1
DAFTAR ISI
PENGANTAR
BAB I MAKNA BIROKRASI PEMERINTAHAN
A. Hakekat Birokrasi
B. Ciri dan Fungsi Birokrasi
C. Memaknai Birokrasi
1
2
9
20
BAB II
TEORI DASAR BIROKRASI
Birokrasi Weberian
Birokrasi Hegelian dan Marxis
Birokrasi Albrow
Post-birokrasi
26
28
41
46
50
BAB III
A.
B.
C.
D.
KONSEP ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN
Peran Birokrasi Pemerintah
Kultur Birokrasi Indonesia
Struktur Organisasi Birokrasi
Kepemimpinan Birokrasi
58
60
70
82
88
BAB IV
A.
B.
C.
PATOLOGI BIROKRASI
Hakekat Patologi Birokrasi
Prilaku Birokrasi
Korupsi
A.
B.
C.
D.
112
112
117
120
BAB V BIROKRASI INDONESIA DAN PROSES DEMOKRATISASI.
A. Birokrasi dan Partai Politik.
B. Pemilu.
C. Pilkada.
D. Birokrasi dan Integrasi Nasional.
135
135
146
155
161
BAB VI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH
A. Sejarah Pemerintahan Daerah
B. Hubungan Pemerintahan
C. Struktur Organisasi pemerintahan Daerah
174
175
200
216
BAB VII REKONSTRUKSI BIROKRASI INDONESIA
A. Arah dan Muatan Reformasi Birokrasi.
B. Proses Perjalanan Reformasi Birokrasi
226
230
242
2
C.
D.
Penataan Birokrasi Pemerintahan Pusat dan Daerah
Penataan Aparatur Pemerintahan Daerah
250
255
BAB VIII REKONSTRUKSI BIROKRASI PADA PELAYANAN PUBLIK
A. Kinerja Pelayanan Publik
B. Budaya dan Etika Pelayanan
C. Standarisasi Kualitas Pelayanan Publik
267
271
277
288
DAFTAR PUSTAKA
300
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku yang berjudul
―Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah”.
Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah kaedah tentang Birokrasi dan
Pemerintahan Daerah, serta Pelayanan Publik, sehingga diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap kelimuan dan pembelajaran teori-teori birokrasi serta
memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai birokrasi. Buku ini pula tersusun
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis sebagai tenaga pengajar di
lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Dalam buku ini mendeskripsikan mengenai birokrasi. Pokok-pokok pembahasan
buku ini terdiri dari 8 bab yang akan membahas secara mendasar yaitu: Bab 1 tentang
Makna Birokrasi Pemerintahan; Bab 2, tentang Teori Dasar Birokrasi, Bab 3 tentang
Konsep Organisasi Birokrasi Pemerintahan, Bab 4 tentang Patologi Birokrasi, Bab 5
tentang Birokrasi Indonesia Dan Proses Demokratisasi, Bab 6 Birokrasi Pemerintahan
Daerah, dan Bab 7 tentang Rekonstruksi Birokrasi Indonesia, serta Bab 8 tentang
Birokrasi Dan Pelayanan Publik.
Penulis menyadari bahwa buku ini ini masih terdapat kekurangan dalam mengulas
secara mendetail rekontruksi dan prilaku birokrasi, dikarenakan keterbatasan penulis.
Oleh karena itu dengan senang hati penulis akan menerima seluruh kritik dan saran yang
bersifat membangun guna pengembangan konsep pengembangan birokrasi ke depan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian buku ini. Semoga buku
ini dapat menambah kaedah dalam pengembangan pengetahuan tentang birokrasi
Indonesia di masa datang.
Jatinangor, Oktober 2014
Penulis
Irfan Setiawan, S.IP, M.Si
4
BAB I
MAKNA BIROKRASI PEMERINTAHAN
Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat. Setiap mendengar kata
―birokrasi‖, masyarakat umum langsung terpikir mengenai berbagai urusan yang
mandek dan memiliki berbagai prosedur serta formalitas kaku. Masyarakat sering
memandang birokrasi sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan
yang amat buruk. Hal ini terjadi karena masyarakat sering mengalami atau
melihat
praktek-praktek
aparat
birokrat
yang
melenceng
dari
proses
penyelenggaraan tugas-tugasnya. Masyarakat pun memandang birokrasi dengan
sesuatu yang menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulirformulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai,
aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan masyarakat melewati banyak sekatsekat formalitas dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, kami diuraikan dan dijelaskan beberapa
pengertian para ahli mengenai birokrasi.
A.
Hahekat Birokrasi
Istilah birokrasi semula dikemukakan oleh Martin Albrow untuk memberikan
atribut terhadap istilah yang dipergunakan oleh seorang physiocrat Perancis
Vincent de Gournay yang untuk pertama kalinya memakai istilah birokrasi dalam
menguraikan sistem pemerintahan Prusia di tahun 17451. Persoalan birokrasi ini
1
Thoha, Miftah. Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi. Widya Mandala. Yogyakarta 1991: 72.
5
memang sangat kompleks dan setiap orang, bahkan para ahli sendiri pun
mempunyai cara pandang masing-masing dalam menjelaskan birokrasi. Martin
Albrow2 menawarkan tujuh konsep birokrasi yang meliputi:
1) birokrasi sebagai organisasi sosial,
2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi,
3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat,
4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik),
5) birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat,
6) birokrasi sebagai sebuah organisasi, dan
7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Sedangkan untuk definisi birokrasi, banyak sekali para ahli atau tokoh yang
mendefinisikan tentang birokrasi, diantaranya adalah :
a. PETER M BLAU dan W. MEYER
Menurut Peter M. Blau dan W. Meyer dalam bukunya ―Bureaucracy‖ birokrasi
adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas
administrative dengang cara mengkoordinasi secara sistematis teratur
pekerjaan dari banyak anggota organisasi.
b. ROURKE
Sedangkan menurut Rourke birokrasi adalah sistem administrasi dan
pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hirarki yang
2
Albrow, Martin, Birokrasi. Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996: 82-100.
6
jelas, dilakukan dengan tertulis, oleh bagian tertentu yang terpisah dengan
bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di
bidangnya.
c.
ALMOND dan POWEL
Sementara itu Almond dan Powell, mengatakan bahwa birokrasi adalah ….
Sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal, yang saling
berhubungan dalam jenjang yang kompleks di bawah pembuat tugas atau
peran formal (ketentuan atau peraturan dan bukan orang).
d. LANCE CASTLE Lance
Castle memberikan definisi birokrasi sebagai berikut : ―bureaucracy I mean
the salaried people who are charged with the function of government‖. The
army officers, the military bureacracy, are of course included. The bureaucracy
of which Iam speaking doesn‘t always conform to Weber‘s notion of rational
bureaucracy.
e. YAHYA MUHAIMIN
Sedang Yahya Muhaimin mengartikan birokrasi sebagai ―Keseluruhan aparat
pemerintah,
sipil
maupun
militer
yang
melakukan
tugas
membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu‖.
f.
HEGEL
Hegel mencitrakan birokrasi sebagai mediating agent, penjembatan antara
kepentingan-kepetingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Dan
7
melihat fungsi birokrasi sebagai penghubung antara negara dan civil society.
Negara
mengejawantahkan
kepentingan
umum,
sedang
civil
society
merepresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat.
Karena tugasnya sebagai alat pemerintah ini maka birokrasi justru harus
punya kemandirian.
g. HAROLD LASKI
Birokrasi menggambarkan keadaan rutin dalam administrasi, mengorbankan
fleksibilitas terhadap peraturan, keterlambatan dalam pengambilan keputusan,
dan menolak usaha-usaha untuk bereksperimen. Sehingga birokrasi adalah
ancaman bagi pemerintahan yang demokratis.
h. KARL MARX
Birokrasi adalah alat kelas yang berkuasa, yaitu kaum borjuis dan kapitalis
untuk
mengeksploitasi
kaum
proletar.
Birokrasi
adalah
parasit
yang
eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan dipergunakan untuk
menhisap kelas proletar.
i.
KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ―biro‖ diartikan kantor dan istilah
birokrasi mempunyai beberapa arti :
1) Pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh
rakyat
2) Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri
3) Cara kerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat, serba menurut
aturan, kebiasaan, dan banyak liku-likunya. Definisi dalam kamus bahasa
8
Indonesia ini nampaknya tidak hanya berusaha memberikan makna
―birokrasi‖ tetapi juga istilah turunan yang mengacu pada sifat atau
kebiasaan birokrasi.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa
birokrasi adalah sistem kerja pemerintahan untuk mencapai tujuan Negara secara
efektif dan efisien. Oleh karena itu kita perlu obyektif dan terbuka, untuk melihat
bahwa tata kerja ini untuk tujuan bersama (bukan per individu atau per orang).
Untuk
pengdeskripsian
organisasi
ke
dalam
Pemerintahan
Negara
Indonesia, maka birokrasi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan organisasi
pemerintah, yang menjalankan tugas-tugas Negara dalam berbagai unit organisasi
pemerintah dibawah presiden dan Lembaga-lembaga Non Departemen, baik di
tingkat pusat maupun di daerah seperti di tingkat Propinsi, Kabupaten, dan
Kecamatan, bahkan pada tingkat Kelurahan dan Desa.
Syukur Abdullah3 membedakan birokrasi menjadi tiga kategori yang
meliputi:
1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara
ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah. Tugas-tugas
tersebut lebih bersifat ‖mengatur‖ (regulatif-function);
2) birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan
salah
satu
bidang
sektor
yang
khusus
guna
mencapai
tujuan
pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri, dan lain3
Abdullah, Syukur, Budaya Birokrasi Indonesia, PT Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1991: 229
9
lain. Fungsi pokoknya adalah fungsi pembangunan (development function)
atau fungsi adaptasi (adaptive function);
3) birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada
hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat.
Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat.
Priyo Budi Santoso4 mengklasifikasikan berbagai macam pengertian yang
sering muncul dalam istilah birokrasi menjadi tiga kategori, yaitu:
1) birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality)
seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan Weberian
Bureaucracy;
2) birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau-pathology)
seperti diungkap oleh Karl Marx, Laski, Robert Michels, Donal P. Warwick,
Michael Crocier, Fred Luthan, dan sebagainya;
3) birokrasi dalam pengertian netral (value-free), artinya tidak terkait dengan
pengertian baik atau buruk.
Dalam pengertian ini birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pejabat
negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang
eksekutif, atau birokrasi dapat juga diartikan sebagai setiap organisasi yang
berskala besar (every big organization is bureaucracy).
Birokrasi dalam berbagai literatur ilmu, sering dipergunakan dalam
beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian yang sering
4
Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta:
P.T. Raja Grafindo Persada, 1997: 14
10
terkandung dalam istilah birokrasi. Menurut
Benveniste (1997 : 4), birokrasi
diartikan sebagai :
1) Organisasi rasional (rational organization),
2) Ketidakefisienan organisasi (organizational ineffeciency),
3) pemerintahan oleh pejabat negara (rule by official),
4) adminsitrasi negara (public admnistration),
5) administrasi oleh pejabat (admnistration of official),
6) bentuk organisasi dengan ciri dan kualitas tertentu seperti hirarki serat
peraturan-peraturan, dan
7) salah satu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality of
modern soceity).
Birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan ciri-ciri yang khusus,
menjadi pusat perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max
Weber. Dalam karyanya ―The Theory Of economic and Social Organization‖,
Weber mengemukakan konsepnya tentang ‗the ideal type of bureaucracy‘ dengan
merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat
modern. Hal ini lebih lanjut dirangkum oleh Benveniste (1997 : 4) dalam empat
ciri utama, yaitu :
1) adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang
dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving
delegations of authority from the top to the bottom of an organization;
11
2) adanya posisi-posisi
atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki
tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of
official positions or
offices, each having prescribed duties and responsibilites;
3) adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang
mengatur
bekerjanya
organisasi-organisasi
dan
tingkah
laku
para
anggotanya (formal rules, regulations and standars governing operations of
organization and behavior of its members);
4) adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan
atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan kualifikasi dan
penampilan (technically qualified personel employed on a career basis, with
promotion based on qualifications and performance.
B.
Ciri dan Fungsi Birokrasi
Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max
Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ‖The Theory of Economy
and Social Organization‖, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi
modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai
negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa
dilakukan.
Secara general, model birokrasi sering dideskripsikan sebagai kultur
feodalisme dalam pemerintahan di Indonesia. Di dalamnya mengandung hak
komunikasi yang lebih menekankan pada hak komunikasi para pemilik kekuasaan
dalam struktur–struktur pemerintahan. Padahal, sebenarnya birokrasi merupakan
12
model ideal untuk mencapai tujuan organisasi yang juga mengunggulkan
peranserta berbagai pihak dalam struktur untuk bekerja sesuai dengan kapasitas
dan tanggungjawabnya.
Dalam tinjuan sejarah, kapitalisme di Amerika Serikat berkembang karena
dukungan birokrasi dalam tipe ideal (Timasheff, Nicholas, 1967; Weber, 2002).
Bukan penyimpangan dari birokrasi yang sering kita dengar dengan istilah
―patologi birokrasi‖. Kemajuan birokratisasi di dalam dunia modern secara
langsung bertalian dengan perluasan pembagian kerja di semua bidang kehidupan
sosial5, yang secara konsisten dilakukan oleh negara demokratis dengan
pelayanan publik yang memadai.
Beberapa proposisi yang terkait dengan birokrasi antara lain adalah
birokratisasi bertalian dengan perluasan pembagian kerja di semua bidang
kehidupan sosial untuk mencapai kesejahteraan (Giddens, 1986). Ciri–ciri birokrasi
menurut Max Weber adalah
(a) Jabatan
administratif
yang
terorganisasi/tersusun
secara
hirarkis.
(Administratice offices are organized hierarchically)
(b) Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has
its own area of competence)
(c) Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik
yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are appointed, not
electe, on the basis of technical qualifications as determined by diplomas or
examination)
5
Giddens, Anthony . 1986. Capitalism and Social Modern Theory : An Analysis of Writing of Mark,
Durkheim and Max Weber, terjemahan Soeheba K., Jakarta : UI Press. 195.
13
(d) Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau
kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries accordingto rank)
(e) Pekerjaan
merupakan
karir
yang
terbatas,
atau
pada
pokoknya,
pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or
at least primary, employment of the civil servant)
(f) Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or
her office)
(g) Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the
official is subject to control and discipline)
(h) Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi ratarata. (Promotion is based on superiors judgement).
Sementara itu, fungsi birokrasi menurut Weber (dalam Giddens, 1986),
secara substantif mencakup :
(a) Spesialisasi yang memungkinkan produktivitas,
(b) Struktur yang memberikan bentuk pada organisasi
(c) Predictability (keadaan yang dapat diramalkan ) dan stabilitas yang dapat
dikerjakan
(d) Rasionalitas yang dapat diuji dan diunggulkan dalam tindakan menciptakan
sinergi untuk memaksimalkan keuntungan.
14
Kendati birokrasi memiliki keunggulan dalam menjalankan roda organisasi,
tetapi tidak bebas dari kelemahan yang faktual. Kritik Warren Bennis6 terhadap
birokrasi, pada intinya adalah, walaupun birokrasi selalu dikaitkan dengan
keteraturan dalam penyelenggaraan organisasi, tetapi tidak sepenuhnya bisa
membuat efektivitas birokrasi. Beberapa faktor yang menghambat, anatara lain,
birokrasi tidak cukup memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi dan
pengembangan kepribadian yang matang karena terlalu banyak prosedur dan
kekakuan struktur. Lebih banyak mengembangkan kompromi (conformity) dan
pemikiran kelompok dengan berbagai macam keharusan yang sulit untuk
dilakukan.
Dalam
dinamika
perubahan,
birokrasi
seringkali
tidak
mampu
memperhitungkan organisasi informal dan masalah yang timbul tidak terduga
dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan kata lain, birokrasi bersifat sangat
konvensional tidak mampu mengantisipasi perubahan. Karena itu, pola komunikasi
dalam institusi pemerintah yang bersifat top–down, juga tetap berjalan tanpa
hambatan berarti.
Birokrasi
juga
sering
dikaitkan
dengan,
sistem
pengawasan
dan
wewenangnya sangat ketinggalan jaman. Ini dapat terjadi karena pola
penyimpangan berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di lain
pihak birokrasi menetapkan prosedur pengawasan selalu membutuhkan waktu
yang sangat panjang. Selain itu menurut Bennis (Myers dan Myers, 1988:34),
birokrasi tidak mempunyai proses peradilan, dalam arti birokrasi hanya mampu
6
Myers, Michele Tolela and Gail E. Myers, Managing By Communication, New York, New Newsey,
London, Mc. Graw Hill Int. Book. Co. 1988:31
15
memberikan sanksi administratif terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan, tidak memiliki alat – alat yang cukup untuk menyelesaikan perbedaan–
perbedaan dan konflik – konflik antara berbagai tingkatan (rank). Pola
penyelesaian yang merujuk pada pedoman sentral yang seragam sering tidak
mampu untuk menyelesaikan konflik dengan baik.
Dalam kaitannya dengan komunikasi, karena struktur hirarki yang kuat,
maka komunikasi dan ide – ide pembaharuan terhalang atau tersimpang karena
pembagian pelapisan kekuasaan yang kuat. Bahkan ide yang berhasil sampai
kepermukaan serta dipakai dalam organisasi sering diklaim sebagai kesuksesan
pimpinannya yang sama sekali tidak terkait oleh dukungan bawahan.
Weber telah membangun konsep birokrasi berdasarkan teori system
kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang
berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi
kewenangan
pada
tradisi
yang
diwariskan
antar
generasi.
Kewenangan
kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari
kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legalrasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang
bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Dalam analisis Weber, organisasi ―tipe ideal‖ yang dapat menjamin efisiensi
yang
tinggi
harus
mendasarkan
pada
otoritas
legal-rasional.,
Weber
mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan
merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan
masyarakat modern, yaitu:
16
(a) A hierarchical system of authority (sistem kewenangan yang hierakis)
(b) A systematic division of labour (pembagian kerja yang sistematis)
(c) A clear specification of duties for anyoneworking in it (spesifikasi tuhas
yang jelas)
(d) Clear ang systematic diciplinary codes and procedures (kode etik disiplin
dan prosedur yang jelas serta sistematis)
(e) The control of operation through a consistent system of abstrac rules
(kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten)
(f) A consistent applications of general rules to specific cases (aplikasi kaidahkaidah umum kehal-hal pesifik dengan konsisten)
(g) The selection of emfloyees on the basic of objectively determined
qualivication (seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar
yang objektif)
(h) A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both (sistem
promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya).
Berdasarkan hal tersebut dapat di tarik benang merahnya bahwa birokrasi
mempunyai Ciri-ciri pokok sebagai berikut:
(a) adanya hirarki dalam organisasi,
(b) profesionalisme dalam pelaksanaan pekerjaan,
(c) terdapat aturan dan prosedur,
(d) terjadinya pembagian kerja,
(e) berkembangnya hubungan yang tidak pribadi/impersonal dalam organisasi.
17
Dalam kehidupan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, birokrasi
mempunyai peranan dan fungsi penting dalam menjalankan kehidupan di suatu
negara. Namun, besarnya pengaruh kekuasaan dan politik
birokrasi tidak
mengakibatkan
profesional atau mandul. Birokrasi dengan kultur yang
dibangunnya, cenderung lebih sibuk melayani penguasa daripada menjalankan
fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Misalnya, dalam bidang pelayanan
publik, upaya yang telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik,
dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan belum dapat
terwujud. Upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat, dikarenakan
pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanannya kurang efektif, efesien, berbelitbelit, lamban, tidak merespons kepentingan pelanggan dalam hal ini masyarakat,
yang ditimpakan kepada birokrasi. Semua ini merupakan cerminan bahwa kondisi
birokrasi dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, masih
belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Ketidakpuasan terhadap pelayanan aparat birokrasi, dapat terlihat pada
keengganan masyarakat dalam pengurusan administrasi di kantor pemerintahan
atau adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah.
Fenomena kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, tidak mau
mendengar
keluhan/saran/aspirasi
masyarakat
inefesiensi
dan
birokratis,
merupakan kondisi pelayanan aparat birokrasi yang dirasakan oleh masyarakat
selama ini. Hal ini dikarenakan masih banyaknya peran unit organisasi berupa
Kementerian atau Lembaga yang tumpang tindih, penyelenggaraan pemerintahan
yang masih terasa sentralistik, kurangnya infrastruktur, masih menguatnya
18
budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang
belum jelas, serta sistem insentif/penghargaan dan sanksi belum maksimal
Pada dasarnya birokrasi memiliki keterkaitan dengan fenomena kekuasaan,
pemerintahan, negara, konstitusi (perundang-undangan), pemimpin, kebijakan
(filosofi pemerintahan), dan lain-lain (kehidupan kenegaraan sehari-hari).
Seperti diketahui bahwa individu tidak bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan
orang lain untuk mencapai kebutuhannya (saling bekerjasama untuk mencapai
kebutuhan/tujuannya). Dari rasa kebersamaan tersebut maka timbul kesadaran
untuk membentuk sebuah komunitas sosial. Komunitas yang mempunyai dasar
dan aturan serta mempunyai pemimpin dikenal dengan sebutan NEGARA (state).
Tetapi, dalam sebuah negara yang terdiri dari banyak kelompok dalam
masyarakatnya, pasti akan ada keinginan yang berbeda-beda. Keinginan yang
berbeda ini kadang-kadang tidak mampu disesuaikan (dicapai kesepakatan),
sehingga timbul problem dan konflik. Sebuah konflik yang timbul dalam
masyarakat tidak boleh dibiarkan terus menerus. Harus diatur agar konflik-konflik
yang muncul tidak menjadi situasi yang membahayakan. Untuk mengatur konflikkonflik tersebut, dibuatlah sebuah peraturan.
Negara harus menjamin bahwa peraturan itu bisa terlaksana sampai di
tingkat bawah. Negara, secara sah memiliki kewenangan untuk mengatur
rakyatnya. Oleh karena itu negara harus mempunyai alat-alat kelengkapan untuk
melaksanakan kewenangannya itu. Di sinilah dibutuhkan alat kelengkapan negara
yang disebut sebagai pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota, camat,
kades dan pemimpin lain). Pemimpin-pemimpin tersebut disertai dengan
19
aparaturnya. Pemimpin dan aparatur tersebut harus cakap dalam mengatur
konflik, menegakkan peraturan dan mencapai tujuan.
Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial
antara negara dan masyarakat. Dalam kontrak itu Negara mempunyai fungsi
keamanan,
ketertiban,
keadilan,
pekerjaan
umum,
kesejahteraan,
dan
pemeliharaan Sumber Daya Alam, lingkungan, dan lain-lain. Untuk menjamin
terlaksananya fungsifungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana
yang mengoperasionalkan fungsi-fungsi secara riil. Di sinilah birokrasi dibutuhkan
keberadaannya baik oleh negara maupun oleh rakyat. Jadi birokrasi adalah mesin
negara (state michenary), karena jika tidak ada negara maka birokrasipun juga
tidak pernah ada.
Sebaliknya, juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh organisasi
birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan
negara. Artinya jika birokrasi baik, maka Negara dan masyarakat juga akan baik.
Demikian juga sebaliknya, jika birokrasinya amburadul maka negara dan
masyarakatnya juga amburadul. Jadi Birokrasi memiliki akibat ganda yang saling
bertolak belakang bagi masyarakat. Menjadi lembaga yang sangat bermanfaat
atau lembaga yang (sangat) menyengsarakan.
Contoh dari fungsi-fungsi negara yang dilaksanakan oleh birokrasi (di
Indonesia) adalah :
1) Fungsi pertahanan-keamanan dilaksanakan oleh Departemen Pertahanan dan
Keamanan, ABRI, dan Intelijen
2) Fungsi ketertiban dilaksanakan oleh Kepolisian
20
3) Fungsi Keadilan dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman, dan Kejaksanaan
4) Fungsi Pekerjaan Umum dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan
Perhubungan
5) Fungsi kesejahteraan dilaksanakan oleh Departemen Sosial, Koperasi,
Kesehatan, Pendidikan, dan Perdagangan.
6) Fungsi Pemeliharaan SDA dan lingkungan dilaksanakan oleh Departemen
Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, dan sebagainya, dan seterusnya
Sehingga, pada pundak organ dan aparat birokrasi terpikul beban dan
peran yang menentukan kehidupan seluruh warga negara sejak lahir (permohonan
akte kelahiran), menikah (permohonan akte nikah, Kartu keluarga, KTP) hingga
mati (permohonan surat kematian).
Berdasarkan hal tersebut terlihat pentingnya peran birokrasi sehingga dapat
disimpulkan bahwa:
1) Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan
pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan
publik.
2) Menurut Robert Presthus, pentingnya birokrasi diungkapkan dalam peranannya sebagai ―delegated legislation‖, ―initiating policy‖ dan‖internal drive for
power, security and loyalty‖.
3) Dalam
membahas
birokrasi
ada
tiga
pertanyaan
pokok
yang
harus
diperhatikan,
(a) bagaimana para birokrat dipilih,
21
(b) apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan, dan
(c) bagaimana para birokrat diperintah.
Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu
disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang
aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari
para pembuat keputusan.
4) Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang
berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini.
Dalam
sebuah
negara
yang
terdiri
dari
banyak
kelompok
dalam
masyarakatnya, pasti akan ada keinginan yang berbeda-beda. Keinginan yang
berbeda ini kadang-kadang tidak mampu disesuaikan (dicapai kesepakatan),
sehingga timbul problem dan konflik. Konflik- konflik tersebut harus diatur. Untuk
mengatur konflik-konflik tersebut, dibuatlah sebuah peraturan.
Negara harus menjamin bahwa peraturan itu bisa terlaksana sampai di
tingkat bawah. Oleh karena itu negara harus mempunyai alat-alat kelengkapan
untuk melaksanakan kewenangannya itu. Di sinilah dibutuhkan alat kelengkapan
negara yang disebut sebagai pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota,
camat, kades dan pemimpin lain). Pemimpin-pemimpin tersebut disertai dengan
aparaturnya (selanjutnya disebut Pemerintah).
Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial
antara negara dan masyarakat. Dalam kontrak itu Negara mempunyai fungsi
keamanan,
ketertiban,
keadilan,
pekerjaan
umum,
kesejahteraan,
dan
22
pemeliharaan Sumber Daya Alam, lingkungan, dan lain-lain. Untuk menjamin
terlaksananya fungsifungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana
yang mengoperasionalkan fungsi-fungsi secara riil. Di sinilah birokrasi dibutuhkan
keberadaannya baik oleh negara maupun oleh rakyat.
Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada
negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada. Sebaliknya, juga tidak mungkin
ada negara tanpa ditopang oleh organisasi birokrasi. Dan peran birokrasi
menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Artinya jika
birokrasi baik, maka negara dan masyarakat juga akan baik. Demikian juga
sebaliknya, jika birokrasinya amburadul maka negara dan masyarakatnya juga
amburadul.
C.
Memaknai Birokrasi
Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pemahaman, yaitu: Pertama,
menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini
menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk
pengalokasian
sumberdaya
dalam
suatu
organisasi
besar.
Pengertian
ini
berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk
pada ―kebiroan‖ atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis
organisasi lain. pemahaman ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi.
Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi
dalam pemerintahan7.
7
Eko Budi Sulistio, 2013, Konsep Birokrasi, staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/ files/2013/09/01Konsep-Birokrasi.pdf
23
Melihat penyelenggaran birokrasi dalam kehidupan sehari-hari, istilah
Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai sebagai berikut8:
1) Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai
sebagai
suatu
aktivitasnya.
organisasi
Setiap
yang
tindakan
rasional
birokrasi
dalam
melaksanakan
hendaknya
mengacu
setiap
pada
pertimbangan-pertimbangan rasional.
2) Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat
guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya
aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang
bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan
yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
3) Bureaucracy as Organizational Ineficiency
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan
(ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu,
tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi
untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang
tidak efisien dan mengecewakan masyarakat. Karena itu masyarakat menjadi
8
Soesilo Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: Bumi
Aksara.
