 3) Peran sebagai perterjemah (interpreter) kebijakan politik, dan 4) Peran sebagai pelaksana (eksekutor) kebijakan politik Dalam proses input, birokrasi dapat berperan untuk memberikan usulan dan pendapat (menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif untuk diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) ataupun peraturan (regulation). Dalam proses ini birokrasi berperan seperti kelompok kepentingan (interest group) maupun kelompok penekan (pressure group). Contoh dari peran ini adalah demo yang 71 dilakukan oleh guru dan dosen tentang pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru dan dosen. Tindakan para guru dan dosen ini diaktakan sebagai bentuk interest group dan atau pressure group dari aparatur birokrasi. Peran dalam proses legislatif (di Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR), karena birokrasi memiliki banyak aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan pembahasan suatu rancangan keputusan biasanya akan dipanggil untuk memberikan pendapat maupun klarifikasi sebelum keputusan ditetapkan. Misalnya, bila DPR ingin mengambil keputusan di bidang pendidikan, pertahanan keamanan, atau ekonomi, maka mereka akan memanggil aparat birokrasi untuk dimintai pendapat/masukan. Peran sebagai interpreter kebijakan politik, bahwa seluruh produk (output) kebijakan atau keputusan dari lembaga legislative (DPR) adalah masih dalam tataran global, belum terperinci secara teknis. Oleh sebab itu tidak dapat langsung dijalankan dalam penyelenggaraan negara. Agar kebijakan atau keputusan itu dapat diimplementasikan, maka birokrasilah yang membuat tafsiran dan perincian kebijakan itu secara teknis. Peran sebagai eksekutor kebijakan politik, agar kebijakan/ keputusan yang dikeluarkan oleh DPR/lembaga legislatif dapat berjalan di tengah masyarakat, maka birokrasi bertugas untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan itu. Bila DPR/DPRD membuat kebijakan tentang pendidikan, maka aparat birokrasi dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang akan melaksanakan kegiatan pendidikan yang sudah ditetapkan. 72 Peran-peran yang multifungsi itu tidak mungkin diperankan oleh golongan/institusi lain, misalnya parpol, LSM, organisasi massa, dan sebagainya. B. Kultur Birokrasi Indonesia Semangat penerapan New Public Management memberi ruang baru bagi organisasi untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalisme dalam mengelola organisasinya. Kendala klasik yang dihadapi adalah adanya lingkungan organisasi yang mengurangi akselerasi pengembangan sumber daya manusia yang lebih professional. Hal ini terjadi karena Sense of urgency atas biaya dimasa depan dari in- competency SDM sehingga dapat menyebabkan kefatalan yang luar biasa bagi kelangsungan operasional organisasi tidak dirasakan oleh pengambil kebijakan. Pola pikir lama masih membekas bahwa investasi yang bersifat tangible (terlihat) lebih mudah dipahami, misalnya pembangunan gedung dan sejenisnya dibandingkan dengan investasi yang bersifat intangible (tak terlihat) seperti pengembangan sumber daya manusia. Dalam hal ini diperlukan suatu budaya organisasi yang memiliki nilai- nilai dan norma- norma yang berlaku didalam organisasi yang mampu untuk mengatasi masalah di atas. Budaya Organisasi menurut Robbins, (2002:596) merupakan budaya yang dominan menunjukkan nilai- nilai inti yang dipegang oleh mayoritas anggota organisasi, sedangkan minikultur menekankan kepada budaya yang dimiliki oleh masing- masing departemen atau bagian di organisasi tersebut. Sebagai input kinerja yang penting adalah budaya organisasi. 73 Taylor29 mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat Taylor tersebut berarti bahwa kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencakup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan mendasari setiap tingkah laku yang hendak dan harus dilaksanakan sehubungan dengan pola hidup dan susunan kemasyarakatannya. Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan mengikat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik ke dalam organisasi, maka apabila seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka para anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengarahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai 29 Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Rajawali, 1990 74 kinerja yang baik, maka dapat dipastikan apabila memang semua anggota organisasi sudah menganggap norma itu sebagai budaya, maka ia akan melaksanakannya dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik. Budaya yang dimiliki organisasi juga berasal dari individu-individu yang berada di organisasi tersebut. Individu-individu tersebut memiliki motivasi-motivasi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Motivasi merupakan suatu dorongan yang ada didalam diri individu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan. Slocum (1995) dalam West (2000:128) mendefinisikan budaya sebagai asumsi-asumsi dan pola-pola makna yang mendasar, yang dianggap sudah selayaknya dianut dan dimanifestasikan oleh semua fihak yang berpartisipasi dalam organisasi. Budaya juga diartikan oleh Osborn dan Plastrik (2000:252) sebagai seperangkat perilaku, perasaan dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Sehingga untuk merubah sebuah budaya harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Pada bagian lain Sofo (2003:384) memandang budaya sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-nilai, keyakinan, praktek, ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi. Dan membantu membentuk perilaku dan menyesuaikan persepsi. Lebih lanjut Robbins (1992:247) memberikan definisi tentang pengertian budaya organisasi yaitu suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota organisasi dan merupakan suatu sistem dari makna bersama. Dalam hal ini Edgar H. Schein (1992:12) mengatakan bahwa budaya (culture) merupakan 75 pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok dalam suatu organiassi sebagai alat untuk memecahkan masalah terhadap penyesuaian faktor ekternal dan integrasi faktor internal, dan telah terbukti sahih, oleh karenanya diajarkan kepada anggota organisasi yang baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan pemikiran dan merasakan dalam kaitan masalah-masalah yang dihadapi itu. Mendukung pendapat di atas, Geert Hofstede dalam Culture‘s Consequences (1980) dalam Ndara (1997:44) mendefenisikan budaya sebagai ―colective programming of the mind atau collective mental program‖. Mental programming terdapat pada tiga level yaitu: (1) universal level ofmental programming, yaitu sistem biologikal operasional manusia termasuk prilakunya yang bersifat universal seperti senyum dan tangis yang terjadi dimana-mana sepanjang sejarah; (2) collective level of mental programming, misalnya bahasa; dan (3) individual level of mental programming, misalnya kepentingan individu. Tidak dapat dipungkiri budaya organisasi merupakan bagian dari budaya nasional yang kita kenal dengan budaya birokrasi. Oleh sebab itu Interprestasi dari budaya birokrasi terbagi menjadi dua yakni menunjukan budaya yang negatif dan menunjukan budaya yang positif. Budaya organisasi merupakan salah satu hal yang penting digunakan untuk menjaga prilaku anggota dalam organisasi. Hal ini dijelakan oleh Siagian (2000 : 65) yang mengatakan bahwa ―budaya organisasi harus sedemikian kuat sehingga dapat memberikan arah tentang cara berprilaku dalam orgnisasi atau the way are dine around here. Dengan kata lain, budaya organisional yang kuat 76 mempunyai fungsi menentukan batas prilaku yang akseptabel, menumbuhkan rasa memiliki, meningkatkan kemampuan membuat komitmen demi keberhasilan organisasi, memelihara stabilitas sosial dalam organisasi, mengendalikan dan mengawasi prilaku para anggota organisasi yang bersangkutan‖. 1. Karateristik Budaya Organisasi Setiap organisasi memiliki budaya yang berakar dari sejarah, lingkungan, proses staffing dan proses sosialisasi. Pembentukan budaya organisasi menurut Stephen P. Robbins, dapat dilihat pada gambar dibawah Gambar 2 Pembentukan Budaya Organisasi Manajemen puncak Filsafat organisasi yang dijumpai Kriteria seleksi Budaya organisasi Sosialisasi (sumber :Robbin, 2002: 734) Budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan manajemen puncak dewasa ini menentukan iklim umum perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Bagaimana cara menyosialisasikan karyawan akan tergantung, pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai- nilai 77 karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi dan juga pada kelebihan manajemen puncak akan metode- metode sosialisasi. Beberapa pendekatan untuk melihat terbentuknya budaya organisasi menurut Stephen P. Robbin adalah : 1. Pendekatan deskriptif, yaitu keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, hukum, adat istiadat dan berbagai kemampuan manusia serta kebiasaan yang di terima manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Pendekatan historis, yaitu sejumlah total dan manajemen dari warisan sosial yang diterima masyarakat sebagai sesuatu yang bermakna, yang dipengaruhi oleh waktu dan sejarah hidup suatu bangsa. 3. Pendekatan normatif, yaitu salah satu pandangan hidup dari sekumpulan ideide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. 4. Pendekatan psikologis, yaitu pendekatan penyesuaian diri dan proses belajar dalam suatu masyarakat 5. Pendekatan struktural, yaitu pekerjaan dan satuan aktivitas agar manusia berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik material maupun non materil. 6. Pendekatan genetic, yaitu kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir dan masyarakat. Salah satu bentuk organisasi adalah perusahaan dan menurut Debre L. Nelson dan James Campbell Quick (1997 : 476) bahwa ―Organisasi (corporate) 78 culture is a pattern of basic assumptions that are considered valid and that are thought to new member as the way to perceive, think dan feel in the organization‖ Dalam hal ini, Nelson dan Campbell menyatakan bahwa budaya organisasi atau budaya perusahaan merupakan satu pola asumsi dasar yang dipertimbangan calid dan dipikirkan oleh anggota seperti persepsi, pikiran dan perasaan yang ada dalam organisasi. Aspek-aspek ini diartikan sama oleh anggota organisasi tersebut. Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa dalam budaya organisasi, terdapat pemahaman seluruh anggota organisasi, baik yang baru maupun yang lama memiliki persepsi yang sama terhadap satu sama lain yang melekat dalam organisasi tersebut dan mereka patuh dan mengikutinya menjadi persepsi bersama-sama. 2. Esensi dan Tipe Budaya Organisasi Berg & Kalleberg mengungkapkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi kinerja melalui cara mempermudah atau memfasilitasi penyetaraan tujuan perusahaan, dimana para pimpinan dapat melaksanakan kesepakatan dalam menentukan tujuan perusahaan dengan lebih mudah dan juga dapat dengan mudah menemukan cara- cara untuk mencapai tujuan tersebut. Esensi dari budaya organisasi menurut Schein (1985) yang dikutip oleh Jayantha Wimalasiri (1991:41) bahwa : Corporate culture is represented at three levels 1. Behaviors and artifacts 2. Beliefs and values 79 3. Underlying assumpations. Dalam hal ini, budaya organisasi terdiri dari tiga tingkat yaitu perilaku, kepercayaan dan nilai serta asumsi-asumsi dasar. Menurut Stephen P. Robbins (2002:596), Organisasi memiliki budaya yang sama di tingkat perusahaan atau dominant culture dan tingkat departemen atau mini culture: ―Dominant culture is expresses the core values tha are shared by a majority of the organization‘s members, subcultures is mini cultures within an organization typically defined by department designations and geographical sepation‖. Definisi di atas menyatakan bahwa budaya dominan menunjukan nilai-nilai inti yang dipegang oleh mayoritas anggota perusahaan, sedangkan minikultur menekankan kepada budaya yang dimiliki oleh masing-masing departemen di perusahaan tersebut. Budaya organisasi atau perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya akan memiliki perbedaan, namun pada dasarnya organisasi atau perusahaan tersebut memiliki tipe atau model seperti yang dinyatakan oleh Hellriegel, Slocum, dan Woodman (1998:545) bahwa: 1. Organizations with a baseball team culture attact entrepreneur innovators, and risk takers and pay employees for what they produce 2. Age and experience are valued in the club culture, reward seniority and provide stable, secure employment. 3. Organizations with an academy culture yend to hire recruits early-often directly from college-as organization with club culture. 80 4. The fortress culture is preoccupied with survival, promise little in the way of job security and have difficulty rewarding employees for good performance‖ Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tipe-tipe budaya organisasi adalah organisasi dengan budaya tim baseball, budaya klub, budaya akademi dan organisasi benteng sebagai berikut: 1. Dimana pada sebuah Organisasi tim basebal menarik pengusaha, innovator, dan pengambilan untuk membayar pegawai mereka berdasarkan apa yang mereka hasilkan dalam bekerja. 2. Pada organisasi klub, biasanya memandang dari usia dan pengalaman sehingga penghargaan berdasarkan senioritas dan pekerjaan yang aman. 3. Pada organisasi akademi biasanya merekrut para mahasiswa yang baru lulus dari Universitas untuk dijadikan tenaga pengajar. 4. Pada organisasi benteng selalu berupaya untuk bertahan, menjanjikan sedikit keamanan dalam pekerjaan dan mengalami kesulitan dalam memberikan penghargaan kepada pegawai yang menunjukan kinerja yang baik. Dari pendapat di atas terlihat bahwa budaya dominan menunjukkan nilainilai inti yang dipegang oleh mayoritas anggota organisasi, subkultur adalah minikultur. Budaya di definisikan sebagai aturan organisasi dan pemisahan secara geografis. Budaya perusahaan memberikan manfaat bagi manajemen yaitu memudahkan mereka memperediksi perilaku pegawai dengan strategi tertentu seperti yang dinyatakan oleh Jayantha Wimalasiri (1991:39) dalam The Journal of The Singapore Institue of Management bahw; a Culture is impotant to strategic 81 management because it provides a set of common values for setting priorities and on how things are accomplished. A strong culture makes it easier to predict the behavior of people with respect to certain strategies. Berdasarkan definisi di atas, pada umumnya budaya organisasi menunjukkan satu kesamaan pemahaman bahwa budaya organisasi yang merupakan gaya dan cara hidup dari suatu organisasi merupakan pencerminan dari nilai- nilai atau kepercayaan yang selama ini berlaku dan dianut oleh seluruh anggota organisasi, dan diterima sebagai nilai- nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai- nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi untuk dapat mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal dan dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakan sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya. 3. Karateristik Budaya Organisasi Untuk melihat ukuran kuat atau tidaknya budaya organisasi dapat memberikan suatu kontribusi bagi satuan unit kerja dalam organisasi adalah dengan mengukur tingkat penerimaan anggota organisasi terhadap ciri-ciri atau karakteristik budaya organiasasi, dan bukan melihat apa yang disukai atau tidak disukai oeleh anggota organisasi tersebut. Schein (Kolb, Rubin, dan Osland, 1991: 102) mengatakan bahwa mengukur budaya organisasi berarti melihat ―kekuatan‖ dan ―jumlah‖ budaya tersebut. 82 Kekuatan atau jumlah budaya tersebut dapat dijelaskan dalam dua terminologi, yaitu (a) homoginitas dan Stabilitas dari anggota kelompok, (b) panjang dan indensitas pengalaman yang telah ditanggung bersama oleh anggota kelompok. Mowday, Porter dan Steers (1982 :87) mengatakan bahwa: ― Membina kekohesifan, kesetian dan komitmen organisasi mengurangi kecendrungan karyawan untuk meninggalkan organisasi itu‖. Menurut Luthans (2007: 115) karakteristik penting budaya organisasi mencakup sebagai berikut: 1. Keteraturan perilaku yang dijalankan, seperti pemakaian bahasa atau terminologi yang sama; 2. Norma, seperti standar perilaku yang ada pada suatu organisasi atau kominitas; 3. Nilai yang dominan, seperti mutu produk yang tinggi, efiseinsi yang tinggi; 4. Filosofi, seperti kebijakan bagaimana pekerja diperlakukan; 5. Aturan, seperti tuntunan bagi pekerja baru untuk bekerja didalam organisasi; 6. Iklim organisasi, seperti cara para anggota organisasi berinteraksi dengan pelanggan internal dan eksternal atau pengaturan tata letak bekerja (secara fisik); Menurut O‘reilly III, Chatrman dan Caldwell (1991 : 35) mengemukakan tujuh karakteristik primer yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya organisasi, yaitu: 1) Inovasi dan pengambilan resiko, sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko. 83 2) Perhatian terhadap detail, sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecamasan), analisis, dan perhatian rerhadap detail. 3) Orientasi hasil, sejauh mana manajemen memusatkan perhatian terhadap pada hasil. 4) Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang didalam organisasi itu. 5) Orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu. 6) Keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 7) Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan. Setiap budaya organisasi menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu berskala organisasi yang bersifat homogen (sama). Semua budaya ini harus dipahami dan dipadukan, jika organisasi itu ingin bekerja efektif. Sedangkan menurut Manan (1989) ada tujuh karakteristik budaya dasar yang bersifat universal yaitu: 1) Kebudayaan itu dipelajari bukan bersifat instingtif; 2) Kebudayaan itu ditanamkan; 3) Kebudayaan itu bersifat gagasan (idetional), kebiasaan-kebiasaan kelompok yang dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku; 84 4) Kebudayaan itu sampai pada suatu tingkat meuaskan individu, memuaskan kebutuhan biologis dan kebutuhan ikutan liannya; 5) Kebudayaan itu bersifat integratif; 6) Selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan; 7) Kebudayaan itu dapat menyesuaikan; C. Struktur Organisasi Birokrasi Pengorganisasian merupakan proses yang menghubungkan orang-orang secara efektif, sehingga mereka dapat bekerja sama dan dengan demikian memperoleh tujuan tertentu. Hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi. Definisi menurut Robbins (1994:6), menyatakan struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, serta mekanisme koordinasi yang formal dan pola interaksi yang akan diikuti. Konsep the old public administration yang dicetuskan oleh Wilson dalam Thoha (2008) menyatakan bahwa pemerintah perlu memiliki sistem administrasi pelayanan publik mengikuti model bisnis yakni mempunyai eksekutif otoritas, pengendalian, dan yang amat penting adalah mempunyai struktur organisasi hierarki agar pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dapat dilakukan dengan efisien. Weber dalam Robbins (2002) telah mengembangkan sebuah model struktural sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi untuk mencapai tujuannya. Struktur ideal ini dinamakan birokrasi. Birokrasi dicirikan dengan adanya pembagian kerja, sebuah hierarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi 85 yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi. Sejalan dengan pendapat Weber mengenai hubungan antara efisiensi dan struktur organisasi, Mohamad (2003) mengemukakan beberapa permasalahan dalam pola penyelenggaraan pelayanan publik antara lain : • Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. • Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. • Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut. • Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. • Birokratis. Pelayanan pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah 86 pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggung jawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. • Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Umumnya aparat pelayanan kurang keluhan/saran/aspirasi dari memiliki kemauan masyarakat. untuk mendengar Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. • Inefisiensi. Berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Jika dilihat dari sisi kelembagaan, lanjut Mohamad (2003) kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit, dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien. Mengenai desain organisasi, Mintzberg (1993) menyatakan bahwa setiap organisasi mempunyai 5 bagian dasar yang dapat didefinisikan, yaitu : 87 • The operating core. Para pegawai yang melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan produksi dari produk dan jasa. • The strategic apex. Manajer tingkat puncak, yang diberi tanggung jawab keseluruhan untuk organisasi itu. • The middle line. Para manajer yang menjadi penghubung operating core dengan strategic apex. • The technostructure. Para analis yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan bentuk standarisasi tertentu dalam organisasi • The support staff. Orang-orang yang mengisi unit staf, yang memberi jasa pendukung tidak langsung kepada organisasi. Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan publik maka peran technostructure dalam menciptakan prosedur standarisasi pekerjaan menjadi sangat penting. Organisasi publik serentak menciptakan trend Standard Operating Procedures untuk meningkatkan kinerjanya di mata masyarakat. Mereka semua menyandarkan diri pada proses kerja yang distandarisasi untuk koordinasi dan kontrol. Menurut Robbins (2002) dominasi peran technostructure menciptakan struktur birokrasi mesin, dengan karakteristik : • mempunyai tugas operasi rutin sangat tinggi, • peraturan yang sangat diformalisasi, • tugas yang dikelompokkan kedalam departemen-departemen fungsional, • wewenang yang disentralisasikan, • pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando dan 88 • sebuah struktur administrasi rumit dengan perbedaan tajam antara aktivitas lini dan staf. Dukungan terhadap perlunya standarisasi dalam pelayanan publik diberikan oleh Salomo (2008), yang mengatakan bahwa buruknya pelayanan publik di Indonesia antara lain disebabkan ketiadaan perangkat hukum yang mengatur standarisasi pelayanan publik yang harus dipenuhi pemerintah. Pendapat senada dikemukakan oleh Mohamad (2003), untuk mengatasi masalah-masalah pelayanan publik dapat ditempuh dengan cara antara lain sebagai berikut : • Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapanharapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses indentifikasi jenis pelayanan, identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas 89 dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusi beban tugas pelayanan yang akan ditangani. • Pengembangan Standard Operating Procedures. Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya Standard Operating Procedures, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. • Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik. • Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didesain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang dapat secara efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan. 90 D. Kepemimpinan Birokrasi Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu aset yang tidak ternilai harganya bagi setiap organisasi karena dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada satuan kerja secara efektif dan efesien. Oleh karena itu bagaimana cara untuk mengembangkan, memelihara, dan meningkatkan kinerja pegawai merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan bagi setiap organisasi. Demikian pula didalam perubahan lingkungan yang strategik (politik, ekonomi, sosial, teknologi, dll) maka perlu dituntut adanya kemampuan aparatur pemerintahan yang profesioanal dalam menjalankan tugasnya. Seiring dari pada itu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan arus globalisasi, maka dituntut pula adanya sumber daya aparatur yang kapabel (capable), yakni aparatur yang dapat bekerja secara efesien, efektif, produktif, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak kadaluarsa yang pada akhirnya mampu menampilkan kinerja yang memuaskan. Namun dilema yang sering terjadi pada birokrasi pemerintah saat ini adalah adanya tanggapan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintah yang belum menunjukan kapabilitas yang tinggi serta tidak profesional dalam menjalan tugasnya. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam birokrasi yang semakin buruk serta berakibat pada tingkat kepercayaan ( trust) masyarakat terhadap birokrasi menurun. Disamping itu, kendala yang dihadapi oleh Pemda dalam rangka peningkatan kinerja aparatur saat ini adalah disebabkan inovasi dan kreativitas aparat birokrasi masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi riil yang ada 91 yakni manakala pimpinan melakukan tugas (dinas) luar, maka ada anggapan bahwa tugas dan tanggungjawab yang ada dapat ditunda pelaksanaannya atau dengan kata lain selalu menunggu pimpinan kembali untuk meminta petunjuk dan pengarahannya. Dengan kondisi demikian maka proses pengurusan yang ada dibirokrasi akan berjalan tidak sebagaimana mestinya. Kendala yang perlu mendapat perhatian untuk menghadapi isu yang berkembang diatas serta untuk mewujudkan kinerja aparatur yang baik setidaktidaknya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain adalah faktor kepemimpinan, budaya yang berkembang didalam organisasi, serta struktur maupun mekanisme kerja yang ada didalam organisasi tersebut. Kalau kita amati dari beberapa faktor yang telah dikemukakan diatas, maka faktor kepemimpinan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja yang akan dicapai oleh aparatur. Sebab didalam organisasi apapun bentuknya baik besar maupun kecil pasti memerlukan seorang pemimpin. Oleh karena itu pemimpin yang baik dapat menjadi panutan atau teladan bagi bawahan dalam bekerja dan sekaligus dapat memberikan motivasi dan semangat kerja didalam organisasi. Seorang pemimpin didalam organisasi formal disamping harus dipatuhi oleh bawahaannya ia juga harus memiliki prestasi lebih agar dapat memperkuat kepatuhan bawahan terhadap dirinya. Potensi lebih ini dapat berupa kewibawaan pribadi maupun berupa kelebihan pengetahuan atau kecakapan terutama yang menyangkut bidang tugasnya, kemampuan ini sering disebut managerial skill. 92 Penerapan kekuasaan, kewibawaan, dan managerial skill akan terlihat dari gaya ataupun perilaku kepemimpinan yang dirasakan oleh bawahannya. Pada dasarnya kegiatan manusia secara bersama-sama membutuhkan pemimpin. Keberhasilan dan kegagalan sebuah organisasi dalam menjalankan misinya sangat tergantung kepada tanggung-jawab dari seorang pemimpin. Untuk itu kepemimpinan dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan mencapai suatu tujuan organisasi Terry (dalam Thoha, 2001:227). Lebih lanjut Thoha (1993:2) mengemukakan bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Didalam menjelaskan arti kepemimpinan ini Henry (dalam Kartono,2003:33) berpendapat bahwa ―Pemimpin dalam arti luas ialah seorang yang memimpin, dengan jalan memperkarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui pristise, kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan eksepstansi/penerimaan secara sukarela oleh pengikutnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, dimanapun tempatnya selalu memerlukan seorang pemimpin untuk tercapainya tujuan dan kelompok, organisasi atau masyarakat secara baik dan lancar. Secara etimologis kepemimpinan menurut Syafi`ie (2003:1) dapat diartikan sebagai berikut : 93 1) Berasal dan kata dasar ―Pimpin― (dalam bahasa inggris ―lead ), berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin(umat) dan yamg memimpin (imam). 2) Setelah ditambah awalan ―pe― menjadi pemimpin (dalam bahasa inggris ―leader―) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan. 3) Apabila ditambah akhiran ―an― menjadi ―pimpinan― artinya orang yang mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu pimpinan (kepala) cenderung lebih otokratis, sedangkan pemimpin ( ketua) cenderung lebih demokratis. 4) Setelah dilengkapi dengan awalan ―ke― menjadi ―kepemimpinan ― (dalam bahasa inggris ―leadership―) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. 2) Beberapa pakar telah memberikan definisi yang berbeda tentang kepemimpinan, antara lain yang dikutip Syafi`ie (2003:2) sebagai berikut : 3) Menurut C. N Cooley (1902) menyatakan bahwa ―The leader is always the nucleus or tendency, and n the otther hand, all social movement, closely examined will be found to concist of tendencies having such nucleus. (Maksudnya, pemimpin itu selalu merupakan titik pusat dan suatu kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau 94 diamati secara cermat akan ditemukan kecenderungan yang memiliki titik pusat ). ― 4) Menurut Ordway (1929) : Leadership as a combination of traits which enables on individual to induce others to accomplish a given task (Maksudnya, kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya). 5) Menurut G. U Cleeton dan C. W. Mason (1934) Leadership indicates the ability to influence men and secuier result trough emotional appeals rather than though the exercise of authority. (Maksudnya, kepemimpinan menunjukkan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui himbauan emosional dan ini lebih baik dibandingkan melalui penggunaan kekuasaan). 6) Menurut P. Pigors (1935) : Leadership is a process of mutual stimulation which bt the successful interplay of individual differencess, controls human energy in the pursuitf common cause. (Maksudnya kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dan perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama). 7) Menurut Lexie M. Giroth (116:2004) : ―Kepemimpinan adalah kiat yang berupa kemampuan seseorang kepala dalam berusaha mencapai tujuan organisasi melalui dirinya sendiri ―. Dalam bukunya yang berjudul Pemimpin 95 dan Kepemimpinan, Kartini Kartono (2003:48) mengemukakan mengenai kepemimpinan itu adalah sebagai berikut : a) Kepemimpinan itu spesifik khas, diperlukan bagi situasi khusus sebab dalam kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dan juga punya tujuan tertentu serta peralatan khusus. b) Pada umumnya pemimpin itu juga memiliki sifat superior, melebihi kawan-kawan lainnya atau melebihi para pengikutnya. Paling sedikit dia harus memiliki superioritas dalam satu atau dua kemampuan/ keahlihan, sehingga kepemimpinannya bisa berwibawa. 8) Menurut Kartini Kartono (2003:3) mengemukakan bahwa seorang pemimpin dapat dipahami sebagai : Sebagai pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan disuatu bidang, sehingga dia akan mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Jadi pemimpin itu seorang yang memiliki satu atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi (bakat yang dibawa sejak lahir), dan merupakan kebutuhan dan satu situasi/zamam, sehingga dia mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk menggairahkan dan membimbing bawahannya, dan mampu menggerakkan bawahannya ke arah tujuan tertentu. Menurut Pamudji (2001:16) : mengemukaan bahwa pemimpin berasal dari kata leadership, yang dalam pengertian mempunyai ciri sebagai berikut: 96 1) Kepemimpinan penekanannya mengarah kepada kemampuan individu yaitu kemampuan dari seorang pemimpin itu ; 2) Kepemimpinan adalah kualitas hubungan atau interaksi antar si pemimpin dan pengikut pada situasi tertentu ; 3) Kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada pada dirinya, baik kemampuan maupun kesanggupan untuk mencapai tujuan tertentu; 4) Kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si pemimpin walaupun akhirnya kepada tujuan organisasi ; dan 5) Kepemimpinan bersifat hubungan personal yang berpusat pada diri si pemimpin, pengikut dan situasi. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan seni seseorang yang memimpin orang atau kelompok dalam usaha mencapai tujuan organisasi /bersama atau bahkan tujuan pemimpin itu sendiri melalui proses kerja sama yang baik diantara keduanya. Menurut Robins (2002:24) mengatakan ada empat pendekatan terhadap teori kepemimpinan, diantaranya yaitu: Teori Atribusi Kepemimpinan, Teori Kepemimpinan Karismatik, Teori Kepemimpinan Visioner, dan Teori Kepemimpinan Transaksional versus Kepemimpinan Transformasional. Menurut teori atribusi kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan semata-mata suatu atribusi yang dibuat seorang bagi individu-individu lain. Sedangkan didalam teori kepemimpinan karismatik dimana para pengikut membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati 97 prilaku-prilaku tertentu. Selanjutnya dalam teori kepemimpinan visioner dimana pemimpin berkemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan suatu visi yang atraktif, terpecaya, realistik tentang masa depan suatu organisasi atau unit organisasi. Dalam kepemimpinan Transaksional dimana pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan aturan tugas, sedangkan dalam pemimpin transformasional dimana pemimpin memberikan pertimbangan dan ransangan intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki karisma. Mengingat besarnya arti kepemimpinan dalam organisasi, maka seorang pemimpin harus mampu dan dapat memainkan peranannya, pemimpin harus mampu menggali potensi-potensi yang ada pada dirinya dan memanfaatkannya didalam unit organisasi. Hal ini sesuai yang dikemukan oleh Henry Mintzberg bahwa ada tiga peran utama yang dimainkan oleh setiap menajer dimanapun letak hirarkinya, peran tersebut meliputi: Peran Hubungan Antar Pribadi (Interpersonal Rale), Peran yang Berhubungan dengan Informasi (Informational Role), dan Peran Pembuat Keputusan (Decisional Role) (lihat Thoha, 2001: 232240). Jadi seseorang baru dapat dikatakan pemimpin apabila ia dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan atau melakukan kegiatan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu meskipun tidak ada ikatanikatan yang formal dalam organisasi. Salah satu cara untuk menilai suksesnya atau gagalnya pemimpin dalam memimpin antara lain dapat dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat 98 dan kualitas/mutu prilakunya yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya. Sebagaimana yang dikemukan oleh Sugandha (1986:70) sebagai beikut : ―Seorang pemimpin memiliki sifat-sifat unggul sehingga mampu menempatkan diri pada posisinya secara efektif terhadap segala hubungan yang terjadi antaa sesama anggota atau antara kelompok. Masalah-masalah yang dihadapi serta kondisi dan situasi organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu dalam usaha mempengaruhi orang-orang yang dipimpin agar bersedia melaksanakan tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Tidak mustahil apabila tiap-tiap pemimpin mempunyai gaya atau cara tersendiri dalam memimpin atau mendorong bawahannya‖ . Adanya hubungan yang baik antara atasan dan bawahan dinilai merupakan keberhasilan dari pimpinan seperti yang dikemukan oleh Demock dan Koeng (dalam Siagian,1983:15) mengatakan bahwa hubungan antara manusia (human relation) dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Mengetahui hubungan tugasnya 2) Peka terhadap perubahan lingkungan 3) Melakukan ―human relation‖. 