24
apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang disampaikan oleh aparat
birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna karena tidak
diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak konsisten dan
konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap sebagai tempat
bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti pembengkakan
pegawai, biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya.
4) Bureaucracy as Public Administration
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan
dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan
sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat.
Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan
pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.
5) Bureaucracy as Administration by Officials
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam
hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan
bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.
6) Bureaucracy as the Organization
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi
memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi
merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana
25
setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung
demi tercapainya tujuan organisasi. Organisasi sebagai sistem kerjasama
berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang dirumuskan secara
baik, dimana masing-masing mengandung wewenang, tugas dan tanggung
jawab yang memungkinkan setiap orang dapat bekerjasama secara efektif; (b)
sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang berdasarkan kekhususan
bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari suatu bentuk
kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada
anggotanya.
7) Bureaucracy as Modern Society
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern
keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika
dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku
menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.
Sementara itu menurut Evers9, birokrasi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori yaitu:
a) Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat
administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang
birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).
b) Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah
pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law.
9
Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta: Bumi Aksara,
1996
26
c) Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut
Orwelisasi.
Dengan demikian maka pemahaman birokrasi dalam masyarakat dimaknai
secara diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik
temu. Ada beberapa yang memandang birokrasi secara positif, ada juga yang
secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara netral (value free).
1. Makna Positif :
Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional yang
bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan
adanya penghubung antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan
kebijakankebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara
maupun oleh rakyat.
Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel
2. Makna Negatif :
Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan
patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif,
korupsi, dll. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah
(miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, briokrasi hanya
menguntungkan kelompok orang kaya saja.
Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski
Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip
organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun
27
birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik.
Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang
rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan
efisiensi yang setinggi-tingginya. Di samping diberikan makna yang cukup positif
tersebut, birokrasi juga sering dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang
negatif ini birokrasi dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit,
waktu yang lama, biaya yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada
akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.
BAB II
TEORI DASAR BIROKRASI
Sebagai
suatu
bentuk
institusi,
birokrasi
telah
ada
sejak
lama.
keberadaannya terlihat ketika munculnya masalah-masalah publik tertentu yang
penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak
dengan berbagai keahlian dan fungsi. Seperti ketika membangun dan mengatur
saluran-saluran air ke seluruh penjuru negeri pada jaman Mesir Kuno telah
melahirkan birokrasi skala besar yang pertama di dunia.
28
Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga membentuk birokrasi untuk
menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal ini sebagaimana yang
ditemui di Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana pengaturan
birokrasinya mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Confucius tentang kepegawaian.
Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur,
kemunculan
organisasi-organisasi
birokratis
kemudian
menjadi
semakin
bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern.
Dalam bentuknya yang modern, birokrasi pertama kali muncul di Perancis pada
abad ke-18. Kemudian di abad ke-19, Jerman menjadi negara yang paling sukses
dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan disiplin, sampaisampai negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya.
Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah
menjadi paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat
modern. Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap
tatanan masyarakat modern yang dinamis dan rasional. Tanpa kehadiran birokrasi,
tak
dapat
dibayangkan
bagaimana
suatu
pemerintahan
akan
mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan
pula bagaimana populasi manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah
tertentu akan dapat diatur. Birokrasi merupakan faktisitas institusional masyarakat
modern.
Birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu diproblematisasikan
lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi yang
kompleks memberikan justifikasi yang lebih dari cukup bahwa keberadaannya
29
dilandasi oleh suatu perencanaan yang rasional dan sistematis. Demikian pula,
dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang besar
bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi.
Dalam
aktivitas
keilmuan,
birokrasi
juga
dapat
berperan
sebagai
laboratorium ilmiah bagi penelitian sosial. Pencermatan atas strukturnya dapat
menjadi langkah awal untuk mengembangkan hipotesis teoretis tentang sistem
sosial pada umumnya. Karena latar dampak dan signifikansi yang tinggi dari
birokrasi itulah, tak heran jika banyak
bermunculan pemikiran yang beragam
tentang birokrasi. Sebagai institusi masyarakat modern, refleksi tentang birokrasi
menjadi imperatif untuk memahami dinamika dan problematika sosial di era
modern secara lebih luas.
Di universitas, kajian tentang birokrasi banyak dijumpai di berbagai jurusan
dan program studi seperti ilmu politik, administrasi publik, sosiologi, antropologi,
psikologi, hukum, dan lain-lain. Dalam hal ini, pemikiran Max Weber, GWF Hegel,
dan Karl Marx sebagai pemikiran klasik mengenai birokrasi akan dibahas di sini.
Selain itu pula di bahas pemikiran birokrasi Albrow dan teori posbirokrasi. Di
tengah kajian birokrasi yang semakin berkembang menyesuaikan dengan tren
perubahan yang ada, pemikiran klasik tentang birokrasi bukanlah hal yang sama
sekali tidak relevan karena pengamatan yang jeli akan menemukan betapa banyak
mutiara kognitif yang terpendam di dalamnya. Pemikiran yang dicetuskan oleh
tokoh tersebut banyak merefleksikan problem, isu, dan keprihatinan tentang
birokrasi yang tetap saja bertahan sampai sekarang.
A.
Birokrasi Weberian
30
Teori birokrasi selalu dikaitkan dengan tokoh Max Weber. Begitu besar
pengaruh pemikirannya, sehingga birokrasi senantiasa diasosiasikan dengan
Weber. Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui bahwa, Max Weber
merupakan seorang sosiolog dan intelektual Jerman yang dipandang sebagai
bapak dari model birokratik yang banyak ditelaah dalam teori organisasi. Birokrasi
Weber mendasarkan diri pada hubungan antara kewenangan menempatkan dan
mengangkat pegawai bawahan dengan menentukan tugas dan kewajiban dimana
perintah
dilakukan
secara
tertulis;
ada
pengaturan
mengenai
hubungan
kewenangan; dan promosi kepegawaian didasarkan pada aturanaturan tertentu.
Weber memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengapa orang merasa
wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan
nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan
Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan
negara pada khususnya. Ia sebenarnya ingin menekankan pada kekuasaan yang
sah (legitimate power). Ia mengatakan kepercayaan bawahan terhadap legitimasi
akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber pemerintah
dalam sistem organisasi. Kewenangan tidak dapat bergantung pada ajakan
kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada
motif suka atau benci. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak ada satu pun
kewenangan yang bergantung pada motif-motif ideal.
Dalam hal ini Weber10 menemukan tiga tipe ideal dari kewenangan atau
otoritas, yaitu :
10
Said, Mas‘ud, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press, 2007: 14.
31
1. Otorita tradisional
Otorita
ini
mendasarkan
legitimasi
pada
pola
pengawasan
sebagaimana
diberlakukan pada masa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat
dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya
kepada siapa yang menjadi kepalanya.
2. Otorita kharismatik
Otorita ini dimungkinkan timbul karena penghambaan seseorang kepada individu
yang memiliki hal-hal tidak biasa. Individu yang dipatuhi itu, misalnya mempunyai
sikap heroik, ciri, dan sifat-sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan
seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria-kriteria tradisional.
Seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan-aturan tradisional
atau oleh kemampuannya untuk meletupkan api revolusi.
Otorita kharismatik, tidak bisa menerima satu pun sistem pengaturan bagi
organisasi masyarakat. Dalam keadaan demikian, maka tidak ada hukum, hirarki,
dan
formulasi,
kecuali
tuntutan
penghambaan
untuk
penguasa-penguasa
kharismatik itu. Penguasa ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para
pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuantujuan. Otorita kharismatik merupakan lawan dari keteraturan rutin. Baik otorita
kharismatik maupun tradisional, secara sah dijalankan berdasarkan inspirasi dan
wahyu. Keduanya juga merupakan tipe otorita yang tidak tradisional.
3. Otorita legal-rasional
Otorita ini didasarkan pada aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang
ditetapkan secara legal. Kesetiaan dan kepatuhan adalah manakala seseorang
32
melaksanakan otorita kantornya hanya dengan legalitas formal dari pimpinannya
dan hanya dalam jangkauan otorita kantornya. Otorita legal-rasional didasarkan
pada aturan-aturan yang pasti. Aturan yang secara rasional telah dikembangkan
oleh masyarakat. Beberapa aturan boleh jadi diubah untuk dapat meliputi
perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya secara sistemik dan lebih
mengandung perkiraan masa mendatang dibandingkan dengan otorita tradisional
atau otorita kharismatik. Intisari dari otorita legal-rasional adalah birokrasi.
Jantung dari birokrasi adalah sistem hubungan otorita yang dirumuskan secara
rasional oleh aturan-aturan.
Kemudian, Gerth dan Mills menyatakan bahwa dari gagasan kewenangan
rasional/legal Weber menetapkan enam prinsip bagi sistem birokrasi modern11
yaitu :
1. Prinsip mengenai bidang-bidang yurisdiksi yang resmi dan tetap, pada
umumnya ditata dengan aturan-aturan, yaitu dengan hukum atau
peraturan-peraturan administratif.
2. Prinsip-prinsip mengenai hirarki jabatan dan mengenai tingkat-tingkat
kewenangan yang bertingkat berarti suatu sistem super-ordinasi dan
subordinasi yang ditata secara sungguh-sungguh, yaitu ada suatu
pengawasan jabatan-jabatan yang lebih rendah oleh jabatan-jabatan yang
lebih tinggi.
11
Santosa, Dr. Pandji, Administrasi Publik, Teori, dan Aplikasi Good Governance , Bandung: PT
Refika Aditama., 2008: 8.
33
3. Manajemen kantor modern didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis
yang disimpan. Badan pejabat-pejabat yang secara aktif terikat di dalam
jabatan ―pemerintahan‖, bersama dengan aparat peralatan-peralatan dan
file-file material masing-masing, menyusun suatu kantor.
4. Manajemen
kantor,
setidaknya
semua
manajemen
kantor
yang
dispesialisasikan, dan manajemen yang demikian secara jelas modern,
biasanya mensyaratkan pelatihan ahli dan menyeluruh.
5. Ketika jabatan sepenuhnya maju, aktivitas jabatan meminta kapasitas
bekerja yang penuh dari pejabat. Pada awalnya dalam semua hal, keadaan
normal di balik; bisnis pejabat diturunkan sebagai aktivitas sekunder.
6. Manajemen kantor mengikuti aturan-aturan umum, yang lebih atau kurang
stabil, lebih atau kurang melelahkan, dan yang bisa dipelajari. Pengetahuan
mengenai aturan-aturan ini menyiratkan suatu pembelajaran teknis spesial
yang
para
pejabat
punyai.
Pembelajaran
tersebut,
melibatkan
yurisprudensi, atau manajemen bisnis atau administratif.
Chandler dan Plano mengungkapkan bahwa tipe ideal mengenai otorita
legal-rasional Weber ini amat sejajar dengan prinsip yang dikembangkan dalam
teori organisasi klasik. Keduanya memberikan tekanan pada arti efisiensi.
Keduanya
juga
sama-sama
menekankan
keteraturan
administrasi,
dan
menetapkan yurisdiksi wilayah tanggung jawab secara pasti dan resmi sebagai
bagian dari pembagian sistematik terhadap bidang-bidang pekerjaan. Bahkan
34
kemiripan keduanya, masih menurut Chandler dan Plano12, juga dapat ditentukan
dalan hal-hal berikut :
1. Otorita untuk memerintah
2. Prinsip-prinsip dari hirarki perkantoran dan jenjang tingkatan otorita yang
terbangun dalam sistem superior dan subordinasi.
3. Sebuah birokrasi rasional seharusnya terdiri atas orang-orang yang bekerja
sepenuh waktu, digaji, diangkat secara karier melalui latihan keahlian, dipilih
berdasarkan kualifikasi teknis.
4. Mengurusi perbedaan manusiawi.
Tipe ideal menurut Weber merupakan konstruksi abstrak yang membantu
kita memahami kehidupan sosial. Weber berpendapat adalah tidak memungkinkan
bagi kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan.
Adapun yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala
tersebut. Satu hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa
diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi
tersebut dengan organisasi lainnya. Dengan demikian, tipe ideal memberikan
penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat
penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan
lainnya. Dengan cara semacam ini kita menciptakan tipe ideal tersebut.
Masih
menurut
Weber,
tipe
ideal
itu
bisa
dipergunakan
untuk
membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain
di dunia ini. Perbedaan antara kejadian senyatanya dengan tipe ideal itulah justru
12
Albrow, Martin, 1996: 9.
35
yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa
berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka kita bisa menarik suatu
penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang
membedakannya. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa
suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana
semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan
segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep ideal birokrasi
Weberian.
Menurut Weber, tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam caracara sebagai berikut13 :
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan
individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya
untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan
ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada
pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik
berbeda satu sama lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian
tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang
13
Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada.
2008: 18-19).
36
menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai
dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya
hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun
sesuai dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat
bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai
dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang
objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan
resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu
sistem yang dijalankan secara disiplin.
Birokrasi Weberian selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah biro.
Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang
telah ditetapkan. Ia merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan
tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik dan menjadi wewenang dari
pejabat politik yang menjadi masternya. Oleh karena itu, birokrasi merupakan
suatu mesin politik yang melaksanakan kebijakan politik yang telah diambil atau
dibuat oleh pejabat-pejabat politik.
37
Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah
mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan
tersebut. Dengan demikian, setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi
pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak
mempunyai kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini maka setiap pejabat pemerintah
tidak mempunyai tanggung jawab publik, kecuali pada bidang tugas dan tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai
mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan,
maka akuntabilitas pejabat birokasi pemerintah telah diwujudkan.
Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai
kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu.
Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintah dalam pemikiran Weber dikenal
sebagai konsep konservatif dari para pemikir di jamannya. Weber hanya ingin
meletakkan birokrasi sebagai sebuah mesin, daripada dilihat sebagai suatu
organisme yang mempunyai kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah
negara. Menurut Sulistiyani14, model birokrasi yang diajukan Weber memiliki
karakteristik ideal sebagai berikut:
•
Pembagian kerja
Dalam
menjalankan
tugasnya,
birokrasi
membagi
kegiatan-kegiatan
pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan
memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan
14
Sulistiyani, Ambar Teguh, Memahami Good Governence: Dalam Perspektif Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta ,Gava Media, 2004: 9.
38
terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis
untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung
jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.
•
Hirarki wewenang
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hirarkis
atau berjenjang. Hirarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi
semakin tinggi suatu jenjang berarti semakin besar pula wewenang yang
melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya. Hirarki wewenang
ini sekaligus mengindikasikan adanya hirarki tanggung jawab. Dalam hirarki
itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang
dilakukan oleh anak buahnya.
•
Pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak.
Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang
jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan
itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin
keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
•
Impersonalitas hubungan
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus
menghindarkan
pertimbangan
pribadi
dalam
hubungannya
dengan
bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
•
Kemampuan teknis
39
Jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam
jabatan itu. Biasanya, kualifikasi atas para calon dilakukan dengan ujian
atau berdasar sertifikat yang menunjukkan kemampuan mereka.
•
Karier
Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para pejabat
menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan, bukan
melalui pemilihan seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih tergantung
pada atasan mereka dalam pemerintahan daripada kepada rakyat pemilih.
Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas
atau prestasi, atau keduanya. Dalam kondisi tertentu, birokrat itu juga
memperole jaminan pekerjaan seumur hidup.
Birokrasi yang digambarkan oleh Weber di atas sebenarnya memiliki banyak
kelebihan. Misalnya pembagian kerja akan menghasilkan efisiensi. Hirarki
wewenang memungkinkan pengendalian atas berbagai ragam jabatan dan
memudahkan koordinasi yang efektif. Aturan main itu menjamin kesinambungan
dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, walaupun para pejabatnya bergantiganti, dan dengan demikian bisa menumbuhkan keajegan perilaku. Impersonalitas
hubungan menjamin perlakuan yang adil bagi semua anggota masyarakat dan
mendorong timbulnya pemerintah yang demokratik. Kemampuan teknis menjamin
bahwa hanya orang-orang yang ahli yang akan menduduki jabatan pemerintahan.
Dan jaminan keberlangsungan jabatan membuat para pejabat itu tidak mudah
dijatuhkan oleh tekanan-tekanan dari luar. Pendeknya, dengan karakteristik
40
seperti
itu
birokrasi
akan
bisa
berfungsi
sebagai
sarana
yang
mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien.
Model birokrasi Weber memuat asumsi bahwa birokrasi menjalankan fungsi
―administratif‖, yaitu menerapkan kebijakan publik yang dibuat melalui mekanisme
proses ―politik‖ yang dilakukan oleh pejabat politik, bukan birokrat karier. Dengan
pemisahan administrasi dari proses politik itu, maka birokrat diharap bisa bersikap
netral dalam hal politik. Pejabat yang bersikap netral dalam politik diharapkan
akan dengan patuh mengabdi pada rakyat, bukan demi kepentingan sekelompok
orang atau kelompok politik tertentu.
Menurut Peter M. Blau, birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang
untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara
mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis 15. Dari sini dapat
disimpulkan birokrasi merupakan alat untuk mempermudah jalannya penerapan
kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat. Namun demikian,
persepsi umum masyarakat mendengar kata birokrasi selalu identik dengan
urusan yang rumit, bukan yang sederhana. Birokrasi identik dengan peralihan dari
meja ke meja, proses yang ribet, berbelit-belit dan tidak efisien. Urusan-urusan
birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir
yang memakan waktu, proses perolehan ijin yang melalui banyak meja secara
berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan seseorang melewati
banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya.
15
Said, 2007: 29.
41
Sepanjang penilaian kita terhadap birokrasi bersifat objektif, maka tentu
akan ada kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Setidaknya dapat kita pelajari
dari tabel berikut :
Tabel 2.1
Kelebihan dan Kekurangan Birokrasi Max Weber
Strength of Bureaucracy as seen
by Max Weber
A division of labor into spheres of
influence
A definite hierarchy of official
offices
Clear norms and rules
Selection to office is by technical
qualification
Promotioan by seniority
Disciplinary
control
over
the
incumbent of each office.
Better than feudal/traditional forms
where people got appointed by
favoritism or bribes
Sumber: David Boje, Robert Gephart, and
Weaknesses of Bureaucracy
Becomes an iron cage of control
Red tape from all the rules and sign
offs
Hard to change this form
Divisions of labor compartmentalize
attention and response
Hierarchy can mean silos (e.g. must
go up and down chains of
command to get things done).
Certain irrationalities results
Grace Ann Rosile16
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa teori birokrasi Weber tidak lepas
dari kelemahan. Kelemahan teori Weber adalah tidak mengakui adanya konflik
antara otorita yang telah dibangun secara hirarkhis. Kelemahan lainnya adalah
tidak mudahnya menghubungkan proses birokrasi dan modernisasi di kalangan
negaranegara sedang berkembang. Apapun yang dikatakan orang mengenai teori
birokrasinya, Weber dengan segala kehebatan pemikirannya tetap merupakan
16
Said, 2007: 30.
42
sumber gagasan yang tidak pernah habis. Setiap tipe yang dikembangkan Weber
dikaitkan dengan tipe staf administrasi.
Para pengkritik banyak mengemukakan pendapat bahwa struktur dan
manajemen model birokrasi pemerintahan tradisional ala Weber sudah usang dan
membutuhkan perubahan yang drastis. Birokrasi yang mengutamakan formalitas
misalnya hanya akan menjadikan aparatnya bersikap pasif dan ―robotic‖ daripada
menjadi seorang inovator yang kreatif, menjadi risk-avers daripada risk-taking.
Struktur yang berjenjang hanya membuat pemborosan (high cost economy),
inefficiency, dan bahkan pelencengan tujuan (displacement of goals). Struktur
yang kaku juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi pegawai, karena selalu
menggaji lebih banyak terhadap mereka yang ada di struktur yang lebih tinggi,
walaupun mungkin kualitas dan kuantitas pekerjaannya lebih sedikit dibanding
dengan pegawai yang lebih rendah17.
Kelemahan kelemahan tersebut menyebabkan kinerja birokrasi cenderung
berada pada posisi yang statis, berkutat pada rutinitas, dan kurang responsive
terhadap perkembangan jaman. Bahkan para birokrat cenderung mencari
keuntungan bagi diri dan organisasinya sendiri daripada kepentingan masyarakat
secara umum. Kesuksesan seorang birokrat seringkali diukur dari sudut apakah dia
mampu mempertahankan atau menaikkan anggaran bagi instansinya. Hal tersebut
jelas
bertentangan
mengutamakan
17
dengan
proses
yang
prinsip-prinsip
competitive,
pasar,
yang
menyukai
pada
pemberian
umumnya
insentif,
Setiyono, Budi, Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang: Puskodak Undip,
2004:145
43
menghargai inovasi, mengutamakan pelanggan, memberikan gaji sesuai proporsi
kerja dan sebagainya.
B.
Birokrasi Hegelian dan Marxis
Renungan Hegel tentang birokrasi muncul dalam konteks filsafat sosial
politiknya. Dilihat dari perspektif sistem pemikirannya yang utuh, birokrasi adalah
anasir konseptual yang tercakup dalam apa yang disebutnya ―roh objektif‖, yakni
tahapan menengah dari rangkaian perjalanan Roh (Geist) untuk mengenal dirinya
yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial. Kita tidak akan membicarakan
sistem metafisis Hegel tentang Roh ini. Cukuplah di sini untuk membicarakan letak
dan fungsi birokrasi dalam ekonomi gagasan Hegel tentang kehidupan sosialpolitik.
Birokrasi dipahami dalam konteks ― Sittlichkeit ‖, yang dapat diterjemahkan
sebagai tatanan sosial-moral, sebagai suatu tahapan tertinggi dari kehidupan
sosial. Dalam Philosophy of Right, Hegel mengatakan bahwa masyarakat sebagai
sittlichkeit dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau substansi etis, yaitu keluarga,
masyarakat sipil, dan negara. Birokrasi adalah bagian dari negara yang berperan
untuk memediasi kepentingan partikular dari masyarakat sipil dengan kepentingan
universal dari negara.
Dengan kata lain, birokrasi adalah jembatan antara negara dengan
masyarakat sipil. Peran yang sekilas terlihat ganjil ini dapat kita pahami jika kita
mengingat bahwa Hegel memberikan dua karakter pokok pada masyarakat sipil.
Pertama, setiap anggota masyarakat sipil
berusaha mengejar kepentingan
44
pribadinya. Mereka mengerahkan kekuatan reflektifnya dalam pertukaran pasar
dan komodifikasi alam setelah dirinya keluar dari kepompong ―feodalistis‖
keluarga.
Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, anggota masyarakat sipil lainnya
dipandang sebagai sarana untuk meraih tujuan pribadi. Akan tetapi, dan ini
karakter pokok kedua dari masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi kepentingan
pribadinya tersebut mau tidak mau anggota masyarakat sipil haruslah memuaskan
kebutuhan dari anggota masyarakat sipil lainnya. Kepentingan diri yang bersifat
timbal balik menjadi basis dari interaksi masyarakat sipil. Ini menujumkan tesis
dari Adam Smith bahwa pengejaran kepentingan diri akan menciptakan tatanan
sosial. Namun masyarakat sipil bukanlah substansi yang cukup-diri dan paripurna.
Ada berbagai ekses negatif yang mencuat dalam dinamika masyarakat sipil
karena terlalu mengedepankan, dalam istilah Isaiah Berlin, kebebasan negatif.
Fluktuasi pasar yang liar menyebabkan kesejahteraan tidak dapat dibagi secara
merata pada seluruh anggota masyarakat. Akibatnya terjadi kesejahteraan dan
kemiskinan yang ekstrim. Lagipula, ketidaksamaan natural dalam hal fisik dan
intelektual juga berakibat pada terjadinya ketidaksamaan kemampuan dan sumber
daya, yang
pada gilirannya tentu juga memengaruhi kesempatan anggota
masyarakat untuk sejahtera. Masyarakat sipil adalah ―kerajaan kebebasan yang
hewani‖.
Untuk menetralisasi efek-efek buruk itulah kemudian negara turun tangan.
Pasar perlu diintervensi dan diregulasi oleh negara. Negara harus menjamin
bahwa seluruh anggota masyarakat sipil mempunyai derajat kebebasan yang
45
setara, baik dalam peluang pekerjaan dan kesejahteraan. Negara harus
menciptakan hukum yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok yang kalah
dalam persaingan pasar dan negara harus menyelenggarakan fungsi-fungsi yang
tidak dirambah oleh pasar: pembangunan infrastruktur, penerangan jalan,
kesehatan publik, dsb.
Dalam hal ini, lembaga eksekutif memegang peranan yang penting karena
dia bertugas untuk mengimplementasikan dan menegakkan hukum yang
dikodifikasikan oleh negara. Lembaga eksekutif sendiri, oleh Hegel, dibagi menjadi
tiga: birokrasi, polisi, dan kehakiman. Polisi adalah bagian dari lembaga eksekutif
yang berfungsi sebagai organ pelayan publik. Konsep polisi-nya Hegel tidak dapat
dipahami secara sempit sebagai instansi yang identik dengan pengurusan masalah
kriminal. Istilah „polisi‟ sendiri diambil dari pengertian ― politia‖, transliterasi
Jerman dari kata Yunani „ politeia‟, yang artinya ―hal atau pengaturan publik‖.
Polisi adalah bagian dari otoritas publik yang bertujuan untuk menjamin keamanan
dan keteraturan sosial. Masalah publik adalah masalah polisi (polizeilich), maka
misalnya polisi bertugas membenahi penerangan jalan, pembangunan jembatan,
penarikan pajak, mengurusi masalah kesehatan warga, mengurusi perwalian anak
dan orang-orang miskin.
Sementara itu, fungsi utama dari birokrasi adalah memediasi kepentingan
masyarakat sipil dengan kepentingan negara. Birokrasi memegang peranan yang
krusial dalam sistem sosial- politik secara keseluruhan karena nasihat-nasihatnya
mampu mengikat negara. Secara normatif, hukum memang dibuat oleh badan
legislatif yang terdiri atas perwakilan masyarakat sipil. Akan tetapi, bagi Hegel
46
birokrasi dipercaya memiliki kemampuan untuk mengetahui kepentingan otentik
dari masyarakat sipil. Hegel sebenarnya meragukan kemampuan dari masyarakat
untuk secara kolektif-rasional menggali dan menemukan apakah yang sebenarnya
menjadi kepentingan bersama mereka.
Dalam
logika
dialektis,
masyarakat
sipil
beserta
perwakilannya
dipostulatkan hanya mampu mengartikulasikan kepentingan partikular sedangkan
birokrasilah yang mampu mengartikulasikan kepentingan universal dalam artian
kebaikan bersama (bonum commune). Seperti Emmanuel Kant, Hegel juga
mengatakan bahwa cukuplah secara potensial, dan tidak perlu secara aktual, bagi
masyarakat untuk menyetujui hukum yang dibuat oleh negara. Jadi jika seseorang
mungkin untuk menyetujui hukum, meski dalam kenyataannya dia tidak setuju
dengan hukum tersebut, hukum tersebut tetaplah legitim dan rasional. Tentu,
profil semacam itu mengandung potensi otoritarian dan Hegel sadar akan hal itu,
termasuk bahaya korup dan otoritarian yang mungkin mengintai birokrasi.
Oleh karenanya, Hegel menekankan bahwa kekuatan birokrasi haruslah
dibatasi dengan cara memonitor aktivitasnya, baik dari atas oleh negara maupun
dari bawah oleh masyarakat sipil. Oposisi dalam parlemen mempunyai hak untuk
menuntut birokrasi agar lebih akuntabel.
Karl Marx: Birokrasi Alienatif
Pemikiran lain tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam
tanggapannya atas optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap
bahwa oposisi Hegelian antara kepentingan partikular dengan kepentingan
47
universal sebagai hal yang tak bermakna karena negara sesungguhnya tidak
mencerminkan kepentingan universal. Bagi Marx, birokrasi selamanya hanya
mencerminkan kepentingan partikular dari kelas dominan dalam masyarakat.
Dalam perspektif ini, birokrasi tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan
dijalankan oleh kelas berkuasa untuk mengamankan kepentingannya. Justifikasi
dan eksistensi dari birokrasi sepenuhnya tergantung kepada kelas yang berkuasa.
Ketika birokrasi mengklaim telah merepresentasikan kepentingan universal
masyarakat, sesungguhnya itu tak lebih dari selubung ideologis yang berusaha
mengaburkan hakikatnya sebagai pelayan dominasi kelas penguasa.
Dari perspektif kelas, kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu
sisi, mereka bukanlah bagian dari kelas sosial manapun karena posisinya yang
non-organis, yakni tidak terkait secara langsung dengan proses produksi, di mana
proses produksi inilah yang secara konstitutif mendefinisikan identitas kelas yang
tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain, posisi sedemikian membuat mereka
memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik dengan ―pemiliknya‖ (kaum
borjuis) menjadi dimungkinkan, meskipun konflik tersebut.
C.
Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar
pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri
mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara
pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai
pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di
era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
48
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi
sebagai
organisasi
rasional
sebagian
besar
mengikut
pada
pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai
segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah
menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi
dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam
administrasi.
Secara
teknis,
birokrasi
juga
mengacu
pada
mode
pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi
dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu
pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuantujuan organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai
―organisasi rasional‖, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai ―organisasi yang
di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan
mereka.‖
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain
itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi
dalam organisasi-organisasi besar.
49
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya),
kurang
inisiatif,
penundaan
(lamban
dalam
berbagai
urusan),
berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan
departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat
memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan
di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri
sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang
profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam
pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan
sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit
pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan
sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi
merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan
jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting.
50
Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut
birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan
modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada
ciri-ciri yang sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana
masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi.
Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun
birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di
dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut
dikatakan modern.
Sejalan dengan teori birokrasi yang dikembangkan Weber yang disitir
Martin Albrow dalam bukunya ―Birokrasi‖ (1996), bahwa birokrasi sebagai
kekuasaan dan sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sehingga ada
kemungkinan warga negara terancam bahkan pejabat melakukan penyimpangan.
Tampaknya
masalah
kejujuran
ini
yang
pejabat,
sehingga
kemungkinan
kebebasan warga negara menjadi pangkal utama, karena sekarang dengan
system penggajian yang lebih baik untuk kalangan DPR dan pemerintahan tetapi
korupsi justru lebih banyak.
51
Untuk mendiagnosis dan menyembuhkan masalah-masalah birokrasi yang
beerkmbang dalam suatu masalah dmokrasi, menurut Martin Albrow18 bahwa kita
terlebih dahulu harus melihat prbedaan tiga posisi dasar tentang fungs-fungsi
pejabat. Pertama, bahwa pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu
dikembalikan pada fungsinya semula. Kedua, pejabat benar-benar memiliki
kekuasaan dan tugas semakin besar dan jabatan itu harus secara bijaksana.
Ketiga, bahwa kekuasaan itu diperlukan oleh para pejabat dan yang harus dicari
adalah yang dengannya pelayanan mereka dapat disalurkan bersama-sama.
Penekanan yang berbeda pada fungsi pejabat Negara mencakup interprestasi
yang berbeda tentang apa yang dipahami oleh administratif yang demokratis dan
begitu juga mencaku erspektif yang berbeda tentang masalah birokrasi.
Fungsi-fungsi pejabat dikhawatirkan terlalu diperluas terutama berkaitan
dngan gagasan kekuasaan berdasarkan hukum dan pengawasan pemrintah oleh
wakil yang dipilih. bahkan fungsi--fungsi pejabat dalam pembuatan kebijakan
kurang dapat diterima lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan
pemerintah yang mengekspresikan keinginan dasar rakyat dan gagasan tentang
arus informasi yang bebas antara yang memerintah dan yang diperintah.
Selanjutnya Albrow menyebut lima prinsip dalam birokrasi, yaitu pertama,
kepastian dan hal-hal kedinasan harus diatur berdasarkan hukum, yang biasanya
diwujudkan dalam berbagai peraturan dan ketentuan administrasi. Kedua, tata
jenjang dalam kedinasan dan tingkat kewenangan (hierarki). Ketiga, didasarkan
pada dokumen-dokumen tertulis, yang aslinya tersipan tahan lama dan dalam
18
Martin Albrow (1996:109-110)
52
bentuk yang kuat. Keempat, spesialisasi yang didukung oleh keahlian terlatih.
Kelima, hubungan kerja berdasarkan atas prinsip impersonal19. Mendasarkan
uraian tersebut, maka birokrasi dipahami sebagai suatu badan administratif yang
mempunyai kekuasaan, kewenangan dan prosedur administrasi tertentu yang
bercirikan spesialisasi, sentralisasi dengan penggunaan pekerja yang diangkat dan
digaji dalam kepegawaian negara.
D.
Post-birokrasi
Pola piker yang berkembang dapat memberikan beberapa bahasa yang
umum dan kerangka kerja yang dinamis untuk memahami manajemen publik baik
dari perspektif aktor dan pendekatan struktur. Dari perspektif aktor, hubungan
antara pola keyakinan bersama lebih atau kurang diorganisir sekitar pola pikir dan
imajinasi manajerial lebih jelas. Seorang manajer yang berpandangan birokrasi
murni (dalam arti Weberian) cenderung berperilaku berbeda dari manajer yang
melihat pekerjaannya secara lebih "cara post-birokrasi." Dari perspektif sistem,
organisasi pengaturan kelembagaan yang membentuk insentif dari orang di sektor
publik juga akan dipengaruhi oleh apa yang harus menjadi tujuan dari pengaturan
ini. Misalnya, paradigma birokrasi murni mengatur memaksimalkan efisiensi,
sementara pendekatan yang post-birokrasi lebih peduli tentang adaptasi dinamis
dan inovasi (masalah yang tidak ditangani dengan baik oleh paradigma birokrasi
murni).
19
Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara
Jilid II. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002 ; 75 – 78
53
Barzelay (1992) menjelaskan sejarah apa yang dia sebut gerakan reformasi
birokrasi yang dibentuk oleh para reformis progresif di Amerika Serikat. Dia
berpendapat bahwa pola pikir reformasi birokrasi ini, yang merupakan perbaikan
penting atas pandangan dan teori yang telah menjadi usang dan kontraproduktif.
Keberhasilan program ini menandakan munculnya paradigma post-birokrasi.
Konsep reformaasi birokrasi baru ini menekankan penyampaian nilai kepada
pelanggan, yang bertentangan dengan pengendalian biaya dan perjuangan untuk
efisiensi. Pengembangan konseptual ini mencerminkan perkembangan teori-teori
baru manajemen bisnis, dan didasarkan pada pentingnya efesiensi dari skala
ekonomi, dan relevansi peningkatan fleksibilitas dan nilai pengiriman. Tabel 2.2 di
bawah ini merangkum prinsip utama dari paradigma birokrasi dan post-birokrasi.
Tabel 2.2
Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post- Bureaucratic
54
Bureaucratic Paradigm
Post-Bureaucratic Paradigm
Public Interest
Result citizens value
Efficiency
Quality and Value
Administration
Product
Control
Winning adherence to norms
Specify
functions,
authority
and Indentify mission, service, costumers
structure
and outcomes
Justify cost
Delivery value
Enforce responsibility
Building accountability
Strengthen working relationship
Follow rules and procedures
Understand and apply norms
Identify and solve problems
Continuously improve processes
Operate administrative system
Separate service from control
Built support to norms
Expand costumers choice
Encourage collective action
Provide incentives
Measure and analysis result
Enrich feedback
Sumber : Barzelay & Armajani (1992: 538)
Skowronek (1982) menyatakan bahwa birokrasi muncul di Amerika Serikat
sebagai respon fungsional terhadap tuntutan politik untuk pengembangan
55
kapasitas negara dan perlunya memberikan respon yang seragam terhadap
tuntutan sosial dan politik pada negara. Perkembangan pemikiran administrasi
publik dapat juga dipahami melalui berbagai paradigma yang dipelopori oleh para
ahli administrasi publik. Misalnya Barzelay & Armajani20 mengungkapkan mengenai
paradigma post-bureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada
pandangan ahli birokrasi murni, birokrasi ditekankan pada kepentingan publik,
efisiensi, administrasi, dan kontrol, sementara post-birokratik menekankan hasil
yang berguna pada masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap
norma. Jika paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur,
maka paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir
(outcome). Sementara bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan
tanggungjawab (reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan
pemberian nilai (bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat
hubungan kerja. Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan
dan prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan
penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses
perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik
mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma
postbirokratik
menekankan
pemisahan
antara
pelayanan
dengan
kontrol,
membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,
20
Barzelay, M. & Babak. J. Armajani, Classics of Public Administration, Fifth Edition, Wordawoith,
Thomson Learning Academic ResourceCentre, Belmont,CA: 1992: 533
56
mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis
hasil, dan memperkaya umpan balik.
Kritik yang paling banyak dilontarkan terhadap birokrasi murni adalah yang
bersangkut-paut dengan kecenderungan empirik birokrasi yang mengarah pada
pemusatan kekuasaan (oligarchy). Kritik yang dilontarkan oleh Michels21 dengan
mengemukakan
bahwa
siapa
saja
yang
membicarakan
birokrasi,
berarti
membicarakan oligarkhi. Pendapat tersebut menunjukkan adanya kecenderungan
organisasi birokrasi mengarah kepada oligarkhi, yaitu suatu pemusatan kekuasaan
di tangan sebagian
kecil individu, yang menggunakan kantornya untuk
meningkatkan keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Kecenderungan ini
disebutnya sebagai hukum besi oligarkhi.
Kritik lain dikemukakan oleh Parkinson (1962) yang menyatakan
bahwa
birokrasi adalah mekanisme organisasi untuk mencapai efisiensi ditolak keras oleh
Parkinson dengan hukum Parkinsonnya (Parkinson Law). Menurutnya, tugas-tugas
birokrasi
meluas
sehingga
menutupi
waktu
yang
tersedia
untuk
menyelesaikannya, jumlah pejabat tidak berhubungan sama sekali dengan volume
pekerjaan. Birokrasi cenderung meluas bukan karena meningkatnya beban kerja,
melainkan karena para pejabat ingin memiliki tambahan bawahan dalam rangka
memperbanyak jumlah bawahan di bawah hirarki mereka. Meski beberapa pakar
administrasi di negara-negara sedang berkembang masih meyakini pentingnya
mentransformasi birokrasi tradisional atau patrimonial menuju birokrasi rasional,
21
Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta:
P.T. Raja Grafindo Persada, 1997
57
ternyata para pakar administrasi di negara-negara maju justru sudah memikirkan
alternatif penggantinya yang mereka sebut post bureaucracy.
Menurut para pencetus gagasan organisasi post-birokrasi, sebagus apapun
pengelolaannya, birokrasi tidak mampu manghapus keterbatasan yang melekat
dalam dirinya sendiri. Hukum dasar birokrasi adalah orang bertanggung jawab
hanya pada bidang spesialisasi dan tugasnya sendiri. Akibat langsung dari hukum
ini adalah kerancuan antara tanggung jawab dengan kewenangan. Karena itu,
paradigma sikap birokrat adalah: ―tugas saya hanya ini dan itu bukan tugas saya‖
atau bisa juga ‖ tugas anda bukan ini dan itu bukan tugas anda‖.
Birokrasi yang memang memerlukan pemilahan dan pemisahan tanggung
jawab menimbulkan beberapa akibat yang tidak diharapkan. secara sistematik
birokrasi membatasi kreasi dan inovasi atau membelenggu intelegensi para
anggotanya dengan mengasumsikan bahwa kualitas pribadi setiap manusia hanya
sebatas pada spesialisasinya, birokrasi pun hanya membutuhkan sebagian kecil
dari kecakapan para anggotanya. Kecakapan-kecakapan lain di luar jabaran tugas
yang bersangkutan, menjadi sama sekali tidak berguna, dan bahkan tidak
berwenang untuk diterapkan dalam birokrasi. kemudian segmentasi tanggung
jawab mengakibatkan kegagalan birokrasi dalam mengontrol kelompok informal
dalam organisasi formal secara efektif. Meski kelompok tersembunyi ini
berhubungan langsung dengan kinerja sistem, sifat tersembunyinya menyulitkan
birokrasi mengintrolnya.
Sebagai alternatifnya, diperlukan organisasi di mana setiap orang
bertanggung jawab atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu,
58
pemisahan orang berdasar fungsi secara apriori harus dihapuskan. Hubungan
antar anggota lebih didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur
organisasi, dan kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka
ketimbang pada hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi
pasca-birokrasi yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang
utuh dan karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang
berkembang. Organisasi pasca-birokratik memiliki kelebihan atau perbedaan
dengan organisasi birokrasi karena:
1. Lebih melembagakan dialog ke arah konsensus ketimbang otoritas, peraturan
dan tradisi;
2. Lebih menggunakan pengaruh persuasif ketimbang kekuasaan dan perintah;
3. Lebih mempercayai anggota ketimbang menakutinya;
4. Lebih mementingkan misi organisasi keseluruhan daripada sebagian;
5. Lebih terbuka pada verifikasi dan publikasi ketimbang kerahasiaan.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa post-birokrasi
terlihat dari struktur organisasinya yang ramping, efektif dan efisien, serta mampu
membedakan tugas mana yang masih perlu ditangani birokrasi dan mana yang
sudah dapat diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian, segala urusan
pemerintahan itu tidak seharusnya dimonopoli oleh birokrasi pemerintah.
Paradigma Post-Birokrasi, secara operasional lebih menitikberatkan kepada
misi, pelayanan, dan hasil akhir (outcome), menekankan pemberian nilai kepada
masyarakat dan membangun akuntabilitas serta memperkuat hubungan kerja.
Dengan
demikian,
birokrasi
pemerintahan
masa
depan
itu
tidak
hanya
59
menekankan kepentingan masyarakat, efesiensi, kontrol, fungsi, otoritas, serta
struktur, melainkan lebih menekankan terhadap norma-norma, memperluas
pilihan masyarakat, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, dan
mengukur serta menganalisis hasil, juga memperkaya umpan balik. Birokrasi
pemerintahan di masa depan harus pula diimbangi dengan penyempurnaan
system dan prosedur kerja. Hal itu dicirikan sebagai sebuah organisasi yang
modern yang cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas, biaya, dan
ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanannya.
Jadi aparat pemerintahan tidak lagi berpikir bagaimana merealisasikan dana
yang tersedia dalam APBN/APBD, tapi bagaimana menggunakan anggaran yang
terbatas dan seefisien mungkin serta manfaat apa yang akan diperoleh dari hasil
program kegiatan pemerintah tersebut. Untuk itu selain perlunya rekontruksi
birokrasi pemerintahan dari vertikal ke horizontal menjadi struktur ― flat ―, juga
lebih banyak melimpahkan wewenang kepada level pemerintahan yang lebih dekat
jangkauannya dengan masyarakat. Hal ini yang akan membuat pemerintah lebih
aspiratif dan akomodatif serta keputusannya bisa dilaksanakan secara lebih cepat
dan lebih tepat, dan juga akan membuat pemerintah lebih dekat dengan rakyat.
BAB III
KONSEP ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH
60
Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun
ekonomi suatu masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti
semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak
tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) adalah
upaya memenuhi tuntutan baru tersebut22. Dalam terminologi ilmu politik,
setidaknya dikenal empat model birokrasi yang umumnya ditemui dalam praktik
pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model tersebut meliputi
model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara lebih
rinci keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Model birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh penting
yang menjelaskan konsep birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model
birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal
birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yang
digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki
kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi
(impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang
didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan
organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi23.
Birokrasi Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar
sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan
jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat
22
Imawan, Riswanda, Membedah Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1998: 85
23
Robbins, Stephen P,Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: Jusuf Udaya.
Jakarta: Arcan. 1994: 338
61
pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan
perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin
bertumpuk24.
Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi
sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat di luar
birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebenarnya diambil dari
nama seorang jenderal militer yang tangguh dan seorang negarawan yang
terkenal sebagai mantan Presiden Amerika Serikat yang ke-7 (1824-1932) –
menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson25. Birokrasi model Orwellian ini
merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan
negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat
menjadi terbatas, sepertinya ‖bernafas‖ saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu
dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus
meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di
Amerika Serikat. Pada waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), ia
mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu itu di Amerika Serikat
untuk mengurusi hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang berimplikasi
pada semakin banyaknya jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan
pegawainya dikurangi26.
24
25
26
Eep Saefulloh Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru,.Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.1998: 192.
Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194.
Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195
62
A.
Peran Birokrasi Pemerintah
Birokrasi adalah merupakan organ utama dalam system dan kegiatan
pemerintahan yang dapat berbuat atas nama negara. Oleh karenanya, birokrasi
sangat kuat secara politis dan akibatnya cenderung menjadi the single
authoritarian institution (satu-satunya institusi yang mempunyai kewenangan).
Alasan mengapa birokrasi sangat kuat secara politis, selain karena kepemilikannya
atas sumber-sumber kekuasaan, kedua adalah karena peran dan fungsi birokrasi
yang sangat spesifik Peran dan fungsi ini tidak dapat diperankan oleh lembaga
atau kelompok social lainnya, sehingga praktis birokrasi menjadi institusi yang
paling berkuasa (the most powerfull institution) secara riil dalam sistem politik
dibanding partai yang berkuasa (the ruling party) sekalipun.
Peran birokrasi pemerintah telah menjadi objek penalaran yang menarik
sejak lama. Sebagian berpendapat bahwa campur tangan birokrasi pemerintah
sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatankekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Campur
tangan birokrasi pemerintah hanya akan menghambat kebebasan individu
(individual freedom) yang merupakan dasar dari sistem demokrasi. Campur
tangan birokrasi pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi,
proteksi dan subsidi import yang merugikan para konsumen. Tiga hal yang
terakhir ini dianggap kelompok neoklasik sebagai perilaku tidak baik yang harus
dihindarkan.
Berbeda pendapat tersebut yang melihat peran birokrasi pemerintah
sebagai suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan birokrasi pemerintah, akan
63
terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok masyarakat bawah. Sehingga
yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi monopoli yang dikuasai msyarakat
ekonomi kuat. Karena itu perlu adanya peran birokrasi pemerintah, antara lain
dalam bentuk kebijakan untuk mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Birokrasi Pemerintah pada beberapa negara di masa sebelum perang dunia,
banyak yang terlibat langsung untuk mengambil peranan penting dalam
pengendalian seluruh kekuatan nasional. Pemerintahlah yang mengendalikan
perang dan pemerintahlah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan sosial
dan ekonomi. Peran ini berlanjut sampai setelah PD-II usai. Perang telah
merusakkan berbagai sendi-sendi kehidupan. Tak seorangpun lebih bertanggung
jawab untuk melakukan rehabilitasi itu selain pemerintah. Rehabilitasi ini
membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Akibatnya, banyak negara yang
mengalami kelambanan dakam pembangunan dan bahkan kehancuran.
Diantara negara-negara yang amat parah akibat Perang Dunia II adalah
negara-negara yang kalah seperti Jepang dan Jerman, serta negara dan wilayah
lain yang diduduki selama peperangan berlangsung seperti Indonesia, Korea dan
lain-lain.
Meskipun
negara-negara
jajahan
itu
kemudian
memperoleh
kemerdekaan, namun tidak semua negara mencapai kemerdekaannya itu melalui
jalan yang sama.
Dinegara-negara berkembang yang mendapat kemerdekaan sesudah PD-II
pada umumnya, peran pemerintah menjadi sangat penting karena beberapa hal:
1. Untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan membantu
1. serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu.
64
2. Proses pengambilalihan hak milik dan kegiatan (nasionalisasi) dari berbagai
lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah.
3. Keperluan untuk melakukan koordinasi dan komplementaritas antar
berbagai industri dan bisnis.
4. Adanya kecenderungan untuk melakukan pembangunan berencana secara
terpusat seperti yang dilakukan Uni Sovyet.
Sejak tahun 1960-an peran pemerintah dalam pembangunan mulai
mendapat kritik. Kritik itu terutama datang dari kalangan penganut neoliberalisme,
yang antara lain diseponsori oleh IMF. Serangan terhadap campur tangan
pemerintah terjadi mula-mula dimulai dengan kritik terhadap teori Keynes,
meskipun dia dikenal mampu mengatasi depresi besar di dunia yang terjadi pada
periode pertengahan bagian pertama abad ke-20, yang sekaligus dianggap
melandasi Era Keemasan (Golden Age) dinegara-negara maju. Era itu adalah era
gemilang selama 25 tahun sesudah PD-II, dimana hampir semua negara
mengalami kemajuan, terutama dinegara-negara maju. Setelah masa gemilang
selama 25 tahun, Amerika Serikat dan Eropah mengalami penurunan kecepatan
pertumbuhan ekonominya.
Karena itu timbul anggapan bahwa campur tangan pemerintah dapat
menghambat kebebasan individu untuk berinisiatif. Kritik itu merambat juga
terhadap Teori Keynes yang melandasi intervensi pemerintah yang dianggap
mempunyai kelemahan dalam proses pengambilan kebijakan, dimana kompromi
politik lebih menjadi landasan. Kritik terhadap campurtangan pemerintah juga
65
berhubungan dengan pelecehan terhadap birokrasi yang dipandang tidak efisien,
pemborosan sumberdaya dan paternalistik.
Sejak saat itu muncul aliran neoliberalisme yang secara terang-terangan
melalui Washington Consensus mendorong negara-negara sedang berkembang
untuk mengikuti Konsensus tersebut yang antara lain berisi:
1. liberalisasi perdagangan melalui upaya penghapusan restriksi secara
kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota dan
larangan-larangan lainnya).
2. kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai
insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi langsung.
3. privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan penjualan saham ke
sektor swasta.
4. pasar harus lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan
menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru.
5. harus ada perlindungan terhadap property right, baik disektor formal
maupun sektor informal.
Sementara itu IMF sebagai lembaga internasional mendorong negaranegara berkembang untuk memelihara situasi makroekonomi tanpa inflasi tanpa
melihat dampak yang dapat timbul terhadap kondisi ekonomi negara berkembang
tersebut. Beberapa negara yang mengikuti ‖perintah‖ IMF seperti Argentina yang
kondisi makro ekonominya dinilai IMF cukup baik, ternyata mengalami tingkat
pengangguran yang tinggi. Padahal Negara sedang berkembang boleh jadi dapat
bertahan terhadap inflasi pada tingkat yang rendah dengan membatasi
66
pengeluaran. Inflasi memang merugikan golongan berpendapatan tetap, tetapi
sampai batas tertentu masih tetap dapat mendorong meningkatnya kesempatan
kerja27.
Untuk melihat peran birokrasi pemerintah, persoalan pertama yang perlu
dijawab adalah, apa yang birokrasi pemerintahan yang sebaiknya perankan?
Untuk membahas pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus dilihat secara
sepintas beberapa aliran pemikiran yang ada sebagai berikut:
Pertama,
kelompok
neoliberal
yang
menganggap
campur
tangan
pemerintah atau regulasi sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan idividu.
Karena itu sikap pemerintah yang paling baik adalah berdiam diri. Pemerintah
yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit campur tangan dalam
urusan ekonomi atau pembangunan.
Kedua, kelompok welfare econnomics yang disebut juga sebagai market
failure approach. Kelompok ini melihat pentingnya campur tangan pemerintah
dalam pengadaan dan distribusi barang-barang tertentu secara efisien tanpa
melalui pasar. Barang-barang itu antara lain adalah public goods dan proyekproyek pionir. Pada public goods terdapat ketidakmampuan pasar dalam
pengaturan pengadaan dan distrubusinya. Karena itu, tidak dapat diserahkan
kepada pihak swasta. Ada dua ciri pokok dari barang-barang ini yang
menyebabkan kesulitan pengaturan melalui pasar. Pertama, sulit dibedakan antara
yang membayar dengan yang tidak membayar, baik dalam pengadaan maupun
dalam distribusi (non-exclusiveness). Semua orang tanpa membayar dapat
27
E. Stiglizt, Joseph, Globalization And It's Discontents, Quebecor fairfiled, 2003: 27
67
menggunakan barang atau memanfaatkan pelayanan itu secara bebas (free
riders). Kedua, pemakaiannya dilakukan secara bersama, bukan bersifat sendirisendiri. Contoh dari public goods ini adalah keamanan nasional, lampu jalan raya
dan sebagainya.
Demikian
juga
dengan
proyek-proyek
pionir.
Pengadaan
dan
pengelolaannya tidak mungkin diadakan berdasarkan perhitungan pasar. Proyekproyek ini boleh jadi tidak ekonomis jika dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi
ekonomis dinilai dalam jangka panjang. Termasuk dalam proyek-proyek pionir ini
antara lain adalah jalan-jalan terobosan didaerah tertinggal, pembukaan lahan
atau proyek percontohan, dan sarana lain yang diperlukan dalam pembukaan
daerah baru.
Di negara-negara berkembang terdapat banyak sarana-sarana baru yang
perlu diadakan, yang secara financial tidak menguntungkan dilihat dari waktu
pengembalian investasi. Proyek-proyek tersebut berorintasi kemasa depan, yang
manfaatnya sangat erat terkait dengan proyek-proyek lain sebagai lanjutannya,
yakni proyek-proyek untuk memanfaatkan proyek pionir itu. Baik yang diadakan
oleh pemerintah ataupun yang timbul dari masyarakat sebagai akibat dari
keberadaan proyek pionir. Kalau proyek pionir itu berupa sebuah jalan raya
terobosan,
maka
proyek
pemanfaatannya
adalah
jalan-jalan
penghubung
kesentrasentra produksi dan pembangunan pasar-pasar terdekat.
Melihat pentingnya sarana pelayanan umum berupa barang-barang publik
dan proyek-proyek terobosan di negara-negara berkembang dimana pihak swasta
68
dan pasar belum berfungsi, jelaslah bahwa peran langsung pemerintah dalam
pembangunan disana cukup penting.
Aliran ketiga adalah aliran kelembagaan atau aliran institutionalism.
Pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan atau aliran ini adalah, bagaimana
pemerintah itu berfungsi? Pemerintah dalam melakukan kegiatannya dapat
bertindak secara langsung atau boleh jadi secara tidak langsung, melalui
kemitraan dengan pihak lain. Baik dengan pihak swasta dalam negeri, swasta luar
negeri ataupun dengan pemerintah negara lain. Semua tindakan pemerintah ini
harus dilakukan dengan menggunakan lembaga dan prosedur tertentu. Baik
lembaga permanen yang sudah ada ataupun dengan membentuk lembaga
sementara.
Di Indonesia lembaga sementara ini sering disebut sebagai lembaga ad
hoc. Lembaga ad hoc tersebut ada yang berfungsi hanya untuk satu kali saja,
untuk kemudian segera dibubarkan begitu proyek tersebut selesai dikerjakan.
Lembaga seperti ini antara lain berbentuk panitia. Ada pula lembaga ad hoc dalam
arti khusus, yang dibentuk khusus untuk menangani suatu fungsi teretentu.
Pekerjaannya boleh jadi berlangsung selama beberapa waktu dan mengerjakan
lebih dari satu atau serangkaian proyek. Lembaga ini di Indonesia disebut Komisi.
Sebagai lembaga tidak permanen, komisi ini akan berakhir pada suatu waktu
tertentu. Fungsinya dialihkan kepad lembaga permanen yang terkait dengan
fungsi yang bersangkutan. Contoh dari lembaga ad hoc yang demikian adalah BRR
(Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) akibat tsunami di Nanggroe Aceh
Darussalam dan Nias dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga
69
yang dibentuk untuk secara khusus berfungsi menangani korupsi yang terjadi di
Indonesia.
Lembaga khusus-lembaga khusus sementara ini dibentuk karena dirasakan
bahwa lembaga permanen yang ada tidak mampu melakukan tugas khusus yang
mungkin sangat besar. Membebani tugas khusus yang sangat besar kepada
lembaga permanen dipandang dapat mengganggu penyelenggaraan tugas
keseharian yang melekat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Namun
yang perlu diingat, bahwa lembaga ad hoc itu pada suatu waktu akan berakhir.