4) Melakukan hubungan kerja (komunikasi) dengan baik kedalam dan keluar. 5) Melakukan koordinasi 6) Mengambil keputusan 7) Mengadakan hubungan dengan masyarakat. 99 Dalam menjelaskan sifat kepemimpinan, Davis (dalam Thoha, 2001) juga menjelaskan empat sifat umum yang dimiliki oleh pemimpin dalam kepemimpinannya yakni : 1) Kecerdasan, yakni tingkat kecerdasan yang lebih tinggi jika dibandingka dengan bawahannya 2) Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, yakni tingkat emosi yang stabil dan mempunyai perhatian yang luas terhadap aktifitas sosial, mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. 3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi 4) Sikap hubungan kemanusian, yakni mau mengakui dan menghormati harga diri para pengikutnya dan mau berpihak kepada mereka. Dari uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinir seluruh aktifitas kelompok suatu organisasi, terlebih organisasi birokrasi Pemerintahan dalam pengembangan sumber daya manusia yang lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Dari luasnya cakupan tentang pengertian kepemimpinan di dalam organisasi, maka tidak lepas dari gaya yang dapat ditunjukkan oleh sipemimpin. Karena berhasil dan tidanya sebuah organisasi dirasa sangat tergantung dari gaya kepemimpinan seseorang dalam memimpin. Secara umum gaya dari kepemimpinan dapat digolongkan kedalam dua kategori, yaitu gaya kepemimpinan otokratis dan gaya demokratis. Gaya 100 Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan otokritas, sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitakan dengan kekuatan personal dan keikut sertaan para pengikutnya dalam proses pemecahaan masalah dan pengambilan keputusan (Thoha,2001: 265-166). Lebih lanjut Thoha (2002) membagi model gaya ini menjadi dua yakni gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya yang efektif dibagi menjadi empat yaitu : 1) Eksekutif, yaitu memberikan perhatian kepada tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja, biasanya gaya ini disebut dengan gaya motivator yang baik, mau menetapkan standar kerja yang tinggi, mengenal perbedaan antar individu, dan keinginan mempergunakan kerja tim dalam menajemen. 2) Pencinta pengembangan (developer), yakni memberikan perhatian yang maksimum terhadap hubungan kerja, dan perhatian minimum terhadap tugas-tugas pekerjaan 3) Otokratis yang baik hati (Benevolent autocrat), yakni memberikan perhatian maksimum kepada tugas, dan perhatian minimum terhadap hubungan kerja 4) Birokrat, yakni gaya yang memberikan perhatian yang minimum baik terhadap tugas maupun terhadap hubungan kerja. Pada gaya ini pemimpin sangat tertarik kepada peraturan-peraturan dan menginginkan memeliharanya dan mengontrol situasi secara teliti. Selanjutnya gaya yang tidak efektif dalam kepemiminan dapat dilihat antara lain: 101 1) Pencinta kompromi (Compromiser), yakni gaya yang memberikan perhatian yang besar terhadap tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi. 2) Missionari, yakni gaya yang memberikan penekanan yang maksimum pada orangorang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian yang minimum terhdapat prilaku yang tidak sesuai. 3) Otokrat, gaya seperti ini tidak mempunya kepercayaan kepada orang lain, tidak menyenangkan dan hanya tertarik kepada jenis pekerjaan yang segera selesai 4) Lari dari tugas (Deserter), gaya yang sama sekali tidak memberika perhatian baik kepada tugas maupun pada hubungan kerja, pemimpin seperti ini hanya bersifat pasif. Dalam menjelaskan gaya pemimpin dalam organisasi, maka tidak lepas dari prilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin itu sendiri. Untuk itu (Thoha,2001:178) menjelaskan dua hal besar prilaku yang dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahannya yakni; prilaku mengarahkan dan prilaku mendukung. Prilaku mengarahkan dapat dirumuskan sebagai sejauhmana seorang pemimpin melibatkan kedalam komunikasi satu arah, sedangkan prilaku mendukung adalah sejauhmana seorang pemimpin melibatkan dirinya dalam komunikasi dua arah, misanya mendengar, menyediakan dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan para pengikut dalam pengambilan keputusan. 102 Dari uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan dari seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinir seluruh aktifitas unit organisasi pemerintahan serta mengarahkan pegawai dalam melaksanakan aktifitasnya, sehingga pada akhirnya dapat pula menciptakan dan/atau menghambat profesionalisme dari sumber daya aparatur dalam organiasasi itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Kartono (2002:81) mengatakan bahwa ―Fungsi kepemimpinan ialah : memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik; memberikan supervisi/pengawasan yang efesien, dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan‖. Tentu, semua pimpinan birokrasi harus menjadi pemimpin menuju ke arah puncak itu. Keti ka pemimpin sudah menyadarinya,ia serta merta perlu untuk menerjemahkannya dalam gagasan dan tinndakannya sehari-hari. Sekaligus, ia harus merasa bahwa iaperlu mendorong staf/bawahannya untuk juga menjadi agen-agen perubahan. Ada empat hal penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin30. Bila keempat hal ini dimiliki, pemimpin akan men dapat kan kekuatan dari dalam diri untuk menjadi agen perubahan. Juga, ia akan memperoleh dukungan dari staf dan kolega, termasuk klien dalam menyelesaikan tugas yang diemban. Pertama, seorang pemimpin sebagai agen perubahan harus memiliki keyakinan bahwa ia 30 Ir. Azwar Abubakar Pemimpin adalah agen perubahan, dalam Pemimpin & Reformasi Birokrasi , cetakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi2013 : XVII. 103 mampu menjadi penggerak sekaligus pendorong pemecahan masalah yang dihadapi. Dalam konteks birokrasi, pemimpin seperti ini yakin bahwa instansinya lah yang mampu mengatasi persoalan dan melakukan perubahan, karena instansinya lah pemilik negeri ini. Kedua, pemimpin sebagai agen perubahan senantiasa memberikan keteladanan bagi staf/bawahan. Keteladan juga berarti konsekuen dan mau memberikan pengorbanan untuk kepenti ngan yang lebih besar. Keteladanan ini perlu datang dari dalam diri pemimpin. Bila pemimpin telah menjadi teladan, dipasti kan sebagian atau bahkan semua staf terilhami untuk mengikuti perilaku yang baik itu. Jika pemimpin menjadi teladan dari perwujudan sikap professional, berintegritas dan akuntabel, staf atau bawahan akan malu untuk berti ndak berlawanan dengan sikap yang ingin dianut. Tanpa contoh yang baik, kepemimpinan tak akan mungkin berhasil. Ketiga, pemimpin sebagai agen perubahan itu juga bekerja lebih keras daripada staf/bawahan. Dia bekerja sepenuh hati . Salah satu hal yang harus dilakukan adalah mendorong seti ap staf/bawahan untuk selalu keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan bekerja dalam zona persaingan (competi ti ve zone). Sebab, pemimpin yang bekerja keras dalam zona persaingan pasti akan selalu menghasilkan inovasi dan prakarsa: baik yang lebih mempertajam kebijakan/program lama, maupun menghasilkan sesuatu yang memang baru dan menjawab kebutuhan. Keempat, tentu saja itu pemimpin yang berorientasi pada perubahan senanti asa konsisten melakukan semua hal yang baik. Ia tetap bersemangat melakukannya di awal, tengah maupun akhir proses. 104 Semua pimpinan harus berniat dan yakin mampu melakukan yang terbaik, meski di masa lalu ia belum memiliki track record yang baik dalam memimpin. Sebab, tak semua pemimpin itu lahir sebagai orang baik. 1. Sifat-sifat Kepemimpinan Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas /mutu perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat : 1. Energi jasmani dan mental (Physical and nervous energy) 2. Kesadaran tujuan dan arah (A sense of purpose and direction) 3. Antusiasme (entusiasme) 4. Keramahan dan kecintaan (friendliness and direction) 5. Integritas ( intergrity, keutuhan, kejujuran, ketulusan ) 6. Penguasaan teknis ( technical mastery ) 7. Ketegasan dalam mengambil keputusan ( decisveness ) 8. Kecerdasan ( intelligence ) 9. Keterampilan mengajar ( teaching skill ) 10. Kepercayaan ( fait ) Lain halnya dengan Indarto (2003:8) yang mengutarakan tentang delapan pedoman bersikap dan bertingkah laku yang sebaiknya dianut oleh seorang pemimpin yang diambil dan ajarkan tentang kepemimpinan, disimbolkan oleh watak (Brata) dan delapan (Asta) benda-benda atau komponen alam raya, yaitu : 105 1) Watak Matahari, Matahari yang bersifat panas dan penuh energi memberi saran hidup. Artinya seorang pemimpin harus bisa memberi semangat, memberi energi dan memberi kehidupan yang layak pada setiap anak buahnya. 2) Watak Bulan, Bulan mempunyai wujud yang indah dan menerangi setiap gelapnya malam. Artinya seorang pemimpin harus bisa menyenangkan dan menerangi anak buahnya. 3) Watak Bintan, Bintang menjadi hiasan di waktu malam dan menjadi kompas bagi yang kehilangan arah. Artinya seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan dan pedoman bagi anak buahnya. 4) Watak Angin, Bersifat mengisi setiap ruangan yang kosong. Artinya seorang pemimpin harus bisa menempatkan diri atau mau turun ke lapangan untuk menyelami kehidupan anak buahnya. 5) Watak Mendung, Bersifat wibawa dan saat berubah menjadi hujan dapat menghidupkan segala yang tumbuh. Artinya seorang pemimpin harus berwibawa tetapi dalam tindakan harus mempunyai manfaat bagi orang lain. 6) Watak Api, Bersifat tegak dan sanggup membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Artinya seorang pemimpin harus bertindak adil, mempunyai prinsip tetap dan tegas tanpa harus pandang bulu. 7) Watak Samudera, Bersifat luas dan rata. Artinya seorang pemimpin harus punya pandangan luas, sanggup menerima persoalan dan tidak boleh membenci seseorang. 106 8) Watak Bumi, mempunyai sifat sentosa dan suci. Artinya seorang pemimpin harus mempunyai budi pekerti yang baik, jujur, dan mau memberi kepada siapa saja yang telah berjasa. Birokrasi pemerintahan sebagai mencakup ujung tombak berbagai pelaksana pelayanan program-program birokrasi pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri. 2. Teknik Kepemimpinan Masalah kepemimpinan selalu memberikan kesan dan daya tarik yang kuat bagi setiap orang yang membahasnya lebih dalam. Berhasilnya atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tersebut, banyak tergantung pada cara-cara yang dipergunakan oleh pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Tumbuh kembangnya sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan seorang pemimpin dalam memanajemen seluruh unsur dalam organisasi itu. Bagian yang paling penting dalam sebuah organisasi adalah manusia selaku sumber daya utama. 107 Dalam organisasi inilah dibutuhkan kepemimpinan yang baik guna menggerakkan dan mengarahkan sumber daya manusia agar bekerja secara maksimal meskipun naluri daya nalar dan tingkat sensitifitas manusia tersebut sangat berbeda-beda. Dalam menggerakkan sumber daya manusia dibutuhkan teknik kepemimpinan yang sesuai dengan keadaan. Adapun teknik kepemimpinan menurut Pamudji 2001: 114 adalah sebagai berikut: Adapun teknik-teknik kepemimpinan menurut Pamudji yaitu: 1) Teknik Pematangan atau Penyiapan Pengikut Teknik ini dapat berupa teknik penerangan maupun propaganda. Teknik penerangan ini dimaksudkan untuk memberikan keterangan yang jelas dan faktual kepada orang-orang, sehingga mereka dapat memiliki keterangan yang jelas dan dalam mengenai sesuatu hal yang menyebabkan timbulnya kemauan untuk mengikuti pemimpin sesuai dengan rasa, hati dan akal mereka. Hal ini berbeda dengan teknik propaganda yang berusaha untuk memaksakan kehendak atau keinginan pemimpin, bahkan kadang-kadang bagi pengikutnya tidak ada pilihan lain, dengan menggunakan ancamanancaman hukuman (sanksi-sanksi). 2) Teknik Human Relations Proses atau rangkaian kegiatan memotivasi orang, yaitu keseluruhan proses pemberian motif (dorongan) agar orang mau bergerak. Dalam hal ini yang dapat dijadikan motif yaitu pemenuhan kebutuhan yang meliputi kebutuhan fisik (sandang, pangan, dan papan) serta kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan 108 untuk diikut sertakan dan lain-lain. Dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan pemimpin tersebut yang menyebabkan diharapkan dapat orang-orang memenuhi bersedia mengikuti kebutuhan-kebutuhan tersebut. 3) Teknik menjadi teladan Pemberian contoh yang baik dari pemimpin agar para bawahan dapat mengikuti sikapnya yang baik dalam bertindak. Dengan memberikan contoh- contoh yang baik, diharapkan orang- orang yang digerakkan mau mengikuti apa yang dilihat. hakekat dari pemberian contoh ini diwujudkan dalam dua aspek, yaitu aspek negatif dalam bentuk larangan- larangan atau pantangan- pantangan dan aspek positif dalam bentuk anjurananjuran atau keharusan- keharusan berbuat. 4) Teknik Persuasi dan Pemberian Perintah Teknik persuasif atau ajakan menunjukkan kepada suatu suasana dimana antara kedudukan pimpinan dengan bawahan tidak terdapat batasanbatasan yang jelas, sehingga pemimpin tidak dapat menggunakan kekuatan dan kekuasaannya, sedangkan teknik pemberian perintah yaitu menyuruh orang yang diberi perintah untuk mematuhi yang memberi perintah melakukan sesuatu. Ketaatan terhadap perintah disebabkan karena wibawa pemimpin yang timbul karena pemimpin memiliki kelebihan- kelebihan disamping pemimpin tersebut diterima sebagai bagian dari mereka, dan mendapat kepercayaan juga karena adanya rasa patuh atas dasar hukum di kalangan pengikut. 109 5) Teknik Penggunaan Sistem Komunikasi yang cocok Teknik penggunaan sistem komunikasi yang cocok yaitu menyampaikan suatu maksud atau keinginan kepada pihak lain baik dalam bentuk penerangan, persuasi, perintah dan sebagainya. dalam hal ini yang terpenting bahwa apa yang diinginkan pimpinan dalam memberikan perintah dapat dipahami dengan baik oleh bawahan, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam melaksanakan tugas. Biasanya komunikasi ini bersifat dua arah, yaitu dari pimpinan ke bawahan yang berisi perintah- perinyah atau informasi- informasi dan dari bawahan ke atasan yang berisikan laporanlaporan dan saran- saran. 6) Teknik Penyediaan Fasilitas- Fasilitas Jika sekelompok orang sudah siap untuk mengikuti ajakan pemimpin maka orang- orang tersebut harus diberi fasilitas- fasilitas dan kemudahankemudahan. Adapun yang dimaksud dengan fasilitas dan kemudahan di sini adalah: a. Kecakapan, yang dapat diberikan melalui pendidikan dan pelatihan. b. Uang, biasanya disediakan dalam anggaran belanja. c. Waktu, mutlak diperlukan untuk melakukan sesuatu walaupun tersedia fasilitas- fasilitas lainnya sedangkan waktu selalu terbatas. d. Perlengkapan keja. e. Perangsang, adalah sesuatu untuk menarik sehingga dapat menimbulkan kegairahan atau keinginan untuk memilikinya atau mendapatkannya. hal ini dapat berupa materi seperti penghasilan 110 tambahan dan dapat berupa non materi berupa kebanggaan dan kepuasan. Ada dua hal yang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahan, yaitu perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Pamudji memberikan gambaran tentang gaya Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia yaitu sebagai berikut: Gaya kepemimpinan adalah berbicara tentang bagaimana pemimpin menjalankan tugas kepemimpinanannya. Misalnya gaya yang digunakan dalam merencanakan, merumuskan, dan menyampaikan perintah-perintah/ajakan-ajakan kepada yang diperintah. Gaya kepemimpinan pemerintahan sangat dipengaruhi faham-faham yang dianut mengenai kekuasaan-kekuasaan dan wewenang sikap mana yang diambil terhadap hak dan martabat manusia. Setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing tidak semuanya sama. Cara bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan akan menentukan gaya kepemimpinan dapat dibedakan menjadi : 1) Gaya motivasi, yaitu pemimpin dalam menggerakkan orang-orang dengan mempergunakan motivasi baik yang berupa imbalan ekonomis, dengan memberikan hadiah-hadiah (reward), jadi bersifat positif, maupun yang berupa ancaman hukuman (punish), jadi bersifat negatif. 2) Gaya kekuasan, yaitu pemimpin yang cenderung, menggunakan kekuasaan untuk menggerakkan orang-orang. 3) Gaya pengawasan, yaitu kepemimpinan yang dilandasi pada perhatian seorang pemimpin terhadap perilaku kelompok. Dalam hal ini gaya pengawasan dibedakan antara lain : 111 a) Berorientasi pada pegawai, pemimpin selalu memperhatikan anak buahnya sebagai manusia yang bermartabat. b) Berorientasi pada produksi, pemimpin dalam memperhatikan proses produksi serta metode-metodenya. Situasi dan kondisi yang berkembang di dalam kelompok atau masyarakat sangat mempengaruhi tipe kepemimpinan yang akan diterapkan. Tentunya hal ini menjadi persoalan yang sangat penting. Apabila tipe kepemimpinan yang diterapkan tepat sasaran maka seorang pemimpin akan diterima dikalangan kelompoknya, sebaliknya bila ia gunakan tipe yang berlawanan dengan kelompok atau masyarakat tersebut, maka akan sulit untuk dapat sepaham dengan bawahannya. Dalam bukunya Pemimpin dan Kepemimpinan, Kartini Kartono (2003:65) mengatakan bahwa ada kelompok sarjana lain yang membagi tipe Kepemimpinan sebagai berikut : 1). Tipe Kharismatik Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa, untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. 2. Tipe Paternalistis dan Materialistis. Dalam tipe ini pemimpin bersifat kebapakan. Ia menganggap para bawahnya sebagai manusia yang belum dewasa atau anaknya sendiri yang perlu 112 dikembangkan, jarang memberi kesempatan untuk timbulnya inisiatif dari bawah, bahkan dalam tipe materialistis terlalu overprotective (terlalu melindungi). 3. Tipe Militeris Hal yang paling menonjol dan tipe ini adalah sikap seorang pemimpin yang sok kemiliter-militeran, sangat menyenangi formalitas, garis perintahnya bersifat sistem komando, atau komunikasi satu arah, disiplin yang kaku dan tidak suka menerima kritikan dari bawahannya. 4. Tipe Otokratis Berasal dari kata autos yaitu sendiri, kratos yaitu kekuasaan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut yaitu pemimpin tunggal (one man show), jauh dan anggota kelompoknya/ eksklusivisme. Yang paling disukai adalah tipe pegawai dan buruh ―hamba nan setia―. 5. Tipe Lessez Faire. Yaitu pemimpin yang lebih sebagai simbol seluruh pekerjaan dan tanggung jawab dilakukan oleh bawahannya sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya kedudukan diperoleh dengan cara menyogok, penyuapan atau berkat sistem nepotisme. 6. Tipe Populist. Kepemimpinan seperti ini mengutamakan penghidupan (kembali) nasionalisme, berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional dan kurang mempercayai dukungan luar negeri. 7. Tipe Administratif dan Eksekutif. 113 Kepemimpinan ini adalah tipe kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya terdiri dari para tenokrat dan administrator-administrator yang mampu menyelenggarakan dinamika modernisasi dan pembangunan. 8. Tipe Demokratis Kepemimpinan ini berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya, terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik, kekuatannya terdapat pada partisipasi aktif dan setiap warga kelompoknya. BAB IV PATOLOGI BIROKRASI A. Hakekat Patologi Birokrasi Istilah patologi asal mulanya dikenal dalam dunia ilmu kedokteran atau ilmu kesehatan. Pada perkembangan selanjutnya istilah ini juga kemudian digunakan 114 untuk ilmu lain, seperti patologi sosial, patologi birokrasi, patologi administrasi dan sebagainya. Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti ―sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.‖ Red Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape disebabkan adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para birokrat terlalu ―patuh‖ pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas, pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya. Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi. Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama, administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas. Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Keempat, ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di 115 negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah. Apakah yang disebut dengan patologi? Sebagai bahan pertimbangan berpikir marilah kita mengambil definisi patologi sosial oleh Kartini Kartono yakni ―semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal‖. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau berserikat yang bertentangan dengan moralitas terhadap komunitas masyarakat, maka lahirlah istilah penyakit sosial, misalnya kejahatan, kemiskinan, pelacuran, perjudian dan sebagainya yang dapat menghancurkan martabat seseorang atau kelompok. Jadi patologi administrasi dapat pula kita artikan sebagai sesuatu keadaan dimana manusia sebagai unsur utama pelaku administrasi melakukan kerja sama bukan untuk pemenuhan kebutuhan bersama tetapi untuk memenuhi kebutuhan pribadi-pribadi atau kelompok dengan mengorbankan orang lain. Fenomena serangan penyakit atau patologi administrasi khususnya di Indonesia sudah hampir merata, hampir diseluruh jenis dan tingkat birokrasi telah dilanda penyakit tersebut bahkan sampai di tingkat pelayanan administrasi yang paling bawah sekalipun seperti sekolah, Rukun Tetangga dan Rukun Warga pun 116 tak luput dari dasyatnya penyebaran patologi administrasi.Oleh karena itu adanya patologi administrasi perlu dikenali untuk dapat menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Patologi birokrasi merupakan penyakit atau bentuk prilaku aparat yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan atau ketentuan-ketentuan perundangan serta norma-norma yang berlaku. Apabila ditelusuri lebih jauh, kategori patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian31, bersumber pada lima masalah pokok. 1) persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, sikap sombong, nepotisme, kedengkian, xenophobia, irasional, tidak adil, dan lain-lain. 2) rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, ketidaktelitian, rasa puas diri, kebingungan, raguragu, stagnasi, pegawai sering berbuat kesalahan, dan lain sebagainya. 3) Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ''penggemukan'' pembiayaan, menerima sogok, penipuan, kleptokrasi, korupsi, sabotase, krimonalisme, dan lain sebagainya. 4) Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, 31 seperti: sewenang-wenang, dramatisasi, kaku, red tape, Siagian, Sondang P, Patologi Birokrasi : Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghala Indonesia, 1994. 117 mengutamakan kepentingan sendiri, tokenisme, tidak sopan, tidak peka pura-pura sibuk, diskriminatif, dan lain-lain. 5) Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, sasaran yang tidak jelas, miskomunikasi, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, eksploitasi, ekstorsi, pilih kasih, gemuk pegawai, dan lain sebagainya. Adapun ruang lingkup patologi birokrasi menurut terminologi Smith32 berkenaan dengan kinerja yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar (meskipun menurut Smith, keduanya kabur dan sulit untuk dipisahkan), yakni: a. Disfunctions of Bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi secara kelembagaan yang jelek sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi. b. Mal-Administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada dalam birokrasi. Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan bersama dengan sebaik-baiknya. Solusi dari 32 Smith, B. C., Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books, Sussex. 1988. 118 Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Hal ini dikarenakan setiap elemen baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam berjalannya pemerintahan yang baik. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu; pertama perlu adanya reformasi birokrasi yang global. Artinya reformasi birokrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, bukan hanya mengganti papan nama di depan kantor saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja, tetapi juga melakukan reformasi pada hal yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, sekolah moral, dan merubah cara pandang birokrat terhadap dirinya dan institusi bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara : (1) kepemimpinan yang adil dan kuat (2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik (3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi. 119 Solusi yang Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin berani untuk menyeleweng dari hal yang semestinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Keempat, hal yang masih ada hubungannya denga ketiga faktor di atas, yakni dengan menegakkan Good Governance. Meskipun konsep governance masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan, namun akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah membuat beberapa kalangan menekan untuk segera diterapkannya good governance concept. B. Prilaku Birokrasi Banyak para ahli yang memberikan batasan mengenai perilaku. Namun demikian, perilaku manusia pada dasarnya keseluruhan dari aktivitas. Pendapat yang sama terbentuk setelah melewati dikemukakan oleh Hersey33 bahwa perilaku pada dasarnya berarientasi tujuan. Artinya, perilaku orang pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan tersebut tidak selamanya diketahui secara sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada pada alam sadar mereka. 33 Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 15 120 Menurut Davis34 bahwa ―Perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi‖. Perilaku organisasi adalah sarana manusia bagi keuntungan manusia. Perilaku oprganisasi dapat diterapkan secara luas dalam perilaku orang-orang di semua jenis organisasi, seperti bisnis, pemerintahan, kemasyarakatan, sekolah dan organisasi jasa lainnya. Apapun organisasi itu, ada kebutuhan untuk untuk memenuhi perilaku manusia, karenanya perilaku manusia dalam organisasi agaknya tidak dapat diperkirakan seperti yang kita ketahui sekarang. Perilaku itu tidak dapat diduga karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang terkandung dalam diri manusia. Lebih lanjut Ndraha35 (1997 : 34) mengemukakan bahwa Studi tentang perilaku organisasi bermaksud mengidentifikasi cara pembentukan perilaku berorganisai (organisasi behavior), yaitu perilaku yang berdasarkan kesadaran akan hak dan keawajiban, kebebasan atau kewenangan dan tanggung jawab, baik pribadi maupun kelompok. Dengan demikian, pada prinsipnya perilaku manusia tampak dalam berbagai dimensi. Jika aktivitasnya secara individu maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku individu. Sebaliknya jika seseorang tampil dan berada dalam kelompok maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku kelompok. Jika seseorang hidup dalam lingkungan sosial kemasyarakatan, maka perilaku yang diragakan adalah perilaku sosial. Jika seseorang warga organisai, maka perilaku yang diragakan adalah perilaku organisasi. Perilaku adalah fase peragaan terakhir 34 35 Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 5 Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997 : 34 121 atau akibat dari suatu siklus aktivitas pemenuhan kebutuhan, kepentingan, motivasi dan sikap tertentu. Menurut Thoha36 perilaku birokrasi pada ―hakekatnya merupakan hasil interkasi birokrasi sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya‖. Perilaku birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai ―patologi birokrasi‖ atau gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Kesulitan yang timbul bahwa secara teoritis tidaklah mudah membedakan dan menetapkan batas antara ―perilaku‖ yang telah membudaya dengan perilaku menyimpang yang berulang-ulang atau berlangsung dalam waktu cukup lama. Dalam kaitan dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial dalam pelayanan publik. Perilaku manusia dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Diperjelas oleh Thoha37 bahwa fungsi pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pelayanan publik yang dilakukan itu dipengaruhi oleh perilaku birokrasi pemerintahan yang digambarkan dalam paradigma sebagai berikut : Gambar 3 Perilaku Birokrasi Pemerintahan Karakteristik Individu/aparat 1. Kemampuan Fisiologis (fisik dan Mental) 2. Kemampuan Psikologis (persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi 3. Kemampuan lingkungan (keluarga, 36 Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 138 kelas sosial dan kebudayaan 37 Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001. 122 Perilaku Birokrasi Pemerintahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Karakteristik Birokrasi Struktur dan hirarki kekuasaan Pembagian tugas dan wewenang Sistem dan prosedur formal Hubungan Impersonal Sistem karir dan promosi Sistem penggajian Manajemen dan kepemimpinan Komunikasi, koordinasi dan integrasi Sumber: Supriatna (1997 : 108) Gambaran itu mengungkapkan bahwa fungsi pemerintahan dan pembangunan dalam melayani kepentingan publik dipengaruhi oleh perilaku birokrasi pemerintahan. C. Korupsi Korupsi merupakan masalah seharusnya menjadi perhatian semua orang. Korupsi dapat terjadi pada setiap elemen bernegara dan bermasyarakat di seluruh belahan bumi, tanpa memandang apakah itu negara demokratis maupun negara otoriter. Setiap bangsa mengakui bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tatanan negara. Pada akhir 2013, Transparancy Internasional38 mempublikasikan bahwa Somalia, Korea Utara dan Afghanistan meduduki peringkat skor terendah dari 177 negara, yang menandakan bahwa negara-negara tersebut merupakan Negara dengan tingkat korusi tertinggi. Indonesia berada pada peringkat 114, sementara 38 Transparency International, Corruption Perceptions index 2013, www.transparency.org 123 peringkat skor Negara terbersih terdiri atas Negara Denmark dan Selandia Baru. Dalam laporannya tersebut juga menyajikan bahwa tidak ada Negara bersih secara sempurna, dan hampir sekitar 70% negara memiliki masalah korupsi yang serius. Setiap Negara di dunia pun berusaha untuk memberantas korupsi walaupun melalui cara dan pendekatan yang berbeda-beda seperti melalui jalur hukum, pendidikan, budaya dan lainnya. Indonesia pun telah gencar-gencarnya melakukan berbagai cara dan pendekatan untuk menekan tindak perilaku korupsi. Dalam dunia pendidikan misalnya, pemerintah Indonesia memasukkan materi Pendidikan Anti korupsi sebagai mata kuliah dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi. Kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mendidik masyarakat mengenai apa itu korupsi. Hal ini karena, kadang masyarakat tidak sadar dan tidak mengerti bahwa telah memberikan peluang terjadinya korupsi. Salah satunya contohnya, misalkan pemberian ―uang terima kasih” kepada aparat desa dalam pengurusan surat keterangan domisili, atau aparat kepolisian di polsek dalam pembuatan surat keterangan kehilangan. Walaupun kadang pemahaman beberapa masyarakat tersebut, bahwa pemberian itu sebenarnya dengan niat yang ikhlas karena rasa terima kasih. Namun di sisi lain pemberian tersebut dapat mendidik mental masyarakat lainnya untuk berbuat sama, dan pada pihak aparat menjadi terdidik untuk terus menerima gratifikasi. Maka dari itu, melalui pembahasan dalam buku ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman dan pendidikan mengenai apa itu korupsi dan bagaimana mengikis prilaku korupsi tersebut. Korupsi merupakan penyakit 124 sosial kompleks yang fenomenanya nyata (seperti munculnya orang kaya baru) tetapi diskriminatif dalam pengadilannya, bahkan terkadang sulit diadili, sehingga tidak pernah hilang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Menurut Allatas ada beberapa asumsi yang diajukan untuk kajian korupsi secara sosiologis yaitu harus berkembang menuju konseptualiasi yang lebih tinggi, mencakup data historis, pendekatan individual dan institusional, nilai kejujuran (di Asia) masih resisten terhadap korupsi, pranata pemberian (upeti, balas budi) tidak dinilai secara berlebihan sebagai penyebab korupsi selama ada praktek penyalahgunaan pranata lain, administrasi yang tidak efisien, bobot penyebab korupsi terkait dengan konfigurasi sosiologis dan historis dan korupsi merupakan proses kesinambungan yang akarnya terhujam oleh periode terdahulu sebelum modernisasi39. Korupsi merupakan tindakan tidak bermoral yang dilakukan untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain. Kadang korupsi dilakukan dengan sadar, dalam artian bahwa seseorang mengetahui bahwa tindakan itu melanggar hukum, nilai dan norma masyarakat, tapi tetap dilakukan secara sadar dan ataupun terpaksa. Kadang pula seseorang mengetahui terjadinya tindakan itu, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi (2011: 23) menjelaskan beberapa pengertian korupsi sebagai berikut bahwa Kata ―korupsi‖ berasal dari bahasa Latin ―corruptio‖ (Fockema Andrea : 1951) atau ―corruptus‖ (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa ―corruptio‖ 39 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES Jakarta, 1981: 76 125 berasal dari kata ―corrumpere‖, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah ―corruption, corrupt‖ (Inggris), ―corruption‖ (Perancis) dan ―corruptie/korruptie‖ (Belanda).