Persoalannya, apakah kebijakan menangani persoalan khusus itu akan berakhir
(policy termination) atau harus berlanjut (continues)? Kalau harus berlanjut,
apakah lembaga ad hoc yang ada harus dimasukkan dalam lembaga permanen
atau harus diubah menjadi lembaga permanen baru? Kalau diubah menjadi
lembaga permanen, ini berarti pembentukan lembaga baru, yang dengan
sendirinya menuntut penyesuaian dan penataan kembali seluruh institusi yang ada
dalan bidang yang bersangkutan.
Dalam pendekatan institusional dikenal rangkaian yang erat antara tujuan,
strategi, dan struktur. Artinya, bahwa pemerintah terlebih dahulu menetapkan
tujuan jangka panjang yang harus dicapai. Untuk mencapainya ditentukan atau
dipilih salah satu strategi dari sejumlah kemungkinan (alternatif) strategi. Pilihan
ini tentu saja dengan mempertimbangkan prinsip dan philosophi serta perubahan
lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Strategi tersebut selanjutnya
dilaksanakan melalui lembaga atau struktur tertentu28.
28
Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta:, 2006: 192-195
70
Bentuk pemerintahan di Indonesia yang bervariasi antara desentralisasi dan
sentralisasi dalam kurun tertentu. Peralihan setiap waktu itu memberi pengaruh
pada performance atau kinerja birokrasi pemerintahan dalam pembangunan.
Desentralisasi
cenderung
lebih
menampung
aspirasi
masyarakat
dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hasilnya relatif lebih diarahkan
pada pemenuhan aspirasi rakyat. Sementara sentralisasi lebih mengarah pada
penyeragaman dibawah kendali pemerintah pusat. Dalam masyarakat yang
majemuk (pluralistis), bentuk sentralisasi tentu saja tidak menggambarkan
kenyataan yang ada sehingga berpotensi timbulnya ketidakpuasan masyarakat.
Bahkan dalam prosess penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang cenderung
menimbulkan gejolak pemberontakan daerah yang mengarah pada disintegrasi
bangsa.
Birokrasi
setidaknya
memiliki
4
(empat)
tugas/peranan
dalam
penyelenggaraan negara yakni
1) Peran dalam proses input
2) Peran dalam proses legislatif
3) Peran sebagai perterjemah (interpreter) kebijakan politik, dan
4) Peran sebagai pelaksana (eksekutor) kebijakan politik
Dalam proses input, birokrasi dapat berperan untuk memberikan usulan
dan pendapat (menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif untuk diproses
menjadi sebuah kebijakan (policy) ataupun peraturan (regulation). Dalam proses
ini birokrasi berperan seperti kelompok kepentingan (interest group) maupun
kelompok penekan (pressure group). Contoh dari peran ini adalah demo yang
71
dilakukan oleh guru dan dosen tentang pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru dan
dosen. Tindakan para guru dan dosen ini diaktakan sebagai bentuk interest group
dan atau pressure group dari aparatur birokrasi.
Peran dalam proses legislatif (di Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR), karena
birokrasi memiliki banyak aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang
terkait dengan pembahasan suatu rancangan keputusan biasanya akan dipanggil
untuk memberikan pendapat maupun klarifikasi sebelum keputusan ditetapkan.
Misalnya, bila DPR ingin mengambil keputusan di bidang pendidikan, pertahanan
keamanan, atau ekonomi, maka mereka akan memanggil aparat birokrasi untuk
dimintai pendapat/masukan.
Peran sebagai interpreter kebijakan politik, bahwa seluruh produk (output)
kebijakan atau keputusan dari lembaga legislative (DPR) adalah masih dalam
tataran global, belum terperinci secara teknis. Oleh sebab itu tidak dapat langsung
dijalankan dalam penyelenggaraan negara. Agar kebijakan atau keputusan itu
dapat diimplementasikan, maka birokrasilah yang membuat tafsiran dan perincian
kebijakan itu secara teknis.
Peran sebagai eksekutor kebijakan politik, agar kebijakan/ keputusan yang
dikeluarkan oleh DPR/lembaga legislatif dapat berjalan di tengah masyarakat,
maka birokrasi bertugas untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan itu.
Bila DPR/DPRD membuat kebijakan tentang pendidikan, maka aparat birokrasi dari
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang akan melaksanakan kegiatan
pendidikan yang sudah ditetapkan.
72
Peran-peran
yang
multifungsi
itu
tidak
mungkin
diperankan
oleh
golongan/institusi lain, misalnya parpol, LSM, organisasi massa, dan sebagainya.
B.
Kultur Birokrasi Indonesia
Semangat penerapan New Public Management memberi ruang baru bagi
organisasi untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalisme dalam
mengelola organisasinya. Kendala klasik yang dihadapi adalah adanya lingkungan
organisasi yang mengurangi akselerasi pengembangan sumber daya manusia
yang lebih professional. Hal ini terjadi karena Sense of urgency atas biaya dimasa
depan dari in- competency SDM sehingga dapat menyebabkan kefatalan yang luar
biasa bagi kelangsungan operasional organisasi tidak dirasakan oleh pengambil
kebijakan. Pola pikir lama masih membekas
bahwa investasi yang bersifat
tangible (terlihat) lebih mudah dipahami, misalnya pembangunan gedung dan
sejenisnya dibandingkan dengan investasi yang bersifat intangible (tak terlihat)
seperti pengembangan sumber daya manusia.
Dalam hal ini diperlukan suatu budaya organisasi yang memiliki nilai- nilai
dan norma- norma yang berlaku didalam organisasi yang mampu untuk mengatasi
masalah di atas. Budaya Organisasi menurut Robbins, (2002:596) merupakan
budaya yang dominan menunjukkan nilai- nilai inti yang dipegang oleh mayoritas
anggota organisasi, sedangkan minikultur menekankan kepada budaya yang
dimiliki oleh masing- masing departemen atau bagian di organisasi tersebut.
Sebagai input kinerja yang penting adalah budaya organisasi.
73
Taylor29 mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan-kemampuan
serta
kebiasaan-kebiasaan
yang
didapatkan
oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat Taylor tersebut berarti
bahwa kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu
yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencakup segala cara atau
pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Manusia
sebagai
makhluk
budaya
mengandung
pengertian
bahwa
kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap
dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat
nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia
luarnya, bahkan mendasari setiap tingkah laku
yang hendak dan harus
dilaksanakan sehubungan dengan pola hidup dan susunan kemasyarakatannya.
Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan
dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan mengikat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk
berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik ke
dalam organisasi, maka apabila seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam
organisasi, maka para anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku
sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah
budaya yang bersifat mengarahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai
29
Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Rajawali, 1990
74
kinerja yang baik, maka dapat dipastikan apabila memang semua anggota
organisasi sudah menganggap norma itu sebagai budaya, maka ia akan
melaksanakannya
dengan
baik.
Akhirnya
pelaksanaan
budaya
itu
akan
menghasilkan output kinerja yang baik. Budaya yang dimiliki organisasi juga
berasal dari individu-individu yang berada di organisasi tersebut. Individu-individu
tersebut memiliki motivasi-motivasi yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Motivasi merupakan suatu dorongan yang ada didalam diri individu untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan.
Slocum (1995) dalam West (2000:128) mendefinisikan budaya sebagai
asumsi-asumsi dan pola-pola makna yang mendasar, yang dianggap sudah
selayaknya dianut dan dimanifestasikan oleh semua fihak yang berpartisipasi
dalam organisasi. Budaya juga diartikan oleh Osborn dan Plastrik (2000:252)
sebagai
seperangkat
perilaku,
perasaan
dan
kerangka
psikologis
yang
terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi.
Sehingga untuk merubah sebuah budaya harus pula merubah paradigma orang
yang telah melekat. Pada bagian lain Sofo (2003:384) memandang budaya
sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-nilai, keyakinan, praktek, ritual dan
kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi. Dan membantu membentuk perilaku
dan menyesuaikan persepsi.
Lebih lanjut Robbins (1992:247) memberikan definisi tentang pengertian
budaya organisasi yaitu suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota organisasi dan merupakan suatu sistem dari makna bersama. Dalam hal
ini Edgar H. Schein (1992:12) mengatakan bahwa budaya (culture) merupakan
75
pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok dalam suatu organiassi
sebagai alat untuk memecahkan masalah terhadap penyesuaian faktor ekternal
dan integrasi faktor internal, dan telah terbukti sahih, oleh karenanya diajarkan
kepada anggota organisasi
yang baru
sebagai cara yang benar untuk
mempersepsikan pemikiran dan merasakan dalam kaitan masalah-masalah yang
dihadapi itu.
Mendukung
pendapat
di
atas,
Geert
Hofstede
dalam
Culture‘s
Consequences (1980) dalam Ndara (1997:44) mendefenisikan budaya sebagai
―colective programming of the mind atau collective mental program‖. Mental
programming terdapat pada tiga level yaitu: (1) universal level ofmental
programming, yaitu sistem biologikal operasional manusia termasuk prilakunya
yang bersifat universal seperti senyum dan tangis yang terjadi dimana-mana
sepanjang sejarah; (2) collective level of mental programming, misalnya bahasa;
dan (3) individual level of mental programming, misalnya kepentingan individu.
Tidak dapat dipungkiri budaya organisasi merupakan bagian dari budaya
nasional yang kita kenal dengan budaya birokrasi. Oleh sebab itu Interprestasi dari
budaya birokrasi terbagi menjadi dua yakni menunjukan budaya yang negatif dan
menunjukan budaya yang positif.
Budaya organisasi
merupakan salah satu hal yang penting digunakan
untuk menjaga prilaku anggota dalam organisasi. Hal ini dijelakan oleh Siagian
(2000 : 65) yang mengatakan bahwa ―budaya organisasi harus sedemikian kuat
sehingga dapat memberikan arah tentang cara berprilaku dalam orgnisasi atau the
way are dine around here. Dengan kata lain, budaya organisional yang kuat
76
mempunyai fungsi menentukan batas prilaku yang akseptabel, menumbuhkan
rasa memiliki, meningkatkan kemampuan membuat komitmen demi keberhasilan
organisasi, memelihara stabilitas sosial dalam organisasi, mengendalikan dan
mengawasi prilaku para anggota organisasi yang bersangkutan‖.
1. Karateristik Budaya Organisasi
Setiap organisasi memiliki budaya yang berakar dari sejarah, lingkungan,
proses staffing dan proses sosialisasi. Pembentukan budaya organisasi menurut
Stephen P. Robbins, dapat dilihat pada gambar dibawah
Gambar 2
Pembentukan Budaya Organisasi
Manajemen
puncak
Filsafat
organisasi yang
dijumpai
Kriteria
seleksi
Budaya
organisasi
Sosialisasi
(sumber :Robbin, 2002: 734)
Budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini
sangat
mempengaruhi
yang
digunakan
dalam
mempekerjakan
karyawan.
Tindakan manajemen puncak dewasa ini menentukan iklim umum perilaku yang
dapat diterima dan yang tidak. Bagaimana cara menyosialisasikan karyawan akan
tergantung, pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai- nilai
77
karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi dan juga pada
kelebihan manajemen puncak akan metode- metode sosialisasi.
Beberapa pendekatan untuk melihat terbentuknya budaya organisasi
menurut Stephen P. Robbin adalah :
1. Pendekatan deskriptif, yaitu keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan,
kepercayaan, hukum, adat istiadat dan berbagai kemampuan manusia serta
kebiasaan yang di terima manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Pendekatan historis, yaitu sejumlah total dan manajemen dari warisan sosial
yang diterima masyarakat sebagai sesuatu yang bermakna, yang dipengaruhi
oleh waktu dan sejarah hidup suatu bangsa.
3. Pendekatan normatif, yaitu salah satu pandangan hidup dari sekumpulan ideide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki dan
kemudian diwariskan dari generasi ke generasi.
4. Pendekatan psikologis, yaitu pendekatan penyesuaian diri dan proses belajar
dalam suatu masyarakat
5. Pendekatan struktural, yaitu pekerjaan dan satuan aktivitas agar manusia
berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan
baik material maupun non materil.
6. Pendekatan genetic, yaitu kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses
dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk
pencapaian tujuan akhir dan masyarakat.
Salah satu bentuk organisasi adalah perusahaan dan menurut Debre L.
Nelson dan James Campbell Quick (1997 : 476) bahwa ―Organisasi (corporate)
78
culture is a pattern of basic assumptions that are considered valid and that are
thought to new member as the way to perceive, think dan feel in the organization‖
Dalam hal ini, Nelson dan Campbell menyatakan bahwa budaya organisasi atau
budaya perusahaan merupakan satu pola asumsi dasar yang dipertimbangan calid
dan dipikirkan oleh anggota seperti persepsi, pikiran dan perasaan yang ada
dalam organisasi. Aspek-aspek ini diartikan sama oleh anggota organisasi
tersebut.
Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa dalam budaya organisasi,
terdapat pemahaman seluruh anggota organisasi, baik yang baru maupun yang
lama memiliki persepsi yang sama terhadap satu sama lain yang melekat dalam
organisasi tersebut dan mereka patuh dan mengikutinya menjadi persepsi
bersama-sama.
2. Esensi dan Tipe Budaya Organisasi
Berg & Kalleberg mengungkapkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi
kinerja melalui cara mempermudah atau memfasilitasi penyetaraan tujuan
perusahaan, dimana para pimpinan dapat melaksanakan kesepakatan dalam
menentukan tujuan perusahaan dengan lebih mudah dan juga dapat dengan
mudah menemukan cara- cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Esensi dari budaya organisasi menurut Schein (1985) yang dikutip oleh
Jayantha Wimalasiri (1991:41) bahwa :
Corporate culture is represented at three levels
1. Behaviors and artifacts
2. Beliefs and values
79
3. Underlying assumpations.
Dalam hal ini, budaya organisasi terdiri dari tiga tingkat yaitu perilaku,
kepercayaan dan nilai serta asumsi-asumsi dasar.
Menurut Stephen P. Robbins (2002:596), Organisasi memiliki budaya yang
sama di tingkat perusahaan atau dominant culture dan tingkat departemen atau
mini culture:
―Dominant culture is expresses the core values tha are shared by a majority of the
organization‘s members, subcultures is mini cultures within an organization
typically defined by department designations and geographical sepation‖.
Definisi di atas menyatakan bahwa budaya dominan menunjukan nilai-nilai
inti yang dipegang oleh mayoritas anggota perusahaan, sedangkan minikultur
menekankan kepada budaya yang dimiliki oleh masing-masing departemen di
perusahaan tersebut.
Budaya organisasi atau perusahaan yang satu dengan perusahaan yang
lainnya akan memiliki perbedaan, namun pada dasarnya organisasi atau
perusahaan tersebut memiliki tipe atau model seperti yang dinyatakan oleh
Hellriegel, Slocum, dan Woodman (1998:545) bahwa:
1. Organizations with a baseball team culture attact entrepreneur innovators, and
risk takers and pay employees for what they produce
2. Age and experience are valued in the club culture, reward seniority and provide
stable, secure employment.
3. Organizations with an academy culture yend to hire recruits early-often directly
from college-as organization with club culture.
80
4. The fortress culture is preoccupied with survival, promise little in the way of job
security and have difficulty rewarding employees for good performance‖
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tipe-tipe budaya organisasi adalah
organisasi dengan budaya tim baseball, budaya klub, budaya akademi dan
organisasi benteng sebagai berikut:
1. Dimana pada sebuah Organisasi tim basebal menarik pengusaha, innovator,
dan pengambilan untuk membayar pegawai mereka berdasarkan apa yang
mereka hasilkan dalam bekerja.
2. Pada organisasi klub, biasanya memandang dari usia dan pengalaman sehingga
penghargaan berdasarkan senioritas dan pekerjaan yang aman.
3. Pada organisasi akademi biasanya merekrut para mahasiswa yang baru lulus
dari Universitas untuk dijadikan tenaga pengajar.
4. Pada organisasi benteng selalu berupaya untuk bertahan, menjanjikan sedikit
keamanan dalam pekerjaan dan mengalami kesulitan dalam memberikan
penghargaan kepada pegawai yang menunjukan kinerja yang baik.
Dari pendapat di atas terlihat bahwa budaya dominan menunjukkan nilainilai inti yang dipegang oleh mayoritas anggota organisasi, subkultur adalah
minikultur. Budaya di definisikan sebagai aturan organisasi dan pemisahan
secara geografis.
Budaya
perusahaan
memberikan
manfaat
bagi
manajemen
yaitu
memudahkan mereka memperediksi perilaku pegawai dengan strategi tertentu
seperti yang dinyatakan oleh Jayantha Wimalasiri (1991:39) dalam The Journal of
The Singapore Institue of Management bahw; a Culture is impotant to strategic
81
management because it provides a set of common values for setting priorities and
on how things are accomplished. A strong culture makes it easier to predict the
behavior of people with respect to certain strategies.
Berdasarkan
definisi di atas,
pada umumnya
budaya
organisasi
menunjukkan satu kesamaan pemahaman bahwa budaya organisasi yang
merupakan gaya dan cara hidup dari suatu organisasi merupakan pencerminan
dari nilai- nilai atau kepercayaan yang selama ini berlaku dan dianut oleh seluruh
anggota organisasi, dan diterima sebagai nilai- nilai yang harus dipertahankan dan
diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai- nilai tersebut digunakan sebagai
pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi
untuk dapat mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal dan
dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakan sebuah perusahaan dengan
perusahaan lainnya.
3. Karateristik Budaya Organisasi
Untuk melihat ukuran kuat atau tidaknya budaya organisasi dapat
memberikan suatu kontribusi bagi satuan unit kerja dalam organisasi adalah
dengan mengukur tingkat penerimaan anggota organisasi terhadap ciri-ciri atau
karakteristik budaya organiasasi, dan bukan melihat apa yang disukai atau tidak
disukai oeleh anggota organisasi tersebut.
Schein (Kolb, Rubin, dan Osland, 1991: 102) mengatakan bahwa mengukur
budaya organisasi berarti melihat ―kekuatan‖
dan ―jumlah‖
budaya tersebut.
82
Kekuatan atau jumlah budaya tersebut dapat dijelaskan dalam dua terminologi,
yaitu (a) homoginitas dan Stabilitas dari anggota kelompok, (b) panjang dan
indensitas pengalaman yang telah ditanggung bersama oleh anggota kelompok.
Mowday, Porter dan Steers (1982 :87) mengatakan bahwa: ― Membina
kekohesifan, kesetian dan komitmen organisasi mengurangi kecendrungan
karyawan untuk meninggalkan organisasi itu‖. Menurut Luthans (2007: 115)
karakteristik penting budaya organisasi mencakup sebagai berikut:
1. Keteraturan perilaku yang dijalankan, seperti pemakaian bahasa atau
terminologi yang sama;
2. Norma, seperti standar perilaku yang ada pada suatu organisasi atau
kominitas;
3. Nilai yang dominan, seperti mutu produk yang tinggi, efiseinsi yang tinggi;
4. Filosofi, seperti kebijakan bagaimana pekerja diperlakukan;
5. Aturan, seperti tuntunan bagi pekerja baru untuk bekerja didalam organisasi;
6. Iklim organisasi, seperti cara para anggota organisasi berinteraksi dengan
pelanggan internal dan eksternal atau pengaturan tata letak bekerja (secara
fisik);
Menurut O‘reilly III, Chatrman dan Caldwell (1991 : 35) mengemukakan
tujuh karakteristik primer yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya
organisasi, yaitu:
1) Inovasi dan pengambilan resiko, sejauh mana para karyawan didorong agar
inovatif dan mengambil resiko.
83
2) Perhatian
terhadap
detail,
sejauh
mana
para
karyawan
diharapkan
memperlihatkan presisi (kecamasan), analisis, dan perhatian rerhadap detail.
3) Orientasi hasil, sejauh mana manajemen memusatkan perhatian terhadap
pada hasil.
4) Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
dampak hasil-hasil pada orang-orang didalam organisasi itu.
5) Orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim,
bukannya berdasar individu.
6) Keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya
santai-santai.
7) Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo bukannya pertumbuhan.
Setiap budaya organisasi menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu
berskala organisasi yang bersifat homogen (sama). Semua budaya ini harus
dipahami dan dipadukan, jika organisasi itu ingin bekerja efektif.
Sedangkan menurut Manan (1989) ada tujuh karakteristik budaya dasar
yang bersifat universal yaitu:
1) Kebudayaan itu dipelajari bukan bersifat instingtif;
2) Kebudayaan itu ditanamkan;
3) Kebudayaan itu bersifat gagasan (idetional), kebiasaan-kebiasaan kelompok
yang dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola
perilaku;
84
4) Kebudayaan itu sampai pada suatu tingkat meuaskan individu, memuaskan
kebutuhan biologis dan kebutuhan ikutan liannya;
5) Kebudayaan itu bersifat integratif;
6) Selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan;
7) Kebudayaan itu dapat menyesuaikan;
C.
Struktur Organisasi Birokrasi
Pengorganisasian merupakan proses yang menghubungkan orang-orang
secara efektif, sehingga mereka dapat bekerja sama dan dengan demikian
memperoleh tujuan tertentu. Hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi.
Definisi menurut Robbins (1994:6), menyatakan struktur organisasi menetapkan
bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, serta mekanisme
koordinasi yang formal dan pola interaksi yang akan diikuti.
Konsep the old public administration yang dicetuskan oleh Wilson dalam
Thoha (2008) menyatakan bahwa pemerintah perlu memiliki sistem administrasi
pelayanan publik mengikuti model bisnis yakni mempunyai eksekutif otoritas,
pengendalian, dan yang amat penting adalah mempunyai struktur organisasi
hierarki agar pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dapat
dilakukan dengan efisien.
Weber dalam Robbins (2002) telah mengembangkan sebuah model
struktural sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi untuk mencapai
tujuannya. Struktur ideal ini dinamakan birokrasi. Birokrasi dicirikan dengan
adanya pembagian kerja, sebuah hierarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi
85
yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas
hubungan pribadi.
Sejalan dengan pendapat Weber mengenai hubungan antara efisiensi dan
struktur organisasi, Mohamad (2003) mengemukakan beberapa permasalahan
dalam pola penyelenggaraan pelayanan publik antara lain :
•
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan
tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
•
Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan
kepada
masyarakat,
lambat
atau
bahkan
tidak
sampai
kepada
masyarakat.
•
Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang
memerlukan pelayanan tersebut.
•
Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang
tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan
dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
•
Birokratis. Pelayanan pada umumnya dilakukan melalui proses yang
terdiri
dari
berbagai
level,
sehingga
menyebabkan
penyelesaian
pelayanan terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah
86
pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan
masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk
bertemu
dengan
penanggung
jawab
pelayanan,
dalam
rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga
sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu
yang lama untuk diselesaikan.
•
Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Umumnya
aparat
pelayanan
kurang
keluhan/saran/aspirasi
dari
memiliki
kemauan
masyarakat.
untuk
mendengar
Akibatnya,
pelayanan
dilaksanakan dengan apa adanya tanpa ada perbaikan dari waktu ke
waktu.
•
Inefisiensi. Berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan
dengan pelayanan yang diberikan.
Jika dilihat dari sisi kelembagaan, lanjut Mohamad (2003) kelemahan utama
terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat
pelayanan menjadi berbelit-belit, dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan
dua
fungsi
sekaligus,
fungsi
pengaturan
dan
fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Mengenai desain organisasi, Mintzberg (1993) menyatakan bahwa setiap
organisasi mempunyai 5 bagian dasar yang dapat didefinisikan, yaitu :
87
•
The operating core. Para pegawai yang melaksanakan pekerjaan dasar
yang berhubungan dengan produksi dari produk dan jasa.
•
The strategic apex. Manajer tingkat puncak, yang diberi tanggung jawab
keseluruhan untuk organisasi itu.
•
The middle line. Para manajer yang menjadi penghubung operating core
dengan strategic apex.
•
The technostructure. Para analis yang mempunyai tanggung jawab untuk
melaksanakan bentuk standarisasi tertentu dalam organisasi
•
The support staff. Orang-orang yang mengisi unit staf, yang memberi jasa
pendukung tidak langsung kepada organisasi.
Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan
publik maka peran technostructure dalam menciptakan prosedur standarisasi
pekerjaan menjadi sangat penting. Organisasi publik serentak menciptakan trend
Standard
Operating
Procedures
untuk
meningkatkan
kinerjanya
di
mata
masyarakat. Mereka semua menyandarkan diri pada proses kerja yang
distandarisasi untuk koordinasi dan kontrol.
Menurut Robbins (2002) dominasi peran technostructure menciptakan
struktur birokrasi mesin, dengan karakteristik :
•
mempunyai tugas operasi rutin sangat tinggi,
•
peraturan yang sangat diformalisasi,
•
tugas yang dikelompokkan kedalam departemen-departemen fungsional,
•
wewenang yang disentralisasikan,
•
pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando dan
88
•
sebuah struktur administrasi rumit dengan perbedaan tajam antara aktivitas
lini dan staf.
Dukungan terhadap perlunya standarisasi dalam pelayanan publik diberikan
oleh Salomo (2008), yang mengatakan bahwa buruknya pelayanan publik di
Indonesia antara lain disebabkan ketiadaan perangkat hukum yang mengatur
standarisasi pelayanan publik yang harus dipenuhi pemerintah. Pendapat senada
dikemukakan oleh Mohamad (2003), untuk mengatasi masalah-masalah pelayanan
publik dapat ditempuh dengan cara antara lain sebagai berikut :
•
Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat
penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu
komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan
suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapanharapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses indentifikasi jenis
pelayanan, identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi
harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan
prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini
tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang
harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang
mampu
mendukung
terselenggaranya
proses
manajemen
yang
menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas
89
dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta
distribusi beban tugas pelayanan yang akan ditangani.
•
Pengembangan Standard Operating Procedures. Untuk memastikan bahwa
proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya
Standard Operating Procedures. Dengan adanya Standard Operating
Procedures, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam
unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga
dapat berjalan secara konsisten.
•
Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan
masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian
kepuasan
masyarakat
atas
pelayanan
yang
telah
diberikan
oleh
penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan,
kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang
diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan
masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti
penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
•
Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat
merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara
pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didesain
suatu sistem pengelolaan pengaduan yang dapat secara efektif dan efisien
mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi
perbaikan kualitas pelayanan.
90
D.
Kepemimpinan Birokrasi
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu aset yang tidak ternilai
harganya bagi setiap organisasi karena dapat memberikan kontribusi yang berarti
kepada satuan kerja secara efektif dan efesien. Oleh karena itu bagaimana cara
untuk
mengembangkan,
memelihara,
dan
meningkatkan
kinerja
pegawai
merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan bagi setiap organisasi.
Demikian pula didalam perubahan lingkungan yang strategik (politik, ekonomi,
sosial, teknologi, dll) maka perlu dituntut adanya kemampuan aparatur
pemerintahan yang profesioanal dalam menjalankan tugasnya.
Seiring dari pada itu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi serta tuntutan arus globalisasi, maka dituntut pula adanya sumber daya
aparatur yang kapabel (capable), yakni aparatur yang dapat bekerja secara
efesien, efektif, produktif, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak
kadaluarsa yang pada akhirnya mampu menampilkan kinerja yang memuaskan.
Namun dilema yang sering terjadi pada birokrasi pemerintah saat ini
adalah adanya tanggapan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintah yang
belum menunjukan kapabilitas yang tinggi serta tidak profesional dalam menjalan
tugasnya. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam
birokrasi yang semakin buruk serta berakibat pada tingkat kepercayaan ( trust)
masyarakat terhadap birokrasi menurun.
Disamping itu, kendala yang dihadapi oleh Pemda dalam rangka
peningkatan kinerja aparatur saat ini adalah disebabkan inovasi dan kreativitas
aparat birokrasi masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi riil yang ada
91
yakni manakala pimpinan melakukan tugas (dinas) luar, maka ada anggapan
bahwa tugas dan tanggungjawab yang ada dapat ditunda pelaksanaannya atau
dengan kata lain selalu menunggu pimpinan kembali untuk meminta petunjuk dan
pengarahannya. Dengan kondisi demikian maka proses pengurusan yang ada
dibirokrasi akan berjalan tidak sebagaimana mestinya.
Kendala yang perlu mendapat perhatian untuk menghadapi isu yang
berkembang diatas serta untuk mewujudkan kinerja aparatur yang baik setidaktidaknya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara
lain adalah faktor kepemimpinan, budaya yang berkembang didalam organisasi,
serta struktur maupun mekanisme kerja yang ada didalam organisasi tersebut.