‖ Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa latin ―corrumpere‖, ―corruptio‖ , ―corruptus‖. Kemudian menyesuaikan ke berbagai bahasa di dunia. Beberapa bangsa di dunia memiliki terminologi tersendiri mengenai korupsi. Di Indonesia kata Korup dalam kamus besar bahasa Indonesia , (2008, balai pustaka edisi keempat) diartikan busuk, palsu, suap. Dalam kamus hukum (2010: 19) mendefenisikan kata Korup sebagai “Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Muhammad Ali memberikan lain yang menyebutkan bahwa: 1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya; 2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan 3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut disimpulkan bahwa arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, palsu dan suap, berdasarkan hal tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut pelayanan atau aparat pemerintahan terkait fungsi dan jabatannya. 40 Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2011: 24) 126 Jeremy Pope (2008: 6) merumuskan beberapa situasi yang mudah mengundang korupsi yaitu: 1. suap diberikan untuk mendapatkan keuntungan yang langka, atau untuk menghindari biaya. 2. suap diberikan untuk mendapat keuntungan yang tidak langka, tetapi memerlukan kebijakan yang harus diputuskan oleh pejabat publik. 3. suap diberikan bukan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik, tetapi untuk mendapatkan layanan yang berkaitan dengan perolehan keuntungan. 4. suap diberikan untuk mencegah pihak lain mendapatkan dari keuntungan, atau membebankan biaya pada pihak lain. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memuat 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Dari ke 30 bentuk/jenis tersebut dapat di kelompokkan sebagai berikut: 41 1. Kerugian Keuangan Negara Perbuatan yang merugikan keuangan Negara seperti orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara 2. Suap menyuap 41 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Buku Panduan untuk memahami tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006 :15 127 Perbuatan suap menyuap contohnya yaitu: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada aparat dengan maksud supaya aparat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada aparat karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 3. Penggelapan dalam jabatan Penggelapan dalam jabatan dapat berbentuk seperti aparat atau orang selain aparat yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 4. Pemerasan Pemerasan yang dimaksud undang-undang ini seperti aparat yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan memberikan menyalahgunakan sesuatu, membayar, kekuasaannya atau menerima memaksa seseorang pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri atau aparat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. 5. Perbuatan curang 128 Yang di maksud perbuatan curang adalah seperti pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang. 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan Benturan kepentingan dalam pengadaan contohnya seperti perbuatan aparat baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 7. Gratifikasi Yang dimaksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik Dengan adanya bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi 129 yang memenuhi kriteria di atas, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada undang-undang. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik korupsi sebenarnya juga seringkali tanpa disadari ternyata telah dilakukan. Perbuatan merugikan keuangan negara tidak hanya berupa memalsukan harga barang dengan nilai kwitansi yang lebih tinggi dari harga yang sebenarnya tetapi perbuatan tidak mengambil atau memberikan lembaran tiket damri misalnya, juga dapat merugikan Negara, begitu pula pada karcis retribusi lainnya. Kadang masyarakat menganggap sepele dengan tidak mengindahkan karcis retribusi yang biasa tidak diberikan petugas penarik retribusi. Padahal dengan tidak mengambil karcis retribusi berarti memberikan peluang bagi petugas penarik retribusi untuk berbuat curang. Misalnya menjual kembali karcis teribusi yang sudah tersobek atau melaporkan hasil penarikan retribusi lebih kecil dari yang sebenarnya. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi yang sehari-hari terjadi tanpa kita sadari. Hal lainnya yang dapat dikelompokkan memenuhi unsur korupsi misalkan menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi atau masih menggunakan rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas, memberikan kwitansi hotel kosong pada pegawai negeri yang menginap, memberikan kwitansi pembelian ATK yang masih belum terisi nominal angka, menurunkan harga jual beli tanah agar tidak kena pajak yang tinggi dan berbagai kegiatan lainnya. 130 Ahli lainnya seperti Anwar Shah42 melihat korupsi ke dalam 4 (empat bentuk sebagai berikut: 1. Petty, administrative or bureaucratic corruption. Many corrupt acts are isolated transactions by individual public officials who abuse their office, for example, by demanding bribes and kickbacks, diverting public funds, or awarding favors in return for personal considerations. Such acts are often referred to as petty corruption even though, in the aggregate, a substantial amount of public resources may be involved. 2. Grand corruption. The theft or misuse of vast amounts of public resources by state officials—usually members of, or associated with, the political or administrative elite—constitutes grand corruption. 3. State or regulatory capture and influence peddling. Collusion by private actors with public officials or politicians for their mutual, private benefit is referred to as state capture. That is, the private sector ―captures‖ the state legislative, executive, and judicial apparatus for its own purposes. State capture coexists with the conventional (and opposite) view of corruption, in which public officials extort or otherwise exploit the private sector for private ends. 4. Patronage/paternalism and being a “team player”. Using official position to provide assistance to clients having the same geographic, ethnic and cultural origin so that they receive preferential treatment in their dealings with the public sector including public sector employment. Also providing the 42 Anwar Shah World Bank Policy Research Working Paper 3824, January 2006 : 4 131 same assistance on a quid pro quo basis to colleagues belonging to an informal network of friends and allies. Bentuk-bentuk korupsi yang dikemukakan di atas banyak terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Sadar atau tanpa sadar, kita kadang mengalami atau melakukan hal demikian. Istilah Petty, contohnya sering masyarakat alami dan rasakan ketika berurusan dengan aparat pemerintah untuk mengurus …, Grand corruption. …State or regulatory capture and influence peddling, Patronage/paternalism and being a ―team player. Bahasan tersebut di atas menjelaskan bahwa terminology korupsi berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Pengertian korupsi mulai dari hal yang sederhana seperti busuk,palsu dan suap hingga menjadi kompleks sehingga kadang tidak disadari telah melakukan korupsi. Berdasarkan berbagai pengertian dan istilah di atas dapat kita tarik alur pemikiran bahwa korupsi adalah perilaku melawan hukum dan menyimpang dari prosedur yang menimbulkan kerugian Negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, Ombudsman Republik Indonesia (2013 : 4) memberikan istilah lain yaitu Maladministrasi. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau mengabaikan kewajiban hukum dalam menyelenggarakan pelayanan public yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan 132 yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan. Betapa kesalnya masyarakat misalnya ketika mengurus Kartu Keluarga di kelurahan tapi pihak kelurahan tidak dapat memberikan pelayanan administrasi yang jelas dan tidak sesuai dengan peraturan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Kita sulit mengukur berapa besar kerugian materiil dan inmateriil masyarakat yang kecewa atas kurang profesionalnya pelayanan administrasi di suatu kantor kelurahan. Maladministrasi yang sering terjadi di tingkat kecil sampai tingkat pusat pemerintahan Indonesia sangat mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan. Dalam buku yang sama Ombusdman Republik Indonesia (2013: 10) membagi maladministrasi menjadi 10 tipe sebagai berikut: 1. Penundaan Berlarut 2. Tidak Memberikan Pelayanan 3. Tidak Kompeten 4. Penyalahgunaan Kewenangan 5. Permintaan imbalan uang/korupsi 6. Penyimpangan prosedur 7. Bertindak tidak layak dan tidak patut 8. Berpihak 9. Konflik Kepentingan 10. Diskriminasi 133 Tampaknya, upaya pemberantasan korupsi masih memerlukan nafas yang amat panjang. Soalnya, penyakit birokrasi yang satu ini sudah sedemikian jauh menerobos masuk dan menggerogoti tubuh negara. Bahkan terkesan telah mendarah daging dalam masyarakat kita. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang berdampak luas terhadap pembangunan dan terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat. Dalam konteks pembangunan, salah satu indikator yang cukup baik untuk melihat adanya praktik korupsi akan tercermin pada tingkat kebocoran anggaran pembangunan setiap tahunnya. Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang dengan tujuan untuk memperkaya diri, keluarga, kerabat dan golongan tertentu. Karena itu, masalah korupsi lebih berbahaya dari kemiskinan. Korupsi memang masih menjadi hantu di tengah kehidupan kita. Apalagi, perilaku korup itu dapat berbentuk transaksi politik dengan cara menjual kebijakan negara untuk kepentingan pribadi, kerabat serta kelompok tertentu. Di samping itu, korupsi dapat menghalangi terciptanya tatanan pemerintahan yang baik sebab tiga komponen yang dapat mendukung terwujudnya good governance seperti negara, rakyat dan sektor swasta dapat berjalan timpang. Untuk itu, agar supaya korupsi dapat dideteksi seawal mungkin dan jangan sampai berlarut-larut, maka kesetaraan dari tiga komponen good governance mutlak diperlukan. Artinya, mekanisme pemerintahan berada dalam posisi yang seimbang, selaras, kohesif dan kongruen. 134 Tentu saja, terciptanya keseimbangan dari ketiga komponen itu amat tergantung pada adanya kemauan baik untuk selalu berpegang pada ditegakkannya supremasi hukum secara konsekuen. Oleh sebab itu, aparat negara haruslah memiliki kemampuan profesional untuk bukan saja mempertahankan dan memacu pembangunan ekonomi serta menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan teknologi, tapi juga sekaligus harus mampu mendistribusikan output pembangunan secara adil dan merata serta mengentaskan keluarga miskin melalui strategi empowerment. Hanya saja, yang seringkali menjadi masalah adalah kualitas profesional apa yang diperlukan oleh aparat negara dalam melaksanakan fungsinya yang amat kompleks. Lagi pula, birokrasi begitu potensial sebagai tempat berkembang biaknya praktik korupsi karena sumber kekuasaan yang dimilikinya. Biasanya, di negara berkembang, birokrasi acapkali dianggap sebagai personifikasi negara yang memiliki hak monopoli informasi dan cenderung ditempatkan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki keahlian teknis untuk bekerja dalam masing-masing sektor yang digelutinya. Akibatnya, tindakan korupsi kerapkali terlindungi oleh jaket birokrasi sekalipun semua bentuk korupsi nyaris selalu dilakukan secara rahasia. Korupsi birokrasi memang lebih terjamin kerahasiannya sebab dibungkus oleh mekanisme kerja yang seolah-olah sah. Selain itu, korupsi birokrasi juga melibatkan penentu kebijakan publik sebagai aktor transaksi dan hak milik publik dianggap sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan. Lagi pula, atribut utama 135 birokrasi terletak pada loyalitas dan kemampuan melaksanakan apa yang diperintahkan atasan. Sementara itu, budaya patrionalisme dan patron-client menguasai hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen lain. Interaksi antara birokrasi dengan kekuatan ekonomi dapat mengubah substansi birokrasi menjadi komprador yang berkolusi dengan kekuatan ekonomi tadi untuk memperkaya diri. Meski begitu, salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kualitas enterpreneurial yang dapat menjembatani negara dan masyarakat. Adapun kompetensi birokrasi lain yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya mewadahi antara the state dan civil society. Hal ini tersirat baik dalam konsep good governance yang dianggap merupakan cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya bertanggung jawab pada publik. Masalahnya, birokrasi haruslah mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif. Dengan demikian tentu hal ini menuntut kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta merumuskannya dalam kebijakan, perencanaan dan mengimplementasikannya. Birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting. Pola perilaku birokrat terbentuk antara lain melalui keteladanan. Oleh karena itu, sikap elite amat menentukan sosok profesionalisme birokrasi. 136 Proses rekrutmen yang objektif, kondisi kerja yang kondusif dan pelatihan yang menggunakan metodik dan deduktif yang tepat merupakan wacana pembentukan profesionalisme yang efektif. Dalam pembentukan profesionalisme tentu memerlukan kontrol sosial dari masyarakat sipil. Jika tidak, lemahnya tanggung jawab birokrasi untuk melayani rakyat jelas berdampak pada kepentingan rakyat. Konsekuensinya, misi menuju sebuah pemerintahan hanya akan menambah kompleksitas persoalan dan bukannya memecahkannya. Oleh sebab itu, dalam pelayanan publik sudah saatnya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma, strategi dan orientasi yang selama ini hanya digerakkan oleh peraturan birokrasi menjadi strategi yang berfokus pada pelayanan publik. Dan upaya itu pasti memerlukan transformasi lembaga dan sebaiknya harus dimulai dengan transformasi personal. Ini berarti yang dibutuhkan dalam transformasi adalah penyusunan tujuan sistem layanan sebagai faktor pendorong perubahan. Sedangkan masalah moralitas memang abstrak jika dimaknai hanya sekadar sebagai etika efisiensi dan efektivitas layaknya yang ada di sektor privat. Namun sesungguhnya moralitas merupakan dasar yang sangat konkret jika pemahamannya kita arahkan pada sebuah konsep birokrasi yang manusiawi, yaitu tipe birokrasi yang menghargai hak rakyat secara penuh. Untuk mentransformasikan nilai-nilai moral tentu bukan sekadar membalikkan tangan tapi butuh sebuah proses dan kesungguhan. Birokrasi yang bermoral, berarti birokrasi yang meletakkan aspek pelayanan pada rakyat tanpa berusaha mengeksploitasinya ke dalam aspek yang amat urgen. 137 BAB V BIROKRASI INDONESIA DAN PROSES DEMOKRATISASI A. Birokrasi dan Partai Politik Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan setujuan terutama dibidang politik43, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama, yakni yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik- (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan mereka44. Lain halnya dengan Bambang Cipto yang mempunyai pandangan bahwa partai politik merupakan peralihan jangka panjang dari istilah fraksi yang jauh lebih tua umurnya, sifat peralihan ini menyebabkan proses pengakuan masyarakat politik terhadap keberadaan partai penuh dengan kesukaran dan rintangan45. Menurut Sumarno dan Yeni Lukiswara, Partai Politik merupakan sekelompok manusia yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi politik yang didasarkan pada suatu ideologi, dengan maksud untuk memperoleh atau merebut suatu kekuasaan didalam pemerintah. Jadi partai politik merupakan perantara 43 44 45 Prof.dr. Budiwinarno, MA, Sistem Politik Indonesia PT. Buku Kita 2007: 99 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet-XIX, 1993, :160 Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 :7 138 yang menghubungkan kekuatan-kekuatan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah46. Definisi lainnya dikemukakan oleh Cheppy Haricahyono, dalam bukunya ―ilmu politik dan perspektifnya‖ mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang secara bersama-sama menyetujui prinsip-prinsip tertentu untuk mengabdi dan melindungi kepntingan nasional47. Sedangkan menurut Deliar Noer, Partai politik merupakan himpunan orangorang yang se-ideologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang – orang yang se-ide, cita-cita dan kepentingan48. Jadi dapat di simpulkan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok orang berdasarkan persamaan kehendak dan kepentingan dan visi untuk memperjuangkan masyarakat, bangsa dan negara, melalui pemilihan umum. Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada saat ini menjadi wacana menarik untuk dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang diistilahkan oleh beberapa ahli yakni relasi antara ―cinta‖ dan ―benci‖ menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah ―dua sejoli‖ yang dianalogikan sedang ―berpacaran‖. Layaknya ―orang yang sedang berpacaran‖ akan selalu ada dua perasaan yang muncul silih berganti yaitu perasaan ―cinta ― dan ―benci‖. Di satu sisi mereka ingin selalu berdekatan dan bekerja sama, tetapi di sisi lain ingin saling menjauh dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini maka hubungan politik46 47 48 Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1992: 62 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991:192 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983: 209 139 birokrasi ini seperti ―dua sisi mata uang‖ yang tidak bisa dipisahkan (unseparated) tetapi berdiri sendiri (integrated). Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power). Politik merupakan sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara-cara tertantu. Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, logikanya setelah berkuasa dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain. Anggota DPR misalnya, ia dicalonkan oleh partainya sehingga ia duduk di legislatif, maka setelah ia menjabat sebagai legislator maka ia akan memasukkan kepentingan-kepentingan partainya, kepentingan pribadinya dan kepentingan constituentnya dalam setiap kebijakan yang dirumuskan oleh DPR. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini perubahan sistem partai politik dan pemilihan umum sangat dinamis. Hal ini wajar mengingat Indonesia sedang dalam masa transisi demokrasi. Masyarakatnya yang sangat plural dan menghendaki agar setiap masyarakat tersebut ada perwakilannya dalam menyalurkan aspirasi politik membuat banyak timbulnya berbagai partai politik di Indonesia. Partai politik yang timbul pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19 di Eropa Barat ini merupakan wujud pendobrakan tradisi kegiatan politik yang pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok dalam parlemen yang bersifat elitis dan dikuasai oleh kaum aristokrasi untuk mempertahankan kepentingan kaum bangsawan. Awal berdirinya partai politik adalah terjadinya kegiatan politik di luar parlemen dengan membentuk suatu panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara pendukungnya. Karena perlunya memperoleh dukungan dari 140 pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen yang sepaham dengan kepentingannya, maka dibentuklah partai politik. Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Jabatan-jbatan dalam suatu departemen di Indonesia terdiri dari jabatan politik (non-karier) dan jabatan birokrasi (karier). Implikasinya adalah, politisi-politisi yang memperoleh kekuasaan politik melalui pemilihan umum menempati jabatan politik sebagai pimpinan departemen, sedangkan jabatan di bawahnya seperi jabatan Sekjen, Dirjen dan Irjen dijabat oleh pegawai-pegawai profesioanal (birokrat karier). Oleh karena itu, perlu dibedakan natar jabatan politikdan jabatan birokrasi. Perbedaan jabatan politik dan jabatan birokrasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini; Tabel 3 Perbedaan antara Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi No 1 Variabel Cara pengangkatan 2 Masa jabatan 3 4 Jabatan politik Dipilih melalui pemilu Ditentukan (biasanya 5 tahun) Sifat jabatan Sewaktu-waktu bisa diberhentikan oleh partai politik melalui lembaga legislatif Pertanggungjawaban Bertanggung jawab kepada partai dan konstituent yang memilihnya melalui lembaga legislatif Jabatan Birokrasi Diangkat berdasarkan kualifikasi dan kompetensi tertentu Ditentukan oleh Baperjakat Dapat diberhentikan atau dinaikkan jabatan berdasarkan tim baperjakat Bertanggung jawab kepada secara struktural Politik Birokrasi indonesia berusaha untuk memberikan pengenalan dan pemahaman tentang konsep birokrasi, relasi antara birokrasi dengan elemen141 elemen dalam sistem politik, serta kinerja dan akuntabilitas birokrasi, termasuk di dalamnya berbagai bentuk penyelewengan yang mungkin dapat dilakukan oleh birokrasi, baik dalam konteks global atau dalam kasus Indonesia. Birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan publik dan bertanggungjawab terhadap rakyat lewat lembaga legislatif kadang menjadi lembaga yang tidak terkontrol karena berbagai kelebihan dan kekuatannya. Legislatif bahkan seringkali juga harus kehilangan kendali terhadap birokrasi karena sumber dayanya yang tidak mencukupi untuk mampu mengawasi kinerja birokrasi. Untuk itulah diperlukan lembaga legislatif yang kuat yang didukung dengan seperangkat peraturan yang tegas yang akan cukup membatasi gerak birokrasi. Selain itu partisipasi masyarakat serta voluntary sector dalam mengawasi kinerja birokrasi menjadi suatu hal yang mutlak. Birokrasi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari proses dan kegiatan politik. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang berprilaku dan bertindak Politik (consist of people acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Politik adalah identik dengan konflik dalam pemerintahan suatu negara. Salah satu kenyataan dasar dari kehidupan manusia bahwa orang hidup bersamasama tidak dalam isolasi satu sama lainnya. Salah satu faktor yang sering kali 142 menimbulkan perbedaan yang memunculkan konflik diantara orang dan kelompok orang adalah nilai (value) yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap oleh seseorang sangat penting dan sangat diharapkan (something one thinks is very important and desirable). Kepentingan politik dapat muncul dari nilai bagi seseorang atau kelompok orang yang bisa diperoleh atau bisa pula hilang dari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dihampir semua masyarakat, semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang dijalankan melalui mesin birokrasinya adalah merupakan cara yang terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul diantara orang secara individu dan orang secara kelompok-kelompok49. Partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depanya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan dan kesetaraan. Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggungjawab dalam berdemokrasi. Sebelum melangkah lebih jauh tentang penguraian fungsi partai politik, perlu diawali dengan pembahasan paling mendasar tentang mengapa harus ada partai politik dalam kehidupan 49 Albrow, Martin, Birokrasi. 1996, Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta, Tiara Wacana. 143 masyarakat. Selanjutnya sejarah perjalalan partai politik dibarat mengalami perubahan sedikit demi sediki. Partai partai tersebut bersandar pada suatu pandangan idiologis tertentu seperti sosialisme, Kristen democrat, dan sebagainya. Secara historiografis, ide dasar untuk membentuk partai politik sudah menunjukkkan indikasinya pada era renaissance. Mana kala kekuasaan para raja dikecam dan dimulai dibatasi, keinginan membentuk partai politik sudah mulai bermunculan. Terlebih lebih hak pilih bagi rakyat sudah diberiakan secara luas.Setelah wacana perluasan hak-hak politik bagi rakyat semakin meningkat dengan pesat itulah, partai politik seakan-akan telah lahir sendirinya. Apalagi, keterlibatan rakyat dalam proses yang ada pada waktu itu sudah dianggap sebagai suatu yang urgen dan medesak. Maka sebagai wujud interaksi antara pemerintah dan rakyat, diperlukan kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Eksistensi partai politik menjadi ukuran dalam sebuah sistem politik sebuah negara. Sistem politik dalam konteks yang lebih luas diibaratkan sebuah rumah yang menaungi berbagai lembaga dan menjalankan fungsi-fungsi politik. Dalam sistem politik inilah terdapat partai politik dan lembaga, seperti legislatif dan eksekutif. Secara teoritis peranan sistem politik menjadi faktor sangat menentukan bagi berfungsinya sistem kepartaian. Corak dan warna sistem politik akan mempengaruhi sistem kepartaian. Bahkan keduanya ada hubungan rasipokal yang saling mempengaruhi. Artinya, suatu corak sistem kepartaian sedikit banyak akan mempengaruhi corak sistem politik yang sedang berlangsung50. Berkaitan dengan 50 Arfin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 2002 :18 144 fungsi-fungsi yang melekat pada sistem politik, maka lewat partai-partai politiklah fungsi-fungsi itu dijalankan. Dalam infra struktur politik terdapat struktur-struktur politik atau lembagalembaga politik yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu demi berjalanya proses politik itu dapat berlangsung dengan baik, dapat dipahami jikalau melihatnya dari persfektif teoristis sistem politik suatu negara yakni dengan cara melakukan pendekatan yang disebut sebagai teori struktural fungsional teori ini bertitik tolak dari asumsi dasar, bahwa suatu sistem politik terdapat fungsi-fungsi yang harus demi keberlangsungan hidup sistem politik yang bersangkutan. Pendekatan teoritis ini memusatkan pada fungsi politik yang ada dalam sistem politik, selanjutnya telah struktur politik apa yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi yang dimaksud dalam sistem politik itu adalah infrastuktur politik seperti partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan.yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat sebagai kekuatan politik menjadi ukuran dalam sistem politk. Seperti partai partai politik, kendatipun kehadiranya dalam wacana ilmu politik masih relatif muda, baru diperkenalkan pada abad 19 di negara-negara Eropa, Inggris dan Prancis51. Sigmun neuman mengemukakan defenisi partai politik sebagai berikut partai politik adalah organisasi dari aktifis aktifis politik yang brusah untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar 51 Antonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fisip-Press, 2004: 107. 145 persaingan dengan sutu golongan-golongan lainya yang mempunyai pandangan berbeda52. Maurice duverger53 dalam bukunya yang terkenal political parties, menjelaskan klasifikasi sistem partai, yaitu Sistem Partai Tunggal (one party system) Sistim Dwi Partai (two party sistem) Sistem Multi Partai (multy party system). Analisa sistem kepartaian senantiasa tertuju pada berdasarkan system kepartaian berdasrkan atas tipologis numeric yang seccara statis dan traddisional membagi sitem kepartaianmenjadi (system satu partai) single partai system sistim dwi partai two patrtai system dan system multy partai multy partai system. Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern. Hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter sekalipun. Dalam hal ini partai politik mengorganisasi partisipasi politik. Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern. Hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter sekalipun. Dalam hal ini partai politik mengorganisasi partisipasi politik pertama sebagai sarana komunikasi politik. Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Ketiga, sarana rekrutmen politik, keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Undang-undang No 2 tahun 2011 tentang perubahan UU no. 2 Tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar 52 53 Arfin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 2002 :18 Miriam, Budiardjo. 2007: 167 146 kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara republik indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Sebuah sistem kepartaian yang kokoh dan mempunya kapasitas, akan melakukan setidaknya dua hal54 yaitu: 1) Melancarkan perluasan peran serta politik melalui jalur partai dan dengan demikian menguasai ataupun mengalihkan segala aktifitas politik anomik dan revolusioner 2) mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksud untuk mengurangi kadar tekanan terhadap sistem politik itu. Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu. Parameter ―jumlah partai politik‖ untuk menentukan tipe sisem partai politik pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954 dimana Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Dari definisi yang 54 Prof.dr. Budiwinarno, MA, Sistem Politik Indonesia PT. Buku Kita 2007: 99 147 diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita dengan mudah menentukan sistem partai politik di sebuah negara. Kalau di negara tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh atau satu partai politik yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa sistem tersebut adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua partai politik maka sistem partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di dalam negara tersebut tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan sebagai sistem multi partai. Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan secara lebih specifik apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk memenangkan atau berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and Mair (2008) dan Blau (2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu akan tetapi sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair menjelaskan bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu vertikal, horisontal dan fungsional. Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai politik dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam masyarakat pemilih (bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi horisontal ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu. Dimensi 148 fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi (nasional, regional, dan lokal). B. Pemilu Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam nkri berdasarkan pancasila dan uud 1945 rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin dan wakil rakyat merupakan makna dari indonesia sebagai negara yang demokratis dimana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran. Sebagai salah satu prasyarat dalam mencapai keadilan pemilu tersebut adalah melalui penyusunan kerangka hukum yang harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna ganda, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. 55 55 Veri Junaidi, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Partisipasi Dan Keterbukaan Publik Dalam Penyusunan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD Dan DPRD , Yayasan Perludem, Jakarta, 2013:iii 149 Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses memilih orang sebagai wakil masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi. Sistem ini masih dianggap sebagai salah satu metode terbaik dalam pergantian elit politik. Pemilu menjamin hak-hak politik masyarakat. Salah satu unsur penting dalam pemilu adalah partisipasi politik masyarakat dalam pemilu Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik. 56 Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan programprogramnya pada masa kampanye.[butuh rujukan] Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. 56 Arifin, Anwar. Pencitraan dalam politik, Jakarta: pustaka Indonesia, 2006 :.39 150 Pasal 126 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajibannya penyelenggara pemilu, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bantuan dan fasilitas tersebut berupa : 1) Penugasan personel pada sekretariat panwaslu Kabupaten/kota, ppk, panwaslu kecamatan dan Pps; 2) Penyediaan sarana ruangan sekretariat panwaslu Kabupaten/kota, ppk, panwaslu kecamatan dan Pps; 3) Pelaksanaan sosialisasi; 4) Kelancaran transportasi pengiriman logistik; 5) Monitoring kelancaran penyelenggaraan pemilu; 6) Kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan setelah ada permintaan Peran pemerintah dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu dengan tujuan: 1) Aktualisasi penyelenggaraan kehidupan bernegara berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dengan upaya memperbaiki penyelenggaraan Pemilu dengan proses penguatan dan pendalaman demokrasi serta upaya mewujudkan tata pemerintahan presidensial yang efektif. 2) Terciptanya derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang tinggi serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. 151 Polarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum, yaitu: perwakilan distrik/mayoritas (single member constituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional representation)57. 1) Sistem Distrik Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam system ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang endukung calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain58. Beberapa keunggulan dari sistim distrik59: a. Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. b. Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya system dwi partai. 57 58 59 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , jilid II, (Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI, 2006 ) hlm. 182 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet ke 6, Jakarta: Gramedia, 2013: 462 Miriam Budiardjo 2013 : 466-467 152 c. Karena kecilnya distrik, wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan distriknya. d. Bagi partai besar, system ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan parlemen e. Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi System distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut: a. Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas b. Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya c. System distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku. 2) Sistem Proporsional Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di 153 perwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara60. Pembagian kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol. Kelebihan/keuntungan sistem proporsional: a. System proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu b. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen Kelemahan/kerugian sistem proporsional: a. Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat pada bertembahnya jumlah partai b. Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan daftar calon. c. Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih)61 Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan 60 61 Jimly Asshiddiqie,2006 : 183 Miriam Budiardjo, 2013 : 469 154 calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar paropol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut62. 3) Gabungan system distrik dan system proporsional Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih dengan system distrik dan setengahnya lagi dengan system proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar system distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar system proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga diterapkan model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik pemilihan63. Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari system pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 62 63 Novi Hendra, Sistem Pemilihan Umum, https://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihanumum, akses tanggal 19 september 2013. Miriam Budiardjo, 2013: 472 155 pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya system proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI64. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai politik65. Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan system proporsional daftar terbuka. Pada emilu 2004, ada unsure distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan 64 65 Miriam Budiardjo, 2013: 474 Miriam Budiardjo, 2013: 475 156 suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain66. Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik, seperti pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu partai yang tidak mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika dalam sebuah dapil ada sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai yang sisa suaranya terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa efektif menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan presidensiil. Karena tidak berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak pemilu pertama, mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan system distrik dengan berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi. Model parliamentary threshold dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti pemilu memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu standar yang tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi parliamentary threshold juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil merasa dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika menggunakan system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan berjuang keras agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik. Dengan system ini tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang akan mengikuti pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring 66 Miriam Budiardjo, 2013: 488 157 suara di setiap distrik. Dengan beberapa kali pemilu saja system ini akan menghasilkan 2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat presidensiil berjalan secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua distrik atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan segera bergabung dengan partai yang besar. C. Pilkada Berdasarkan UU No. 32 Tahun 200467 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah (bupati, walikota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ternyata membawa kekecewaan masyarakat. Karena, pertama, politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, di mana kepentingan partai, bahkan kepentingan segelintir elit partai, kerap memanipulasi kepentingan masyarakat luas. Kedua, mekanisme pemilihan kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics, khususnya pada proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota DPRD. Ketiga, terjadi ‗pencopotan‘ dan/atau tindakan over lain dari para anggota DPRD terhadap 67 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah diganti dengan Undang-Undang 23 tahun 2014 namun Presiden Sby telah mengganti dengan keluarnya Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 158 kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan, yang berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal. Dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan secara langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Pilkada langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus ‗menitipkan‘ suara melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Terdapat sejumlah kelebihan Pilkada langsung, antara lain: (1) memutus politik oligarki oleh sekelompok elit politik dalam penentuan kepala daerah; (2) memperkuat checks and balances dengan DPRD; (3) legitimasi yang kuat, karena langsung mendapat mandat dari rakyat; (4) menghasilkan kepala daerah yang akuntabel; dan (5) menghasilkan kepala daerah yang lebih peka dan responsif terhadap tuntutan rakyat. Pelaksanaan Pilkada langsung dimulai Juni 2005. Sejak Juni 2005 hingga Juni 2006, Pilkada telah berlangsung di 250 daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh parpol atau gabu-ngan parpol dan Perseorangan. 1) Peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon adalah yang 159 memperoleh 15% (lima belas persen) kursi di DPRD atau 15% (lima belas persen) suara di DPRD pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD 2) Peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Perseorangan harus didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih sesuai dengan ketentuan Per-undang-undangan (UU No.12 Tahun 2008 perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah) 3) Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk memilih: a. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi; b. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten; c. Walikota dan wakil walikota untuk Kota. 4) Tahapan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah: a. Pemutakhiran data dan daftar pemilih; b. Pencalonan; c. Pengadaan dan pendistribusian perlengkapan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU; d. Kampanye; e. Masa tenang; f. Pemungutan suara dan penghitungan suara; g. Penetapan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah; h. Pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. 160 Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah salah satu perwujudan instrumen demokrasi dalam rangka menciptakan pemerintah yang lebih demokratis. Dengan sistem ini, maka harapan terwujudnya kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan diyakini dapat terealisasi secara menyeluruh, mengingat system demokrasi merupakan perintah langsung yang diamanatkan oleh UUD 1945 Dalam perjalanannya, sistem demokrasi yang dianut bangsa Indonesia tidak terlepas dari berbagai bentuk rintangan yang tidak jarang menimbulkan sikap apatis bagi masyarakat luas. Maraknya persoalan yang lahir dan mengiringi proses perjalanan demokrasi di tanah air adalah implikasi langsung dari berbagai rintangan yang muncul. Fakta dimaksud sangatlah elegan dijadikan sebagai bahan patokan sekaligus ukuran dalam menilai berhasil tidaknya pelaksanaan demokrasi di tanah air. Situasi yang demikian harus dipahami sebagai bagian dari demokrasi yang terus tumbuh dan berkembang dalam proses transisi politik yang mengalami berbagai pendewasaan perilaku politik Negara dan rakyatnya. Kompleksitas persoalan yang dimaksud haruslah dipandang sebagai bagian dari proses pendewasaan politik menuju kondisi perpolitikan yang lebih ideal. Kendati harapan ini mungkin sulit terwujud, namun bukan berarti harapan perubahan pola dan konsepsi politik yang saat ini sedang tumbuh dapat menutup ruang perubahan yang lebih baik. Dalam tataran yang lebih sederhana, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di tanah air adalah bagian dari langkah mewujudkan agenda demokrasi secara menyeluruh. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang saat ini digelar 161 secara langsung di Indonesia adalah salah satu perwujudan komitmen negara demokrasi sebagaimana yang telah digariskan dalam konstitusi. Dengan proses demokrasi di tingkat lokal, maka diharapkan agar keterpilihan para pemimpin di daerah juga mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Pemilihan umum kepala daerah adalah pemilihan umum yang diselenggarakan di tingkat lokal. Oleh karenanya, makna dan tujuan pelaksanaan pemilukada tidak ada bedanya dengan makna dan tujuan pelaksanaan pemilu pada umumnya. Hanya kalau pemilu sering dimaknai dalam artian yang lebih luas dengan cakupan nasional, pemilukada merupakan pelaksanaan pemilu di tingkat daerah dalam rangka memilih pemimpin di daerah. Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki fungsifungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Adapun fungsi-fungsi dari pemilihan umum itu sendiri adalah: a. Sebagai sarana legitimasi politik Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik. Melalui pemilihan umum kepala daerah, keabsahan pemerintahan daerah yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum. Ada tiga alasan pemilihan umum dapat menjadi legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa. Pertama, 162 melalui pemilihan umum pemerintah dapat meyakinkan atau memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilihan umum pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. Dan ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengadakan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci (1971) menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dari otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. b. Fungsi perwakilan politik Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang dihasilkan. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan. c. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa tingkat daerah. Keterkaitan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara teoretis, hubungan pemilihan umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas kaum elit atau nonelit yang menggunakan jalur institusi politik, dan organisasi 163 kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasional, yakni sebagai anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa. Dengan begitu diharapkan selama pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa tingkat daerah secara kompetitif dan demokratis. d. Sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demokrasi.68 D. Partisipasi Masyarakat dalam Birokrasi Pemerintahan Kekuatan membentuk kebijakan pemerintahan terletak di tangan rakyat yang notabene terdiri atas kompleksitas unsur individu dan kelompok-kelompok masyarakat. JJ. Rousseau mengatakan satu-satunya sumber kekuasaan adalah rakyat sebagai pemberi hukum, tidak dapat dialihkan ke suatu instansi lain. Sedangkan, undang-undang adalah kristalisasi kehendak rakyat. Dan, kekuasaan yang memberikan undang-undang (gesetzgebende macht) memiliki hak hidup, hanya jika kekuasaan tersebut selaras dengan kehendak rakyat yang adalah pemilik kekuasaan sesungguhnya. 68 Haris S, 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia dan PPW LIPI Jakarta. 164 Berdasarkan pandangan tersebut, maka sudah sepatutnya proses pembentukan perundang-undangan di Indonesia tidak hanya menjadi domain legislator. Penyusunan peraturan perundang-undangan mesti dilakukan secara terbuka dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat. Hal demikian nyatanya telah diakomodasi sebagai salah satu asas dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan keterbukaan sebagai salah satu asasnya. Penegasan ini bisa dilihat dalam Pasal 5 huruf g yang menyebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yakni keterbukaan. Penjelasan Pasal 5 huruf g UU tersebut—yang juga dikutip oleh Maria Farida Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan—menerangkan, asas keterbukaan adalah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan— mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan—bersifat transparan dan terbuka. Tujuannya adalah agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. 69 Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa asas keterbukaan sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Tujuan dari keterbukaan proses penyusunan perundang-undangan adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat 69 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius: Yogyakarta, 2007: 258-259. 165 berpartisipasi secara aktif. Makna kata partisipasi berasal dari kata pars dan capere. Pars artinya bagian, capere berarti mengambil.70 Partisipasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, participation, yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Isbandi menerangkan bahwa partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan, dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses perubahan yang terjadi.71 Mikkelsen mengklasifikasikan partisipasi dalam enam pengertian, yaitu: 72 a) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; b) Partisipasi adalah ―pemekaaan‖ (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan; c) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri; d) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; 70 71 72 Hanna litaay Salakory, ―Aspirasi dan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan Politik: Filosofi dan Sejarahnya di Indonesia‖Bina Darma, No. 54, Maret 1997:7. Isbandi Rukminto Adi, Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. FISIP UI Press: Depok, 2007: 27. Mikkelsen, Britha, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999: 64. 166 e) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial; f) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi dalam bidang politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, serta secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).73 Menguatkan pengertian itu, Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat, melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. 74 Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.75 73 74 75 Miriam Budiardjo, 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 1. Miriam Budiardjo, 1998: 2. Miriam Budiardjo, 1998: 3. 167 Berdasarkan pengertian tersebut, partisipasi bisa dilakukan dalam bentuk apapun untuk memengaruhi kebijakan pemerintahan, yang dilakukan sebagai bentuk kesadaran masyarakat secara aktif dan sukarela. Fung dan Wright menyebutkan pada partisipasi warga itu melampaui bentuk-bentuk institusi demokrasi konvensional tataran tujuan yang sangat praktis, yakni meningkatnya sikap tanggap dan efektivitas pemerintahan. Pada saat yang sama, dengan partisipasi, warga membuat keadaan menjadi lebih adil, partisipatoris, deliberatif, dan akuntabel. 76 Terdapat tiga dimensi dalam partisipasi langsung yang merupakan unsurunsur penting dari model partisipasi, di mana di dalamnya harus ada komunikasi dan keputusan. Ketiga dimensi tersebut yaitu: 77 1) Pihak yang berpartisipasi. Beberapa proses partisipatif terbuka untuk semua orang yang ingin terlibat, sedangkan proses lainnya hanya mengundang elite stakeholder seperti perwakilan kelompok kepentingan saja. 2) Partisipasi tidak sekadar membangun komunikasi namun juga membuat keputusan. Di banyak pertemuan publik, peserta hanya menerima informasi dari pejabat yang mengumumkan dan menjelaskan kebijakan. Umumnya peserta sekadar mendengarkan tanpa turut mengambil posisi untuk memberikan keputusan tertentu. 76 77 Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009: xxv. Archon Fung. Varieties of Participation in Complex Governance. Public Administration Review, December 2006: 66. 168 3) Hubungan antara diskusi, kegiatan publik, dan kebijakan. Secara institusional, model partisipasi selalu bergantung pada tiga masalah penting dalam pemerintahan demokrasi, yaitu legitimasi (legitimacy), keadilan (justice), dan pemerintahan yang efektif (effective governance). Tidak ada satupun bentuk partisipasi publik yang menjadi ―sifat bawaan‖ dalam konteks demokrasi. Semua bentuk partisipasi berguna untuk meningkatkan peran partisipan dalam pemerintahan demokrasi. Sherry Arnstein mengembangkan beberapa tipologi partisipasi warga negara. Dia berpendapat bahwa partisipasi merupakan redistribusi kekuasaan pada warga negara yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam tulisannya dia mengategorikan delapan tahapan untuk mengembangkan partisipasi warga negara, yaitu: manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power, dan citizen control. Namun demikian, tahapan yang dibuat oleh Arnstein sebetulnya tidak sempurna. Karena, pertama, tingkatan pengaruh individu tidak lebih besar dari keputusan kolektif. Kedua, banyak bentuk partisipasi lain yang telah berkembang, yang berada di luar tahapan partisipasi yang dibuat oleh Arnstein. Praktisi politik mengembangkan banyak teknik untuk merekrut partisipan. Misalnya melalui seleksi acak, memfasilitasi pertemuan, mendesain proses penuntutan yang dapat diajukan oleh masyarakat sipil sebagai bentuk proses partisipasi terhadap perubahan peraturan, bahkan hingga membuat hukum atau peraturan tertentu. 169 Untuk itu tiga unsur mendasar yang menentukan tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi harus diperhatikan, yaitu: 78 1) Siapa yang berpartisipasi? 2) Bagaimana mereka berkomunikasi dan membuat keputusan? 3) Apa hubungan antara konklusi dan opini mereka dengan kebijakan publik atau kegiatan publik lainnya? Dimensi krusial lainnya adalah bagaimana partisipan berinteraksi dalam sebuah diskusi publik atau pembuatan kesepakatan. Terdapat model-model komunikasi dan pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi publik, yaitu: pertama, mengadakan public hearings and community meetings, yang dilakukan tanpa memandang perspektif para partisipan, termasuk politisi, aktivis, kelompok kepentingan tertentu. Kedua, deliberasi dan negosiasi. Partisipan dibebaskan untuk memikirkan apa yang mereka inginkan dan butuhkan, baik sebagai individu maupun sebagai suatu kumpulan atau kelompok masyarakat. Mekanisme ini pada akhirnya menciptakan partisipasi dengan latar belakang sama dan memiliki pandangan yang sama. Hal penting terakhir untuk melihat dampak dari partisipasi publik adalah bagaimana partisipan menghubungkan kekuasaan publik yang dimiliki dengan kegiatan yang mereka lakukan. Pada dasarnya partisipan tidak memiliki ekspektasi nyata untuk memengaruhi kebijakan publik. Walaupun demikian, siapapun yang berpartisipasi mengharapkan adanya keuntungan personal (personal benefits). Forum-forum 78 secara prinsip melibatkan partisipan untuk tiga hal, yaitu Archon Fung, 2006: 67. 170 mendengarkan, mengekspresikan preferensi, dan mengembangkan preferensi— ketimbang melibatkan partisipan dalam membuat suatu kesepakatan. Modelmodel yang digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan cara menerapkan model di mana pejabat publik tetap melibatkan partisipan dan menerima input dan rekomendasi partisipan. Model lainnya, partisipan bergabung dengan co-governing partnership untuk turut serta membuat rencana dan kebijakan sebagai bentuk public action. Berdasarkan konsep partisipasi masyarakat di atas dan dihubungkan dengan pembentukan perundang-undangan, maka dapat diartikan bahwa pada pokoknya semua pihak—baik dalam struktur kenegaraan maupun di luar struktur kenegaraan dan pemerintahan—dapat memprakarsai gagasan pembentukan undang-undang. Meskipun demikian, partisipasi ini mesti mengikuti bentuk kewenangan pengusung undang-undang, yakni inisiatif yang bersifat resmi harus datang dari Presiden, DPR, atau dari DPD. 79 Karena itu, konsekuensinya adalah, inisiatif dari lembaga lain atau pihak lain tetap harus diajukan melalui salah satu dari tiga pintu yakni Presiden, DPR, dan DPD. Jimly Asshiddiqie yang mengutip pendapat Cornelius M. Kerwin menyatakan semua pihak dapat memprakarsai gagasan pembentukan undang-undang. Prinsip ini berlaku hampir di semua negara demokrasi.80 Perkembangannya, partisipasi masyarakat ini merupakan konsep yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi 79 80 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2009: 186. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta 2006:315. 171 adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi sejak pertengahan abad ke-20. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan, setidaknya di atas kertas, tidak lagi semata menjadi wilayah kekuasaan mutlak birokrasi dan parlemen.81 Samuel P Huntington dan Joan M Nelson mendefinisikan partisipasi publik sebagai activity by private citizens designed to influence government decision- making. Jadi, partisipasi publik menjadi salah satu alat dalam menuangkan nilainilai yang berkembang di masyarakat ke dalam suatu peraturan. 82 Lothar Gundling mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya peran serta masyarakat dalam penyusunan kebijakan, yakni sebagai berikut: 83 a. Informing the administration (memberi informasi kepada pemerintah) b. Increasing the readiness of the public to accept decisions (meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan) c. Supplementing judicial protection (membantu perlindungan hukum) d. Democratizing decision-making (mendemokrasikan pengambilan keputusan) Perlunya peran serta masyarakat dalam pembuatan hukum juga disampaikan Satjipto Rahardjo. Menurutnya, peranan pendapat umum masyarakat mempunyai latar belakang perkaitan dengan masalah efektivitas berlakunya hukum.84 Suatu pembuatan hukum yang dilakukan tanpa memerhatikan pendapat umum, mengandung risiko tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan demikian 81 82 83 84 Yuliandri, 2009 : 187. Yuliandri, 2009 : 187 Yuliandri, 2009 : 187-188. Satjipto Rahardjo, 2012. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung. Hlm. 157. 172 akan terjadi manakala pembuatan hukum melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Jika negara dan pembuat kebijakan hukum tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapatkan tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang dikeluarkan akan jauh lebih tinggi dari ongkos pembentukannya. Peran partisipasi masyarakat dalam pembuatan perundang-undangan juga menjadi dasar filsafati hukum tentang daya mengikat hukum. Van Apeldoorn dalam buku pengantar ilmu hukumnya membuat pertanyaan: apakah ditaatinya hukum disebabkan hukum itu dibentuk oleh pejabat yang berwenang, atau memang masyarakat mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai suatu hukum yang hidup di dalam masyarakat itu?85 Menjawab pertanyaan tersebut, teori perjanjian masyarakat memberikan landasan kepatuhan terhadap hukum sebagaimana disampaikan Hugo de Groot (Grotius), Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Intinya, orang taat dan tunduk pada hukum karena berjanji untuk menaatinya.86 Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, hasil konsensus dari segenap anggota masyarakat. Karenanya, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan undang-undang sangat penting. Selain teori perjanjian masyarakat, juga muncul teori kedaulatan hukum yang juga menganggap penting adanya peran masyarakat. Menurut teori tersebut, hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena 85 86 Van Apeldoorn, 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita: Jakarta. Hlm. 443. Prof Dr. H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum . Citra Aditya Bakti: Bandung. 2012: 83. 173 merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yang menjelma dalam hukum itu sendiri. Pandangan ini disampaikan Mr. H. Krabbe. Menurutnya, kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum bagian terbesar masyarakat.87 Konsep daya mengikat hukum ini sejalan dengan teori demokrasi yang tidak membatasi partisipasi masyarakat sebatas memberikan suara dalam pemilu. Teori demokrasi partisipatif mengemukakan kaitannya dengan keberadaan peran serta masyarakat bahwa ―Warga, baik secara perseorangan maupun secara kelompok, bukanlah semata-mata konsumen kepuasan (consumers of satisfaction), tetapi membutuhkan kesempatan dan dorongan pengungkapan dan pengembangan diri (self expression and development). Para penganut teori participatory democracy menolak asumsi bahwa warga, satu sama lainnya, selalu dalam keadaan konflik kepentingan. Sebaliknya mereka justru berpandangan bahwa hakikat dari kepribadian manusia adalah saling melengkapi dalam kehidupan bersama (collective life), sehingga satu sama lain mampu menyelaraskan antara kepentingan bersama (social interests) melalui cara-cara yang dapat diterima. Menurut penganut teori demokrasi partisipasi, hakikat demokrasi adalah untuk menjamin bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah menyertakan warga yang mungkin terkena dampak dari keputusan-keputusan itu. Oleh sebab itu, pengertian demokrasi adalah memberi dorongan berperan serta dalam pembuatan keputusan-keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. 87 Prof Dr. H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi. 2012 : 84. 174 Dengan demikian, teori ini tidak hanya ingin mewujudkan pemerintahan yang demokratis, tetapi juga masyarakat yang demokratis. 88 Dilihat dari teori pembentukan undang-undang, keharusan adanya partisipasi masyarakat merupakan tujuan dari the synopsis policy theory (teori tahapan kebijakan sinoptik). Menurut teori ini, pembentukan undang-undang sebagai suatu proses yang terorganisasi dan terarah secara baik terhadap suatu pembentukan keputusan yang mengikat, merupakan upaya mencari dan menentukan arahan bagi masyarakat secara keseluruhan. Suatu kebijakan dibentuk dan bertanggung jawab agar tercapai ketepatan, keseimbangan, dan keterlaksanaan dari suatu aturan. 89 Menurut A. Hamid S. Attamimi, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan pelaksanaan asas konsensus (het beginsel van consensus). Yakni, adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini dilakukan mengingat pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat. 90 Berdasarkan pandangan ahli-ahli tentang keterbukaan dan partisipasi masyarakat, maka bisa disimpulkan bahwa peran serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang menjadi suatu keharusan dalam proses pengambilan keputusan tentang substansi yang akan diatur. 88 89 90 RB Gibson, The Value of Participation, dalam P.S Elder (ed), Environmental Management and Public Participation, Canadian Environmental Law Association, Ottawa, 1981 : 22-23. Yuliandri, 2009 : 201. Maria Farida, 2007: 339. 175 BAB VI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH Budaya birokrasi pemerintah Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang yang dimulai dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia. Pada masa penjajahan, birokrasi pemerintahan diwarnai oleh kekuasaan colonial Belanda dan pemerintah Jepang hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pascakemerdekaan, birokrasi pemerintah 176 Indonesia terus berproses dalam rangka mencari bentuk yang ideal hingga diterapkannya otonomi daerah sekarang ini. Proses sejarah yang panjang telah banyak menunjukkan bukti bahwa sosok birokrasi Indonesia masih jauh dari gambaran ideal yang diharapkan oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Sosok ideal birokrasi pernah digambarkan oleh Max Weber yang disebutnya dengan bentuk legal-rasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen yang didasarkan atas kemampuan teknis, diferensiasi antara pendapat resmi dan pribadi. Kenyataannya, birokrasi yang semula diidealkan bersifat legal-rasional itu semakin mekar fungsi dan peranannya dari sekadar instrumen teknis penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terikat konstitusi dan aturanaturan hukum objektif, netral, dan apolitik. Bergulirnya roda reformasi sejak 1998 menuntut agar terjadi perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah birokrasi. Jika birokrasi tidak melakukan perubahan maka ia akan memasuki tahap kemelut yang akan merugikan masa depan sistem politik Indonesia. Mengawali agenda reformasi, beberapa undang-undang yang dianggap tidak relevan lagi isinya diganti dengan undang-undang yang baru. Di bidang pemerintahan, ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Kemudian akhir- 177 akhir ini disyahkannya RUU Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang kemudain terbitnya Perpu no 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah. Perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan tersebut sebagai akibat dari adanya politisasi kebijakan otonomi daerah tentu akan membawa berbagai konsekuensi yang cukup signifikan bagi para birokrat sebagai pelaksana penyelenggara negara. A. Sejarah Pemerintahan Daerah Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini (2014). Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunyaUndang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Dalam bab ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah dikemukakan. Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah. 1. Periode I (1945-1948) 178 Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh PPKI, secara umum,wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsiprovinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masingmasing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkankaresidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi. Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayahwilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui 179 perwakilan yang disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah: 1) Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang) 2) Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang) 3) Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente) 4) Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang) 5) Kecamatan (disebut Son oleh Jepang) 6) Desa (disebut Ku oleh Jepang) Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalahKomite Nasional Daerah bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnyaPapua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu 180 pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville. 2. Periode II (1948-1957) Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukanpemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengandaerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu: Tabel 4 Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1948-1957 Tingkatan Daerah Otonom Nomenklatur Daerah Otonom Biasa Nomenklatur Daerah Otonom Khusus Tingkat I Provinsi Daerah Istimewa Setingkat Provinsi Tingkat II Kabupaten/Kota Besar Daerah Istimewa Setingkat Kabupaten 181 Tingkat III Desa, Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil Daerah Istimewa Setingkat Desa Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari: 1) Legislatif 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 3) Eksekutif 4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD) DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRDadalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan. DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD secara bersamasama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPDsama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum: 182 1) Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi. 2) Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar. 3) Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil. 4) Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan. 5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota DPD. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayahIndonesia yang tersisa yaitu: a. Wilayah Sumatera meliputi: Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung. b. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman) 183 Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini berlaku untuk daerah seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950. 3. Periode III (1957-1965) Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokokpokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu: Tabel 5 Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1957-1965 Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom Biasa Nomenklatur Daerah Otonom Khusus Tingkat I Daerah Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja Daerah Istimewa Tingkat ke I Jakarta Raya Tingkat II Daerah Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja Daerah Istimewa Tingkat ke II Tingkat III Daerah Swatantra Tingkat ke III Daerah Istimewa Tingkat ke III 184 Tingkatan tersebut tidak berlaku pada Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah. Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda danRepublik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra. Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari: 1) Legislatif 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 3) Eksekutif 4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggotaDPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD. Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan 185 tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerahkarena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan. Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRDdengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut. Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara 186 seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketatanegaraan Republik IV. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari: 1) Eksekutif 2) Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH) 3) Legislatif 4) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa jabatanDPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD. Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk 187 Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otda. Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRDGR) dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah dan BPH disesuaikan dengan masa jabatan DPRD-GR 4. Periode IV (1965-1974) Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah. Tabel 6 Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1965-1974 No. Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom 1. Tingkat I Provinsi/Kotaraya 2. Tingkat II Kabupaten/Kotamadya 188 3. Tingkat III Kecamatan/Kotapraja Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja". Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari: 1) Legislatif 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 3) Eksekutif 4) Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU tersendiri. PimpinanDPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa 189 orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah. Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah tingkat I, b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II, dan c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I. Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah: a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang. b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang. c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang. Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri atas Kepala Desapraja, Badan Musyawarah 190 Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja,Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik IV (UUD 1945). Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88[8]. Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan. 5. Periode V (1974-1999) Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi, yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7 Tingkatan Daerah Otonom/Wilayah Administratif di Indonesia 191 Periode 1974-1999 No. 1. Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom Nomenklatur Wilayah Administratif Tingkat I Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus Ibukota/Daerah Istimewa Provinsi/Ibukota Negara 2. Tingkat II Daerah Tingkat II (Dati II) Kabupaten/Kotamadya 3. Tingkat IIa - Kota Administratif 4. Tingkat III - Kecamatan Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom disatukan. 1. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. 2. Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 192 3. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk Yogyakartadisebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 4. Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar. 5. Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pakanbaru. Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari: 1) Legislatif 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 3) Eksekutif 4) Kepala Daerah Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerahdiletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinasdinas Daerah. Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri. 193 Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat olehPresiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya. Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan. 194 1) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. 2) Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. 4) Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sumedang. 5) Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Garut. Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat 195 Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya adalah Sekretaris LMD. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan danPerangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada dalam penjelasan Konstitusi. UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis pada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990 Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. 6. Periode VI (1999-2004) 196 Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, danYogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif. Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif. Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan lokal terdiri dari: a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. 197 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota. Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda dari peraturan mengenai daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Ini dikarenakan Desa atau yang disebut dengan nama lain (Nagari,Kampung, Huta, Bori, Marga dan lain sebagainya) memiliki susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa. Masa 198 jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan denganPeraturan Desa. UU ini disusun berdasarkan UUD 1945 pasal 18 dan dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan konstitusi pasal 18 khususnya bagian II. UU ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa UUD 1945 amandemen IV, V, dan VI. Dalam perjalanannya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999. Provinsi Aceh juga ditegaskan keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Provinsi Papua. Selain pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi Timor-Timur juga memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama Timor Leste/Timor Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB. Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil 199 referendum atas status koloni Portugis pada 1999 setelah sekitar 23 tahun bergabung dengan Indonesia. 7. Periode VII (mulai 2004) Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah91. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan92 Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari: a. Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) 91 92 Akhir-akhir ini telah disyahkannya RUU Pemerintahan Daerah oleh DPR pada tanggal 26 Setember 2014 menjadi UU no 23 tahun 2014, yang kemudian diganti dengan Perpu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa 200 b. Eksekutif (Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah) Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh (Pemda Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua danProvinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua. Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebutDewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, danDPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD. 201 Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsiyang bersangkutan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini adalah Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku. Secara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan. Pada tahun 2014, dikelularkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang desa dengan 3 (tiga) isu penting yaitu: a. Kedudukan dan kewenangan b. Tata Pemerintahan dan demokratisasi 202 c. Perencanaan pembangunan dan ekonomi desa Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atasKepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa yang syarat dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya[28]. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan pasal 18, 18A, dan 18B UUd 1945. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 dan terakhir melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan kemudian diubah kembali pada tanggal 2 Oktober 2014 melalui Perpu nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang 203 Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008). B. Hubungan Pemerintahan Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi dalam pemerintahan negara. Pada dasarnya, guna mencapai tujuan Negara yaitu kemakmuran rakyat, perlu adanya hubungan harmonis dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya hubungan yang harmonis, diharapkan terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan negara terhadap rakyat dapat diwujudkan. Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat pada hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam bidang kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusanurusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung 204 jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran pemerintah pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standar dan prosedur yang ditentukan Pusat. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi: 1. Hubungan wewenang 2. Keuangan 3. Pelayanan umum 4. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. 205 1. Hubungan Wewenang a. Pembagian urusan Pemerintahan Ketentuan hukum yang mengatur lebih lanjut hubungan antara pempus dan pemda sebagai penjabaran dari dasar konstitusioanal adalah Pasal 10-18 UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu : a) Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (pemerintah) b) Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi c) Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota b. Kriteria Pembagian urusan antar Pemerintah, daerah Provinsi/Kabupaten/Kota Dalam rangka mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren93 secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah 93 artinya urusan pem erintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. 206 Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis. a) Eksternalitas Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah. b) Akuntabilitas Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. c) Efisiensi Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau 207 Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. c. Urusan Pemerintah yang menjadi urusan pempus Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi: 208 1) Politik luar negeri; mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; 2) Pertahanan; misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam mengembangkan sistem keadaan bahaya, pertahanan negara membangun dan dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya; 3) Keamanan; misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; 4) Yustisi; misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undangundang, Peraturan Pemerintah pengganti undangundang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; 209 5) Moneter dan menentukan fiskal nilai nasional; mata uang, contohnya mencetak menetapkan kebijakan uang dan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya. 6) Agama; contohnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan pempus meliputi : 1) pendidikan; 2) kesehatan; 3) pekerjaan umum 4) pekerjaan umum; 5) perumahan; 6) penataan ruang; 7) perencanaan pembangunan; 8) perhubungan; 9) lingkungan hidup; 10) pertanahan; 11) kependudukan dan catatan sipil; 12) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 13) keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 210 14) sosial; 15) ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 16) koperasi dan usaha kecil dan menengah; 17) penanaman modal; 18) kebudayaan dan pariwisata; 19) kepemudaan dan olah raga; 20) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 21) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah kepegawaian, dan persandian; 22) pemberdayaan masyarakat dan desa; 23) statistik; 24) kearsipan; 25) perpustakaan; 26) komunikasi dan informatika; 27) pertanian dan ketahanan pangan; 28) kehutanan; 29) energi dan sumber daya mineral; 30) kelautan dan perikanan; 31) perdagangan . . . 32) perdagangan; dan 33) perindustrian. 211 d. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Dalam menyelenggarakan 6 urusan pemerintahan sesuai pasal 10 ayat 3 UU No.32/2004 Pemerintah : a) Menyelenggarakan sendiri b) Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau c) Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Di samping itu, penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (Pasal 10 ayat 3) Pemerintah dapat : a) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, c) atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. e. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemda Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria-kriteria, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. 1) Urusan wajib artinya : Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan wajib menurut penjelasan UU No.32/2004 artinya suatu urusan 212 pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara seperti perlindungan hak konstitusional, pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. 2) Urusan pilihan artinya : baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpetensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No 38/2007 meliputi : a) kelautan dan perikanan; b) pertanian; c) kehutanan; d) energi dan sumber daya mineral; e) pariwisata; f) industri; g) perdagangan; dan h) ketransmigrasian 213 Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang sesuai Pasal 13 UU No 32 tahun 2004 meliputi: 1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4) penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) penanganan bidang kesehatan; 6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10) pengendalian lingkungan hidup; 11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13) pelayanan administrasi umum pemerintahan; 214 14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota 16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota (psl 14) meliputi: 1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4) penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) penanganan bidang kesehatan; 6) penyelenggaraan pendidikan; 7) penanggulangan masalah sosial; 8) pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10) pengendalian lingkungan hidup; 11) pelayanan pertanahan; 12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13) pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14) pelayanan administrasi penanaman modal; 215 15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. 2. Hubungan Dalam bidang keuangan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai Pasal 15 ayat 1 UU No.32/2004 meliputi : a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah; b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah Sementara hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi : a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan. pemerintahan daerah kabupaten/kota; b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama; c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah. 216 3. Hubungan dalam bidang pelayanan umum Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi : a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal; b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum. Sementara hubungan dalam bidang pelayanan umum antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi : a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; dan c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum. 5. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan 217 Sementara hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi : a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah 218 perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. C. Struktur Organisasi Birokrasi Pemerintahan Daerah Mendasari pada uraian terdahulu, maka dapat dikemukakan bahwa pengertian Birokrasi Pemerintah Daerah dalam buku ini adalah Perangkat Daerah. Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa birokrasi adalah sebuah lembaga/organisasi yang legal rational, dimana dalam birokrasi harus memiliki aturan yang jelas yang mengatur hubungan kerja secara impersonal. Jabatanjabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang secara teknis berkompeten atau profesional dibidangnya. Pola rekruitmen dan promosi pegawai dalam birokrasi didasarkan pada aturan formal. Para pegawai (birokrat) memandang tugas sebagai karier seumur hidup dan mendapatkan kompensasi (gaji) dari tugas yang dilaksanakannya. Sumber legitimasi dari birokrasi berasal dari aturan yang berlaku (legalitas formal). Dilihat dari persperktif ini maka Birokrasi pada dasarnya adalah sebuah lembaga/ organisasi karier (nonpolitik). Karena birokrasi adalah organisasi 219 nonpolitik maka dalam kontek Organisasi Pemerintah Daerah, yang disebut Birokrasi Pemerintah Daerah adalah Perangkat Daerah, yaitu suatu institusi yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Dari perspektif ini pula dapat dikatakan bahwa Kepala Daerah adalah bukan bagian dari Birokrasi Pemerintah Daerah, karena Kepala Daerah (Bupati) adalah sebuah institusi politik (non karier). Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 41 Tahun 2007 tentang pedoman organisasi perangkat daerah adalah institusi dan para pejabat pemerintahan dari jenjang paling atas sampai bawah. Dalam hal ini pimpinan puncak Birokrasi Pemerintah Daerah adalah Sekretaris Daerah. Meskipun Sekretaris Daerah harus bertanggung jawab kepada Kepala Daerah (Bupati) sebagai Pejabat politik. Sekretaris Daerah Kabupaten mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tatalaksana serta memberikan pelayanan administrative kepada seluruh Perangkat Daerah Kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 merupakan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pedoman dalam penyusunan dan pengendalian Organisasi Perangkat Daerah yang menyeluruh dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dinilai belum cukup memberi pedoman dalam penyusunan Organisasi Perangkat Daerah. 220 Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi birokrasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya fungsi-fungsi pemerintahan terwadahi pada masing-masing tingkatan pemerintahan. Penyelenggaraan diselenggarakan oleh urusan seluruh pemerintahan provinsi, kabupaten, yang dan bersifat kota, wajib, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing- 221 masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007 pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam. PP 41 tahun 2007 juga menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing 222 perangkat daerah. Dalam menentukan besaran jumlah unit kelembagaan Badan dan Dinas serta sekretariat daerah berdasarkan PP nomor 41 tahun 2007 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 8 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Provinsi No Variabel Kelas Interval Nilai ≤ 7.500.000 7.500.001 - 15.000.000 15.000.001 - 22.500.000 22.500.001- 30.000.000 > 30.000.000 8 16 24 32 40 ≤ 1.500.000 1.500.001 - 3.000.000 3.000.001 - 4.500.000 4.500.001 - 6.000.000 > 6.000.000 8 16 24 32 40 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di Pulau Jawa 2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa 3. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Provinsi di Pulau Jawa ≤ 10.000 10.001 - 20.000 20.001 - 30.000 30.001 - 40.000 > 40.000 7 14 21 28 35 4. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa ≤ 20.000 20.001 - 40.000 40.001 - 60.000 60.001 - 80.000 > 80.000 7 14 21 28 35 5 JUMLAH APBD ≤ Rp500.000.000.000,00 5 Rp500.000.000.001,00 Rp1.000.000.000.000,00 10 Rp1.000.000.000.001,00 Rp1.500.000.000.000,00 15 Rp1.500.000.000.001,00 Rp2.000.000.000.000,00 20 > Rp2.000.000.000.000,00 25 Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007 223 Kemudian untuk menentukan besaran unit organisasi Pemerintahan Kabupaten dapat dilihat berdasarkan tabel berikut di bawah ini: Tabel 9 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten No Variabel Kelas Interval Nilai 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura. ≤ 250.000 250.001 - 500.000 500.001 – 750.000 750.001 – 1.000.000 > 1.000.000 8 16 24 32 40 2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura. ≤ 150.000 150.001 - 300.000 300.001 – 450.000 450.001 – 600.000 > 600.000 8 16 24 32 40 3. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura ≤ 500 501 - 1.000 1.001 – 1.500 1.501 – 2.000 > 2.000 7 14 21 28 35 4. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura ≤ 1.000 1.001 – 2.000 2.001 – 3.000 3.001 – 4.000 > 4.000 7 14 21 28 35 5 JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00 5 Rp200.000.000.001,00 – Rp400.000.000.000,00 10 Rp400.000.000.001,00 – Rp600.000.000.000,00 15 Rp600.000.000.001,00 – Rp800.000.000.000,00 20 > Rp800.000.000.000,00 25 Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007 224 Untuk menentukan besaran unit organisasi Pemerintahan Kota dapat dilihat berdasarkan tabel berikut di bawah ini: Tabel 10 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota No Variabel Kelas Interval Nilai 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura. ≤ 100.000 100.001 - 200.000 200.001 - 300.000 300.001 - 400.000 > 400.000 8 16 24 32 40 2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura. ≤ 50.000 50.001 - 100.000 100.001 - 150.000 150.001 - 200.000 > 200.000 8 16 24 32 40 3. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura ≤ 50 51 - 100 101 - 150 151 – 200 > 200 7 14 21 28 35 4. LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura ≤ 75 76 - 150 151 - 225 226 – 300 > 300 7 14 21 28 35 5 JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00 5 Rp200.000.000.001,00 – Rp400.000.000.000,00 10 Rp400.000.000.001,00 – Rp600.000.000.000,00 15 Rp600.000.000.001,00 – Rp800.000.000.000,00 20 > Rp800.000.000.000,00 25 Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007 225 Pada PP nomor 41 Tahun 2007 juga memuat perubahan nomenklatur Bagian Tata Usaha pada Dinas dan Badan menjadi Sekretariat yang dimaksudkan untuk lebih memfungsikannya sebagai unsur staf dalam rangka koordinasi penyusunan program dan penyelenggaraan tugas-tugas Bidang secara terpadu dan tugas pelayanan administratif. Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah. Selain itu, eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah kabupaten/kota diturunkan yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb, dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karir, efisiensi, dan penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, namun demikian bagi pejabat yang sudah atau sebelumnya memangku jabatan eselon IIIa, sebelum Peraturan Pemerintah tsb ditetapkan kepada yang bersangkutan tetap diberikan hak-hak kepegawaian dan hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa, walaupun organisasinya menjadi eselon IIIb, dan jabatan eselon IIIb tersebut efektif diberlakukan bagi pejabat yang baru dipromosikan memangku jabatan. Beberapa perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan, kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya merupakan amanat peraturan perundang-undangan, maka perangkat daerah tersebut tidak mengurangi jumlah perangkat daerah yang ditetapkan dalam PP no 226 41 tahun 2007 tsb, dan pedoman teknis mengenai organisasi dan tata kerja diatur tersendiri. Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Sehingga berdasarkan ketentuan pada PP nomor 41 Tahun 2007, pemerintah dapat membatalkan bertentangan peraturan dengan peraturan daerah tentang perangkat perundang-undangan dengan daerah yang konsekuensi pembatalan hak-hak keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya. Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama, sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti secretariat badan narkoba provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan pemerintah atas usul kepala daerah. 227 Pengertian pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas dinas daerah, sekretariat DPRD dan lembaga teknis daerah, dengan demikian kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah bukan merupakan bawahan langsung sekretaris daerah. Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas. BAB VII REKONSTRUKSI BIROKRASI INDONESIA Rekonstruksi birokrasi dapat diartikan sebagai sebuah proses restrukturisasi atau penataan ulang terhadap tatanan birokrasi yang telah ada untuk menjadi lebih baik. Ketika terjadi dinamika pada lingkungan baik internal maupun eksternalnya maka birokrasi juga harus mengadaptasi dinamika tersebut supaya dapat survive. Adaptasi terhadap dinamika yang terjadi menyebabkan birokrasi 228 harus tampil sesuai dengan realitas yang ada. Restrukturisasi atau penataan kembali organisasi birokrasi pada hakekatnya adalah aktivitas untuk menyusun kelembagaan birokrasi yang akan diserahi bidang kerja, tugas atau fungsi tertentu. Keberhasilan restrukturisasi organisasi tergantung pada 2 hal yaitu penetapan kebijakan perubahan struktur yang mampu mengantisipasi perubahan struktur di masa depan, dan partisipasi seluruh anggota organisasi, kemampuan mengubah tingkah laku mereka, keterampilan dan sikap. Kegiatan mendesain struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Oleh karena itu, struktur organisasi sangat penting bagi suatu organisasi agar mekanisme kerja dapat berjalan dengan baik. Rekonstruksi birokrasi juga dapat mengandung makna reformasi birokrasi yang telah ada dengan mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap kelembagaan birokrasi.. Kata reformasi digunakan sebagai upaya kolektif dan korektif terhadap penyimpangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan tindakan penguasa yang betentangan dengan akal sehat yang dilancarkan oleh kelompok atau pihak yang merasa tertindas94. Menurut Oxford Advanced Learner‘s Dictionary kata reform berarti mengubah sesuatu menjadi lebih baik dari yang sudah ada. 95 Reformasi dalam bahasa inggris dikenal dengan reformation atau reform (perbaikan/pembaruan). Secara sederhana dalam etimologi, reformasi terdiri dari 94 95 Rewansyah, Asnawi, Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance, Jakarta, Yusaintanas Prima, 2010:117. Rewansyah 2010 :118 229 dua suku kata yakni re (kembali) dan formasi (susunan/barisan). Tetapi pengertian tersebut belum memberikan arti mendalam dari reformasi. Untuk lebih jelasnya, dapat diamati dalam pengertian secara terminologi sebagai berikut : 1) Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan. 2) Menurut Eko Prasojo dalam bagian pengantar bukunya berjudul ‗reformasi kedua, melanjutkan estafet reformasi‘ (2009), reformasi merujuk pada upaya perubahan yang dikendaki (intended change) dalam suatu kerangka kerja yang jelas dan terarah. Reformasi harus menyentuh berbagai aspek sesuai porsi dan kedudukannya masing-masing. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara teratur pekerjaan dari banyak orang. Frits Morstein Marx merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. 96 Prayudi Atmosudirjo mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai tiga arti 97 yaitu : 1) Birokrasi sebagai suati tipe organisasi, 2) Birokrasi sebagai sistem, 3) Birokrasi sebagai jiwa kerja. Selanjutnya 96 97 Santosa, Pandji, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung : Refika Aditama, 2008: 2 Pasolong, Harbani, Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta, 2008 : 67 230 Birokrasi sebagai lembaga pemerintah yang menjalankan tugas pelayanan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah hingga tingkat desa. Sekurang-kurangnya ada tiga macam arti birokrasi 98 yaitu: 1) Birokrasi diartikan emerintahan biro oleh pegawai yang diangkat pemegang kekuasaan, pemerintah, atau pihak atasan dalam organisasi formal. 2) Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan. 3) Birokrasi sebagai tipe ideal sebuah organisasi yang bermula dari teori Max Weber. Pada periode 1999-2004 dilakukan amandemen UUD 1945. Dimulai tahun 1999 (amandemen I), 2000 (amandemen II), 2001 (amandemen III) dan 2002 (amandemen IV). Dengan sendirinya, hasil amandemen tersebut mempengaruhi sistem birokrasi pemerintah sampai saat ini. Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia masa orde baru, orde lama dan orde reformasi harus diperbaiki sampai pada akarnya. Permasalahan birokrasi seolah-olah sudah membudaya dalam diri birokrat. Ibarat semua pohon yang memiliki banyak komponen mulai dari ujung daun sampai ujung akar. Begitupun dalam birokrasi pemerintahan, perbaikan dimulai dari ujung paling atas sampai ujung paling bawah dalam bentuk cross sectional atau perpaduan verticalhorisontal untuk semua aspek kehidupan (hukum, ekonomi, politik, administrsi, pendidikan, dll). Secara umum reformasi birokrasi diartikan suatu perubahan yang terintegrasi secara kompleks meliputi sistem, struktur dan watak. Ketiga hal ini 98 Rewansyah, 2010 : 118 231 diharapkan dilaksanakan secara beriringan karena satu sama lain saling berkaitan Agenda reformasi birokrasi merupakan agenda strategis nasional. Akibat dari patologi birokrasi dapat mengakibatkan permasalahan pada sektor lainnya. Oleh karena itu, hakikat reformasi birokrasi mengarah pada perubahan yang sebenarbenarnya tanpa ada tendensi atau intervensi dari pihak manapun dengan prinsip keadilan dan persamaan. Bukan hanya reformasi aspek struktur tetapi juga reformasi system yang diberlakukan di pemerintahan karena kerancuan system akan berdampak signifikan pada aspek lainnya. Begitu pula dengan watak, kiranya perlu di reformasi karena meskipun struktur dan sistem baik tetapi watak atau etika birokrat yang apatis maka akan berdampak pula pada struktur dan sistem. Jadi, ketiga dimensi ini harus di sinergikan satu sama lain layak suatu siklus roda yang saling kait mengait. A. Arah dan Muatan Reformasi Birokrasi. Organisasi dapat mencapai level kompetensi dengan cara mengambil masalah secara kompleks dan memecahkan kedalam bentuk yang lebih kecil karena melalui cara tersebut tugas lebih mudah dikelola99. Pernyataan tersebut mendukung kedudukan birokrasi sebagai model organisasi modern. Ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam reformasi birokrasi. Namun dalam realitasnya, birokrasi mengalami banyak masalah. Maka sesuai dengan maksud dan tujuannya, birokrasi perlu direformasi agar mekanisme tata kelola pemerintah 99 Rourke, Francis E, Bureucracy, Polities, and Public Policy, Toronto : Little Brown and Company 1922 : 16 232 bisa lebih bagus. Dalam komponen ini, perlu kembali meninjau ulang permasalahan yang mendasar dalam birokrasi. Pada umumnya birokrasi memiliki kelemahan sebagai model organisasi modern. Bahkan melahirkan patologi yang dapat melemahkan sistem pemerintahan pada suatu negara. Patologi birokrasi di Indonesia meliputi birokrasi paternalistis, pembengkakan anggaran, prosedur berlebihan, pembengkakan birokrasi, fragmentasi birokrasi. Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia berimplikasi pada kinerja birokrasi publik. Pada dasarnya pernyakit tersebut sudah klasik, namun sampai saat ini terasa sulit untuk menghilangkan penyakit tersebut. Sebut saja birokrasi paternalistis yang sudah ada sejak awal kemerdekaan bahkan pra kemerdekaan. Jika dihitung mundur dengan bermula dari proklamasi kemerdekaan, patologi birokrasi paternalistis sudah melanda tata pemerintahan selama 67 tahun. Dimensi waktu yang sudah lebih dari setengah abad. Malah membuat patologi birokrasi semakin meluas. Usaha dalam mengimplementasikan konsep David Osborne dan Peter Plastrik mengenai ‗memangkas birokrasi‘ masih jauh dari harapan, perkembangan jumlah pegawai sampai tahun 2009 masih terjadi. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sampai dengan akhir 2013 adalah 4,46 juta orang. Dalam kurun waktu 10 tahun pertumbuhannya mencapai 22,47% dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,63%. Kenaikan tertinggi terjadi pada periode 2008 menuju 2009 dengan kenaikan mencapai 10,8%. Pada akhir tahun 2010 tercatat jumlah PNS telah mencapai 4,59 juta orang. Pada 2011 jumlahnya menjadi 4,52 233 juta orang. Sementara pada 2012 sebesar 4,46 juta orang dan pada 2013 turun tipis sekitar 1000 orang. 100 Pos anggaran juga semakin bertambah. Maka peluang untuk korupsi terbuka lebar. Sebenarnya logika reformasi birokrasi sangat sederhana, tetapi malah sulit untuk dijalankan. Cukup dimulai dari pimpinan atau atasan. Ada kesadaran obsesi dan komitmen diharapkan datang dari atas agar bawahan lebih mudah diperbaiki101. Potret patologi terjadi juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi secara umum seperti standar efisiensi fungsional kurang diperhatikan, penekanan yang berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas dan hierarki, penyelewengan tujuan dan pita merah102. Jangan sampai pendapat Geral Caiden yang menyatakan bahwa ‗reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian memadai pada reformasi administrasi‘ menjadi suatu keniscayaan. Hal senada dibahasakan oleh Tjokromidjojo103 bahwa didalam kenyataannya birokrasi pemerintahan di dalam negara-negara yang relatif kurang maju seringkali ditujukan tidak kepada usaha pencapaian tujuan-tujuan secara teratur, tetapi untuk tujuan-tujuan yang lebiih bersifat pribadi ataupun kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Meskipun motif dasar sebuah sistem birokrasi 100 101 102 103 detik.com, Jumlah PNS Makin Gemuk Dalam 10 Tahun Terakhir, https://finance.detik.com/read/2014/09/01/065131/2677344/4/jumlah-pns-makin-gemukdalam-10-tahun-terakhir. Utomo, Warsito, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006:210. Ali Mufiz dalam Santosa, 2008. Tjokromidjojo, Bintoro, 1974, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES, 1972:76. 