Kalau kita amati dari beberapa faktor yang telah dikemukakan diatas, maka
faktor kepemimpinan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja yang
akan dicapai oleh aparatur. Sebab didalam organisasi apapun bentuknya baik
besar maupun kecil pasti memerlukan seorang pemimpin. Oleh karena itu
pemimpin yang baik dapat menjadi panutan atau teladan bagi bawahan dalam
bekerja dan sekaligus dapat memberikan motivasi dan semangat kerja didalam
organisasi.
Seorang pemimpin didalam organisasi formal disamping harus dipatuhi oleh
bawahaannya ia juga harus memiliki prestasi lebih agar dapat memperkuat
kepatuhan bawahan terhadap dirinya. Potensi lebih ini dapat berupa kewibawaan
pribadi maupun berupa kelebihan pengetahuan atau kecakapan terutama yang
menyangkut bidang tugasnya, kemampuan ini sering disebut managerial skill.
92
Penerapan kekuasaan, kewibawaan, dan managerial skill akan terlihat dari gaya
ataupun perilaku kepemimpinan yang dirasakan oleh bawahannya.
Pada dasarnya kegiatan manusia secara bersama-sama membutuhkan
pemimpin. Keberhasilan dan kegagalan sebuah organisasi dalam menjalankan
misinya sangat tergantung kepada tanggung-jawab dari seorang pemimpin. Untuk
itu kepemimpinan dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas untuk mempengaruhi
orang-orang agar diarahkan mencapai suatu tujuan organisasi Terry (dalam
Thoha, 2001:227). Lebih lanjut Thoha (1993:2) mengemukakan bahwa seorang
pemimpin apapun wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu mempunyai beban
untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya.
Didalam menjelaskan arti kepemimpinan ini Henry (dalam Kartono,2003:33)
berpendapat bahwa ―Pemimpin dalam arti luas ialah seorang yang memimpin,
dengan jalan memperkarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan,
mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui pristise,
kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas, pemimpin
ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas
persuasifnya, dan eksepstansi/penerimaan secara sukarela oleh pengikutnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, dimanapun tempatnya selalu memerlukan
seorang pemimpin untuk tercapainya tujuan dan kelompok, organisasi atau
masyarakat secara baik dan lancar. Secara etimologis kepemimpinan menurut
Syafi`ie (2003:1) dapat diartikan sebagai berikut :
93
1) Berasal dan kata dasar ―Pimpin― (dalam bahasa inggris ―lead ), berarti
bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya ada dua pihak yaitu yang
dipimpin(umat) dan yamg memimpin (imam).
2) Setelah ditambah awalan ―pe― menjadi pemimpin (dalam bahasa inggris
―leader―) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses
kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu
dalam mencapai tujuan.
3) Apabila ditambah akhiran ―an― menjadi ―pimpinan― artinya orang yang
mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu
pimpinan (kepala) cenderung lebih otokratis, sedangkan pemimpin ( ketua)
cenderung lebih demokratis.
4) Setelah dilengkapi dengan awalan ―ke― menjadi ―kepemimpinan ― (dalam
bahasa inggris ―leadership―) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang
dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan
pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan
menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
2) Beberapa
pakar
telah
memberikan
definisi
yang
berbeda
tentang
kepemimpinan, antara lain yang dikutip Syafi`ie (2003:2) sebagai berikut :
3) Menurut C. N Cooley (1902) menyatakan bahwa ―The leader is always the
nucleus or tendency, and n the otther hand, all social movement, closely
examined will be found to concist of tendencies having such nucleus.
(Maksudnya, pemimpin itu selalu merupakan titik pusat dan suatu
kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau
94
diamati secara cermat akan ditemukan kecenderungan yang memiliki titik
pusat ). ―
4) Menurut Ordway (1929) : Leadership as a combination of traits which
enables on individual to induce others to accomplish a given task
(Maksudnya,
kepemimpinan
sebagai
perpaduan
perangai
yang
memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan
tugasnya).
5) Menurut G. U Cleeton dan C. W. Mason (1934) Leadership indicates the
ability to influence men and secuier result trough emotional appeals rather
than though the exercise of authority. (Maksudnya, kepemimpinan
menunjukkan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil
melalui himbauan emosional dan ini lebih baik dibandingkan melalui
penggunaan kekuasaan).
6) Menurut P. Pigors (1935) : Leadership is a process of mutual stimulation
which bt the successful interplay of individual differencess, controls human
energy in the pursuitf common cause. (Maksudnya kepemimpinan adalah
suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dan
perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar
tujuan bersama).
7) Menurut Lexie M. Giroth (116:2004) : ―Kepemimpinan adalah kiat yang
berupa kemampuan seseorang kepala dalam berusaha mencapai tujuan
organisasi melalui dirinya sendiri ―. Dalam bukunya yang berjudul Pemimpin
95
dan Kepemimpinan, Kartini Kartono (2003:48) mengemukakan mengenai
kepemimpinan itu adalah sebagai berikut :
a) Kepemimpinan itu spesifik khas, diperlukan bagi situasi khusus sebab
dalam kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dan juga
punya tujuan tertentu serta peralatan khusus.
b) Pada umumnya pemimpin itu juga memiliki sifat superior, melebihi
kawan-kawan lainnya atau melebihi para pengikutnya. Paling sedikit dia
harus memiliki superioritas dalam satu atau dua kemampuan/
keahlihan, sehingga kepemimpinannya bisa berwibawa.
8) Menurut
Kartini
Kartono
(2003:3)
mengemukakan
bahwa
seorang
pemimpin dapat dipahami sebagai : Sebagai pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan disuatu
bidang, sehingga dia akan mampu mempengaruhi orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan. Jadi pemimpin itu seorang yang memiliki satu atau
beberapa kelebihan sebagai predisposisi (bakat yang dibawa sejak lahir),
dan
merupakan
kebutuhan
dan
satu
situasi/zamam, sehingga dia
mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk menggairahkan dan
membimbing bawahannya, dan mampu menggerakkan bawahannya ke
arah tujuan tertentu.
Menurut Pamudji (2001:16) : mengemukaan bahwa pemimpin berasal dari
kata leadership, yang dalam pengertian mempunyai ciri sebagai berikut:
96
1) Kepemimpinan penekanannya mengarah kepada kemampuan individu yaitu
kemampuan dari seorang pemimpin itu ;
2) Kepemimpinan adalah kualitas hubungan atau interaksi antar si pemimpin
dan pengikut pada situasi tertentu ;
3) Kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada pada
dirinya, baik kemampuan maupun kesanggupan untuk mencapai tujuan
tertentu;
4) Kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si pemimpin
walaupun akhirnya kepada tujuan organisasi ; dan
5) Kepemimpinan bersifat hubungan personal yang berpusat pada diri si
pemimpin, pengikut dan situasi.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menarik kesimpulan
bahwa kepemimpinan merupakan seni seseorang yang memimpin orang atau
kelompok dalam usaha mencapai tujuan organisasi /bersama atau bahkan tujuan
pemimpin itu sendiri melalui proses kerja sama yang baik diantara keduanya.
Menurut Robins (2002:24) mengatakan ada empat pendekatan terhadap
teori kepemimpinan, diantaranya yaitu: Teori Atribusi Kepemimpinan, Teori
Kepemimpinan Karismatik, Teori Kepemimpinan Visioner, dan Teori Kepemimpinan
Transaksional versus Kepemimpinan Transformasional. Menurut teori atribusi
kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan semata-mata suatu atribusi
yang dibuat seorang bagi individu-individu lain. Sedangkan didalam teori
kepemimpinan
karismatik
dimana
para
pengikut
membuat
atribusi
dari
kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati
97
prilaku-prilaku tertentu. Selanjutnya dalam teori kepemimpinan visioner dimana
pemimpin berkemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan suatu visi
yang atraktif, terpecaya, realistik tentang masa depan suatu organisasi atau unit
organisasi. Dalam kepemimpinan Transaksional dimana pemimpin yang memandu
atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan
memperjelas
peran
dan
aturan
tugas,
sedangkan
dalam
pemimpin
transformasional dimana pemimpin memberikan pertimbangan dan ransangan
intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki karisma.
Mengingat besarnya arti kepemimpinan dalam organisasi, maka seorang
pemimpin harus mampu dan dapat memainkan peranannya, pemimpin harus
mampu menggali potensi-potensi yang ada pada dirinya dan memanfaatkannya
didalam unit organisasi. Hal ini sesuai yang dikemukan
oleh Henry Mintzberg
bahwa ada tiga peran utama yang dimainkan oleh setiap menajer dimanapun
letak hirarkinya, peran tersebut meliputi: Peran Hubungan Antar Pribadi
(Interpersonal Rale), Peran yang Berhubungan dengan Informasi (Informational
Role), dan Peran Pembuat Keputusan (Decisional Role) (lihat Thoha, 2001: 232240).
Jadi
seseorang baru
dapat dikatakan
pemimpin
apabila ia
dapat
mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan atau melakukan
kegiatan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu meskipun tidak ada ikatanikatan yang formal dalam organisasi.
Salah satu cara untuk menilai suksesnya atau gagalnya pemimpin dalam
memimpin antara lain dapat dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat
98
dan kualitas/mutu prilakunya yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai
kepemimpinannya. Sebagaimana yang dikemukan oleh
Sugandha (1986:70)
sebagai beikut :
―Seorang
pemimpin
memiliki
sifat-sifat
unggul
sehingga
mampu
menempatkan diri pada posisinya secara efektif terhadap segala hubungan yang
terjadi antaa sesama anggota atau antara kelompok. Masalah-masalah yang
dihadapi serta kondisi dan situasi organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu
dalam
usaha
mempengaruhi
orang-orang
yang
dipimpin
agar
bersedia
melaksanakan tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Tidak mustahil apabila
tiap-tiap pemimpin mempunyai gaya atau cara tersendiri dalam memimpin atau
mendorong bawahannya‖ .
Adanya hubungan yang baik antara atasan dan bawahan dinilai merupakan
keberhasilan dari pimpinan seperti yang dikemukan oleh Demock dan Koeng
(dalam Siagian,1983:15) mengatakan bahwa hubungan antara manusia (human
relation) dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Mengetahui hubungan tugasnya
2) Peka terhadap perubahan lingkungan
3) Melakukan ―human relation‖.
4) Melakukan hubungan kerja (komunikasi) dengan baik kedalam dan keluar.
5) Melakukan koordinasi
6) Mengambil keputusan
7) Mengadakan hubungan dengan masyarakat.
99
Dalam menjelaskan sifat kepemimpinan, Davis (dalam Thoha, 2001) juga
menjelaskan
empat
sifat
umum
yang
dimiliki
oleh
pemimpin
dalam
kepemimpinannya yakni :
1) Kecerdasan, yakni tingkat kecerdasan yang lebih tinggi jika dibandingka
dengan bawahannya
2) Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, yakni tingkat emosi yang
stabil dan mempunyai perhatian yang luas terhadap aktifitas sosial,
mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi
4) Sikap hubungan kemanusian, yakni mau mengakui dan menghormati
harga diri para pengikutnya dan mau berpihak kepada mereka.
Dari uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan
seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinir seluruh aktifitas
kelompok suatu organisasi, terlebih organisasi birokrasi Pemerintahan dalam
pengembangan sumber daya manusia yang lebih profesional dalam menjalankan
tugasnya.
Dari luasnya cakupan tentang pengertian kepemimpinan di dalam
organisasi, maka tidak lepas dari gaya yang dapat ditunjukkan oleh sipemimpin.
Karena berhasil dan tidanya sebuah organisasi dirasa sangat tergantung dari gaya
kepemimpinan seseorang dalam memimpin.
Secara umum gaya dari kepemimpinan dapat digolongkan kedalam dua
kategori, yaitu gaya kepemimpinan otokratis dan gaya demokratis. Gaya
100
Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasarkan atas kekuatan
posisi dan penggunaan otokritas, sedangkan gaya kepemimpinan demokratis
dikaitakan dengan kekuatan personal dan keikut sertaan para pengikutnya dalam
proses pemecahaan masalah dan pengambilan keputusan (Thoha,2001: 265-166).
Lebih lanjut Thoha (2002) membagi model gaya ini menjadi dua yakni gaya
yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya yang efektif dibagi menjadi empat
yaitu :
1) Eksekutif, yaitu memberikan perhatian kepada tugas-tugas pekerjaan dan
hubungan kerja, biasanya gaya ini disebut dengan gaya motivator yang
baik, mau menetapkan standar kerja yang tinggi, mengenal perbedaan
antar individu, dan keinginan mempergunakan kerja tim dalam menajemen.
2) Pencinta pengembangan (developer), yakni memberikan perhatian yang
maksimum terhadap hubungan kerja, dan perhatian minimum terhadap
tugas-tugas pekerjaan
3) Otokratis yang baik hati (Benevolent autocrat), yakni memberikan perhatian
maksimum kepada tugas, dan perhatian minimum terhadap hubungan kerja
4) Birokrat, yakni gaya yang memberikan perhatian yang minimum baik
terhadap tugas maupun terhadap hubungan kerja. Pada gaya ini pemimpin
sangat
tertarik
kepada
peraturan-peraturan
dan
menginginkan
memeliharanya dan mengontrol situasi secara teliti.
Selanjutnya gaya yang tidak efektif dalam kepemiminan dapat dilihat antara
lain:
101
1) Pencinta kompromi (Compromiser), yakni gaya yang memberikan perhatian
yang besar terhadap tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang
menekankan pada kompromi.
2) Missionari, yakni gaya yang memberikan penekanan yang maksimum pada
orangorang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian yang
minimum terhdapat prilaku yang tidak sesuai.
3) Otokrat, gaya seperti ini tidak mempunya kepercayaan kepada orang lain,
tidak menyenangkan dan hanya tertarik kepada jenis pekerjaan yang
segera selesai
4) Lari dari tugas (Deserter), gaya yang sama sekali tidak memberika
perhatian baik kepada tugas maupun pada hubungan kerja, pemimpin
seperti ini hanya bersifat pasif.
Dalam menjelaskan gaya pemimpin dalam organisasi, maka tidak lepas dari
prilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin itu sendiri. Untuk itu (Thoha,2001:178)
menjelaskan dua hal besar prilaku yang dilakukan oleh pemimpin terhadap
bawahannya yakni; prilaku mengarahkan dan prilaku mendukung. Prilaku
mengarahkan
dapat
dirumuskan
sebagai
sejauhmana
seorang
pemimpin
melibatkan kedalam komunikasi satu arah, sedangkan prilaku mendukung adalah
sejauhmana seorang pemimpin melibatkan dirinya dalam komunikasi dua arah,
misanya mendengar, menyediakan dukungan dan dorongan, memudahkan
interaksi, dan melibatkan para pengikut dalam pengambilan keputusan.
102
Dari uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan
dari seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinir seluruh aktifitas
unit organisasi pemerintahan serta mengarahkan pegawai dalam melaksanakan
aktifitasnya,
sehingga
pada
akhirnya
dapat
pula
menciptakan
dan/atau
menghambat profesionalisme dari sumber daya aparatur dalam organiasasi itu
sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Kartono (2002:81) mengatakan bahwa
―Fungsi kepemimpinan ialah : memandu, menuntun, membimbing, membangun,
memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi,
menjalin
jaringan-jaringan
komunikasi
yang
baik;
memberikan
supervisi/pengawasan yang efesien, dan membawa para pengikutnya kepada
sasaran yang ingin dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan‖.
Tentu, semua pimpinan birokrasi harus menjadi pemimpin menuju ke arah
puncak itu. Keti ka pemimpin sudah menyadarinya,ia serta merta perlu untuk
menerjemahkannya dalam gagasan dan tinndakannya sehari-hari. Sekaligus, ia
harus merasa bahwa iaperlu mendorong staf/bawahannya untuk juga menjadi
agen-agen perubahan.
Ada empat hal penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin30. Bila
keempat hal ini dimiliki, pemimpin akan men dapat kan kekuatan dari dalam diri
untuk menjadi agen perubahan. Juga, ia akan memperoleh dukungan dari staf
dan kolega, termasuk klien dalam menyelesaikan tugas yang diemban. Pertama,
seorang pemimpin sebagai agen perubahan harus memiliki keyakinan bahwa ia
30
Ir. Azwar Abubakar Pemimpin adalah agen perubahan, dalam Pemimpin & Reformasi Birokrasi ,
cetakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi2013 : XVII.
103
mampu menjadi penggerak sekaligus pendorong pemecahan masalah yang
dihadapi. Dalam konteks birokrasi, pemimpin seperti ini yakin bahwa instansinya
lah yang mampu mengatasi persoalan dan melakukan perubahan, karena
instansinya lah pemilik negeri ini.
Kedua, pemimpin sebagai agen perubahan senantiasa memberikan
keteladanan bagi staf/bawahan. Keteladan juga berarti konsekuen dan mau
memberikan pengorbanan untuk kepenti ngan yang lebih besar. Keteladanan ini
perlu datang dari dalam diri pemimpin. Bila pemimpin telah menjadi teladan,
dipasti kan sebagian atau bahkan semua staf terilhami untuk mengikuti perilaku
yang baik itu. Jika pemimpin menjadi teladan dari perwujudan sikap professional,
berintegritas dan akuntabel, staf atau bawahan akan malu untuk berti ndak
berlawanan dengan sikap yang ingin dianut. Tanpa contoh yang baik,
kepemimpinan tak akan mungkin berhasil.
Ketiga, pemimpin sebagai agen perubahan itu juga bekerja lebih keras
daripada staf/bawahan. Dia bekerja sepenuh hati . Salah satu hal yang harus
dilakukan adalah mendorong seti ap staf/bawahan untuk selalu keluar dari zona
nyaman (comfort zone) dan bekerja dalam zona persaingan (competi ti ve zone).
Sebab, pemimpin yang bekerja keras dalam zona persaingan pasti akan selalu
menghasilkan
inovasi
dan
prakarsa:
baik
yang
lebih
mempertajam
kebijakan/program lama, maupun menghasilkan sesuatu yang memang baru dan
menjawab kebutuhan. Keempat, tentu saja itu pemimpin yang berorientasi pada
perubahan senanti asa konsisten melakukan semua hal yang baik. Ia tetap
bersemangat melakukannya di awal, tengah maupun akhir proses.
104
Semua pimpinan harus berniat dan yakin mampu melakukan yang terbaik,
meski di masa lalu ia belum memiliki track record yang baik dalam memimpin.
Sebab, tak semua pemimpin itu lahir sebagai orang baik.
1. Sifat-sifat Kepemimpinan
Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain
dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas /mutu
perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai bahwa seorang pemimpin
harus mempunyai sifat-sifat :
1. Energi jasmani dan mental (Physical and nervous energy)
2. Kesadaran tujuan dan arah (A sense of purpose and direction)
3. Antusiasme (entusiasme)
4. Keramahan dan kecintaan (friendliness and direction)
5. Integritas ( intergrity, keutuhan, kejujuran, ketulusan )
6. Penguasaan teknis ( technical mastery )
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan ( decisveness )
8. Kecerdasan ( intelligence )
9. Keterampilan mengajar ( teaching skill )
10. Kepercayaan ( fait )
Lain halnya dengan Indarto (2003:8) yang mengutarakan tentang delapan
pedoman bersikap dan bertingkah laku yang sebaiknya dianut oleh seorang
pemimpin yang diambil dan ajarkan tentang kepemimpinan, disimbolkan oleh
watak (Brata) dan delapan (Asta) benda-benda atau komponen alam raya, yaitu :
105
1) Watak Matahari, Matahari yang bersifat panas dan penuh energi memberi
saran hidup. Artinya seorang pemimpin harus bisa memberi semangat,
memberi energi dan memberi kehidupan yang layak pada setiap anak
buahnya.
2) Watak Bulan, Bulan mempunyai wujud yang indah dan menerangi setiap
gelapnya malam. Artinya seorang pemimpin harus bisa menyenangkan dan
menerangi anak buahnya.
3) Watak Bintan, Bintang menjadi hiasan di waktu malam dan menjadi
kompas bagi yang kehilangan arah. Artinya seorang pemimpin harus bisa
menjadi teladan dan pedoman bagi anak buahnya.
4) Watak Angin, Bersifat mengisi setiap ruangan yang kosong. Artinya seorang
pemimpin harus bisa menempatkan diri atau mau turun ke lapangan untuk
menyelami kehidupan anak buahnya.
5) Watak Mendung, Bersifat wibawa dan saat berubah menjadi hujan dapat
menghidupkan segala yang tumbuh. Artinya seorang pemimpin harus
berwibawa tetapi dalam tindakan harus mempunyai manfaat bagi orang
lain.
6) Watak Api, Bersifat tegak dan sanggup membakar apa saja yang
bersentuhan dengannya. Artinya seorang pemimpin harus bertindak adil,
mempunyai prinsip tetap dan tegas tanpa harus pandang bulu.
7) Watak Samudera, Bersifat luas dan rata. Artinya seorang pemimpin harus
punya pandangan luas, sanggup menerima persoalan dan tidak boleh
membenci seseorang.
106
8) Watak Bumi, mempunyai sifat sentosa dan suci. Artinya seorang pemimpin
harus mempunyai budi pekerti yang baik, jujur, dan mau memberi kepada
siapa saja yang telah berjasa.
Birokrasi
pemerintahan
sebagai
mencakup
ujung
tombak
berbagai
pelaksana
pelayanan
program-program
birokrasi
pembangunan
dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi
yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat.
Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat
menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan .
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan birokrasi itu sendiri.
2. Teknik Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan selalu memberikan kesan dan daya tarik yang kuat
bagi setiap orang yang membahasnya lebih dalam. Berhasilnya atau tidaknya
suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tersebut, banyak tergantung pada
cara-cara
yang
dipergunakan
oleh
pimpinan
dalam
melaksanakan
kepemimpinannya. Tumbuh kembangnya sebuah organisasi sangat dipengaruhi
oleh kemampuan seorang pemimpin dalam memanajemen seluruh unsur dalam
organisasi itu. Bagian yang paling penting dalam sebuah organisasi adalah
manusia selaku sumber daya utama.
107
Dalam organisasi inilah dibutuhkan kepemimpinan yang baik guna
menggerakkan dan mengarahkan sumber daya manusia agar bekerja secara
maksimal meskipun naluri daya nalar dan tingkat sensitifitas manusia tersebut
sangat berbeda-beda. Dalam menggerakkan sumber daya manusia dibutuhkan
teknik kepemimpinan yang sesuai dengan keadaan. Adapun teknik kepemimpinan
menurut Pamudji 2001: 114 adalah sebagai berikut:
Adapun teknik-teknik kepemimpinan menurut Pamudji yaitu:
1) Teknik Pematangan atau Penyiapan Pengikut
Teknik ini dapat berupa teknik penerangan maupun propaganda. Teknik
penerangan ini dimaksudkan untuk memberikan keterangan yang jelas dan
faktual kepada orang-orang, sehingga mereka dapat memiliki keterangan
yang jelas dan dalam mengenai sesuatu hal yang menyebabkan timbulnya
kemauan untuk mengikuti pemimpin sesuai dengan rasa, hati dan akal
mereka. Hal ini berbeda dengan teknik propaganda yang berusaha untuk
memaksakan kehendak atau keinginan pemimpin, bahkan kadang-kadang
bagi pengikutnya tidak ada pilihan lain, dengan menggunakan ancamanancaman hukuman (sanksi-sanksi).
2) Teknik Human Relations
Proses atau rangkaian kegiatan memotivasi orang, yaitu keseluruhan proses
pemberian motif (dorongan) agar orang mau bergerak. Dalam hal ini yang
dapat dijadikan motif yaitu pemenuhan kebutuhan yang meliputi kebutuhan
fisik (sandang, pangan, dan papan) serta kebutuhan psikologis seperti
kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan
108
untuk diikut sertakan dan lain-lain. Dorongan-dorongan untuk memenuhi
kebutuhan
pemimpin
tersebut
yang
menyebabkan
diharapkan
dapat
orang-orang
memenuhi
bersedia
mengikuti
kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
3) Teknik menjadi teladan
Pemberian contoh yang baik dari pemimpin agar para bawahan dapat
mengikuti sikapnya yang baik dalam bertindak. Dengan memberikan
contoh- contoh yang baik, diharapkan orang- orang yang digerakkan mau
mengikuti apa yang dilihat. hakekat dari pemberian contoh ini diwujudkan
dalam dua aspek, yaitu aspek negatif dalam bentuk larangan- larangan
atau pantangan- pantangan dan aspek positif dalam bentuk anjurananjuran atau keharusan- keharusan berbuat.
4) Teknik Persuasi dan Pemberian Perintah
Teknik persuasif atau ajakan menunjukkan kepada suatu suasana dimana
antara kedudukan pimpinan dengan bawahan tidak terdapat batasanbatasan yang jelas, sehingga pemimpin tidak dapat menggunakan kekuatan
dan kekuasaannya, sedangkan teknik pemberian perintah yaitu menyuruh
orang yang diberi perintah untuk mematuhi yang memberi perintah
melakukan sesuatu. Ketaatan terhadap perintah disebabkan karena wibawa
pemimpin yang timbul karena pemimpin memiliki kelebihan- kelebihan
disamping pemimpin tersebut diterima sebagai bagian dari mereka, dan
mendapat kepercayaan juga karena adanya rasa patuh atas dasar hukum di
kalangan pengikut.
109
5) Teknik Penggunaan Sistem Komunikasi yang cocok
Teknik penggunaan sistem komunikasi yang cocok yaitu menyampaikan
suatu maksud atau keinginan kepada pihak lain baik dalam bentuk
penerangan, persuasi, perintah dan sebagainya. dalam hal ini yang
terpenting bahwa apa yang diinginkan pimpinan dalam memberikan
perintah dapat dipahami dengan baik oleh bawahan, sehingga tidak terjadi
kekeliruan dalam melaksanakan tugas. Biasanya komunikasi ini bersifat dua
arah, yaitu dari pimpinan ke bawahan yang berisi perintah- perinyah atau
informasi- informasi dan dari bawahan ke atasan yang berisikan laporanlaporan dan saran- saran.
6) Teknik Penyediaan Fasilitas- Fasilitas
Jika sekelompok orang sudah siap untuk mengikuti ajakan pemimpin maka
orang- orang tersebut harus diberi fasilitas- fasilitas dan kemudahankemudahan. Adapun yang dimaksud dengan fasilitas dan kemudahan di sini
adalah:
a. Kecakapan, yang dapat diberikan melalui pendidikan dan pelatihan.
b. Uang, biasanya disediakan dalam anggaran belanja.
c.
Waktu, mutlak diperlukan untuk melakukan sesuatu walaupun tersedia
fasilitas- fasilitas lainnya sedangkan waktu selalu terbatas.
d. Perlengkapan keja.
e. Perangsang,
adalah
sesuatu
untuk
menarik
sehingga
dapat
menimbulkan kegairahan atau keinginan untuk memilikinya atau
mendapatkannya. hal ini dapat berupa materi seperti penghasilan
110
tambahan dan dapat berupa non materi berupa kebanggaan dan
kepuasan.
Ada dua hal yang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahan,
yaitu perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Pamudji memberikan
gambaran tentang gaya Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia yaitu sebagai
berikut: Gaya kepemimpinan adalah berbicara tentang bagaimana pemimpin
menjalankan tugas kepemimpinanannya. Misalnya gaya yang digunakan dalam
merencanakan, merumuskan, dan menyampaikan perintah-perintah/ajakan-ajakan
kepada yang diperintah. Gaya kepemimpinan pemerintahan sangat dipengaruhi
faham-faham yang dianut mengenai kekuasaan-kekuasaan dan wewenang sikap
mana yang diambil terhadap hak dan martabat manusia.
Setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing tidak
semuanya sama. Cara bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan akan
menentukan gaya kepemimpinan dapat dibedakan menjadi :
1) Gaya motivasi, yaitu pemimpin dalam menggerakkan orang-orang dengan
mempergunakan motivasi baik yang berupa imbalan ekonomis, dengan
memberikan hadiah-hadiah (reward), jadi bersifat positif, maupun yang
berupa ancaman hukuman (punish), jadi bersifat negatif.
2) Gaya kekuasan, yaitu pemimpin yang cenderung, menggunakan kekuasaan
untuk menggerakkan orang-orang.
3) Gaya pengawasan, yaitu kepemimpinan yang dilandasi pada perhatian
seorang pemimpin terhadap perilaku kelompok. Dalam hal ini gaya
pengawasan dibedakan antara lain :
111
a) Berorientasi pada pegawai, pemimpin selalu memperhatikan anak
buahnya sebagai manusia yang bermartabat.
b) Berorientasi pada produksi, pemimpin dalam memperhatikan proses
produksi serta metode-metodenya.
Situasi dan kondisi yang berkembang di dalam kelompok atau masyarakat
sangat mempengaruhi tipe kepemimpinan yang akan diterapkan. Tentunya hal ini
menjadi persoalan yang sangat penting. Apabila tipe kepemimpinan yang
diterapkan tepat sasaran maka seorang pemimpin akan diterima dikalangan
kelompoknya, sebaliknya bila ia gunakan tipe yang berlawanan dengan kelompok
atau masyarakat tersebut, maka akan sulit untuk dapat sepaham dengan
bawahannya.
Dalam bukunya Pemimpin dan Kepemimpinan, Kartini Kartono (2003:65)
mengatakan bahwa ada kelompok sarjana lain yang membagi tipe Kepemimpinan
sebagai berikut :
1). Tipe Kharismatik
Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa,
untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang
sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya.
2. Tipe Paternalistis dan Materialistis.
Dalam tipe ini pemimpin bersifat kebapakan. Ia menganggap para bawahnya
sebagai manusia yang belum dewasa atau anaknya sendiri yang perlu
112
dikembangkan, jarang memberi kesempatan untuk timbulnya inisiatif dari
bawah, bahkan dalam tipe materialistis terlalu overprotective (terlalu
melindungi).
3. Tipe Militeris
Hal yang paling menonjol dan tipe ini adalah sikap seorang pemimpin yang
sok kemiliter-militeran, sangat menyenangi formalitas, garis perintahnya
bersifat sistem komando, atau komunikasi satu arah, disiplin yang kaku dan
tidak suka menerima kritikan dari bawahannya.
4. Tipe Otokratis
Berasal dari kata autos yaitu sendiri, kratos yaitu kekuasaan. Jadi otokrat
berarti penguasa absolut yaitu pemimpin tunggal (one man show), jauh dan
anggota kelompoknya/ eksklusivisme. Yang paling disukai adalah tipe pegawai
dan buruh ―hamba nan setia―.
5. Tipe Lessez Faire.
Yaitu pemimpin yang lebih sebagai simbol seluruh pekerjaan dan tanggung
jawab dilakukan oleh bawahannya sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya
kedudukan diperoleh dengan cara menyogok, penyuapan atau berkat sistem
nepotisme.
6. Tipe Populist.
Kepemimpinan
seperti
ini
mengutamakan
penghidupan
(kembali)
nasionalisme, berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional
dan kurang mempercayai dukungan luar negeri.
7. Tipe Administratif dan Eksekutif.
113
Kepemimpinan ini adalah tipe kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan
tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya terdiri dari para tenokrat
dan administrator-administrator yang mampu menyelenggarakan dinamika
modernisasi dan pembangunan.
8. Tipe Demokratis
Kepemimpinan ini berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan
yang efisien kepada para pengikutnya, terdapat koordinasi pekerjaan pada
semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada
diri sendiri) dan kerjasama yang baik, kekuatannya terdapat pada partisipasi
aktif dan setiap warga kelompoknya.
BAB IV
PATOLOGI BIROKRASI
A. Hakekat Patologi Birokrasi
Istilah patologi asal mulanya dikenal dalam dunia ilmu kedokteran atau ilmu
kesehatan. Pada perkembangan selanjutnya istilah ini juga kemudian digunakan
114
untuk ilmu lain, seperti patologi sosial, patologi birokrasi, patologi administrasi dan
sebagainya.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku
yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi
digambarkan oleh Victor A Thompson seperti ―sikap menyisih berlebihan,
pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur,
perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan
status.‖ Red Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape
disebabkan adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para
birokrat yang tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang
semestinya lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena
para birokrat terlalu ―patuh‖ pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi
selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas,
pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.
Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi.
Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama, administrasi publiknya
bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya
serta paternalistik. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam
hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi
kuantitas. Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada
kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Keempat, ditandai
adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan
ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di
115
negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan
pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum
terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir
nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi
yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya
memiliki kredibilitas yang rendah.
Apakah yang disebut dengan patologi? Sebagai bahan pertimbangan
berpikir marilah kita mengambil definisi patologi sosial oleh Kartini Kartono yakni
―semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal,
pola kesederhanaan, moral hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal‖. Perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang atau berserikat yang bertentangan dengan moralitas terhadap
komunitas masyarakat, maka lahirlah istilah penyakit sosial, misalnya kejahatan,
kemiskinan, pelacuran, perjudian dan sebagainya yang dapat menghancurkan
martabat seseorang atau kelompok. Jadi patologi administrasi dapat pula kita
artikan sebagai sesuatu keadaan dimana manusia sebagai unsur utama pelaku
administrasi melakukan kerja sama bukan untuk pemenuhan kebutuhan bersama
tetapi untuk memenuhi kebutuhan pribadi-pribadi atau kelompok dengan
mengorbankan orang lain.
Fenomena serangan penyakit atau patologi administrasi khususnya di
Indonesia sudah hampir merata, hampir diseluruh jenis dan tingkat birokrasi telah
dilanda penyakit tersebut bahkan sampai di tingkat pelayanan administrasi yang
paling bawah sekalipun seperti sekolah, Rukun Tetangga dan Rukun Warga pun
116
tak luput dari dasyatnya penyebaran patologi administrasi.Oleh karena itu adanya
patologi administrasi perlu dikenali untuk dapat menghadapi berbagai tantangan
yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi.
Patologi birokrasi merupakan penyakit atau bentuk prilaku aparat yang
menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan atau ketentuan-ketentuan
perundangan serta norma-norma yang berlaku. Apabila ditelusuri lebih jauh,
kategori patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian31, bersumber pada
lima masalah pokok.
1) persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk
patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok,
sikap sombong, nepotisme, kedengkian, xenophobia, irasional, tidak adil,
dan lain-lain.
2) rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana
berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu
pelayanan yang rendah, ketidaktelitian, rasa puas diri, kebingungan, raguragu, stagnasi, pegawai sering berbuat kesalahan, dan lain sebagainya.
3) Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ''penggemukan''
pembiayaan, menerima sogok, penipuan, kleptokrasi, korupsi, sabotase,
krimonalisme, dan lain sebagainya.
4) Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau
negatif,
31
seperti:
sewenang-wenang,
dramatisasi,
kaku,
red
tape,
Siagian, Sondang P, Patologi Birokrasi : Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghala
Indonesia, 1994.
117
mengutamakan kepentingan sendiri, tokenisme, tidak sopan, tidak peka
pura-pura sibuk, diskriminatif, dan lain-lain.
5) Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang
berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja
yang kurang memadai, sasaran yang tidak jelas, miskomunikasi, ketiadaan
deskripsi dan indikator kerja, eksploitasi, ekstorsi, pilih kasih, gemuk
pegawai, dan lain sebagainya.
Adapun ruang lingkup patologi birokrasi menurut terminologi Smith32
berkenaan dengan kinerja yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar
(meskipun menurut Smith, keduanya kabur dan sulit untuk dipisahkan), yakni:
a. Disfunctions of Bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan
prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi secara kelembagaan
yang jelek sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat
kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.
b. Mal-Administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku
yang dapat disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan,
misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas
sumber daya manusianya atau birokrat yang ada dalam birokrasi.
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi,
seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk
melaksanakan proses pemerintahan bersama dengan sebaik-baiknya. Solusi dari
32
Smith, B. C., Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books, Sussex. 1988.
118
Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan
masyarakat tidak saling mendukung. Hal ini dikarenakan setiap elemen baik dari
pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan
yang sangat erat dalam berjalannya pemerintahan yang baik.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu; pertama
perlu adanya reformasi birokrasi yang global. Artinya reformasi birokrasi bukan
hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi
tertentu saja, bukan hanya mengganti papan nama di depan kantor saja, atau
bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja, tetapi juga
melakukan reformasi pada hal yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas
birokrat, sekolah moral, dan merubah cara pandang birokrat terhadap dirinya dan
institusi bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk
mencari keuntungan.
kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang
jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk
kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat
bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini
dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang telah
diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara :
(1) kepemimpinan yang adil dan kuat
(2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
(3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dalam birokrasi.
119
Solusi yang Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan
transparansi. Kurangnya rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi
membuat para birokrat semakin berani untuk menyeleweng dari hal yang
semestinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari
penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government
diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat
akuntabilitas para birokrat. Keempat, hal yang masih ada hubungannya denga
ketiga faktor di atas, yakni dengan menegakkan Good Governance. Meskipun
konsep governance masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan, namun
akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah membuat beberapa
kalangan menekan untuk segera diterapkannya good governance concept.
B. Prilaku Birokrasi
Banyak para ahli yang memberikan batasan mengenai perilaku. Namun
demikian,
perilaku
manusia
pada
dasarnya
keseluruhan dari aktivitas. Pendapat yang sama
terbentuk
setelah
melewati
dikemukakan oleh Hersey33
bahwa perilaku pada dasarnya berarientasi tujuan. Artinya, perilaku orang pada
umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, tetapi
tujuan tersebut tidak selamanya diketahui secara sadar oleh yang bersangkutan.
Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu
berada pada alam sadar mereka.
33
Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 15
120
Menurut Davis34 bahwa ―Perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan
pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi‖.
Perilaku organisasi adalah sarana manusia bagi keuntungan manusia. Perilaku
oprganisasi dapat diterapkan secara luas dalam perilaku orang-orang di semua
jenis organisasi, seperti bisnis, pemerintahan, kemasyarakatan, sekolah dan
organisasi jasa lainnya. Apapun organisasi itu, ada kebutuhan untuk untuk
memenuhi perilaku manusia, karenanya perilaku manusia dalam organisasi
agaknya tidak dapat diperkirakan seperti yang kita ketahui sekarang. Perilaku itu
tidak dapat diduga karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang terkandung
dalam diri manusia.
Lebih lanjut Ndraha35 (1997 : 34) mengemukakan bahwa Studi tentang
perilaku organisasi bermaksud mengidentifikasi cara pembentukan perilaku
berorganisai (organisasi behavior), yaitu perilaku yang berdasarkan kesadaran
akan hak dan keawajiban, kebebasan atau kewenangan dan tanggung jawab, baik
pribadi maupun kelompok.
Dengan demikian, pada prinsipnya perilaku manusia tampak dalam
berbagai
dimensi. Jika aktivitasnya secara individu maka perilaku yang
diperagakan adalah perilaku individu. Sebaliknya jika seseorang tampil dan berada
dalam kelompok maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku kelompok. Jika
seseorang hidup dalam lingkungan sosial kemasyarakatan, maka perilaku yang
diragakan adalah perilaku sosial. Jika seseorang warga organisai, maka perilaku
yang diragakan adalah perilaku organisasi. Perilaku adalah fase peragaan terakhir
34
35
Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 5
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997 : 34
121
atau akibat dari suatu siklus aktivitas pemenuhan kebutuhan, kepentingan,
motivasi dan sikap tertentu.
Menurut Thoha36 perilaku birokrasi pada ―hakekatnya merupakan hasil
interkasi birokrasi sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya‖. Perilaku
birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai ―patologi birokrasi‖
atau gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Kesulitan yang
timbul bahwa secara teoritis tidaklah mudah membedakan dan menetapkan batas
antara ―perilaku‖ yang telah membudaya dengan perilaku menyimpang yang
berulang-ulang atau berlangsung dalam waktu cukup lama.
Dalam kaitan dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran
dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang
mempunyai
persepsi,
nilai,
motivasi
dan
pengetahuan
dalam
rangka
melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab sosial dalam pelayanan publik.
Perilaku manusia dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil yang
maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi.
Diperjelas oleh Thoha37 bahwa fungsi pemerintahan dan pembangunan
dalam rangka pelayanan publik yang dilakukan itu dipengaruhi oleh perilaku
birokrasi pemerintahan yang digambarkan dalam paradigma sebagai berikut :
Gambar 3
Perilaku Birokrasi Pemerintahan
Karakteristik Individu/aparat
1. Kemampuan Fisiologis (fisik dan
Mental)
2. Kemampuan Psikologis (persepsi,
sikap, kepribadian dan motivasi
3. Kemampuan lingkungan (keluarga,
36
Thoha,
Miftah.
Prilaku
Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001 : 138
kelas sosial
dan
kebudayaan
37
Thoha, Miftah. Prilaku Organisasi,Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
122
Perilaku Birokrasi
Pemerintahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Karakteristik Birokrasi
Struktur dan hirarki kekuasaan
Pembagian tugas dan wewenang
Sistem dan prosedur formal
Hubungan Impersonal
Sistem karir dan promosi
Sistem penggajian
Manajemen dan kepemimpinan
Komunikasi, koordinasi dan integrasi
Sumber: Supriatna (1997 : 108)
Gambaran
itu
mengungkapkan
bahwa
fungsi
pemerintahan
dan
pembangunan dalam melayani kepentingan publik dipengaruhi oleh perilaku
birokrasi pemerintahan.
C. Korupsi
Korupsi merupakan masalah seharusnya menjadi perhatian semua orang.
Korupsi dapat terjadi pada setiap elemen bernegara dan bermasyarakat di seluruh
belahan bumi, tanpa memandang apakah itu negara demokratis maupun negara
otoriter. Setiap bangsa mengakui bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang
menimbulkan kerusakan pada tatanan negara.
Pada akhir 2013, Transparancy Internasional38 mempublikasikan bahwa
Somalia, Korea Utara dan Afghanistan meduduki peringkat skor terendah dari 177
negara, yang menandakan bahwa negara-negara tersebut merupakan Negara
dengan tingkat korusi tertinggi. Indonesia berada pada peringkat 114, sementara
38
Transparency International, Corruption Perceptions index 2013, www.transparency.org
123
peringkat skor Negara terbersih terdiri atas Negara Denmark dan Selandia Baru.
Dalam laporannya tersebut juga menyajikan bahwa tidak ada Negara bersih
secara sempurna, dan hampir sekitar 70% negara memiliki masalah korupsi yang
serius.
Setiap Negara di dunia pun berusaha untuk memberantas korupsi walaupun
melalui cara dan pendekatan yang berbeda-beda seperti melalui jalur hukum,
pendidikan,
budaya
dan
lainnya.
Indonesia
pun
telah
gencar-gencarnya
melakukan berbagai cara dan pendekatan untuk menekan tindak perilaku korupsi.
Dalam dunia pendidikan misalnya, pemerintah Indonesia memasukkan materi
Pendidikan Anti korupsi sebagai mata kuliah dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi.
Kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mendidik masyarakat
mengenai apa itu korupsi. Hal ini karena, kadang masyarakat tidak sadar dan
tidak mengerti bahwa telah memberikan peluang terjadinya korupsi. Salah
satunya contohnya, misalkan pemberian ―uang terima kasih” kepada aparat
desa dalam pengurusan surat keterangan domisili, atau aparat kepolisian di polsek
dalam pembuatan surat keterangan kehilangan. Walaupun kadang pemahaman
beberapa masyarakat tersebut, bahwa pemberian itu sebenarnya dengan niat
yang ikhlas karena rasa terima kasih. Namun di sisi lain pemberian tersebut dapat
mendidik mental masyarakat lainnya untuk berbuat sama, dan pada pihak aparat
menjadi terdidik untuk terus menerima gratifikasi.
Maka dari itu, melalui pembahasan dalam buku ini diharapkan dapat
membantu memberikan pemahaman dan pendidikan mengenai apa itu korupsi
dan bagaimana mengikis prilaku korupsi tersebut. Korupsi merupakan penyakit
124
sosial kompleks yang fenomenanya nyata (seperti munculnya orang kaya baru)
tetapi diskriminatif dalam pengadilannya, bahkan terkadang sulit diadili, sehingga
tidak pernah hilang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Menurut
Allatas ada beberapa asumsi yang diajukan untuk kajian korupsi secara sosiologis
yaitu harus berkembang menuju konseptualiasi yang lebih tinggi, mencakup data
historis, pendekatan individual dan institusional, nilai kejujuran (di Asia) masih
resisten terhadap korupsi, pranata pemberian (upeti, balas budi) tidak dinilai
secara berlebihan sebagai penyebab korupsi selama ada praktek penyalahgunaan
pranata lain, administrasi yang tidak efisien, bobot penyebab korupsi terkait
dengan konfigurasi sosiologis dan historis dan korupsi merupakan proses
kesinambungan
yang
akarnya
terhujam
oleh
periode
terdahulu
sebelum
modernisasi39.
Korupsi merupakan tindakan tidak bermoral yang dilakukan untuk
menguntungkan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain. Kadang korupsi
dilakukan dengan sadar, dalam artian bahwa seseorang mengetahui bahwa
tindakan itu melanggar hukum, nilai dan norma masyarakat, tapi tetap dilakukan
secara sadar dan ataupun terpaksa. Kadang pula seseorang mengetahui
terjadinya tindakan itu, namun tidak mampu berbuat apa-apa.
Dalam buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi (2011: 23)
menjelaskan beberapa pengertian korupsi sebagai berikut bahwa Kata ―korupsi‖
berasal dari bahasa Latin ―corruptio‖ (Fockema Andrea : 1951) atau ―corruptus‖
(Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa ―corruptio‖
39
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES Jakarta, 1981: 76
125
berasal dari kata ―corrumpere‖, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa
Latin tersebut kemudian dikenal istilah ―corruption, corrupt‖ (Inggris), ―corruption‖
(Perancis) dan ―corruptie/korruptie‖ (Belanda).‖
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istilah korupsi berasal dari
bahasa latin ―corrumpere‖, ―corruptio‖ , ―corruptus‖. Kemudian menyesuaikan
ke berbagai bahasa di dunia.
Beberapa bangsa di dunia memiliki terminologi
tersendiri mengenai korupsi. Di Indonesia kata Korup dalam kamus besar bahasa
Indonesia , (2008, balai pustaka edisi keempat) diartikan busuk, palsu, suap.
Dalam
kamus
hukum
(2010:
19)
mendefenisikan
kata
Korup sebagai
“Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri.
Muhammad Ali memberikan lain yang menyebutkan bahwa:
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut disimpulkan bahwa arti kata
korupsi adalah sesuatu yang busuk, palsu dan suap, berdasarkan hal tersebut
perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan
yang busuk, menyangkut pelayanan atau aparat pemerintahan terkait fungsi dan
jabatannya.
40
Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2011: 24)
126
Jeremy Pope (2008: 6) merumuskan beberapa situasi yang mudah
mengundang korupsi yaitu:
1. suap diberikan untuk mendapatkan keuntungan yang langka, atau untuk
menghindari biaya.
2. suap diberikan untuk mendapat keuntungan yang tidak langka, tetapi
memerlukan kebijakan yang harus diputuskan oleh pejabat publik.
3. suap diberikan bukan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik,
tetapi untuk mendapatkan layanan yang berkaitan dengan perolehan
keuntungan.
4. suap diberikan untuk mencegah pihak lain mendapatkan dari keuntungan,
atau membebankan biaya pada pihak lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memuat 30 bentuk atau
jenis tindak pidana korupsi. Dari ke 30 bentuk/jenis tersebut dapat di
kelompokkan sebagai berikut: 41
1. Kerugian Keuangan Negara
Perbuatan yang merugikan keuangan Negara seperti orang yang dengan tujuan
menguntungkan
diri
sendiri
atau
orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara
2. Suap menyuap
41
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Buku Panduan untuk memahami
tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006 :15
127
Perbuatan suap menyuap contohnya yaitu: memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada aparat dengan maksud supaya aparat tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
atau memberi sesuatu kepada aparat karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.
3. Penggelapan dalam jabatan
Penggelapan dalam jabatan dapat berbentuk seperti aparat atau orang selain
aparat yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
4. Pemerasan
Pemerasan yang dimaksud undang-undang ini seperti aparat yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau
dengan
memberikan
menyalahgunakan
sesuatu,
membayar,
kekuasaannya
atau
menerima
memaksa
seseorang
pembayaran
dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri atau aparat
yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
5. Perbuatan curang
128
Yang di maksud perbuatan curang adalah seperti pemborong, ahli bangunan
yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang atau
setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan contohnya seperti perbuatan aparat
baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
7. Gratifikasi
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik
Dengan adanya bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi
129
yang memenuhi kriteria di atas, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku pada undang-undang.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik korupsi sebenarnya juga seringkali
tanpa disadari ternyata telah dilakukan. Perbuatan merugikan keuangan negara
tidak hanya berupa memalsukan harga barang dengan nilai kwitansi yang lebih
tinggi dari harga yang sebenarnya tetapi perbuatan tidak mengambil atau
memberikan lembaran tiket damri misalnya, juga dapat merugikan Negara, begitu
pula pada karcis retribusi lainnya. Kadang masyarakat menganggap sepele dengan
tidak mengindahkan karcis retribusi yang biasa tidak diberikan petugas penarik
retribusi. Padahal dengan tidak mengambil karcis retribusi berarti memberikan
peluang bagi petugas penarik retribusi untuk berbuat curang. Misalnya menjual
kembali karcis teribusi yang sudah tersobek atau melaporkan hasil penarikan
retribusi lebih kecil dari yang sebenarnya.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi yang
sehari-hari terjadi tanpa kita sadari. Hal lainnya yang dapat dikelompokkan
memenuhi unsur korupsi misalkan menggunakan mobil dinas untuk kepentingan
pribadi atau masih menggunakan rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas,
memberikan kwitansi hotel kosong pada pegawai negeri
yang menginap,
memberikan kwitansi pembelian ATK yang masih belum terisi nominal angka,
menurunkan harga jual beli tanah agar tidak kena pajak yang tinggi dan berbagai
kegiatan lainnya.
130
Ahli lainnya seperti Anwar Shah42 melihat korupsi ke dalam 4 (empat
bentuk sebagai berikut:
1.
Petty, administrative or bureaucratic corruption. Many corrupt acts are
isolated transactions by individual public officials who abuse their office, for
example, by demanding bribes and kickbacks, diverting public funds, or
awarding favors in return for personal considerations. Such acts are often
referred to as petty corruption even though, in the aggregate, a substantial
amount of public resources may be involved.
2.
Grand corruption. The theft or misuse of vast amounts of public resources
by state officials—usually members of, or associated with, the political or
administrative elite—constitutes grand corruption.
3.
State or regulatory capture and influence peddling. Collusion by private
actors with public officials or politicians for their mutual, private benefit is
referred to as state capture. That is, the private sector ―captures‖ the state
legislative, executive, and judicial apparatus for its own purposes. State
capture coexists with the conventional (and opposite) view of corruption, in
which public officials extort or otherwise exploit the private sector for private
ends.
4.
Patronage/paternalism and being a “team player”. Using official
position to provide assistance to clients having the same geographic, ethnic
and cultural origin so that they receive preferential treatment in their dealings
with the public sector including public sector employment. Also providing the
42
Anwar Shah World Bank Policy Research Working Paper 3824, January 2006 : 4
131
same assistance on a quid pro quo basis to colleagues belonging to an
informal network of friends and allies.
Bentuk-bentuk korupsi yang dikemukakan di atas banyak terjadi di
kehidupan kita sehari-hari. Sadar atau tanpa sadar, kita kadang mengalami atau
melakukan hal demikian. Istilah Petty, contohnya sering masyarakat alami dan
rasakan ketika berurusan dengan aparat pemerintah untuk mengurus …, Grand
corruption.
…State
or
regulatory
capture
and
influence
peddling,
Patronage/paternalism and being a ―team player.
Bahasan tersebut di atas menjelaskan bahwa terminology korupsi
berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Pengertian korupsi mulai dari hal
yang sederhana seperti busuk,palsu dan suap hingga menjadi kompleks sehingga
kadang tidak disadari telah melakukan korupsi. Berdasarkan berbagai pengertian
dan istilah di atas dapat kita tarik alur pemikiran bahwa korupsi adalah perilaku
melawan hukum dan menyimpang dari prosedur yang menimbulkan kerugian
Negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ombudsman Republik Indonesia (2013 : 4)
memberikan istilah lain yaitu Maladministrasi. Maladministrasi adalah perilaku
atau
perbuatan
melawan
hukum,
melampaui
wewenang,
menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,
termasuk kelalaian atau mengabaikan kewajiban hukum dalam menyelenggarakan
pelayanan public yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan
132
yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan
orang perseorangan.
Betapa kesalnya masyarakat misalnya ketika mengurus Kartu Keluarga di
kelurahan tapi pihak kelurahan tidak dapat memberikan pelayanan administrasi
yang jelas dan tidak sesuai dengan peraturan serta tidak mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat tersebut. Kita sulit mengukur berapa besar kerugian
materiil dan inmateriil masyarakat yang kecewa atas kurang profesionalnya
pelayanan administrasi di suatu kantor kelurahan. Maladministrasi yang sering
terjadi di tingkat kecil sampai tingkat pusat pemerintahan Indonesia sangat
mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan.
Dalam buku yang sama Ombusdman Republik Indonesia (2013: 10)
membagi maladministrasi menjadi 10 tipe sebagai berikut:
1. Penundaan Berlarut
2. Tidak Memberikan Pelayanan
3. Tidak Kompeten
4. Penyalahgunaan Kewenangan
5. Permintaan imbalan uang/korupsi
6. Penyimpangan prosedur
7. Bertindak tidak layak dan tidak patut
8. Berpihak
9. Konflik Kepentingan
10. Diskriminasi
133
Tampaknya, upaya pemberantasan korupsi masih memerlukan nafas yang
amat panjang. Soalnya, penyakit birokrasi yang satu ini sudah sedemikian jauh
menerobos masuk dan menggerogoti tubuh negara. Bahkan terkesan telah
mendarah daging dalam masyarakat kita. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus
korupsi yang berdampak luas terhadap pembangunan dan terjadi di semua sektor
kehidupan masyarakat. Dalam konteks pembangunan, salah satu indikator yang
cukup baik untuk melihat adanya praktik korupsi akan tercermin pada tingkat
kebocoran anggaran pembangunan setiap tahunnya. Korupsi sendiri dapat
diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang dengan tujuan untuk memperkaya
diri, keluarga, kerabat dan golongan tertentu. Karena itu, masalah korupsi lebih
berbahaya dari kemiskinan.
Korupsi memang masih menjadi hantu di tengah kehidupan kita. Apalagi,
perilaku korup itu dapat berbentuk transaksi politik dengan cara menjual kebijakan
negara untuk kepentingan pribadi, kerabat serta kelompok tertentu. Di samping
itu, korupsi dapat menghalangi terciptanya tatanan pemerintahan yang baik sebab
tiga komponen yang dapat mendukung terwujudnya good governance seperti
negara, rakyat dan sektor swasta dapat berjalan timpang. Untuk itu, agar supaya
korupsi dapat dideteksi seawal mungkin dan jangan sampai berlarut-larut, maka
kesetaraan dari tiga komponen good governance mutlak diperlukan. Artinya,
mekanisme pemerintahan berada dalam posisi yang seimbang, selaras, kohesif
dan kongruen.
134
Tentu saja, terciptanya keseimbangan dari ketiga komponen itu amat
tergantung
pada
adanya
kemauan
baik
untuk
selalu
berpegang
pada
ditegakkannya supremasi hukum secara konsekuen.
Oleh sebab itu, aparat negara haruslah memiliki kemampuan profesional
untuk bukan saja mempertahankan dan memacu pembangunan ekonomi serta
menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan teknologi, tapi juga sekaligus
harus mampu mendistribusikan output pembangunan secara adil dan merata serta
mengentaskan keluarga miskin melalui strategi empowerment. Hanya saja, yang
seringkali menjadi masalah adalah kualitas profesional apa yang diperlukan oleh
aparat negara dalam melaksanakan fungsinya yang amat kompleks. Lagi pula,
birokrasi begitu potensial sebagai tempat berkembang biaknya praktik korupsi
karena sumber kekuasaan yang dimilikinya.