234 rasional dan efisien dalam mencapai tujuan.Tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi membawa ke dalam bentuk tidak efisien pada dirinya sendiri. Pemerintah wajib melakukan upaya pemecahan masalah. Untuk menjawab masalah demi masalah yang muncul dalam birokrasi maka perlu menerapkan prinsip good governance yang dipadukan dengan good mindset dan good cultureset. Terutama yang wajib dilakukan pemerintah adalah menetralkan birokrasi dari politik. Pelaksanaan model trias politica dengan sistem multipartai di Indonesia membuat birokrasi cenderung kehilangan arah dan jati dirinya. Tingginya intensitas politik dalam seluruh aspek kehidupan memaksa pelaksanaan birokrasi ideal semakin tidak jelas. Pada kondisi sebaliknya, ketika reformasi birokrasi berhasil diterapkan maka ranah yang lainnya dengan sendirinya akan membaik. Tuntutan masyarakat menjadi permasalahan tersendiri yang harus diatasi oleh pemerintah. Adapun beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan birokrasi104, yaitu : a. Manajemen Perubahan, Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem mekanisme kerja organisasi yang meliputi Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) Pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture-set) birokrat. Tetapi keberadaan 3 indikator tersebut belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki 104 Muskamal, 2013, Model Assesmen Kebutuhan Pengembangan Kapasitas ( Capacity Building Need Assesment ) Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, LAN-Pusat kajian dan Diklat Aparatur II, Makassar. 235 pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes). b. Peraturan perundang-undangan, Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak peraturan perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat. c. Organisasi dan Tata laksana, Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Demikianhalnya dengan belum meningkatnya penggunaan teknologi Informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen pemerintahan efesiensi dan efektivitas bisnis proses dan mekanisme kerja/ prosedur dalam sistem manajemen yang belum terlaksana secara optimal juga. d. Manajemen SDM Aparatur, Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang 236 ditetapkan berdasarkan golongan/pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan. Demikian juga dengan belum diterapkannya secara optimal sistem rekruitmen dan promosi serta pengembangan kualitas aparatur yang berbasis kompetensi dan transparan. e. Penguatan Pengawasan, Pengawasan belum mampu meningkatkan aspek penyelenggaraaan Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN terutama pada aspek meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara, belum meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara, belum meningkatnya status opini BPK, dan belum menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang. f. Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Laporan akuntabilitas kinerja dinilai belum maksimal, demikian juga dengan belum terbangunnya sistem yang mampu mendorong tercapainya kinerja organisasi yang terukur, serta belum maksimalnya penggunaan (IKIU ) pada Pemerintah Daerah. g. Peningkatan Kualitas Pelayanan publik, Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi memenuhi kepentingan hak-hak dasar seluruh warga lapisan masyarakat negara/penduduk. dan belum Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. h. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan, belum lengkapnya laporan monitoring, laporan evaluasi tahunan serta evaluasi lima tahunan. 237 Maraknya kasus korupsi harus diakui salah satu dampak buruk dari lemahnya birokrasi. Oleh karena itu perlu memahami esensi birokrasi secara komprehensif terkait patologi birokrasi, masalah birokrasi dan langkah konkrit pelaksanaan reformasi birokrasi. Sangat menggilitik ketika KPK merilis informasi bahwa latar belakang koruptor sepanjang tahun 2004-Agustus 2012 berasal dari pejabat eselon I, II dan III. Notabene jabatan eselon merupakan jabatan tertinggi birokrat. Mestinya pejabat dalam ranah pemerintahan harus memberikan tauladan yang terbaik kepada bawahannya. Bukan malah sebaliknya karena reformasi birokrasi harus dimulai dari pusat atau jabatan tertinggi. Untuk mendorong timbulnya reformasi birokrasi, Thoha mempersyaratkan 4 hal105 yaitu : a. Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaruan b. Memahami perubahan yang terjadi dilingkungan strategis nasional c. Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global d. Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigm manajemen pemerintahan Keempat aspek ini mempertegas perlunya keseriusan Presiden selaku pucuk tertinggi dalam pemerintahan. Jadi perlu ada keberanian dalam melakukan terobosan baru dalam pemerintahan. Minimal mengikuti keberanian Woodrow Wilson saat menjadi Presiden Amerika Serikat yang mampu menerapkan konsep baru dalam memperbaiki pemerintahannya. Mengamati kondisi sekarang banyak hal yang menjadi pekerjaan birokrasi pemerintah mulai dari seleksi CPNS sampai 105 Thoha, Miftah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada, 2008: 106. 238 pada pengaturan dana pensiun. Dengan demikian, yang diperlukan adalah berupaya melakukan reformasi birokrasi. Arah dan kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional mulai berjalan dan ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, sedangkan operasionalisasinya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Berdasarkan arahan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan sejalan dengan proses pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga, pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah dilaksanakan mulai tahun 2012. Masing-masing pemerintah daerah mempunyai kondisi obyektif yang beragam, dalam hal karakteristik, kesiapan aparatur, dan lingkungan strategis. Oleh karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah tersebut. Untuk memastikan keberhasilan reformasi birokrasi, maka pelaksanaaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah diawali dengan ditetapkannya pemerintah daerah yang menjadi pilot project. Bersamaan dengan itu, pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah dapat dilakukan pada pemerintah daerah nonpilot project. Dengan adanya Grand Design Reformasi Birokrasi maka pelaksanaan reformasi birokrasi yang akan dilaksanakan harus bersandar atau mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk tetap menjaga kelangsungan reformasi, 239 dimana pelaksanaan sering dihadapkan pada berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal maka dibutuhkan adanya pengendalian. Pengendalian dimaksudkan untuk menjaga, mengkoreksi dan meluruskan kembali apabila terjadi penyimpangan dari rencana strategis yang telah ditentukan. Akhirnya untuk tetap menjaga agar reformasi tetap sesuai dengan kebutuhan maka perlu dilakukan evaluasi secara berkala. Kebijakan reformasi birokrasi diarahkan pada upaya-upaya pembentukan profil birokrasi yang efisien, mampu, tanggap dan dinamis terhadap tuntutan yang ditujukan kepada birokrasi itu sendiri, baik berasal dari lingkup nasional, regional dan internasional yang berjalan kearah good governance106. Sasaran reformasi birokrasi adalah : a. Birokrasi yang bersih b. Birokrasi yang efektif dan efisien c. Birokrasi yang produktif d. Birokrasi yang transparan e. Birokrasi yang terdesentralisasi Terkait dengan arah kebijakan yang lebih komplit, dijelaskan oleh pemerintah dalam : a. Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 b. Permenpan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014. 106 Rewansyah, 2010:149 240 c. Permenpan RB tentang: 1) Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi K/L dan Pemda (Permenpan RB No. 7/2011) 2) Pedoman Penilaian Dokumen Usulan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB No. 8/2011) 3) Pedoman Penyusunan Road Map Birokrasi K/L dan Pemda (Permenpan RB No. 9/2011) 4) Pedoman Pelaksanaan Quick Wins (Permenpan RB No. 10/2011) 5) Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan (Permenpan Rb No. 11/2011) 6) Pedoman Penataan Tatalaksana (Business Process) (Permenpan Rb No. 12/2011) 7) Kriteria Dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokras (Permenpan Rb No. 13/2011) 8) Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) (Permenpan Rb No. 14/2011) 9) Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Dan Tunjangan Kinerja Bagi K/L (Permenpan Rb No. 15/2011). Dalam mempercepat program reformasi birokrasi maka pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang disebut 9 program percepatan reformasi birokrasi yaitu : a. Penataan organisasi/birokrasi b. Penataan kualitas dan distribusi PNS 241 c. Sistem promosi dan seleksi secara terbuka d. Profesionalisasi PNS e. Pengembangan sistem e-government f. Debirokratisasi dan deregulasi izin usaha g. Peningkatan akuntabilitas dan tranparansi h. Penataan remunerasi i. Efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana Reformasi Birokrasi yang dikehendaki meliputi Organisasi dan Manajemen Pemerintah. Organisasi Pemerintah Daerah tidak lagi bersifat homogen, tetapi disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan sehingga model organisasi Pemerintah Daerah tidak hanya line and staff tapi bisa mengembangkan organisasi fungsional atau organisasi matriks. Reformasi Manajemen pemerintahan dilakukan dengan menyempurnakan pengelolaan SDM (Sistem Rekruitmen, Sistem Pengembangan Pegawai, Sistem Karier, Sistem Penggajian, Sistem kesejahteraan, sistem penilaian kinerja pegawai, Sistem pemberhentian pegawai), Pengelolaan Keuangan (system penganggaran, sistem pertanggungjawaban keuangan), Pengelolaan Sarana dan Prasarana (sistem pengadaan, pemeliharaan, penghapusan) serta Prosedur Kerja (hubungan kerja, koordinasi). Menyempurnakan Proses Perencanaan (integrasi rencana Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota), Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengawasan serta Pengendalian. 242 Untuk mewujudkan good local governance, Reformasi Birokrasi di Pemerintah Daerah dapat dilakukan dengan mengadakan pembaharuan dalam hal-hal antara lain : 107 1) Penyelenggaraan Pemerintahan dengan semangat desentralisasi, kewenangan tidak tersentralisasi di Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi dapat didesentralisasikan dengan pola delegasi ke Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Kelurahan/Desa. Semangat ini dilakukan untuk memberdayakan Pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik. 2) Dikembangkannya kelembagaan yang semi otonom yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat dan merasionalisasi (right seizing) kelembagaan unsur lini yang tidak memberikan layanan langsung dengan mengembangkan organisasi matriks atau organisasi fungsional. 3) Dikembangkannya lembaga pengawas independen yang bebas dari pengaruh Eksekutif dan legislatif. Bawasda yang ada saat ini merupakan pengawas internal Pemerintah Daerah dan tidak memiliki otoritas melakukan pengawasan kepada legislatif. 4) Masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menempatkan peran sesuai dengan posisi atau kedudukannya, maka untuk mencegah intervensi politik terhadap birokrasi atau untuk mencegah terjadinya politisasi birokrasi maka konsepsi dikotomi politik-administrasi memungkinkan untuk dikembangkan 107 Asep Kartiwa, Reformasi Birokrasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Baik (Good Local Governance) Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda Mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005 bertempat di Gedung Anton Soedjarwo Secapa POLRI Sukabumi. 243 kembali. Perwujudan dikotomi politik dan administrasi dapat dilakukan dengan mengurangi kewenangan Pejabat politik dalam pengangkatan dan pemberhentian pejabat birokrasi. 5) Reformasi dilakukan secara sistematis dan terpadu, pembaharuan satu aspek harus didukung oleh pembaharuan aspek yang lain. Misalnya pembaharuan dengan meningkatkan kesejahteraan pegawai akan sia-sia apabila tidak didukung oleh sistem penilaian kinerja dan sistem sanksi (Punishment). Dengan adanya pembaharuan dalam sistem administrasi pemerintahan pada tahap selanjutnya akan merubah pola pikir dan budaya birokrasi. Dengan adanya perubahan sistem yang didukung oleh perubahan perilaku birokrasi maka akhirnya akan meningkatkan kinerja pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan baik pembangunan maupun pelayanan kepada masyarakat. B. Proses Perjalanan Reformasi Birokrasi Dengan diimplementasikannya paket peraturan otonomi daerah yang baru, maka Pemerintah Daerah salah satunya harus melakukan restrukturisasi terhadap birokrasinya. Keharusan Pemerintah Daerah untuk melakukan restrukturisasi terhadap birokrasi haruslah sejalan dengan perkembangan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang baru yaitu harus mampu mewujudkan Good Governance khususnya ditingkat lokal. Realitas masyarakat yang tidak berdaya sebagai akibat dari kebijakan masa lalu, maka melalui restrukturisasi birokrasi, 244 Pemerintah Daerah harus mampu menciptakan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini dimaksudkan untuk dapat mencapai kesejajaran dengan unsur lain sebagai penopang terciptanya Good Governance, yaitu negara/pemerintah (birokrasi) dan sektor swasta yang selama ini lebih berdaya dari masyarakat. Restrukturisasi Birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam kerangka pengembangan Good Governace di tingkat lokal, maka restrukturisasi haruslah mampu menciptakan sebuah Birokrasi Pemerintah Daerah yang tampil dengan performa yang baru. Tampilan Birokrasi Pemerintah Daerah haruslah tidak lagi seperti masa sebelumnya, yaitu sebuah Birokrasi Pemerintah Daerah yang besar dan banyak memerlukan resosis, namun harus eksis dengan ramping namun kaya fungsi. Apabila Birokrasi Pemerintah Daerah bisa tampil dengan performa baru yang maka kehendak untuk memberdayakan rakyat akan dapat diwujudkan. Karena resosis yang selama ini dipakai untuk birokrasi bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat. Dengan berdayanya masyarakat maka akan ada keseimbangan peran dari semua unsur penopang Good Governance. Adanya keseimbangan peran antar unsur penopang Good Governance akan dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. penerapan Good Governance dapat dilihat melalui aspek-aspek : 1) Hukum/kebijakan. Hukum/kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik dan ekonomi. 245 2) Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administrative, keterbukaan informasi. 3) Desentralisai. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi didalam departemen. 4) Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi makro. Berdasarkan hal tersebut, maka konsepsi Good Governance dapat dilihat dari (empat) aspek pemerintahan (government), maka dalam kaitannya dengan restrukturisasi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, aspek pemerintahan dari Good Governance hanya akan difokuskan pada aspek kedua, yaitu kompetensi administrasi, transparansi dan efisiensi. Sesuai dengan aspek pemerintahan dari Good Governance, maka tampilan Birokrasi Pemerintah Daerah yang akomodatif terhadap pengembangan ―Good Governance― hanya mungkin tercipta jika birokrasi tersebut telah mampu merubah dirinya menjadi sebuah organisasi yang dapat meningkatkan kompetensi administrasi, transparansi dan efisiensi dalam diri birokrasi itu sendiri. Tampilan birokrasi yang demikian akan mampu banyak mengurangi penggunaan resosis yang selama ini dipergunakannya. Sehingga resosis yang selama ini digunakan oleh birokrasi bisa transfer untuk peningkatan pemberdayaan masyarakat. 246 Kompetensi administrasi dari Birokrasi Pemerintah Daerah akan memungkinkan organisasi tersebut memiliki kompetensi lembaga dan kompetensi personil. Kompetensi diartikan sebagai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan/memutuskan sesuatu. Kompetensi individu/personil pendekatan ini menitikberatkan pada keunggulan seseorang khususnya dilihat dari knowledge dan skillnya. Sesuai dengan perspektif diatas, maka dalam kontek restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, organisasi birokrasi harus memiliki kompetensi baik dari sisi kelembagaan maupun dari sisi personil. Kompetensi kelembagaan dimaksudkan sebagai kemampuan atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga/organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Kompetensi kelembagaan ini mengandung makna bahwa organisasi yang dibentuk benar-benar memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dan efisien. Kompetensi kelembagaan dimaksudkan untuk menghindari adanya duplikasi pelaksanaan tugas (overlap antar lembaga yang ada) karena dengan adanya kompetensi lembaga maka setiap lembaga akan memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga lainnya dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dari tujuan organisasi. Tidak adanya duplikasi antar organisasi mensyaratkan dibangunnya sebuah organisasi birokrasi yang ramping. Dengan bangunan organisasi birokrasi yang demikian maka resosis untuk birokrasi juga akan mengalami pengecilan. Sedangkan kompetensi personil diartikan sebagai kemampuan dan karakteristik 247 yang dimiliki personil berupa pengetahuan dan keterampilan yang dijadikan dasar dalam penempatan/promosi pada jabatan – jabatan yang tersedia dalam jajaran organisasi birokrasi hasil proses restrukturisasi. Dengan ada kompetensi personil di jajaran organisasi birokrasi pemerintah daerah maka penggunaan resosis untuk keperluan birokrasi akan mengalami pengecilan, karena profesionalisme birokrat dapat diwujudkan. Kemampuan personil dalam menjalakan tugas dengan baik (wujud dari profesionalisme) akan mengurangi penggunaan biaya-biaya yang tidak semestinya. Transparansi memungkinkan masyarakat dapat mengontrol birokrasi dalam menjalankan aktivitasnya. Adanya kontrol yang ketat dari masyarakat inilah yang menyebabkan birokrasi tidak lagi bisa seenaknya menggunakan sumber daya yang ada. Dengan demikian maka resosis yang digunakan birokrasi khususnya untuk kepentingan subjektif birokrat dapat dikendalikan menuju kearah yang semakin mengecil. Konsep Transparansi atau keterbukaan organisasi yang ada di jajaran birokrasi Pemerintah Daerah dari hasil proses restrukturisasi birokrasi, akan dilihat dengan indikator sebagai berikut : kewajiban untuk terbuka yang ada dalam tugas pokok dan fungsi organisasi dan implementasi dari kewajiban untuk terbuka yang dimiliki oleh organisasi berdasarkan tugas pokok dan fungsi. Sedangkan efisiensi dimaksudkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah harus mampu menghasilkan sebuah organisasi birokrasi yang lebih sederhana, ramping namun kaya fungsi sehingga aspek efisiensi khususnya dalam penggunaan dana publik untuk keperluan birokrasi menjadi lebih baik (efisien). 248 Mengenai pentingnya penyederhanaan lembaga dan efisiensi dalam kerangka Good Governance Nisjar108 menyebutkan bahwa penerapan prinsip - prinsip ―Good Governace‖, pemerintah harus…menciptakan struktur kelembagaan bagi berkembangnya partisipasi masyarakat,…dengan demikian perlu ada perampingan birokrasi atau corak pemerintah. Karena birokrasi adalah lembaga implementasi kebijakan publik maka dalam kegiatan pelaksanaan kebijakan publik harus dilakukan secara efisien109. Efisiensi merupakan penggunaan waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang semurah-murahnya dalam memberikan pelayanan110. Perspektif tersebut menunjukkan bahwa efisiensi dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi biaya/dana dan dimensi waktu. Rekonstruksi birokrasi khususnya pembentukan organisasi-organisasi di jajaran birokrasi Pemerintah Daerah maka efisiensi akan dilihat dari efisiensi penggunaan dana publik (APBD) untuk keperluan birokrasi dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Konsep ini akan dilihat dengan indikator sebagai berikut: kemampuan melakukan penyederhanaan Organisasi Birokrasi, meliputi jenis organisasi, jumlah organisasi dan eselonisasi organisasi, Distribusi alokasi anggaran (APBD) untuk keperluan penyelenggaraan pemerintahan (birokrasi) dan untuk keperluan publik (masyarakat) serta kemampuan melakukan perubahan/perbaikan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia di tinjau dari sejarah perjalkanan pemerintahan Indonesia sulit dipisahkan dengan sistem pengelolaan 108 109 110 Widodo Joko, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, cv Citra Malang, 2001:56 Widodo Joko, 2001:56 Agus Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: PPSK-UGM, 2002:49 249 pada masa kerajaan dan sistem pengelolaan masa kolonial. Budaya birokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan sistem kerajaan misalnya sebutan abdi dalem bagi prajurit raja yang hanya patuh kepada atasan. Hal ini pula dirasakan dalam birokrasi Indonesia sehingga muncul istilah birokrasi paternalistis. Bawahan hanya bertanggungjawab dan loyal pada atasannya. Disamping itu, pengaruh masa penjajahan kolonial juga mempengaruhi birokrasi Indonesia seperti ketergantungan pada aturan yang kaku. Dimasa penjajahan banyak produk hukum formal yang dibuat sebagai acuan pemerintahan. Sejarah pra kemerdekaan Indonesia tanpa disadari melekat dalam sistem birokrasi pasca kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari sistem birokrasi yang diterapkan sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun ada upaya reformasi birokrasi tetapi kelihatannya masih tetap jalan ditempat sehingga kemajuan bangsa masih tetap terpuruk. Perlu disadari bahwa pengaruh patologi birokrasi sangat mempengaruhi kemajuan suatu negara. 1. Orde Lama Menurut Rewansyah (2010:1) bahwa reformasi birokrasi bukanlah hal yang baru dalam penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia. Pada era orde lama terdapat beberapa upaya dalam reformasi birokrasi. Upaya ini ditandai dengan dibentuknya Panitia Organisasi Kementrian (PANOK) pada tahun 1953, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) tahun 1957, Komando Retooling Aparatur Negara (KONTRAR) tahun 1962, dan Tim Penertiban Aparatur dan Adminitrasi Pemerintah (Tim PAAP) tahun 1966. 250 Pada masa orde lama kekuatan birokrasi dipengaruhi oleh kekuatan politik yang dibangun oleh Presiden Sukarno. Kekuatan politik Presiden Sukarno meliputi nasionalis, agama dan komunis yang terbentuk dalam kelompok partai PNI, MASYUMI dan PKI. Birokrat pemerintahan didominasi oleh tiga kelompok dengan latar belakang pematangan tersebut. dengan Masa ini, membentuk birokrasi organisasi pemerintah khusus dalam yang tahapan menangani pemerintahan. Salah satu organisasi yang dibentuk pada masa orde lama adalah Lembaga Administrasi Negara. 2. Orde Baru Urgensi untuk memperhatikan birokrasi pada masa orde baru mulai menjadi perhatian serius pemerintah. Pada masa orde baru pemerintah mulai membentuk Kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, kemudian berubah menjadi Kemetrian Penertiban Aparatur Negara. Kabinet pembangunan III. Selanjutnya diubah lagi menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Meskipun demikian, birokrasi di Indonesia justru semakin tidak jelas. Aspek independensi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI kurang diperhatikan. PNS dipaksa masuk ranah politis melalui GOLKAR dan adanya dwi fungsi ABRI sehingga biokrasi semakin terkontaminasi dengan politik. Sering terjadi otoriratif elitis dan politisasi birokrasi dari Presiden Suharto kepada aparatur pemerintahan. Kondisi birokrasi masa orde baru mulai dirasuki praktek kolusi dan nepotisme yang merajalela. Aspek birokrasi pemerintahan dibawah satu komando. Akibatnya muncullah istilah Asal Bapak Senang (ABS) pada masa pemerintahan orde lama. 251 Ketimpangan tersebut merembet hingga ke pemerintah daerah. Birokrasi sangat kaku dan sentralistis. Pembatasan ruang lingkup birokrat sering terjadi tumpang tindih. Membuat fungsi-fungsi birokrasi berjalan lambat. Fenomena birokrasi yang terlihat pada masa ini adalah birokrasi paternalistis dengan prinsip Asal Bapak Senang. Manajemen birokrasi mirip dengan majamen tusuk sate, bawahan harus patuh, taat dan loyal pada atasan. 3. Era Reformasi Era reformasi yang bermula sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Seluruh lini dalam lingkup kenegaraan direformasi, termasuk birokrasi. Era ini diawali oleh Presiden Habibi yang berusaha kembali memperbaiki struktur dan kultur negara Indonesia yang krisis multidimensi. Birokrasi mulai ditata kembali dengan sebutan reformasi birokrasi. Usaha Presiden Habibi (1998-1999) dilanjutkan oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (1992001), Presiden Megwati (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyonu (2004- oktober 2014). Di era ini, reformasi birokrasi masih terlihat sekedar wacana kenegaraan. Sampai saat ini, Menurut Menteri Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa permasalahan birokrasi menjadi permasalahan terbesar yang lebih besar dari masalah korupsi dan infrastruktur. Ini sebuah pertanda yang mengusik tata pemerintahan di Indonesia. Upaya untuk menanggulangi masalah birokrasi akhirnya dijadikan prioritas utama RPJMN 2010- 252 2014. Target ini diperkuat dalam Perpres Nomor 81 tahun 2010 dan Permenpan Nomor 20 tahun 2010. Selanjutnya di elaborasi dalam 9 program percepatan reformasi biokrasi. C. Penataan Birokrasi pemerintahan pusat dan daerah Penataan birokrasi memiliki peran strategis dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan. karena posisinya yang strategis tersebut, maka performa birokrasi berkinerja tinggi (hight performance) mutlak diperlukan, sehingga tuntutan terhadap pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, dan akuntabel) dapat diwujudkan. Untuk bidang kelembagaan, Daniel Pahabol, menjelaskan reformasi birokrasi bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas kelembagaan Pemerintah Pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga organisasi birokrasi menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran. Salah satu penerapan dari semangat reformasi birokrasi tersebut adalah mewujudkan organisasi proporsional sebagai pemerintahan wadah untuk negara yang melangsungkan efektif, efisien, berbagai dan kegiatan pemerintahan berbasis good governance dan clean government, Proses reformasi birokrasi pada pemerintah daerah yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan satu kesatuan dalam manajemen pengelolaan reformasi birokrasi nasional sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional Sebagaimana Telah Diubah Dengan 253 Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 serta beberapa peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi/Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Struktur pengelolaan reformasi birokrasi nasional adalah sebagai berikut: Gambar 4 Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional Sumber: Permen PAN RB Nomor 30 Tahun 2012 Tim Reformasi Birokrasi Pemda dibentuk pada masing-masing pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana dengan susunan organisasi yang dibentuk dengan memperhatikan aspek efisiensi 254 dan efektivitas. Tim Pengarah diketuai oleh gubernur/bupati/walikota dengan wakil ketua adalah wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota serta sekretaris daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai Sekretaris Tim Pengarah. Anggota tim pengarah terdiri dari pejabat terkait sesuai kebutuhan. Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Pemda diketuai oleh sekretaris daerah dengan anggota para asisten sekretaris daerah, inspektur, kepala badan perencanaan pembangunan daerah, kepala badan kepegawaian daerah, dan pejabat lain yang terkait pada masing-masing pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Sedangkan sekretaris tim pelaksana adalah asisten sekretaris daerah provinsi/ kabupaten/kota yang menangani masalah aparatur dan wakil sekretaris tim pelaksana adalah kepala biro/bagian yang menangani organisasi pada sekretariat daerah provinsi/kabupaten/kota. Pilot Project Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah, dilakukan terhadap seluruh pemerintah provinsi dan ibukota provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota yang diusulkan oleh pemerintah provinsi dimana merupakan pemerintah kabupaten yang memiliki kesiapan lebih baik diantara pemerintah kabupaten/kota lainnya, sebagaimana kriteria yang telah ditentukan. Pemerintah provinsi dalam mengajukan pemerintah kabupaten dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut: a. telah membentuk Tim Reformasi Birokrasi Pemerintah Kabupaten; b. menyediakan anggaran yang cukup untuk pelaksanaan reformasi birokrasi dari optimalisasi anggaran yang ada; 255 c. memiliki anggaran belanja aparatur kurang dari 50 (lima puluh) persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan d. memiliki komitmen dalam upaya memajukan reformasi birokrasi yang dibuktikan dengan perolehan prestasi di bidang pengelolaan birokrasi antara lain opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) minimal Wajar Dengan Pengecualian (WDP), hasil evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) minimal nilai CC, dan Indeks Kepuasan Masyarakat ratarata bernilai baik. Tata cara penetapannya adalah sebagai berikut: a. Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemerintah provinsi untuk mengajukan pilot project reformasi birokrasi pemerintah daerah. b. Pemerintah provinsi menyampaikan pemerintah daerah pilot project reformasi kepada Menpan dan RB/Ketua TRBN sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. c. Menteri melaporkan pengajuan pemerintah provinsi mengenai pemerintah pilot project reformasi birokrasi kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN). d. Menteri menetapkan dengan Keputusan Menpan dan RB pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota tersebut sebagai pemerintah daerah pilot project reformasi birokrasi; 256 e. Pemerintah pemerintah provinsi/kabupaten/kota daerah pilot project yang telah reformasi ditetapkan birokrasi sebagai menyampaikan dokumen usulan dan rancangan road map. f. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota pilot project reformasi birokrasi melakukan konsultasi teknis dokumen usulan dan rancangan Road Map Reformasi Birokrasi kepada TRBN/UPRBN. g. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota pilot project reformasi birokrasi menetapkan Road Map dengan peraturan gubernur/bupati/walikota. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengusulan, Penetapan, Dan Pembinaan Reformasi Birokrasi Pada Pemerintah Daerah Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah pusat senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah dan setelah kurang lebih 2 tahun penerapan PP 41 tahun 2007 beberapa daerah kemudian berinisiatif melakukan evaluasi kelembagaan pemerintah daerahnya. Reformasi birokrasi pemerintahan daerah tersebut merupakan bagian dari organization development yang dilakukan secara sistemik (meliputi aspek input, proses, output & outcome dalam penataan kelembagaan) Evaluasi bersifat gradual atau incremental , tidak radikal. Tujuan utama dari evaluasi adalah 257 reformasi kelembagaan pemerintah daerah meningkatkan efektivitas perangkat daerah dalam menjalankan tupoksinya. Wujud Organization Development pemerintah daerah dalam konteks evaluasi kelembagaan meliputi : Penyesuaian struktur organisasi, Penyesuaian kewenangan, Penataan mekanisme dan tata laksana kerja, Penguatan kapasitas institusional D. Penataan Aparatur Pemerintahan Daerah Otonomi daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan penataanatas manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) aparaturnya secara kreatif daninovatif sesuai dengan kewenangan dan pembagian urusan yang diserahkan. Upaya-upaya pengelolaan SDM aparatur tersebut telah terbukti mendorong kinerja organisasi untuk lebih optimal melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Secara umum, manajemen SDM aparatur adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, pengadaan, kesejahteraan, dan kewajiban pengembangan dan kepegawaian, kualitas, pemberhentian. SDM yang meliputi penempatan, aparatur perencanaan, promosi,penggajian, sebagai penggerakdan penyelenggara tugas-tugas pemerintahan memegang peranan penting dalam suatu sistem pemerintahan. Oleh karenanya, pondasi dasar reformasi birokrasi seutuhnya harus dimulai dari reformasi terhadap pengelolaan/manajemen SDM aparaturnya. Reformasi pengelolaan SDM aparatur ini merupakan kebutuhan mendesak untuk dijalankan agar diperoleh aparatur yang professional, berkinerja tinggi, dan sejahtera dalam menyokong pencapaian pengelolaan birokrasi yang baik. 258 Reformasi birokrasi adalah strategi untuk membangun aparatur negara agar lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Atas dasar tuntutan tersebut serta dengan dilandasi otonomi daerah telah mendorong percepatan reformasi birokrasi di berbagai daerah. Beberapa daerah telah melakukan terobosan-terobosan dalam upaya penataan SDM aparaturnya, sehingga menjadi model percontohan bagi daerah lain. Meskipun demikian, keberhasilan penataan kepegawaian berbagai daerah tersebut, hanya menonjol/berinovasi pada satu atau beberapa dimensi dari berbagai dimensi manajemen SDM yang ada. Prasojo (2008) pernah melakukan kajian tentang Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices sejumlah daerah di Indonesia, yang menggambarkan secara utuh inovasi penyelenggaraan pemerintahan dengan dukungan peranan kepemimpinan yang merupakan faktor sangat menentukan untuk dapat mendorong reformasi birokrasi dan good governance di daerah lainnya. Berbagai macam best practices yang ada tersebut tentunya dapat menjadi referensi bagi daerah lain dalam menyusun kebijakan serupa, sehingga keberhasilan dan pencapaian kinerja di bidang aparatur dapat tercapai pula. Oleh karenanya, untuk lebih memperkenalkan best practices yang telah dilaksanakan berbagai daerah dalam penataan SDM aparaturnya, serta untuk 259 memudahkan pengambilan kebijakan di bidang aparatur. Hingga saat ini seringkali disinyalir bahwa manajemen sektork pemerintahan pada umumnya masih tertinggal dibandingkan sektor swasta. Kinerja aparatur daerah yang masih rendah dan tertinggal tersebut dapat terjadi dikarenakan kekeliruan dalam desain strategi proses rekrutmen, reposisi, pembekalan, dan perawatannya. Belum optimalnya kinerja aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsinya, ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan-keluhan yang disampaikan masyarakat atas pelayanan public yang diberikan pemerintah selama ini, juga masih seringnya ditemukan kasus penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), juga penempatan aparatur yang tidak sesuai dengan persyaratan jabatan. Kurangnya komitmen, maupun daya inovasi dan kreativitas pemerintah daerah untuk melakukan upaya penataan di bidang kepegawaian menjadikan kondisi kepegawaian berjalan di tempat (statis). Adapun praktik-praktik terbaik (bestpractices) bidang kepegawaian yang sudah dijalankan oleh beberapa daerahpun, masih kurang tersosialisasikan/ terdokumentasikan dengan baik. Padahal, hal tersebut sangat penting sebagai bahan benchmarking daerah lain dalam menyusun strategi penataan SDM aparatur yang lebih baik. Aparatur memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, terdapat berbagai macam fenomena yang menggambarkan kondisi aparatur daerah saat ini yang masih banyak masalah dan memerlukan perhatian dan prioritas utama dalam perbaikannya. Permasalahan-permasalahan bidang kepegawaian ini dirasakan oleh sebagian 260 besar pemerintah daerah, tidak hanya daerah-daerah baru hasil pemekaran, namun juga daerah-daerah induk yang sudah ada sebelumnya/ exist. Fenomenafenomena tersebut diantaranya: 111 1) Pengadaan/ rekrutmen PNS yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme pengusulan calon PNS yang tidak menyerap aspirasi dankebutuhan SKPD yang bersangkutan (bottom up), disamping faktor beralihnya tenaga honorer menjadi PNS yang sebagian besar merupakan tenaga-tenaga kurang berkualitas. Mengakibatkan terjadinya penumpukan PNS (overload) secara kuantitas namun kurang dari sisi kualitas. 2) Mismatch, dimana antara sosok PNS yang ada belum sesuai dengan tuntutan kompetensi bidang tugasnya. Ketidaktepatan penempatan pegawai dalam jabatan salah satunya karena belum disusunnya standar kompetensi jabatan yang menunjukkan syarat minimal PNS yang dapat menduduki jabatan tersebut. Hal ini kemudian berimplikasi terhadap kinerja dan pencapaian tujuan organisasi yang kurang optimal. 3) Belum adanya target atau kontrak kinerja yang harus dilakukan PNS dalammelaksanakan tugasnya. Belum adanya upaya penyusunan target dan sasaran kinerja PNS mengakibatkan sulitnya untuk menilai atau mengevaluasi PNS tersebut. Padahal, dengan adanya target dan kontrak kinerja ini akan memicu semangat kerja dan motivasi kerja PNS secaraproduktif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Disamping itu, 111 Ashari, Edy Topo, 2009, Sistem Pembinaan SDM PNS, Makalah, Badan Kepegawaian Negara, Jakarta 261 adanya pengukuran yang jelas akan sangat berguna dalam memberikan penghargaan kepada PNS yang berprestasi/ kinerja tinggi. 4) Alokasi dan distribusi PNS yang tidak merata mengenai kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah). Tidak adanya aturan dan upaya yang tegas, menjadikan PNS dapat menolak untuk ditempatkan pada SKPD di tingkat kecamatan atau kelurahan, terutama yang jauh dari pusat ibukota. Akibatnya, terjadi kekurangan pegawai pada SKPD di tingkat kecamatan atau kelurahan di satu sisi, namun di sisi lain terjadi over capacity pada instansi lain yang berada di pusat-pusat ibukota/pemerintahan. 5) Masih rendahnya tingkat produktivitas PNS dan belum optimalnya pelayanan PNS terhadap masyarakat. Objektifitas sistem penilaian kinerja masih dipertanyakan, termasuk belum diterapkannya job description secara rinci, pengukuran terhadap beban kerja, serta standar kompetensi jabatan. 6) Belum disusunnya pola karir yang jelas dan tegas juga berdampak pada sulitnya melakukan identifikasi kebutuhan diklat. Pemerintah daerah hingga saat ini masih lebih bersikap pasif menunggu aturan berupa Keppres tentang pola dasar karir PNS. Padahal dengan adanya penyusunan pola karir bagi PNS daerah tentunya akan memudahkan bagi pemerintah daerah dalam menata pegawainya. 7) Database PNS belum sesuai dengan harapan untuk manajemen kepegawaian, terutama dalam pembuatan perencanaan kebutuhan pegawai dan pengambilan keputusan terkait mutasi dan promosi. 262 8) Masih rendahnya penghasilan dan kesejahteraan PNS. Penghasilan yang rendah dan juga setara antara PNS yang berkinerja tinggi dengan PNS berkinerja rendah menjadikan PNS kurang termotivasi/ tertantang untuk aktif dan produktif. Peningkatan penghasilan dan kesejahteraan PNS dengan menerapkan sistem imbalan berbasis beban kerja dan prestasi kerja tentunya akan sangat berguna sebagai reward system. Ditemukan berbagai macam upaya atau program bidang kepegawaianyang merupakan praktik-praktik terbaik (best practices) dan dapat dijadikan contoh oleh daerah lain dalam menyusun kebijakan dibidang kepegawaian. Jika analisis, keberhasilan dalam penataan aparatur oleh daerah-daerah percontohan tersebut, dikarenakan komitmen kepala daerahnya (political will) yang sangat tinggi dengan ditunjang upaya-upaya inovatif dan kreatif, sehingga masing-masing daerah tersebut memiliki inovasi tertentu/ khas yang belum/tidak terdapat di daerah lainnya. Selain itu, dukungan seluruh komponen aparatur daerah telah mendorong pelaksanaan upaya penataaan manajemen SDM aparatur tersebut dapat berjalan dengan optimal. Berdasarkan kondisi SDM Aparatur yang telah diuraikan sebelumnya dan dikaitkan dengan upaya yang telah dikembangkan oleh daerah-daerah percontohan tersebut, ternyata memiliki hubungan yang saling terkait. Hubungan saling terkait dimaksudkan bahwa uraian kondisi SDM Aparatur yang banyak berisi masalah-masalah kepegawaian tersebut, ternyata dapat diselesaikan melalui upaya yang telah dijalankan oleh daerah-daerah percontohan. Dengan demikian, 263 strategi yang digunakan oleh daerah percontohan tersebut bisa diaplikasikan pula pada daerah lain yang mengalami masalah dibidang kepegawaian. Strategistrategi tersebut kemudian digabungkan (mix-strategy) sehingga menjadi satu strategi besar manajemen kepegawaian yang dapat dikatakan sebagai ―best practices strategy‖. Best practices strategy ditetapkan dengan mengedepankan pembangunan kompetensi aparatur daerah dalam mendukung pencapaian tujuan utama. Guna menjalankan best practice strategy tersebut diperlukan langkah atau tahapantahapan pendukung yang akan mempercepat realisasi strategi tersebut. Oleh karena itu dikembangkan melalui 6 (enam) langkah penataan SDM Aparatur daerah yang bisa diterapkan atau menjadi kebijakan langsung oleh pemerintah daerah, yaitu : 1) Merekrut PNS yang berkualitas secara profesional sesuai dengan kebutuhan organisasi. Melalui langkah ini diharapkan tersedianya PNS-PNS yang berkompeten dan siap ditempatkan sesuai bidang keahliannya.Langkah ini dapat dijalankan melalui upaya melakukan identifikasikebutuhan PNS melalui Analisis Kebutuhan Pegawai (termasuk analisis jabatan dan analisis beban kerja) yang dapat dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh instansi/ perangkat pemerintah daerah. Upaya lainnya adalah bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam pelaksanaan perekrutan PNS maupun penyediaan (supply) SDM yang berkualitas. Langkah ini merupakan replikasi sistem rekrutmen di Korea, yang menerapkan MoU antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi dimana isinya adalah lulusan terbaik dari 264 berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan pemerintah daerah akan ditawarkan untuk bekerja menjadi PNS. 2) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan PNS berbasis kompetensi. Langkah ini menekankan pada penguatan kompetensi PNS melalui kegiatan-kegiatan kediklatan yang sangat dibutuhkan organisasi. Langkah ini dijalankan melalui upaya peningkatan kemampuan PNS baik kemampuan teknis, manajerial, maupun administratif sesuai kebutuhan organisasi dan kebutuhan pegawai dengan berbasis pada Training Needs Assessment (TNA). Pengembangan kebijakan pada dimensi diklat PNS memang belum banyak dilakukan inovasi oleh pemerintah daerah. Pada umumnya kebijakan diklat ini hanya berupa pengiriman diklat baik formal maupun teknis ketika ada penawaran. Oleh karenanya, perlu dikembangkan assessment center dan development center sebagai sarana untuk menyeleksi dan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan potensi PNS. 3) Menempatkan PNS sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan. Langkah ini menekankan pada kesesuaian antara kompetensi pejabat yang akan menduduki suatu jabatan dengan persyaratan kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan tersebut. Langkah ini dijalankan melalui upaya penyusunan standar kompetensi jabatan (SKJ); pelaksanaan assessment bagi calon pejabat; dan menciptakan indikator kinerja bagi pejabat yang ditempatkan, sehingga bisa diukur dan dievaluasi pencapaian-pencapaian kinerjanya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Selain upaya tersebut, juga 265 diperlukan kebijakan penyusunan pola/alur karir PNS yang jelas dan tegas dengan melakukan perumpunan atas lingkup atau bidang tugas yang sama. Di lain pihak, guna menghindari adanya ketidak merataan kuantitas dan kualitas aparatur pada suatu instansi (khususnya di tingkat kecamatan dan kelurahan), maka perlu diterbitkan peraturan ditingkat daerah yang secara tegas mengatur mengenai perpindahan atau mutasi PNS ke instansi di tingkat kecamatan atau kelurahan. Kebijakan ini penting mengingat secara umum terjadi penumpukan jumlah PNS di pusat pemerintahan, dan di sisi lain terjadi kekurangan pada instansi pemerintah daerah di tingkat kecamatan atau kelurahan. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi PNS untuk menolak ditempatkan di instansi pemerintah yang berada di luar pusat ibukota daerah. 4) Meningkatkan kesejahteraan PNS berbasis pada kinerja. Langkah ini diarahkan untuk memotivasi kinerja PNS dengan jalan memberikan tunjangan kinerja dan fasilitas pendukung lainnya. Insentif atau tunjangan yang diberikan memberikan bobot yang lebih besar pada kinerja (prestasikerja) disamping kedisiplinan. Adapun fasilitas pendukung lainnya juga sangat penting demi menjaga loyalitas dan integritas aparatur daerah, fasilitas ini dapat berupa pemberian kesehatan gratis, konsultasi psikologi, atau melaksanakan kegiatan bersama di luar kantor (family day atau outbond). 5) Mengembangkan budaya kerja organisasi. Langkah ini mengedepankan kesamaan visi dan persepsi PNS secara utuh dalam mendukung pencapaian 266 tujuan organisasi. Langkah ini dapat dijalankan dengan melaksanakan forum kelompok budaya kerja secara regular yang ditujukan untuk membangkitkan menjalankan motivasi, peran semangat, sebagai serta pelaksana penegasan tugas diri dalam pemerintahan, upaya selanjutnya adalah menciptakan nilai-nilai dasar organisasi yang kemudian menjadi landasan bagi aparatur dalam bertindak dan berperilaku sesuai fungsinya kepada pelanggan atau masyarakat. 6) Mengembangkan penggunaan sistem informasi manajemen kepegawaian (SIMPEG). Kemajuan teknologi dan informasi perlu disikapi dengan penerapan aplikasi sistem kepegawaian berbasis elektronik (e- kepegawaian). Pengembangan SIMPEG sangat berguna dalam memantau perkembangan dan kondisi kepegawaian di daerah secara langsung (online). Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup pengolahan data, pengelolaan informasi, system manajemen dan proses kerja secara elektronis; serta pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah. Keseluruhan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut diatas tidak lain adalah untuk mendapatkan aparatur yang memiliki kompetensi optimal sesuai dengan kebutuhan organisasi. Kompeten dimaksudkan secara sederhana memiliki 267 knowledge, skill, dan attitude yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar yang dituntut dalam organisasi. Kompetensi didefinisikan secara resmi oleh Management Charter Initiative dalam Subagyo (2009) sebagai kemampuan seseorang untuk mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam konteks tertentu, dan kemampuan untuk mengalihkan pengetahuan dan keterampilan ke konteks yang baru dan/ atau berbeda. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu upaya penataan aparatur dapat berjalan dengan optimal jika didukung oleh komitmen kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian di daerah. Oleh karenanya, kepala daerah perlu untuk mengawal kebijakan kepegawaian sejak proses pengadaan hingga pemberhentian pegawai. Disamping itu, pemerintah daerah perlu untuk menuangkan kebijakan pengelolaan dibidang kepegawaian yang berbasis pada strategi tersebut di atas, ke dalam suatu peraturan yang mengikat agar pelaksanaannya tetap konsisten berjalan meskipun terjadi pergantian kepala daerah. Hal lain, dituntut pula inovasi dan kreativitas kepala daerah dengan didukung secara penuh oleh seluruh aparatur daerah dalam mewujudkan penataan di bidang kepegawaian yang optimal dalam rangka mendorong tercapainya reformasi birokrasi. Strategi yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam melakukan penataan aparaturnya adalah menerapkan best practice strategy yang merupakan strategi gabungan (mix-strategy) dari strategi yang diterapkan pada daerah percontohan. 268 BAB VIII REKONSTRUKSI BIROKRASI PADA PELAYANAN PUBLIK Dalam kehidupan kenegaraan modern, birokrasi semakin menjadi perangkat sentral untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Pada abad ke duapuluh satu ini birokrasi menjadi demikian penting, dan masyarakat hanya akan mendapat pelayanan publik secara memuaskan jika itu diselenggarakan melalui birokrasi modern. Oleh karena keberadaan birokrasi yang demikian penting, maka peran birokrasi menjadi sangat menentukan ―hitam putihnya‖ kehidupan negara dan masyarakat. Apabila birokrasi mempunyai kinerja yang baik, inovatif, kreatif dan produktif,maka akan baiklah negara dan masyarakatnya. Sebaliknya, apabila birokrasi tidak baik dan tidak produktif, maka juga akan menghancurkan negara. Dengan kata lain, peran birokrasi dapat memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat. Di satu sisi dapat menjadi lembaga yang sangat bermanfaat bagi masyarakat mencapai tujuan-tujuan hidupnya, namun pada sisi 269 lain birokrasi juga dapat menyengsarakan, menindas, mengeksploitasi dan bahkan dapat mendorong masyarakat menuju kehancuran. Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 membawa perubahan yang signifikan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini juga terjadi di dalam birokrasi yang merupakan organisasi pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pemberian pelayanan langsung kepada masyarakat. Gerakan reformasi menghendaki birokrasi memiliki netralitas politik, transparan, responsif, dan akuntabel. Dengan tuntutan ini, otomatis birokrasi harus membangun frame dan karakteristik baru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat yang dikehendaki rakyat. Namun harapan publik untuk melihat adanya perbaikan kualitas pelayanan publik dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil sering tidak terwujud. Hal ini disebabkan stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintah sebagai suatu penyakit (bureau patology) yang diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit, lambatnya pelayanan, dan korupsi dengan beranekaragam bentuknya. Di samping itu juga karena paradigma yang selalu melekat pada para birokrat selalu cenderung menganggap sebagai abdi negara daripada sebagai abdi masyarakat. Padahal idealnya bahwa, pemerintah pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Birokrat sebagai pelaksana penyelenggara negara serta pelayan masyarakat harus dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat agar ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat dapat tercapai. Di samping itu tujuan birokrasi 270 bukanlah hanya sekedar pelayanan publik. Pelayanan publik hanyalah merupakan salah satu manifestasi fungsi birokrasi. Membatasi fungsi birokrasi hanya pada pelayanan publik akan menjadikan birokrasi berfungsi pada level teknis rutin dan jangka pendek. Padahal birokrasi tidak hanya melayani tujuan teknis rutin dan jangka pendek, namun birokrasi dibentuk dalam rangka untuk tercapainya tujuan bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, diperlukan berbagai sarana pendukung, dalam hal ini salah satunya adalah sarana hukum, khususnya hukum administrasi negara, yang mengatur dan memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara itu sendiri. Pada dasarnya birokrasi merupakan mata rantai yang menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya, dan birokrasi merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian, maka tugas birokrasi adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dan merealisasikan setiap kebijakan pemerintah dalam mencapai kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, DPR telah mensyahkan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan yang memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya reformasi di bidang administrasi pemerintahan. Selanjutnya dinyatakan Ryaas Rasyid bahwa, birokrasi pemerintah setidaknya memiliki 3 (tiga) tugas pokok yaitu : 112 1) Memberikan pelayanan umum (public service) yang bersifat rutin kepada masyarakat 112 seperti memberikan pelayanan, perijinan, pembuatan Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2002: 12 271 dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. 2) Melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. 3) Menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya. Dari uraian di atas jelas bahwa, birokrat sebagai pelaksana penyelenggara negara serta pelayan masyarakat harus dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat agar ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat dapat tercapai. Di samping itu, birokrat juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim dan tata kerja baru bagi aparatnya agar dapat mengatasi tantangan di masa yang akan datang. Pelayanan publik hanyalah merupakan salah satu manifestasi fungsi birokrasi113, namun yang terpenting adalah bagaimana memberikan pelayanan public yang berkualitas yang merupakan kunci utama dalam rangka memenuhi hak-hak dasar/konstitusional rakyat sehingga pembangunan nasional dapat dilakukan secara berkelanjutan114. Membatasi fungsi birokrasi pemerintahan hanya pada pelayanan publik akan menjadikan birokrasi berfungsi pada level teknis rutin dan jangka pendek. Padahal birokrasi tidak hanya melayani tujuan teknis rutin dan 113 114 M. Mas‘ud Said, Birokrasi Di Negara Birokratis, UMM Press, Malang, 2007: 218 Taufiq Effendi, Reformasi Birokrasi: Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Tanggal 27 Oktober 2008 :80. 272 jangka pendek, namun birokrasi dibentuk dalam rangka untuk tercapainya tujuan bangsa dan Negara. A. Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan pemerintah publik beserta merupakan aparaturnya serangkaian kepada aktivitas masyarakat yang dalam dilakukan mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sekaligus memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani. Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat, sudah tentunya suatu pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah harus mencakup seluruh masyarakat yang membutuhkannya, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat merasakan kepuasan dari layanan yang diberikan kepada mereka. Pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapkan115. Pelayanan publik merupakan kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik yang pusat, maupun yang di daerah dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban. Lebih lanjut, pelayanan publik dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan 115 Widodo Joko, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, cv Citra Malang, 2001:131. 273 menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi azas pelayanan yang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, BAB II, Pasal 4 menyebutkan asas pelayanan publik sebagai berikut: 1) Kepentingan Umum; 2) Kepastian Hukum; 3) Kesamaan Hak; 4) Keseimbangan Hak dan Kewajiban; 5) Keprofesionalan; 6) Partisipatif; 7) Persamaan Perlakuan/Tidak Diskriminatif; 8) Keterbukaan; 9) Akuntabilitas; 10) Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Rentan; 11) Ketepatan Waktu; dan 12) Kecepatan, Kemudahan, dan Keterjangkauan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dalam berbagai sendi pelayanan antara lain yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar penduduk, masih dirasakan belum seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan, keluhan masyarakat baik yang disampaikan secara 274 langsung kepada pimpinan unit pelayanan maupun melalui surat pembaca pada berbagai media massa. Di lain pihak masyarakat sebagai unsur utama yang dilayani belum memberikan kontrol yang efektif untuk menjadi unsur pendorong dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun dalam menciptakan suatu pelayanan yang berkualitas yang melahirkan kepuasan kepada para masyarakat yang menerimanya, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak hal yang menjadi kendala dan factor lain yang mengkibatkan pelayanan public yang diselenggarakan pemerintah dirasakan masih kurang dan cenderung tidak melaksanakan dengan sepenuh hati. Masih banyak kita temui keluhan-keluhan dari masyarakat dan media massa yang menilai bahwa kualitas pelayanan public yang diselenggarakan pemerintah belumlah maskimal. Tentunya keadaan seperti diatas haruslah dibenahi dan diperbaiki untuk menciptakan dan mewujudkan kondisi negara yang semakin baik. Apalagi fenomena yang telah berlangsung di Negara kita saat ini, dengan bergulirnya era otonomi daerah seharusnya dengan terciptanya desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah semakin mempercepat proses pelayanan public kepada masyarakat. Berbagai upaya pun terus dilakukan oleh pemerintah dan aparaturnya dalam peningkatan pelayanan public itu. Hal ini menjadi strategi atau upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sepenuhnya dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Adapun upaya peningkatan pelayanan publik itu meliputi : 1) Peningkatan kualitas perilaku dan keprofesionalan aparatur pemerintah. 275 Peningkatan kualitas dan keprofesionalan aparatur pemerintah adalah salah satu strategi dalam menciptakan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Sebab dewasa ini, keluhan-keluhan yang datang dari masyarakat yang menilai pelayanan publik yang diberikan kepada mereka terkendala akibat masih belum tingginya sikap atau perilaku sumber daya manusia aparatur yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Rendahnya tingkat kualitas sumber daya manusia aparatur dan keprofesionalan pegawai ini juga mengakibatkan sering terjadinya diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Sebagian besar masyarakat ada yang menerima pelayanan itu dengan maksimal akan tetapi sebagian lagi hanya mendapatkan pelayanan yang sekedarnya. Karena itulah peningkatan sumber daya manusia dan profesionalitas pegawai menjadi suatu aspek yang patut diperhatikan dalam upaya peningkatan pelayanan publik. Kondisi birokrat yang memiliki kecakapan, ketrampilan, perilaku yang patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku, serta penempatan posisi yang sesuai dengan bidangnya, tentunya akan memberikan dampak yang positif kepada terciptanya pelayanan publik berkualitas. Satu hal lagi yang perlu dicermati dalam upaya peningkatan pelayanan public melalui peningkatan kualitas sumber daya aparatur dan keprofesionalan pegawai adalah masalah attitude atau perilaku. Diperlukan sikap dan mental yang baik dari setiap aparatur pemerintah yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam pemberian layanan. Sikap baik ini 276 tentunya bukanlah seperti yang terjadi selama ini, dimana masyarakat dibuat susah dengan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang melayani. Hal ini perlu diperhatikan sebab, seprofesional apapun aparatur penyelenggara pelayanan public, bila memiliki sikap yang bobrok, hanya akan menimbulkan ketidakpuasan lain kepada masyarakat. 2) Menciptakan kebijakan pelayanan publik yang tidak terlalu prosedural dan berbelit-belit. Langkah selanjutnya sebagai salah satu strategi peningkatan pelayanan publik adalah dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang mendukung terselenggaranya peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat. Diharapkan dengan penerbitan kebijakan mengenai peningkatan pelayanan publik itu akan semakin mendorong terciptanya kualitas pelayanan yang efektif, efisien dan akuntabel. Salah satu tujuan dari pembuatan kebijakan itu juga untuk mengubah image dan citra pelayanan public selama ini yang cenderung berbelit-belit, boros dan memakan waktu yang lama. Sehingga pada akhirnya nanti, masyarakat akan semakin lebih terpuaskan dengan setiap layanan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah dengan menerbitkan atau membuat standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal merupakan sebuah kebijakan public yang mengatur jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap masyarakat secara minimal. Kebijakan ini juga dibuat seiring dengan diselenggarakannya proses desentralisasi kekuasaan di Negara kita, sehingga dengan mekanisme 277 tersebut masyarakat di tiap daerah mampu mendapatkan pelayanan yang optimal dari pemerintah. Disamping untuk mempercepat proses pelakasanaan pelayanan public bagi masyarakat, kebijakan pemerintah dengan menerbitkan standar pelayanan minimal juga bertujuan untuk memberikan jenis pelayanan beserta transparansi dan akuntabilitasnya kepada masyarakat. Sehingga dengan kebijakan itu, akan menghindarkan perilaku-perilaku menyimpang yang selama ini dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Selain memperhatikan kedua aspek diatas, salah satu sisi lain yang patut diperhatikan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan publik adalah dengan meningkatkan penyediaan fasilitas yang menunjang kualitas pelayanan public tersebut. Sebab, tanpa didukung tersedianya fasilitas yang lengkap maka akan menghambat proses penyelenggaraan pelayanan public kepada masyarakat. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sudah sepatutnya pemerintah menerapkan kemajuan teknologi itu untuk menunjang penyelenggaraan pelayanan public. Peningkatan fasilitas ini tentunya mencakup fasilitas fisik dan non fisik. Ketersediaan prasarana ini disadari atau tidak akan semakin mempercepat sekaligus meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Dan untuk mewujudkannya maka haruslah diperlukan alokasi dana untuk penyediaan sarana dan prasarana tersebut. Dengan begitu maka segala kendala yang menghalangi penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat akan dapat teratasi. 278 B. Budaya dan Etika Pelayanan Fenomena tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia sering dikeluhkan dan dibahas masyarakat secara luas, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Budaya dan etika aparat birokrasi sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri. Dalam paradigma ―dikotomi politik dan administrasi‖ ditegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut discretionary power, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka 279 timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara baik dan tidak secara buruk116. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Ada enam ide agung landasan etika yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak sebagaimana yang dikemukakan Adler117, yaitu: 1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, 2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian, 3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan, 4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, 5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain, dan 116 117 Widodo, Joko, Good governance, telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Surabaya: Insan Cendekia, 2001. Adler, Mortimer J, Six great ideas. New York: Touchstone Rockefeller Center, 1984. 280 6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. Dalam konteks birokrasi, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas118. Oleh karena itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik119. Di Indonesia, etika birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara struktural telah diatur aturan mainnya, dan dikenal sebagai ―Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)‖. Adapun dasar hukum ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. 118 119 Dwiyanto Agus, Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kependudukan dan Kebijakan (PSKK). UGM. 2002. Kumorotomo, Wahyudi, Etika administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Studi 281 Tantangan besar yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana menampilkan aparatur yang memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan moral, khususnya keadilan. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga sungguhsungguh menghayati asas-asas etis itu, dan terakhir benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin dalam tindakan jabatannya120. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis. Banyaknya tindakan indisipliner yang dilakukan birokrat juga akan mengurangi kredibilitas dan performanya sebagai pelayan publik. Misalnya pada sebuah kesempatan sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah setempat, didapati sebanyak 50% lebih pegawai pada sebuah kantor dinas daerah mangkir dari pekerjaannya. Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral 120 The Liang Gie, Etika administrasi pemerintahan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 2006.. 282 terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan ―six great ideas‖ 121 yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilainilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk mensukseskan pemberian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan dipromosikan. Nilai-nilai tersebut sering dilihat sebagai ―muatan lokal‖ yang wajib diikuti seperti keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama yang jelas, bertaqwa, dan sebagainya. Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan ―professional standars‖ (kode etik) atau ―right rules of conduct‖ (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik122. Sebuah kode etik meru-muskan berbagai tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik bagi 121 Denhardt, KG, The ethics of public service: resolving moral dilemmas in the public organizations. New York: Greenwood Press, 1988. 122 Denhardt, KG, The ethics of public service: resolving moral dilemmas in the public organizations. New York: Greenwood Press, 1988. 283 kalangan profesi yang lain masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama dan etika moral Pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi pegangan bekerja atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana implementasi dari nilainilai tersebut. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi harus diakui bahwa tidak adanya kode etik ini memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengeyampingkan kepentingan pulik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol lansung sikap dan perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada dalam suatu organisasi pelayanan publik. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin yakin bahwa birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik. Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju dan memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah menetapkan kode etiknya. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (America Society for Public Administration), yang telah direvisi berulang-ulang kali dan 284 mendapat penyempurnaan dari para anggotanya123. Nilai-nilai yang dijadikan kode etik bagi pelayan publik di Amerika Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, penuh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik, memberi perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap ―system merit‖ dan program ―affirmative action‖. Semua nilai yang terdapat dalam kode etik pelayan publik ini bukan muncul tiba-tiba tetapi melalui suatu kajian yang mendalam dan membutuhkan waktu lama, dan didukung oleh diskusi dan dialog yang tidak pernah berhenti. Konferensi atau seminar berkala diantara para akademisi dan praktis administrasi publik terus dilakukan, para peserta seminar atau konferensi sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam diskusi dan dialog terbuka dan mendalam untuk menetapkan nilai-nilai moral dan etika yang harus diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam kondisi apa seorang birokrasi publik harus bertindak atau memperhatikan nilainilai etika. Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini Indonesia dikenal sebagai Negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia, perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika perumusan kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika pelayanan publik, etika perencanaan publik, etika PNS, dan sebagainya, harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan dengan moral dan etika. 123 Wachs, M, Ethics in Planning Center for Urban Policy Research. The State University of New Jersey, 1985. 285 Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute Josephson America124 dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi public dalam memberikan pelayanan, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan berbelit-belit; 2) Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak bermuka dua; 3) Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak; 4) Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan; 5) Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima perbedaan serta berpikiran terbuka; 6) Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang, memberikan kebaikan dalam pelayanan; 7) Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat manusia privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang; 8) Kewarganegaraan, kaum professional sektor publik mempunyai tanggung jawab untuk menghormati dan menghargai serta mendorong pembuatan keputusan yang demokratis; 9) Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan seorang professional publik harus berpengetahuan dan siap melaksanakan wewenang publik; 124 The Liang Gie,Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006. 286 10) Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan, konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh kepada orang lain; 11) Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada disektor publik mempunyai kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan untuk menjaga dan meningkatkan integritas dan reputasi prosses legislatif. American Society for Public Administration (ASPA), pada tahun 1981 mengembangkan kode etik pelayan publik125 sebagai berikut: 1) Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri; 2) Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat; 3) Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai patokan; 4) Manajemen yang efesien dan efektif adalah dasar bagi administrasi negara. Suversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Pegawai-pegawai bertanggung jawab untuk melaporkan jika ada tindakan penyimpangan; 5) Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asasasas itikad yang baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan; 125 The Liang Gie, Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006. 287 6) Perlindungan terhadap kepentingan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritiasme yang merendahkan jabatan publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima; 7) Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi, dan kasih sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya; 8) Hatinurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda mora dalam kehidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tak bermoral (good and never justify immoral means); 9) Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung jawab engan penuh dan tepat pada waktunya. Nilai-nilai etika di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi publik dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap, tindakan, perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau buruk oleh publik. Sejalan dengan penilaian tersebut Jabbra dan Dwivedi126 mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja pegawai sesuai dengan standard dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan 5 macam akuntabilitas, yaitu: Pertama, 126 Jabbra, J.G dan Dwivedi, O.P, Public Service Accountability. Conneticut: Kumarian Press, Inc, 1989. 288 akuntabilitas administrative (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan adanya hubungan hirarkhis yang tegas diantara pusatpusat pertanggungjawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubunganhubungan hirarkhis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas pertanggungjawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah, dan pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan. Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang palig ringan sampai pemecatan; Kedua, akuntabilitas legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari aparat pemerintah di badan legislative dan/atau di depan makamah. Dalam hal pelanggaran kewajibankewajiban hukum ataupun ketidakmampuannya memenuhi keinginan legislatif, maka pertanggungjawaban aparat atas tindakan-tindakannya dapat ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undangundang (judicial review); Ketiga, akuntabilitas politik. Para administrator yang terkait dengan kewajiban menjalankan tugastugasnya mengikuti adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumbersumber dan menjamin adanya kepatuhan pelaksanaan perintahperintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima tanggung jawab administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugastugasnya dengan baik; Keempat, akuntabilitas profesional. Sehubungan dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti dokter, camat, lurah, bidan, pustakawan, pekerja sosial dan sebagainya) 289 mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Kalaupun mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan mememperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik; Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang tindakantindakannya. selayaknya Landasan bertanggungjawab bagi setiap secara tindakan pegawai moral atas pemerintah seharusnya diletakan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. C. Standarisasi Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan publik yang berkualitas merupakan standar yang harus diupayakan apabila birokrasi pemerintahan ingin memberikan kontribusi yang optimal pada pemakai masyarakat. Pengguna jasa unit organisasi dalam birokrasi pemerintahan akan mempunyai perasaan dimudahkan dan dilayani segala keperluan warkat dan penyelesaian permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat. Kualitas ini meliputi aktivitas kegiatan yang harus dilalui oleh 290 pekerjan organisasi untuk memenuhi hasil/produk yang harus dipenuhi oleh penguna jasa. Secara spesifik kegiatan tersebut merupakan metode, prosedur maupun sistem yang ada sebagai satu kesatuan untuk menghasilkan layanan yang memuaskan Di sisi lain peningkatan pelayanan publik juga tidak lepas dari upaya perubahan dari SDM organisasinya, sebagaimana dikatakan John Dilulio127 bahwa deregulating the public service means changing personnel and procurement employes. Sejalan dengan perkembangan jaman, pimpinan organisasi pemerintahan dituntut untuk lebih mempunyai wawasan berpikir secara kompleks dan komprehensip ketika akan menentukan segala kebijakan yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya. Hal tersebut mengimbangi tuntutan perkembangan teknologi informasai dan perkembangan paradigma berpikir masyarakat sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Membangun Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan menjadi penting artinya ketika dalam organisasi timbu permasalahan yang terkait dengan tuntutan kualitas pelayanan serta complain dari pengguna layanan. Tidak saja itu, namun semakin bertambahnya lembaga yang serupa maka adanya kompetisi dalam rangka memberikan pelayanan tersebut juga memberikan sinyal kepada lembaga untuk memperbaiki layanan kepada pihak lain. Kondisi tersebut menjadi bagian permasalahan dalam perusahaan maupun lembaga yang memperjuangkan peningkatan produk. Hal tersebut tidak saja berlaku pada perusahaan swasta akan tetapi pada era sekarang manajemen 127 John Dilulio, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings Instirtution, 1994. 291 publik juga tidak lepas dari persoalan peningkatan kualitas pelayanan. Pemikiran John Dilulio128 bahwa the idea of deregulating the publik service needs to be studied and tested. eregulating the public service while maintaining appropriate avenues of accountability is almost certain to improve the administration of the nation‘s federal, state and local government. Jadi sebuah kualitas pelayanan merupakan tuntutan akuntabilitas dalam sebuah lembaga. Memulai berpikir kearah peningkatan kualitas pelayanan dan kesadaran untuk mengembangkan organisasinya melalui berbagai aspek, mulai dari perhatian terhadap kualitas produknya, kemasan, sarana dan prasarananya, serta kualitas sumberdaya manusianya serta akuntabilitasnya adalah sebuah perubahan yang berarati. Kesadaran tersebut harus melekat keseluruh jajaran serta telah menjadi visi organiasi. Selanjutnya visi tersebut selalu disosialisasikan, yang pada akhirnya akan menjadi budaya dalam melakukan kerja sehari-hari dan menjadi pedoman berperilaku serta pengembangan kearah peningkatan produk. Melihat betapa kompleksnya masalah yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik, maka upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia tentu saja menuntut perubahan yang holistic, menyeluruh dan menyentuh semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan. Upaya Peningkatan kualitas terkoptasi dengan persoalan yang terjadi dalam aspek-aspek lainnya. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik hanya akan berhasil kalau mampu mewujudkan perubahan yang menyeluruh dan dilakukan secara konsisten. Perubahan tersebut harus mencakup: revitalisasi, restukturisasi, 128 John Dilulio, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings Instirtution, 1994. 292 dan deregulasi, peningkatan profesionalisme aparat dan partisipasi masyarakat, korparatisasi, e-government, pemberian penghargaan dan sanksi kepada unit pelayanan masyarakat. Hanya dengan mendorong perubahan yang menyeluruh dan menyentuh semua dimensi masalah pelayanan publik itulah yang akan mampu memperbaiki kualitas pelayanan publik, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hasil yang diharapkan dari otonomi daerah adalah pemberian pelayanan publik yang lebih memuaskan, pengakomodasian pengurangan beban pemerintah pusat, kedewasaan daerah serta penyusunan partisipasi masyarakat, penumbuhan kemandirian dan program yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah129. Dalam hal ini terlihat bahwa otonomi daerah, merupakan manifestasi kemauan politik untuk meningkatkan pelayanan publik 130. Di samping itu otonomi daerah juga diakui sebagai suatu prinsip yang diperlukan demi efisiensi pemerintahan131. Oleh kerena itu, pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik (the closer government, the batter it services). Menurut pandangan ilmu pemerintahan, salah cara untuk mendekatkan pemerintahan 129 130 131 kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan Wilson, James Q, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do it. New York: Basic Books, Inc.1989:27-28. Diamar, Son, ―Beberapa Catatan Dimensi Politik Pelayanan Publik‖, Makalah disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta, 2003:1 Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester Masschusetts: Allen & Unwin, Inc, 1995:4-5 293 desentralisasi132. Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) yang digulirkan 1 Januari 2001 untuk mengganti sistem sentralisasi, sebagai perwujudan dari amanat Undang-undang tentang Pemerintah Daerah133, yang telah memberikan perluasan kewenangan pada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan. Pemberian otonomi ini, dari sisi pelayanan dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali mengakibatkan pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Konsekuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih berorentasi kepada aspirasi masyarakat. Kalau kita diamati secara cermat, terlihat kecenderungan rendahnya kinerja birokrasi pelayanan publik dipengaruhi paternalisme yang masih kuat yang mendorong pejabat oleh budaya birokrasi untuk lebih berorentasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa, dan memperlakukan para pengguna jasa (publik) sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Rendahnya kinerja birokrasi pelayanan publik menurut Abdulwahab134 juga disebabkan oleh sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan, sehingga bawahan yang 132 133 134 Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester Masschusetts: Allen & Unwin, Inc, 1995:8 Perubahan tersebut melalui UU 22 tahun 1999 kemudian revisi dengan UU 32 tahun 2004, dan sekarang rubah dengan UU 23 Tahun 2014, seminggu setelahnya presiden SBY mengeluarkan Perpu nomor 2 tahun 2014 yang merevisi UU tersebut. Abdulwahab, Solichin, Reformasi Pelayanan Publik: Kajian dari Perspektif Teori Governance, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Addministrasi Universitas Brawijaya. Malang: PT Danar Wijaya 1999:7 294 lansung yang berhubungan dengan pengguna jasa sering tidak memiliki wewenang memadai untuk merespon dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan Banyak faktor yang mesti diperhatikan dalam membangun kualitas pelayanan antara lain dengan menggali faktor pendorong yang menjadikan kepuasan masyarakat. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui: 1) Kepuasan User Perusahaan/ lembaga harus dapat mencari informasi terkait dengan apa yang menjadi harapan masyarakat yang ingin dipuaskan atau harus mengetahui persepsi masyarakat. Informasi tersebut didapatkan memalui survai masyarakat dengan membuat daftar pertanyaan yang dikirimkan/diberikan kepada pemakai jasa, yang selanjutnya jawaaban masyarakat tersebut dianalisis sehinga akan memperoleh informasi yang diibutuhkan. Apabila harapan masyarakat puas kalau harapannya terhadap transaksi yang dilakukan maka mereka akan setia terhadap produk layanan kita. Pertanyaan yan muncul selanjutnya adalah bagaimanan mendorong masyarakat merasa puas. 2) Menciptakan Manajemen Pelayanan Publik Salah satu faktor penting untuk melakukan pengembangan organisasi pemerintahan adalah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para masyarakat (masyarakat) yang melakukan kerjasama atau membutuhkan jasa dalam hal pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat adalah persoalan yang unik karena setiap masyarakat mempunyai 295 karakterisstik yang berbeda dalam setiap kontak. Perbedaan ini muncul karena masing-masing individu masyarakat mempunyai temperamen yang berbeda. Untuk itu dibutuhkan kemampuan profesional dalam melayani berbagai tipe tersebut. Jasa pelayanan yang baik dan memuaskan sangat diharapkan oleh konsumen atau masyarakat. Biasanya mereka melakukan konrtol kualitas pelayanan dengan membandingkan harapannya dengan pengalamannya. masyarakat akan mempunyai kenangan atau pengalaman yang tidak dapat dihilangkan begitu saja, yang akan memberikan dampak pada siklus selanjutnya misalnya pada pelayanan pembuatan Kartu keluarga kemudian selanjutnya pada pembuatan KTP dll. Salah satu cara yang mampu menetralisir kesalahan yakni dengan permohonan maaf. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam memberikan pelayanan publik dengan berdasar pada kualitas pelayanan. 3) Service quality Dalam memberikan kepuasan masyarakat service quality menjadi faktor penting yang harus diupayakan. Meskipun dari sisi produk telah meyakinkan untuk dapat memberi kepuasan kepada masyarakat namun apabila dalam proses mendapat pelayanan dari aparat kurang baik kemungkinan yang terjadi masyarakat tidak merasa dipuaskan dengan menggunakan produk/jasa yang mereka terima. Kepuasan terhadap kualitas pelayanan berkaitan dengan faktor sikap dan perilaku ketika melayani masyarakat. Untuk itu maka penyelenggaraan diklat-diklat terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku perlu dilakukan oleh pemerintah. 296 Sebagai konsekuensinya, kinerja pelayanan instansi pemerintah harus ditingkatkan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh, bahkan ada beberapa yang melakukan protes bahkan menempuh jalur hukum atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Di sisi lain, sepeti yang diungkapkan Ashari135 juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan prilaku oknum pemberi pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, diskriminatif, sistem pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit serta tidak menjamin adanya kepastian, baik waktu maupun biaya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, diantaranya adalah: 1) Revitalisasi, rekonstruksi, dan deregulasi di bidang pelayanan publik; 2) Peningkatan profesionalisme aparat pemerintahan; 3) Pengembangan dan pemanfaatan Electronic-Government (E- Government) bagi instansi pelayanan publik; 4) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik; 5) Pemberian penghargaan dan sanksi yang jelas kepada unit pelayanan masyarakat. Sebagai langkah awal dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik adalah melalui revitalisasi, restrukturisasi, dan deregulasi di bidang pelayanan 135 Ashari, Edy Topo. Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta, 2003;5. 297 publik. Dilakukan dengan mengubah posisi dan peran (revitalisasi) birokrasi dalam memberikan layanan kepada publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah, merubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju kearah yang fleksibel kolaboratis, dan dari cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realistis136. Sehubungan dengan itu, Efendi137 menegaskan bahwa birokrasi publik jangan mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan selaku pelayan publik. Aspek lainnya yang penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik adalah melakukan restrukturisasi kelembagaan dengan membentuk organisasi yang tepat138. Bentuk organisasi yang tepat (rightsizing) dapat diartikan sebagai upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan organisasi yang lebih proposional, datar (flat), transparan, hieraki yang pendek dan terdesentralisasi kewenangannya. Postur organisasi pelayanan publik nantinya akan lebih proporsional, efektif dan efesien serta didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini bisa terjadi apabila pejabat publik mempunyai komitmen terhadap empat prinsip kualitas pelayanan, yaitu reliability, surprise, recovery dan fairness139. Reabilitas menyangkut keandalan dan keakuratan dari jasa pelayanan. Hal ini menyangkut pemenuhan akan janji. Kualitas 136 137 138 139 jasa Widodo, Joko, Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya: UNTAG 2001:70. Efendi, Taufik,Pejabat Jangan Kedepankan Wewenang, Harian Singgalang, Selasa 18 April 2006, 2006:7. Rauf, Maswardi, Bahan Propenas Bidang Aparatur Negara Tahun 2005-2009, Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2003: 3. 13 Berry, Leonard L, On Great Service, A Framework for Action, New York: The Free Press, 1995:17. 298 pelayanan akan sangat tergantung dan biasanya diukur atas prinsip TERRA yang merupakan singkatan dari elemen kualitas jasa yang meliputi: Tangibles, Empaty, Reliability, Responsiveness dan Assurance. Tangibles adalah penampilan fasilitas fisik, alat, personil, dan bahan komunikasi. Empaty adalah sikap memahami, memberikan pelayanan dan perhatian kepada publik. Reliability adalah kemampuan untuk menyampaikan pelayanan yang andal dan akurat sesuai dengan janji. Responsiveness adalah daya tanggap dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sedangkan Assurance adalah pengetahuan, keramahan, kesantunan dan kemampuan untuk membangun kepercayaan publik. Sedangkan surprise adalah cara mencapai keadaan dimana publik pelanggan merasa kejutan positif atas pelayanan yang diberikan. Perasaan atau keadaan ini datang dari sesuatu yang diperoleh di luar perkiraannya. Service recovery adalah strategi organisasi untuk memperoleh kembali kepercayaan publik yang hilang atau menurun karena telah mengalami kekecewaan atas kualitas pelayanan yang buruk. Dan fainess adalah prinsip dalam memberikan pelayanan pada batas yang sesuai dengan etika, ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, maka rekonstruksi birokrasi dan reposisi jabatan pejabat publik, disusun dengan prinsip ramping tetapi kaya fungsi, dan menempatkan para pegawai dalam jabatan, didasarkan kepada hasil uji kelayakan dan kepatutan, serta pengalaman yang bersangkutan. Tidak didasarkan atas rasa like and dislike. Sebelum revitalisasi dan rekontruksi kelembagaan dilakukan, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah deregulasi, dengan mengkaji dan 299 menyempurnakan peraturan dan kebijakan yang melandasi penyelenggaraan pelayanan di berbagai Instansi Pemerintah Daerah140 untuk lebih disesuaikan dengan aspirasi reformasi dengan memangkas berbagai peraturan yang menghambat agar menjadi lebih sederhana/efesien dan memperpendek jalur birokrasi yang panjang untuk kemudahan dan kelancaran pelaksanaan pelayanan. Dalam upaya ini antara lain juga termasuk melalui penetapan berbagai standar pelayanan, penyederhanaan kelembagaan dan rentang kendalinya. 140 Sebagaimana yang dilakukan pemerintah saat ini dengan menerbitkan berbagai peraturan yang mengarah pada penyempurnaan pelayanan public seperti UU ASN, UU Desa ,UU Administrasi Publik. UU Pemerintahan daerah 300 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukur, 1991, Budaya Birokrasi Indonesia, PT Pustaka Utama Grafika, Jakarta. Abdulwahab, Solichin, 1999, Reformasi Pelayanan Publik: Kajian dari Perspektif Teori Governance, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Addministrasi Universitas Brawijaya. Malang: PT Danar Wijaya. Abidin, Said Zainal, 2006, Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta. Abubakar, Azwar, 2013, Pemimpin adalah agen perubahan, dalam Pemimpin & Reformasi Birokrasi, cetakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi XVII. Albrow, Martin, Birokrasi. 1996, Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta: Tiara Wacana. Adler, Mortimer J., 1984, Six great ideas. New York, Touchstone Rockefeller Center. Anwar Shah, January, 2006, World Bank Policy Research Working Paper 3824. Apeldoorn, Van, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita. Arifin, Anwar, 2006, Pencitraan Dalam Politik, Jakarta: pustaka Indonesia. Ashari, Edy Topo, 2003, Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta. Ashari, Edy Topo, 2009, Sistem Pembinaan SDM PNS, Makalah, Badan Kepegawaian Negara, Jakarta Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, (Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta. Barzelay, M. & Babak. J. Armajani, 1992, Classics of Public Administration, Fifth Edition, Wordawoith, Thomson Learning Academic ResourceCentre, Belmont,CA. Benveniste, Guy, 1997, Birokrasi (terjemahan Sahat Simamora), Jakarta, Rajawali Pers. Berry, Leonard L, 1995, On Great Service, A Framework for Action, New York: The Free Press. Budi Winarno, Prof.dr. MA, 2007, Sistem Politik Indonesia, Jakarta PT. Buku Kita Budi Santoso, Priyo, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural, Jakarta, P.T. Raja Grafindo Persada Budiardjo, Miriam, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet ke 6, Jakarta, Gramedia. Cipto, Bambang, 1996, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Cooley, C. H., 1902, Human nature and social order, New York: Scribner's. Denhardt, KG, 1988, The Ethics Of Public Service: Resolving Moral Dilemmas In The Public Organizations, New York, Greenwood Press. Detik.com, Jumlah PNS Makin Gemuk Dalam 10 Tahun Terakhir, https://finance.detik.com/read/2014/09/01/065131/2677344/4/jumlah-pns-makingemuk-dalam-10-tahun-terakhir Diamar, Son, 2003, Beberapa Catatan Dimensi Politik Pelayanan Publik, Makalah disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta. Dilulio, John, 1994, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings Instirtution. 301 Dwiyanto, Agus,, 2002, Reformasi birokrasi publik di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK). UGM. …………………., 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Eep Saefulloh Fatah, 1998, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Eko Budi Sulistio, 2013, Konsep Birokrasi, staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/ files/2013/09/01-Konsep-Birokrasi.pdf. Efendi, Taufik, Pejabat Jangan Kedepankan Wewenang, Harian Singgalang, Selasa 18 April 2006. Effendi, Taufiq, Reformasi Birokrasi: Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Tanggal 27 Oktober 2008. E. Stiglizt, Joseph, 2003, Globalization And It's Discontents, Quebecor fairfiled Fienso Suharsono, 2010, kamus hukum, jonggol, Van‘Detta Publishing. Fung, Archon, 2006, Varieties of Participation in Complex Governance. Public Administration Review, didownload dari www.archonfung.net Giddens, Anthony, 1986, Capitalism and Social Modern Theory : An Analysis of Writing of Mark, Durkheim and Max Weber, terjemahan Soeheba K., Jakarta, UI Press. Gie, The Liang, 2006, Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta, Universitas Terbuka. Gramsci, Antonio, 1971, Americanism and Fordism dalam Selection from the prison notebook. London, Lawrence and Wishort. Hanna litaay Salakory, 1997, Aspirasi dan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan, Politik: Filosofi dan Sejarahnya di Indonesia, Jakarta, Bina Darma Haricahyono, Cheppy, 1991, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Haris S, 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia dan PPW LIPI Jakarta. Hendra, Novi, Sistem Pemilihan Umum, https://www.slideshare.net/Hennov/sistempemilihan-umum, akses tanggal 10 Oktober 2013. Hetifah Sj, Sumarto, 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Imawan, Riswanda, Membedah Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1998 Indarto, 2003, Kepemimpinan Asta Brata, Back to Nature, Bandung, STPDN Press. Indrati S, Maria Farida,2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius. Jabbra, J.G dan Dwivedi, O.P, 1989, Public Service Accountability. Conneticut Kumarian Press, Inc. Jeremy Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (Buku PanduanTransparency International, alih bahasa Masri Maris, ditertibkan atas kerjasama Transparency International Indonesia dengan Yayasan Obor Indonesia dan TI Indonesia, Jakarta, April 2008. Junaidi, Veri, 2013, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Partisipasi Dan Keterbukaan Publik Dalam Penyusunan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD Dan DPRD, Yayasan Perludem, Jakarta. Kartiwa, Asep, Reformasi Birokrasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Baik (Good Local Governance) Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda 302 Mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005 bertempat di Gedung Anton Soedjarwo Secapa POLRI Sukabumi Kartono, Kartini, 2003, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Bina Aksara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kolb, Rubin, dan Osland, 1991, The Organizational Behavior Reader (5Th ed). New Jersey, Prentice Hall Inc. Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Panduan untuk memahami tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta. Kumorotomo, Wahyudi, 1996, Etika administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers. Lexie M. Giroth, 2004, Edukasi dan Profesi Pamong Praja, Public Policy Studies, Good Governance and Performance Driven Pamong Praja, Jatinangor, STPDN Press. Luthans, Fred, 2007, Perilaku Organisasi, Penerbit Andi, Jakarta. Mikkelsen, Britha, 1999, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Mintzberg, H., 1993, The pitfalls of strategic planning, California Management Review, Vol. 36 No. 1, pp. 32-47 Miriam Budiardjo, 1998, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. …………............., 1993, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet-XIX. Muskamal, 2013, Model Assesmen Kebutuhan Pengembangan Kapasitas ( Capacity Building Need Assesment ) Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, LAN-Pusat kajian dan Diklat Aparatur II, Makassar. Mowday, R.T, Porter, L.W dan Steers R.M., 1982, Employee OrganizationLingkages: The Psychology of Commitment, Absenteeism and Turnove, .London: Academic Press Inc Myers, Michele Tolela and Gail E. Myers, 1988, Managing By Communication, New York, New Newsey, London, Mc. Graw Hill Int. Book. Co. Ndraha, Taliziduhu, 1997, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta. ……………………., 1997, Pengantar Teori: Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Noer, Deliar , 1983, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali. Nurtjahjo, Hendra, dkk, 2013, Memahami Maladministrasi, Jakarta, Ombudsman Republik Indonesia. O‘Rielly, Chatman & Caldwell, 1991, People and organizational culture: A profile comparison approach to assessing person-organization fit, Academy of Management Journal, 34, pp. 487–516 Pamudji, 2001, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, Pasolong, Harbani, 2008, Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta. P. Pigors, 1935, Leadership and domination, Boston, Hougton Mifflin. Rahardjo, Satjipto, 2012. Ilmu Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti. Rahman, Arfin , 2002, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC. Rasjidi, Lili, Prof Dr. H. dan Rasjidi, Liza Sonia, 2012, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti. Rasyid, Ryaas, 2002, Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Rauf, Maswardi, 2003, Bahan Propenas Bidang Aparatur Negara Tahun 2005-2009, Jakarta,Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Rewansyah, Asnawi, 2010, Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance, Jakarta, Yusaintanas Prima. 303 Riswanda Imawan, 1998, Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta,Pustaka Pelajar. Robbins, Stephen. P, 1992. Essensials of Organizational Behaviour. New Jersey: PreuticHall. ……………..,1994, Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: Jusuf Udaya. Jakarta, Arcan. ………………, 2002, Organizational Behaviour, New Jersey : Prentice Hall Publishing Inc. Rourke, Francis E, 1922, Bureucracy, Polities, and Public Policy, Toronto : Little Brown and Company . Rukminto Adi, Isbandi, 2007, Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok, FISIP UI Press. Said, Mas‘ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press. Santosa, Pandji, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung : Refika Aditama. Sartori, Giovani. 1976. Parties and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Schein, Edgar H, 1992, Organizational Culture and Leadership, Jossey Bass, San Francisco. Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang: Puskodak Undip. Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi : Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta, Ghala Indonesia. ………………..1983, Administrasi Pembangunan. Jakarta, Gunung Agung. ……………….. 2000, Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta, Penerbit Bumi Aksara. Sitepu, Antonius, 2004, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fisip-Press. Smith, B. C., 1988, Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books, Sussex. Smith, B.C, 1995, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester Masschusetts, Allen & Unwin, Inc. Soesilo Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: Bumi Aksara. Soerjono, Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, PT. Rajawali Sofo, F,. 2003, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ed 1. Surabaya, Airlangga University. Press. Sugandha, Dann, 1986, Kepemimpinan didalam Administrasi. Bandung, Sinar Baru. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Memahami Good Governence: Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta ,Gava Media. Sulistio, Eko Budi, 2013, Konsep Birokrasi, di download dari staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/01-Konsep-Birokrasi.pdf Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, 1992, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung, Citra Adtya Bakti. Supriatna, Tjahya, 1997, Birokrasi, Pemberdayaan, dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung, Humaniora Utama Press. Syafei, Inu Kencana, 2003, Kepemimpinan Pemerintah Indonesia, Bandung, Refika Aditama. Syed Hussein Alatas, 1981, Sosiologi Korupsi, Jakarta , LP3ES. Thoha, Miftah, 1991, Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi, Yogyakarta, Widya Mandala. …………………, 2001. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta, Raja Grafindo Persada. …………………, 2002, Perspektif Perilaku Birokrasi Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 304 …………………, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada. Tjokromidjojo, Bintoro, 1974, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta, LP3ES. Transparency International, 2013, Corruption Perceptions index, www.transparency.org Utomo, Warsito, 2006, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wachs, M, 1985, Ethics in Planning Center for Urban Policy Research. The State University of New Jersey. Widodo, Joko, 2001, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, Malang, CV Citra Malang. Widodo, Joko, 2001, Good governance, telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Surabaya: Insan Cendekia Wilson, James Q, 1989, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do it. New York: Basic Books, Inc. Wimalasiri, Jayantha, 1991, Value orientations of the Chinese in Singapore : structure, content and implications, Boston Spa, West Yorkshire. West, M.A., 2000, Mengembangkan Kreatifitas dalam Organisasi, Kanisius,Yogyakarta. Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta, Raja Grafindo Persada. B. Bahan Lainnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah diganti dengan Undang-Undang 23 tahun 2014 kemudian di ganti dengan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 305