Biasanya, di negara berkembang, birokrasi acapkali dianggap sebagai
personifikasi negara yang memiliki hak monopoli informasi dan cenderung
ditempatkan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki keahlian teknis untuk
bekerja dalam masing-masing sektor yang digelutinya. Akibatnya, tindakan
korupsi kerapkali terlindungi oleh jaket birokrasi sekalipun semua bentuk korupsi
nyaris selalu dilakukan secara rahasia.
Korupsi birokrasi memang lebih terjamin kerahasiannya sebab dibungkus
oleh mekanisme kerja yang seolah-olah sah. Selain itu, korupsi birokrasi juga
melibatkan penentu kebijakan publik sebagai aktor transaksi dan hak milik publik
dianggap sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan. Lagi pula, atribut utama
135
birokrasi terletak pada loyalitas dan kemampuan melaksanakan apa yang
diperintahkan atasan.
Sementara
itu,
budaya
patrionalisme
dan
patron-client
menguasai
hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen
lain. Interaksi antara birokrasi dengan kekuatan ekonomi dapat mengubah
substansi birokrasi menjadi komprador yang berkolusi dengan kekuatan ekonomi
tadi untuk memperkaya diri. Meski begitu, salah satu kualitas sumberdaya
birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kualitas enterpreneurial yang
dapat menjembatani negara dan masyarakat. Adapun kompetensi birokrasi lain
yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya mewadahi antara the
state dan civil society. Hal ini tersirat baik dalam konsep good governance yang
dianggap merupakan cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan
publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya
bertanggung jawab
pada publik. Masalahnya, birokrasi
haruslah
mampu
memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif.
Dengan demikian tentu hal ini menuntut kemampuan untuk memahami dan
mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta merumuskannya
dalam kebijakan, perencanaan dan mengimplementasikannya. Birokrasi harus
mempunyai
kompetensi
untuk
memberdayakan
masyarakat
sipil
dengan
menciptakan enabling social setting. Pola perilaku birokrat terbentuk antara lain
melalui keteladanan. Oleh karena itu, sikap elite amat menentukan sosok
profesionalisme birokrasi.
136
Proses rekrutmen yang objektif, kondisi kerja yang kondusif dan pelatihan
yang menggunakan metodik dan deduktif yang tepat merupakan wacana
pembentukan profesionalisme yang efektif. Dalam pembentukan profesionalisme
tentu memerlukan kontrol sosial dari masyarakat sipil. Jika tidak, lemahnya
tanggung jawab birokrasi untuk melayani rakyat jelas berdampak pada
kepentingan rakyat. Konsekuensinya, misi menuju sebuah pemerintahan hanya
akan menambah kompleksitas persoalan dan bukannya memecahkannya.
Oleh sebab itu, dalam pelayanan publik sudah saatnya bagi pemerintah
untuk mengubah paradigma, strategi dan orientasi yang selama ini hanya
digerakkan oleh peraturan birokrasi menjadi strategi yang berfokus pada
pelayanan publik. Dan upaya itu pasti memerlukan transformasi lembaga dan
sebaiknya harus dimulai dengan transformasi personal. Ini berarti yang
dibutuhkan dalam transformasi adalah penyusunan tujuan sistem layanan sebagai
faktor pendorong perubahan. Sedangkan masalah moralitas memang abstrak jika
dimaknai hanya sekadar sebagai etika efisiensi dan efektivitas layaknya yang ada
di sektor privat.
Namun sesungguhnya moralitas merupakan dasar yang sangat konkret jika
pemahamannya kita arahkan pada sebuah konsep birokrasi yang manusiawi, yaitu
tipe
birokrasi
yang
menghargai
hak
rakyat
secara
penuh.
Untuk
mentransformasikan nilai-nilai moral tentu bukan sekadar membalikkan tangan
tapi butuh sebuah proses dan kesungguhan. Birokrasi yang bermoral, berarti
birokrasi yang meletakkan aspek pelayanan pada rakyat tanpa berusaha
mengeksploitasinya ke dalam aspek yang amat urgen.
137
BAB V
BIROKRASI INDONESIA DAN PROSES DEMOKRATISASI
A. Birokrasi dan Partai Politik
Partai adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan
setujuan terutama dibidang politik43, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama, yakni yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut
kedudukan
politik-
(biasanya)
dengan
cara
konstitusionil
untuk
melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan mereka44.
Lain halnya dengan Bambang Cipto yang mempunyai pandangan bahwa
partai politik merupakan peralihan jangka panjang dari istilah fraksi yang jauh
lebih tua umurnya, sifat peralihan ini menyebabkan proses pengakuan masyarakat
politik terhadap keberadaan partai penuh dengan kesukaran dan rintangan45.
Menurut Sumarno dan Yeni Lukiswara, Partai Politik merupakan sekelompok
manusia yang mengorganisir dirinya dalam bentuk organisasi politik yang
didasarkan pada suatu ideologi, dengan maksud untuk memperoleh atau merebut
suatu kekuasaan didalam pemerintah. Jadi partai politik merupakan perantara
43
44
45
Prof.dr. Budiwinarno, MA, Sistem Politik Indonesia PT. Buku Kita 2007: 99
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet-XIX, 1993, :160
Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 :7
138
yang menghubungkan kekuatan-kekuatan ideologi sosial dengan lembaga
pemerintah46.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Cheppy Haricahyono, dalam bukunya
―ilmu politik dan perspektifnya‖ mengatakan bahwa partai politik adalah
sekelompok manusia yang secara bersama-sama menyetujui prinsip-prinsip
tertentu untuk mengabdi dan melindungi kepntingan nasional47.
Sedangkan menurut Deliar Noer, Partai politik merupakan himpunan orangorang yang se-ideologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta
tempat berkumpulnya orang – orang yang se-ide, cita-cita dan kepentingan48. Jadi
dapat di simpulkan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok orang berdasarkan persamaan kehendak dan kepentingan dan
visi untuk memperjuangkan masyarakat, bangsa dan negara, melalui pemilihan
umum.
Hubungan politik-birokrasi di Indonesia pada saat ini menjadi wacana
menarik untuk dicermati. Pola hubungan politik-birokrasi yang diistilahkan oleh
beberapa ahli yakni relasi antara ―cinta‖ dan ―benci‖ menjadi topik yang hangat
diperdebatkan. Politik-birokrasi adalah ―dua sejoli‖ yang dianalogikan sedang
―berpacaran‖. Layaknya ―orang yang sedang berpacaran‖ akan selalu ada dua
perasaan yang muncul silih berganti yaitu perasaan ―cinta ― dan ―benci‖. Di satu
sisi mereka ingin selalu berdekatan dan bekerja sama, tetapi di sisi lain ingin
saling menjauh dan berdiri sendiri. Dengan analogi ini maka hubungan politik46
47
48
Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung : Citra Adtya Bakti,
1992: 62
Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,
1991:192
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983: 209
139
birokrasi ini seperti ―dua sisi mata uang‖ yang tidak bisa dipisahkan (unseparated)
tetapi berdiri sendiri (integrated).
Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power). Politik
merupakan sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain
dengan cara-cara tertantu. Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh
kekuasaan, logikanya setelah berkuasa dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia
akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain. Anggota DPR misalnya, ia
dicalonkan oleh partainya sehingga ia duduk di legislatif, maka setelah ia
menjabat sebagai legislator maka ia akan memasukkan kepentingan-kepentingan
partainya, kepentingan pribadinya dan kepentingan constituentnya dalam setiap
kebijakan yang dirumuskan oleh DPR.
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini perubahan sistem partai politik
dan pemilihan umum sangat dinamis. Hal ini wajar mengingat Indonesia sedang
dalam masa transisi demokrasi. Masyarakatnya yang sangat plural dan
menghendaki agar setiap masyarakat tersebut ada perwakilannya dalam
menyalurkan aspirasi politik membuat banyak timbulnya berbagai partai politik di
Indonesia. Partai politik yang timbul pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19 di
Eropa Barat ini merupakan wujud pendobrakan tradisi kegiatan politik yang pada
mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok dalam parlemen yang bersifat elitis
dan dikuasai oleh kaum aristokrasi untuk mempertahankan kepentingan kaum
bangsawan. Awal berdirinya partai politik adalah terjadinya kegiatan politik di luar
parlemen
dengan
membentuk
suatu
panitia
pemilihan
yang
mengatur
pengumpulan suara pendukungnya. Karena perlunya memperoleh dukungan dari
140
pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen yang
sepaham dengan kepentingannya, maka dibentuklah partai politik.
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh
terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Jabatan-jbatan dalam suatu departemen di
Indonesia terdiri dari jabatan politik (non-karier) dan jabatan birokrasi (karier).
Implikasinya adalah, politisi-politisi yang memperoleh kekuasaan politik melalui
pemilihan umum menempati jabatan politik sebagai pimpinan departemen,
sedangkan jabatan di bawahnya seperi jabatan Sekjen, Dirjen dan Irjen dijabat
oleh pegawai-pegawai profesioanal (birokrat karier). Oleh karena itu, perlu
dibedakan natar jabatan politikdan jabatan birokrasi. Perbedaan jabatan politik
dan jabatan birokrasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
Tabel 3
Perbedaan antara Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi
No
1
Variabel
Cara pengangkatan
2
Masa jabatan
3
4
Jabatan politik
Dipilih melalui pemilu
Ditentukan
(biasanya 5 tahun)
Sifat jabatan
Sewaktu-waktu bisa
diberhentikan oleh partai
politik melalui lembaga
legislatif
Pertanggungjawaban Bertanggung jawab kepada
partai dan konstituent yang
memilihnya melalui lembaga
legislatif
Jabatan Birokrasi
Diangkat berdasarkan
kualifikasi dan
kompetensi tertentu
Ditentukan oleh
Baperjakat
Dapat diberhentikan
atau dinaikkan jabatan
berdasarkan tim
baperjakat
Bertanggung jawab
kepada secara struktural
Politik Birokrasi indonesia berusaha untuk memberikan pengenalan dan
pemahaman tentang konsep birokrasi, relasi antara birokrasi dengan elemen141
elemen dalam sistem politik, serta kinerja dan akuntabilitas birokrasi, termasuk di
dalamnya berbagai bentuk penyelewengan yang mungkin dapat dilakukan oleh
birokrasi, baik dalam konteks global atau dalam kasus Indonesia. Birokrasi yang
seharusnya menjadi pelayan publik dan bertanggungjawab terhadap rakyat lewat
lembaga legislatif kadang menjadi lembaga yang tidak terkontrol karena berbagai
kelebihan dan kekuatannya. Legislatif bahkan seringkali juga harus kehilangan
kendali terhadap birokrasi karena sumber dayanya yang tidak mencukupi untuk
mampu mengawasi kinerja birokrasi. Untuk itulah diperlukan lembaga legislatif
yang kuat yang didukung dengan seperangkat peraturan yang tegas yang akan
cukup membatasi gerak birokrasi. Selain itu partisipasi masyarakat serta voluntary
sector dalam mengawasi kinerja birokrasi menjadi suatu hal yang mutlak.
Birokrasi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari proses dan kegiatan
politik. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang
berprilaku dan bertindak Politik (consist of people acting politically), yang
diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha
mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu
kebijakan
dan
tindakan
yang
bisa
mengangkat
kepentingannya
dan
mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung
atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok
kepentingan dalam masyarakat.
Politik adalah identik dengan konflik dalam pemerintahan suatu negara.
Salah satu kenyataan dasar dari kehidupan manusia bahwa orang hidup bersamasama tidak dalam isolasi satu sama lainnya. Salah satu faktor yang sering kali
142
menimbulkan perbedaan yang memunculkan konflik diantara orang dan kelompok
orang adalah nilai (value) yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing. Nilai
merupakan sesuatu yang dianggap oleh seseorang sangat penting dan sangat
diharapkan (something one thinks is very important and desirable). Kepentingan
politik dapat muncul dari nilai bagi seseorang atau kelompok orang yang bisa
diperoleh atau bisa pula hilang dari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh
pemerintah. Dihampir semua masyarakat, semua orang memandang bahwa
tindakan
pemerintah
yang
dijalankan
melalui
mesin
birokrasinya
adalah
merupakan cara yang terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan
peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi
yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul
diantara orang secara individu dan orang secara kelompok-kelompok49.
Partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga
negara untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat
dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan
dan masa depanya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik dapat
mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan dan kesetaraan.
Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada
partai politik sebagai aset kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan
kedewasaan dan tanggungjawab dalam berdemokrasi. Sebelum melangkah lebih
jauh tentang penguraian fungsi partai politik, perlu diawali dengan pembahasan
paling mendasar tentang mengapa harus ada partai politik dalam kehidupan
49
Albrow, Martin, Birokrasi. 1996, Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta, Tiara Wacana.
143
masyarakat. Selanjutnya sejarah perjalalan partai politik dibarat mengalami
perubahan sedikit demi sediki. Partai partai tersebut bersandar pada suatu
pandangan idiologis tertentu seperti sosialisme, Kristen democrat, dan sebagainya.
Secara
historiografis,
ide
dasar
untuk
membentuk
partai
politik
sudah
menunjukkkan indikasinya pada era renaissance. Mana kala kekuasaan para raja
dikecam dan dimulai dibatasi, keinginan membentuk partai politik sudah mulai
bermunculan. Terlebih lebih hak pilih bagi rakyat sudah diberiakan secara
luas.Setelah wacana perluasan hak-hak politik bagi rakyat semakin meningkat
dengan pesat itulah, partai politik seakan-akan telah lahir sendirinya. Apalagi,
keterlibatan rakyat dalam proses yang ada pada waktu itu sudah dianggap
sebagai suatu yang urgen dan medesak. Maka sebagai wujud interaksi antara
pemerintah dan rakyat, diperlukan kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan.
Eksistensi partai politik menjadi ukuran dalam sebuah sistem politik sebuah
negara. Sistem politik dalam konteks yang lebih luas diibaratkan sebuah rumah
yang menaungi berbagai lembaga dan menjalankan fungsi-fungsi politik. Dalam
sistem politik inilah terdapat partai politik dan lembaga, seperti legislatif dan
eksekutif. Secara teoritis peranan sistem politik menjadi faktor sangat menentukan
bagi berfungsinya sistem kepartaian. Corak dan warna sistem politik akan
mempengaruhi sistem kepartaian. Bahkan keduanya ada hubungan rasipokal yang
saling mempengaruhi. Artinya, suatu corak sistem kepartaian sedikit banyak akan
mempengaruhi corak sistem politik yang sedang berlangsung50. Berkaitan dengan
50
Arfin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 2002 :18
144
fungsi-fungsi yang melekat pada sistem politik, maka lewat partai-partai politiklah
fungsi-fungsi itu dijalankan.
Dalam infra struktur politik terdapat struktur-struktur politik atau lembagalembaga politik yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu demi berjalanya proses
politik itu dapat berlangsung dengan baik, dapat dipahami jikalau melihatnya dari
persfektif teoristis sistem politik suatu negara yakni dengan cara melakukan
pendekatan yang disebut sebagai teori struktural fungsional teori ini bertitik tolak
dari asumsi dasar, bahwa suatu sistem politik terdapat fungsi-fungsi yang harus
demi keberlangsungan hidup sistem politik yang bersangkutan. Pendekatan
teoritis ini memusatkan pada fungsi politik yang ada dalam sistem politik,
selanjutnya telah struktur politik apa yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Fungsi-fungsi yang dimaksud dalam sistem politik itu adalah infrastuktur politik
seperti partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan.yang telah dipaparkan
diatas, dapat dilihat sebagai kekuatan politik menjadi ukuran dalam sistem politk.
Seperti partai partai politik, kendatipun kehadiranya dalam wacana ilmu politik
masih relatif muda, baru diperkenalkan pada abad 19 di negara-negara Eropa,
Inggris dan Prancis51.
Sigmun neuman mengemukakan defenisi partai politik sebagai berikut
partai politik adalah organisasi dari aktifis aktifis politik yang brusah untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
51
Antonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fisip-Press, 2004: 107.
145
persaingan dengan sutu golongan-golongan lainya yang mempunyai pandangan
berbeda52.
Maurice duverger53 dalam bukunya yang terkenal political
parties,
menjelaskan klasifikasi sistem partai, yaitu Sistem Partai Tunggal (one party
system) Sistim Dwi Partai (two party sistem) Sistem Multi Partai (multy party
system). Analisa sistem kepartaian senantiasa tertuju pada berdasarkan system
kepartaian berdasrkan atas tipologis numeric yang seccara statis dan traddisional
membagi sitem kepartaianmenjadi (system satu partai) single partai system sistim
dwi partai two patrtai system dan system multy partai multy partai system.
Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern. Hampir dapat
dipastikan bahwa partai-partai politik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter sekalipun. Dalam hal ini
partai politik mengorganisasi partisipasi politik. Partai politik telah menjadi ciri
penting politik modern. Hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik telah
menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis
maupun yang otoriter sekalipun. Dalam hal ini partai politik mengorganisasi
partisipasi politik pertama sebagai sarana komunikasi politik. Kedua, sebagai
sarana sosialisasi politik. Ketiga, sarana rekrutmen politik, keempat, partai politik
sebagai sarana pengatur konflik. Undang-undang No 2 tahun 2011 tentang
perubahan UU no. 2 Tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 1 ayat (1)
dikatakan bahwa partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
52
53
Arfin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 2002 :18
Miriam, Budiardjo. 2007: 167
146
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara republik indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum. Sebuah sistem kepartaian yang kokoh dan
mempunya kapasitas, akan melakukan setidaknya dua hal54 yaitu:
1) Melancarkan perluasan peran serta politik melalui jalur partai dan dengan
demikian menguasai ataupun mengalihkan segala aktifitas politik anomik
dan revolusioner
2) mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru
dimobilisasi, yang dimaksud untuk mengurangi kadar tekanan terhadap
sistem politik itu.
Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe
sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh
atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu.
Parameter ―jumlah partai politik‖ untuk menentukan tipe sisem partai politik
pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954 dimana
Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai
tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Dari definisi yang
54
Prof.dr. Budiwinarno, MA, Sistem Politik Indonesia PT. Buku Kita 2007: 99
147
diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita dengan mudah menentukan sistem
partai politik di sebuah negara.
Kalau di negara tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh
atau satu partai politik yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan
bahwa sistem tersebut adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua
partai politik maka sistem partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di
dalam negara tersebut tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan
sebagai sistem multi partai. Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling
terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai
hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan
secara lebih specifik apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk
memenangkan atau berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah.
Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya
berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan
dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and Mair (2008) dan Blau
(2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian tidak bisa
ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu akan tetapi
sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair menjelaskan
bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu vertikal,
horisontal dan fungsional. Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai
politik dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam masyarakat
pemilih (bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi horisontal
ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu. Dimensi
148
fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi (nasional,
regional, dan lokal).
B. Pemilu
Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat
perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam nkri berdasarkan pancasila dan uud 1945 rakyat
memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis
memilih pemimpin dan wakil rakyat merupakan makna dari indonesia sebagai
negara yang demokratis dimana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan
hukum
dan
menjamin
sepenuhnya
penerapan
prinsip
demokrasi
melalui
pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu
dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu,
sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan
tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran. Sebagai salah satu
prasyarat dalam mencapai keadilan pemilu tersebut adalah melalui penyusunan
kerangka hukum yang harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna
ganda, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur
sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. 55
55
Veri Junaidi, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Partisipasi Dan Keterbukaan Publik Dalam
Penyusunan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD Dan DPRD , Yayasan
Perludem, Jakarta, 2013:iii
149
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses memilih orang sebagai wakil
masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan
tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat
pemerintahan.
Pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi. Sistem ini masih dianggap
sebagai salah satu metode terbaik dalam pergantian elit politik. Pemilu menjamin
hak-hak politik masyarakat. Salah satu unsur penting dalam pemilu adalah
partisipasi politik masyarakat dalam pemilu
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara
persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda
di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum,
teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau
politikus selalu komunikator politik. 56
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan
kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan programprogramnya pada masa kampanye.[butuh rujukan] Kampanye dilakukan selama
waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya
telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
56
Arifin, Anwar. Pencitraan dalam politik, Jakarta: pustaka Indonesia, 2006 :.39
150
Pasal 126 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, menyatakan bahwa
dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajibannya penyelenggara pemilu,
pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bantuan dan fasilitas tersebut
berupa :
1) Penugasan personel pada sekretariat panwaslu Kabupaten/kota, ppk,
panwaslu kecamatan dan Pps;
2) Penyediaan sarana ruangan sekretariat panwaslu Kabupaten/kota, ppk,
panwaslu kecamatan dan Pps;
3) Pelaksanaan sosialisasi;
4) Kelancaran transportasi pengiriman logistik;
5) Monitoring kelancaran penyelenggaraan pemilu;
6) Kegiatan
lain
sesuai
dengan
kebutuhan
pelaksanaan
pemilu
yang
dilaksanakan setelah ada permintaan
Peran pemerintah dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam
mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu dengan tujuan:
1) Aktualisasi penyelenggaraan kehidupan bernegara berdasarkan pada
prinsip-prinsip demokrasi dengan upaya memperbaiki penyelenggaraan
Pemilu dengan proses penguatan dan pendalaman demokrasi serta upaya
mewujudkan tata pemerintahan presidensial yang efektif.
2) Terciptanya derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat
keterwakilan
yang
tinggi
serta
memiliki
mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas.
151
Polarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem
pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum, yaitu: perwakilan distrik/mayoritas
(single
member constituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional
representation)57.
1) Sistem Distrik
Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas
kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik
memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik
yang sama jumlah penduduknya. Dalam system ini, calon yang mendapatkan
suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon
lain hanya sedikit. Suara yang endukung calon lain akan dianggap hilang dan
tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di
distrik lain58. Beberapa keunggulan dari sistim distrik59:
a. Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan
dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan
mengadakan kerjasama.
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan
akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di
Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya system dwi
partai.
57
58
59
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , jilid II, (Jakarta: Sekretarian Jenderal
dan Kepanitiaan MK RI, 2006 ) hlm. 182
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet ke 6, Jakarta: Gramedia, 2013: 462
Miriam Budiardjo 2013 : 466-467
152
c. Karena
kecilnya
distrik,
wakil
yang
dipilih
dapat
dikenal
oleh
komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan
orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan
distriknya.
d. Bagi partai besar, system ini menguntungkan karena melalui distortion
effect
dapat
meraih
suara
dari
pemilih-pemilih
lain,
sehingga
memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat
mengendalikan parlemen
e. Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga
tidak perlu mengadakan koalisi
System distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara
alami, namun system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai
berikut:
a. Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas
b. Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu
distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya
c. System distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena
terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.
2) Sistem Proporsional
Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan
kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh
tiap-tiap parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan
jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di
153
perwakilan
rakyat
100
kursi,
maka
untuk
satu
orang
wakil
rakyat
membutuhkan 10 ribu suara60. Pembagian kursi di parlemen tergantung
seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.
Kelebihan/keuntungan sistem proporsional:
a. System proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai
dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh
dalam pemilu
b. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi
(kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen
tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat
memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
a. Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu
sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai
cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat
pada bertembahnya jumlah partai
b. Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan
daftar calon.
c. Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan
suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih)61
Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam
sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan
60
61
Jimly Asshiddiqie,2006 : 183
Miriam Budiardjo, 2013 : 469
154
calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih
gambar paropol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh
parpol tersebut62.
3) Gabungan system distrik dan system proporsional
Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan
masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan
kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil
menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen
dipilih
dengan
system
distrik
dan
setengahnya
lagi
dengan
system
proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas
dasar system distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai
dengan dasar system proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga
diterapkan model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal
sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika
meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan
setidaknya 3% distrik pemilihan63.
Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari
system pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai
sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan
ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955
62
63
Novi Hendra, Sistem Pemilihan Umum, https://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihanumum, akses tanggal 19 september 2013.
Miriam Budiardjo, 2013: 472
155
pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan
memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional
karena pada waktu itu hanya system proporsional yang dikenal di Indonesia.
Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat
menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI64.
Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat
itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun
hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait
dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system
proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat
II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota
DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari
utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai
politik65.
Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi,
sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar,
PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan
parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan
DPR dan DPRD masih menggunakan system proporsional daftar terbuka. Pada
emilu 2004, ada unsure distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan
64
65
Miriam Budiardjo, 2013: 474
Miriam Budiardjo, 2013: 475
156
suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih
(BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain66.
Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap
menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik,
seperti pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II mendapatkan
jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu partai yang tidak
mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika dalam sebuah dapil ada
sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai yang sisa suaranya
terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa efektif
menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan presidensiil.
Karena tidak berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak
pemilu pertama, mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan
system distrik dengan berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi.
Model parliamentary threshold dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti
pemilu memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu
standar yang tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi
parliamentary threshold juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil
merasa dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika
menggunakan system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan
berjuang keras agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik.
Dengan system ini tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang
akan mengikuti pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring
66
Miriam Budiardjo, 2013: 488
157
suara di setiap distrik. Dengan beberapa kali pemilu saja system ini akan
menghasilkan 2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat
presidensiil berjalan secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua
distrik atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan
segera bergabung dengan partai yang besar.
C. Pilkada
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 200467 tentang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah (bupati, walikota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya
kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan
kepala daerah oleh DPRD ternyata membawa kekecewaan masyarakat. Karena,
pertama, politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, di
mana kepentingan partai, bahkan kepentingan segelintir elit partai, kerap
memanipulasi kepentingan masyarakat luas. Kedua, mekanisme pemilihan kepala
daerah cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD.
Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD
daripada kepada masyarakat.
Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics, khususnya pada
proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota DPRD. Ketiga,
terjadi ‗pencopotan‘ dan/atau tindakan over lain dari para anggota DPRD terhadap
67
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah diganti dengan Undang-Undang 23 tahun 2014
namun Presiden Sby telah mengganti dengan keluarnya Perppu No 2 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
158
kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan, yang
berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal.
Dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat
berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Pilkada langsung juga
merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan
secara langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat.
Pilkada langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus ‗menitipkan‘ suara
melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas dan
transparan.
Terdapat sejumlah kelebihan Pilkada langsung, antara lain: (1) memutus
politik oligarki oleh sekelompok elit politik dalam penentuan kepala daerah; (2)
memperkuat checks and balances dengan DPRD; (3) legitimasi yang kuat, karena
langsung mendapat mandat dari rakyat; (4) menghasilkan kepala daerah yang
akuntabel; dan (5) menghasilkan kepala daerah yang lebih peka dan responsif
terhadap tuntutan rakyat.
Pelaksanaan Pilkada langsung dimulai Juni 2005. Sejak Juni 2005 hingga
Juni 2006, Pilkada telah berlangsung di 250 daerah di Indonesia, yakni di 10
propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala
daerah adalah pemilu untuk memilih pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang diusulkan oleh parpol atau gabu-ngan parpol dan
Perseorangan.
1) Peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau
gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon adalah yang
159
memperoleh 15% (lima belas persen) kursi di DPRD atau 15% (lima belas
persen) suara di DPRD pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
2) Peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Perseorangan
harus didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi syarat sebagai
pemilih sesuai dengan ketentuan Per-undang-undangan (UU No.12 Tahun
2008 perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah)
3) Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk memilih:
a. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi;
b. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten;
c. Walikota dan wakil walikota untuk Kota.
4) Tahapan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah:
a. Pemutakhiran data dan daftar pemilih;
b. Pencalonan;
c. Pengadaan dan pendistribusian perlengkapan berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU;
d. Kampanye;
e. Masa tenang;
f. Pemungutan suara dan penghitungan suara;
g. Penetapan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah;
h. Pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah
terpilih.
160
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah salah
satu perwujudan instrumen demokrasi dalam rangka menciptakan pemerintah
yang lebih demokratis. Dengan sistem ini, maka harapan terwujudnya kedaulatan
rakyat dalam sistem pemerintahan diyakini dapat terealisasi secara menyeluruh,
mengingat system demokrasi merupakan perintah langsung yang diamanatkan
oleh UUD 1945 Dalam perjalanannya, sistem demokrasi yang dianut bangsa
Indonesia tidak terlepas dari berbagai bentuk rintangan yang tidak jarang
menimbulkan sikap apatis bagi masyarakat luas. Maraknya persoalan yang lahir
dan mengiringi proses perjalanan demokrasi di tanah air adalah implikasi langsung
dari berbagai rintangan yang muncul.
Fakta dimaksud sangatlah elegan dijadikan sebagai bahan patokan
sekaligus ukuran dalam menilai berhasil tidaknya pelaksanaan demokrasi di tanah
air. Situasi yang demikian harus dipahami sebagai bagian dari demokrasi yang
terus tumbuh dan berkembang dalam proses transisi politik yang mengalami
berbagai pendewasaan perilaku politik Negara dan rakyatnya. Kompleksitas
persoalan yang dimaksud haruslah dipandang sebagai bagian dari proses
pendewasaan politik menuju kondisi perpolitikan yang lebih ideal. Kendati harapan
ini mungkin sulit terwujud, namun bukan berarti harapan perubahan pola dan
konsepsi politik yang saat ini sedang tumbuh dapat menutup ruang perubahan
yang lebih baik.
Dalam tataran yang lebih sederhana, pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah di tanah air adalah bagian dari langkah mewujudkan agenda demokrasi
secara menyeluruh. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang saat ini digelar
161
secara langsung di Indonesia adalah salah satu perwujudan komitmen negara
demokrasi sebagaimana yang telah digariskan dalam konstitusi. Dengan proses
demokrasi di tingkat lokal, maka diharapkan agar keterpilihan para pemimpin di
daerah juga mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya.
Pemilihan
umum
kepala
daerah
adalah
pemilihan
umum
yang
diselenggarakan di tingkat lokal. Oleh karenanya, makna dan tujuan pelaksanaan
pemilukada tidak ada bedanya dengan makna dan tujuan pelaksanaan pemilu
pada umumnya. Hanya kalau pemilu sering dimaknai dalam artian yang lebih luas
dengan cakupan nasional, pemilukada merupakan pelaksanaan pemilu di tingkat
daerah dalam rangka memilih pemimpin di daerah.
Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki fungsifungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Adapun fungsi-fungsi dari
pemilihan umum itu sendiri adalah:
a. Sebagai sarana legitimasi politik
Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem
politik. Melalui pemilihan umum kepala daerah, keabsahan pemerintahan
daerah yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan
yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang
disepakati bersama tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan
juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang
melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan
konsekuensi logis dari pemilihan umum. Ada tiga alasan pemilihan umum
dapat menjadi legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa. Pertama,
162
melalui pemilihan umum pemerintah dapat meyakinkan atau memperbaharui
kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilihan
umum pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga
negara. Dan ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk
mengadakan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk
mempertahankan
legitimasinya.
Gramsci
(1971)
menunjukkan
bahwa
kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa
ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan
pelestarian legitimasi dari otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan
dominasi.
b. Fungsi perwakilan politik
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi
maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang
dihasilkan. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme
demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya
yang akan duduk dalam pemerintahan.
c. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai mekanisme
bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa tingkat daerah.
Keterkaitan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan
sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas
mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara teoretis, hubungan pemilihan
umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas
kaum elit atau nonelit yang menggunakan jalur institusi politik, dan organisasi
163
kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasional, yakni sebagai
anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum
merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa.
Dengan begitu diharapkan selama pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah dapat berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa
tingkat daerah secara kompetitif dan demokratis.
d. Sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat
Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat
yang
bersifat
langsung,
terbuka
dan
massal,
yang
diharapkan
bisa
mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang demokrasi.68
D. Partisipasi Masyarakat dalam Birokrasi Pemerintahan
Kekuatan membentuk kebijakan pemerintahan terletak di tangan rakyat
yang notabene terdiri atas kompleksitas unsur individu dan kelompok-kelompok
masyarakat. JJ. Rousseau mengatakan satu-satunya sumber kekuasaan adalah
rakyat sebagai pemberi hukum, tidak dapat dialihkan ke suatu instansi lain.
Sedangkan, undang-undang adalah kristalisasi kehendak rakyat. Dan, kekuasaan
yang memberikan undang-undang (gesetzgebende macht) memiliki hak hidup,
hanya jika kekuasaan tersebut selaras dengan kehendak rakyat yang adalah
pemilik kekuasaan sesungguhnya.
68
Haris S, 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor
Indonesia dan PPW LIPI Jakarta.
164
Berdasarkan
pandangan
tersebut,
maka
sudah
sepatutnya
proses
pembentukan perundang-undangan di Indonesia tidak hanya menjadi domain
legislator. Penyusunan peraturan perundang-undangan mesti dilakukan secara
terbuka dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat. Hal demikian nyatanya
telah diakomodasi sebagai salah satu asas dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyebutkan keterbukaan sebagai salah satu asasnya.
Penegasan ini bisa dilihat dalam Pasal 5 huruf g yang menyebutkan bahwa dalam
membentuk peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yakni keterbukaan.
Penjelasan Pasal 5 huruf g UU tersebut—yang juga dikutip oleh Maria
Farida Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan—menerangkan, asas
keterbukaan adalah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan—
mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan—bersifat
transparan dan terbuka. Tujuannya adalah agar seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. 69
Berdasarkan
penjelasan
tersebut
terlihat
bahwa
asas
keterbukaan
sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Tujuan dari keterbukaan proses penyusunan
perundang-undangan adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat
69
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius:
Yogyakarta, 2007: 258-259.
165
berpartisipasi secara aktif. Makna kata partisipasi berasal dari kata pars dan
capere. Pars artinya bagian, capere berarti mengambil.70 Partisipasi sendiri berasal
dari bahasa Inggris, participation, yang berarti pengambilan bagian atau
pengikutsertaan.
Isbandi menerangkan bahwa partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di
masyarakat, pemilihan, dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan
masyarakat dalam proses perubahan yang terjadi.71 Mikkelsen mengklasifikasikan
partisipasi dalam enam pengertian, yaitu: 72
a) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa
ikut serta dalam pengambilan keputusan;
b) Partisipasi adalah ―pemekaaan‖ (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi
proyek-proyek pembangunan;
c) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan
yang ditentukannya sendiri;
d) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa
orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif dan menggunakan
kebebasannya untuk melakukan hal itu;
70
71
72
Hanna litaay Salakory, ―Aspirasi dan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan Politik: Filosofi
dan Sejarahnya di Indonesia‖Bina Darma, No. 54, Maret 1997:7.
Isbandi Rukminto Adi, Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran
Menuju Penerapan. FISIP UI Press: Depok, 2007: 27.
Mikkelsen, Britha, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah
Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999: 64.
166
e) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan
para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar
memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial;
f) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi dalam bidang politik sebagai
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, serta secara
langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).73
Menguatkan pengertian itu, Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of
the Social Science menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga masyarakat, melalui mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam
proses pembentukan kebijakan umum. 74
Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries menyebutkan, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan
untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.75
73
74
75
Miriam Budiardjo, 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm.
1.
Miriam Budiardjo, 1998: 2.
Miriam Budiardjo, 1998: 3.
167
Berdasarkan pengertian tersebut, partisipasi bisa dilakukan dalam bentuk
apapun untuk memengaruhi kebijakan pemerintahan, yang dilakukan sebagai
bentuk kesadaran masyarakat secara aktif dan sukarela.
Fung dan Wright menyebutkan pada partisipasi warga itu melampaui
bentuk-bentuk institusi demokrasi konvensional tataran tujuan yang sangat
praktis, yakni meningkatnya sikap tanggap dan efektivitas pemerintahan. Pada
saat yang sama, dengan partisipasi, warga membuat keadaan menjadi lebih adil,
partisipatoris, deliberatif, dan akuntabel. 76
Terdapat tiga dimensi dalam partisipasi langsung yang merupakan unsurunsur penting dari model partisipasi, di mana di dalamnya harus ada komunikasi
dan keputusan. Ketiga dimensi tersebut yaitu: 77
1) Pihak yang berpartisipasi.
Beberapa proses partisipatif terbuka untuk semua orang yang ingin terlibat,
sedangkan proses lainnya hanya mengundang elite stakeholder seperti
perwakilan kelompok kepentingan saja.
2) Partisipasi tidak sekadar membangun komunikasi namun juga membuat
keputusan.
Di banyak pertemuan publik, peserta hanya menerima informasi dari pejabat
yang mengumumkan dan menjelaskan kebijakan. Umumnya peserta sekadar
mendengarkan tanpa turut mengambil posisi untuk memberikan keputusan
tertentu.
76
77
Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2009: xxv.
Archon Fung. Varieties of Participation in Complex Governance. Public Administration Review,
December 2006: 66.
168
3) Hubungan antara diskusi, kegiatan publik, dan kebijakan.
Secara institusional, model partisipasi selalu bergantung pada tiga masalah
penting dalam pemerintahan demokrasi, yaitu legitimasi (legitimacy), keadilan
(justice), dan pemerintahan yang efektif (effective governance).
Tidak ada satupun bentuk partisipasi publik yang menjadi ―sifat bawaan‖
dalam konteks demokrasi. Semua bentuk partisipasi berguna untuk meningkatkan
peran
partisipan
dalam
pemerintahan
demokrasi.
Sherry
Arnstein
mengembangkan beberapa tipologi partisipasi warga negara. Dia berpendapat
bahwa partisipasi merupakan redistribusi kekuasaan pada warga negara yang
tidak memiliki kekuasaan. Dalam tulisannya dia mengategorikan delapan tahapan
untuk mengembangkan partisipasi warga negara, yaitu: manipulation, therapy,
informing, consultation, placation, partnership, delegated power, dan citizen
control.
Namun demikian, tahapan yang dibuat oleh Arnstein sebetulnya tidak
sempurna. Karena, pertama, tingkatan pengaruh individu tidak lebih besar dari
keputusan kolektif. Kedua, banyak bentuk partisipasi lain yang telah berkembang,
yang berada di luar tahapan partisipasi yang dibuat oleh Arnstein. Praktisi politik
mengembangkan banyak teknik untuk merekrut partisipan. Misalnya melalui
seleksi acak, memfasilitasi pertemuan, mendesain proses penuntutan yang dapat
diajukan oleh masyarakat sipil sebagai bentuk proses partisipasi terhadap
perubahan peraturan, bahkan hingga membuat hukum atau peraturan tertentu.
169
Untuk itu tiga unsur mendasar yang menentukan tingkat partisipasi dan
bentuk partisipasi harus diperhatikan, yaitu: 78
1) Siapa yang berpartisipasi?
2) Bagaimana mereka berkomunikasi dan membuat keputusan?
3) Apa hubungan antara konklusi dan opini mereka dengan kebijakan publik atau
kegiatan publik lainnya?
Dimensi krusial lainnya adalah bagaimana partisipan berinteraksi dalam
sebuah diskusi publik atau pembuatan kesepakatan. Terdapat model-model
komunikasi dan pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi publik, yaitu:
pertama, mengadakan public hearings and community meetings, yang dilakukan
tanpa memandang perspektif para partisipan, termasuk politisi, aktivis, kelompok
kepentingan tertentu. Kedua, deliberasi dan negosiasi. Partisipan dibebaskan
untuk memikirkan apa yang mereka inginkan dan butuhkan, baik sebagai individu
maupun sebagai suatu kumpulan atau kelompok masyarakat. Mekanisme ini pada
akhirnya menciptakan partisipasi dengan latar belakang sama dan memiliki
pandangan yang sama.
Hal penting terakhir untuk melihat dampak dari partisipasi publik adalah
bagaimana partisipan menghubungkan kekuasaan publik yang dimiliki dengan
kegiatan yang mereka lakukan. Pada dasarnya partisipan tidak memiliki ekspektasi
nyata untuk memengaruhi kebijakan publik. Walaupun demikian, siapapun yang
berpartisipasi mengharapkan adanya keuntungan personal (personal benefits).
Forum-forum
78
secara
prinsip melibatkan
partisipan
untuk
tiga hal, yaitu
Archon Fung, 2006: 67.
170
mendengarkan, mengekspresikan preferensi, dan mengembangkan preferensi—
ketimbang melibatkan partisipan dalam membuat suatu kesepakatan. Modelmodel yang digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan cara
menerapkan model di mana pejabat publik tetap melibatkan partisipan dan
menerima input dan rekomendasi partisipan. Model lainnya, partisipan bergabung
dengan co-governing partnership untuk turut serta membuat rencana dan
kebijakan sebagai bentuk public action.
Berdasarkan konsep partisipasi masyarakat di atas dan dihubungkan
dengan pembentukan perundang-undangan, maka dapat diartikan bahwa pada
pokoknya semua pihak—baik dalam struktur kenegaraan maupun di luar struktur
kenegaraan dan pemerintahan—dapat memprakarsai gagasan pembentukan
undang-undang. Meskipun demikian, partisipasi ini mesti mengikuti bentuk
kewenangan pengusung undang-undang, yakni inisiatif yang bersifat resmi harus
datang dari Presiden, DPR, atau dari DPD. 79 Karena itu, konsekuensinya adalah,
inisiatif dari lembaga lain atau pihak lain tetap harus diajukan melalui salah satu
dari tiga pintu yakni Presiden, DPR, dan DPD.
Jimly Asshiddiqie yang mengutip pendapat Cornelius M. Kerwin menyatakan
semua pihak dapat memprakarsai gagasan pembentukan undang-undang. Prinsip
ini berlaku hampir di semua negara demokrasi.80 Perkembangannya, partisipasi
masyarakat ini merupakan konsep yang berkembang dalam sistem politik modern.
Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi
79
80
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2009: 186.
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta 2006:315.
171
adalah
suatu
tuntutan
yang
mutlak
sebagai
upaya
demokratisasi
sejak
pertengahan abad ke-20. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan,
setidaknya di atas kertas, tidak lagi semata menjadi wilayah kekuasaan mutlak
birokrasi dan parlemen.81
Samuel P Huntington dan Joan M Nelson mendefinisikan partisipasi publik
sebagai activity by private citizens designed to influence government decision-
making. Jadi, partisipasi publik menjadi salah satu alat dalam menuangkan nilainilai yang berkembang di masyarakat ke dalam suatu peraturan. 82
Lothar Gundling mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya peran
serta masyarakat dalam penyusunan kebijakan, yakni sebagai berikut: 83
a. Informing the administration (memberi informasi kepada pemerintah)
b. Increasing the readiness of the public to accept decisions (meningkatkan
kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan)
c. Supplementing judicial protection (membantu perlindungan hukum)
d. Democratizing decision-making (mendemokrasikan pengambilan keputusan)
Perlunya
peran
serta
masyarakat
dalam
pembuatan
hukum
juga
disampaikan Satjipto Rahardjo. Menurutnya, peranan pendapat umum masyarakat
mempunyai latar belakang perkaitan dengan masalah efektivitas berlakunya
hukum.84 Suatu pembuatan hukum yang dilakukan tanpa memerhatikan pendapat
umum, mengandung risiko tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan demikian
81
82
83
84
Yuliandri, 2009 : 187.
Yuliandri, 2009 : 187
Yuliandri, 2009 : 187-188.
Satjipto Rahardjo, 2012. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung. Hlm. 157.
172
akan terjadi manakala pembuatan hukum melibatkan pendapat-pendapat yang
bertentangan dalam masyarakat. Jika negara dan pembuat kebijakan hukum tetap
memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang
isinya mendapatkan tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang
dikeluarkan akan jauh lebih tinggi dari ongkos pembentukannya.
Peran partisipasi masyarakat dalam pembuatan perundang-undangan juga
menjadi dasar filsafati hukum tentang daya mengikat hukum. Van Apeldoorn
dalam buku pengantar ilmu hukumnya membuat pertanyaan: apakah ditaatinya
hukum disebabkan hukum itu dibentuk oleh pejabat yang berwenang, atau
memang masyarakat mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai suatu
hukum yang hidup di dalam masyarakat itu?85
Menjawab pertanyaan tersebut, teori perjanjian masyarakat memberikan
landasan kepatuhan terhadap hukum sebagaimana disampaikan Hugo de Groot
(Grotius), Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel
Kant. Intinya, orang taat dan tunduk pada hukum karena berjanji untuk
menaatinya.86 Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, hasil konsensus dari
segenap anggota masyarakat. Karenanya, keterlibatan masyarakat dalam proses
penyusunan undang-undang sangat penting.
Selain teori perjanjian masyarakat, juga muncul teori kedaulatan hukum
yang juga menganggap penting adanya peran masyarakat. Menurut teori tersebut,
hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena
85
86
Van Apeldoorn, 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita: Jakarta. Hlm. 443.
Prof Dr. H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum . Citra
Aditya Bakti: Bandung. 2012: 83.
173
merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena
nilai batinnya, yang menjelma dalam hukum itu sendiri. Pandangan ini
disampaikan Mr. H. Krabbe. Menurutnya, kesadaran hukum yang dimaksud
berpangkal pada perasaan hukum bagian terbesar masyarakat.87
Konsep daya mengikat hukum ini sejalan dengan teori demokrasi yang
tidak membatasi partisipasi masyarakat sebatas memberikan suara dalam pemilu.
Teori demokrasi partisipatif mengemukakan kaitannya dengan keberadaan peran
serta masyarakat bahwa ―Warga, baik secara perseorangan maupun secara
kelompok,
bukanlah
semata-mata
konsumen
kepuasan
(consumers
of
satisfaction), tetapi membutuhkan kesempatan dan dorongan pengungkapan dan
pengembangan diri (self expression and development).
Para penganut teori participatory democracy menolak asumsi bahwa warga,
satu sama lainnya, selalu dalam keadaan konflik kepentingan. Sebaliknya mereka
justru berpandangan bahwa hakikat dari kepribadian manusia adalah saling
melengkapi dalam kehidupan bersama (collective life), sehingga satu sama lain
mampu menyelaraskan antara kepentingan bersama (social interests) melalui
cara-cara yang dapat diterima.
Menurut penganut teori demokrasi partisipasi, hakikat demokrasi adalah
untuk menjamin bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah
menyertakan warga yang mungkin terkena dampak dari keputusan-keputusan itu.
Oleh sebab itu, pengertian demokrasi adalah memberi dorongan berperan serta
dalam pembuatan keputusan-keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
87
Prof Dr. H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi. 2012 : 84.
174
Dengan demikian, teori ini tidak hanya ingin mewujudkan pemerintahan yang
demokratis, tetapi juga masyarakat yang demokratis. 88
Dilihat
dari
teori
pembentukan
undang-undang,
keharusan
adanya
partisipasi masyarakat merupakan tujuan dari the synopsis policy theory (teori
tahapan kebijakan sinoptik). Menurut teori ini, pembentukan undang-undang
sebagai suatu proses yang terorganisasi dan terarah secara baik terhadap suatu
pembentukan keputusan yang mengikat, merupakan upaya mencari dan
menentukan arahan bagi masyarakat secara keseluruhan. Suatu kebijakan
dibentuk dan bertanggung jawab agar tercapai ketepatan, keseimbangan, dan
keterlaksanaan dari suatu aturan. 89
Menurut A. Hamid S. Attamimi, partisipasi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang merupakan pelaksanaan asas konsensus (het beginsel van
consensus). Yakni, adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban
dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Hal ini dilakukan mengingat pembentukan peraturan
perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai
tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat. 90
Berdasarkan pandangan ahli-ahli tentang keterbukaan dan partisipasi
masyarakat, maka bisa disimpulkan bahwa peran serta masyarakat dalam
pembentukan
undang-undang
menjadi
suatu
keharusan
dalam
proses
pengambilan keputusan tentang substansi yang akan diatur.
88
89
90
RB Gibson, The Value of Participation, dalam P.S Elder (ed), Environmental Management and
Public Participation, Canadian Environmental Law Association, Ottawa, 1981 : 22-23.
Yuliandri, 2009 : 201.
Maria Farida, 2007: 339.
175
BAB VI
BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH
Budaya birokrasi pemerintah Indonesia terbentuk melalui proses sejarah
yang panjang yang dimulai dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia. Pada masa penjajahan, birokrasi pemerintahan diwarnai oleh
kekuasaan colonial Belanda dan pemerintah Jepang hingga masa kemerdekaan
Republik
Indonesia tahun
1945. Pascakemerdekaan, birokrasi
pemerintah
176
Indonesia terus berproses dalam rangka mencari bentuk yang ideal hingga
diterapkannya otonomi daerah sekarang ini.
Proses sejarah yang panjang telah banyak menunjukkan bukti bahwa sosok
birokrasi Indonesia masih jauh dari gambaran ideal yang diharapkan oleh
kebanyakan rakyat Indonesia. Sosok ideal birokrasi pernah digambarkan oleh Max
Weber yang disebutnya dengan bentuk legal-rasional yang ditandai oleh tingkat
spesialisasi yang tinggi, struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas
kewenangan yang jelas, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat
pribadi, rekrutmen yang didasarkan atas kemampuan teknis, diferensiasi antara
pendapat resmi dan pribadi.
Kenyataannya, birokrasi yang semula diidealkan bersifat legal-rasional itu
semakin
mekar
fungsi
dan
peranannya
dari
sekadar
instrumen
teknis
penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terikat konstitusi dan aturanaturan hukum objektif, netral, dan apolitik. Bergulirnya roda reformasi sejak 1998
menuntut agar terjadi perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah
birokrasi. Jika birokrasi tidak melakukan perubahan maka ia akan memasuki tahap
kemelut yang akan merugikan masa depan sistem politik Indonesia.
Mengawali agenda reformasi, beberapa undang-undang yang dianggap
tidak relevan lagi isinya diganti dengan undang-undang yang baru. Di bidang
pemerintahan, ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi pada tahun 2004 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pada tahun 2008
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Kemudian akhir-
177
akhir ini disyahkannya RUU Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang
kemudain terbitnya Perpu no 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah.
Perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan tersebut sebagai akibat dari
adanya politisasi kebijakan otonomi daerah tentu akan membawa berbagai
konsekuensi yang cukup signifikan bagi para birokrat sebagai pelaksana
penyelenggara negara.
A. Sejarah Pemerintahan Daerah
Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia
pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi
perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami
perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan
daerah seperti sekarang ini (2014). Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa
berlakunyaUndang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum.
Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang
berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang.
Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak
dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah.
Dalam bab ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah
dikemukakan. Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah
otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan
eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode
pemerintahan daerah.
1.
Periode I (1945-1948)
178
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang
ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite
Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan
pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan
melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya
Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang
dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Oleh PPKI, secara umum,wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsiprovinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masingmasing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkankaresidenan dikepalai oleh
Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh
Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah
dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan
karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula
Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte)
yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih
lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayahwilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti
berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui
179
perwakilan yang disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada
pada masa itu adalah:
1) Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)
2) Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3) Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat
Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente/Stadsgemeente)
4) Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5) Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6) Desa (disebut Ku oleh Jepang)
Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945
tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan
setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota
otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah
Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk
Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah adalahKomite Nasional Daerah bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari
dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh
Kepala Daerah.
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat
membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku
(termasuk didalamnyaPapua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan
harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu
180
pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera
Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian
timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.
2.
Periode II (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan
dan kedudukanpemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia
memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah
otonom khusus yang disebut dengandaerah istimewa. Daerah otonom khusus
yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan
dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang
telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti
pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga
tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Tabel 4
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1948-1957
Tingkatan Daerah
Otonom
Nomenklatur Daerah
Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah
Otonom Khusus
Tingkat I
Provinsi
Daerah Istimewa Setingkat
Provinsi
Tingkat II
Kabupaten/Kota Besar
Daerah Istimewa Setingkat
Kabupaten
181
Tingkat III
Desa, Negeri, Marga, atau
nama lain/Kota Kecil
Daerah Istimewa Setingkat
Desa
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
3) Eksekutif
4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD)
DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD
dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa
jabatan Anggota DPRDadalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam
UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih
oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.
DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD secara bersamasama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan
memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan
dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam
DPRD. Masa jabatan anggota DPDsama seperti masa jabatan DPRD yang
bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah
yang bersangkutan.
Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat
dan diberhentikan dengan ketentuan umum:
182
1) Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan
oleh DPRD Provinsi.
2) Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri
dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.
3) Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh
Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri,
Marga atau nama lain/Kota Kecil.
4) Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas
usul DPRD yang bersangkutan.
5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga
yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia
dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang
Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama
dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah
anggota DPD.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi
Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan
daerah di wilayahIndonesia yang tersisa yaitu:
a. Wilayah Sumatera meliputi: Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu,
dan Lampung.
b. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta,
dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman)
183
Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini berlaku
untuk daerah seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan.
Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu
wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU
NIT No. 44 Tahun 1950.
3.
Periode III (1957-1965)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokokpokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun
1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950.
Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah
otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang
disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut
memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Tabel 5
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1957-1965
Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah Otonom
Khusus
Tingkat I
Daerah Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja
Daerah Istimewa Tingkat ke I
Jakarta Raya
Tingkat II
Daerah Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja Daerah Istimewa Tingkat ke II
Tingkat III Daerah Swatantra Tingkat ke III
Daerah Istimewa Tingkat ke III
184
Tingkatan tersebut tidak berlaku pada Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta
Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra
tingkat lebih rendah.
Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah
Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah
zaman Hindia Belanda danRepublik II (Pemerintahan Negara Federal RIS).
Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya
menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
3) Eksekutif
4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya
kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD
diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah
empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa
masa empat tahun tersebut. Jumlah anggotaDPRD ditetapkan dalam UU
pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan
Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.
Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD
menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan
185
tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib
memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan
dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam
DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang
bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya
untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam
peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerahkarena
jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan
dari, anggota DPD bersangkutan.
Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala
Daerah dipilih oleh DPRDdengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh
Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau
penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III.
Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang
dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa
jabatan tersebut.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari
keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik
dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh
Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau
penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk
Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara
186
seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil
Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi
Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan
tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan
dengan sistem ketatanegaraan Republik IV. Penyesuaian pada tahun 1959
dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan
itu pemerintahan daerah terdiri dari:
1) Eksekutif
2) Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
3) Legislatif
4) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah
Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II
dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang
diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala
Daerah sama seperti masa jabatanDPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara
dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa
menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia
dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk
187
Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara
yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa.
BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD
sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang
ditetapkan Mendagri dan Otda.
Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden
No. 5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRDGR) dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala
Daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah
dan BPH disesuaikan dengan masa jabatan DPRD-GR
4.
Periode IV (1965-1974)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1
Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2
tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7
tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis
daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Tabel 6
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1965-1974
No.
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom
1.
Tingkat I
Provinsi/Kotaraya
2.
Tingkat II
Kabupaten/Kotamadya
188
3.
Tingkat III
Kecamatan/Kotapraja
Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1957
boleh
dikatakan
dihapus
secara
sistematis
dan
diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan
pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19
Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat
Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel
ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri
dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3) Eksekutif
4) Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian
Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan
dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah
5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima
tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur
dengan UU tersendiri. PimpinanDPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa
189
orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam
menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.
Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota BPH
adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah
merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah.
Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki
yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat
dan diberhentikan oleh:
a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II,
dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi
Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.
Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah:
a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.
b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.
Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas
daerahnya,
berhak
mengurus
rumah
tangganya
sendiri,
memilih
penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan
pemerintahan desapraja terdiri atas Kepala Desapraja, Badan Musyawarah
190
Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja,Petugas Desapraja, dan Badan
Pertimbangan Desapraja.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi
Republik IV (UUD 1945). Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun
1948, UU ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan
otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi
khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88[8]. Hal tersebut
juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No.
18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965,
yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan,
menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus.
Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan
tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak
dapat diberlakukan.
5.
Periode V (1974-1999)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun
1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum
Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas
desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi,
yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7
Tingkatan Daerah Otonom/Wilayah Administratif di Indonesia
191
Periode 1974-1999
No.
1.
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom
Nomenklatur Wilayah Administratif
Tingkat I
Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah
Khusus Ibukota/Daerah Istimewa
Provinsi/Ibukota Negara
2.
Tingkat II
Daerah Tingkat II (Dati II)
Kabupaten/Kotamadya
3.
Tingkat IIa
-
Kota Administratif
4.
Tingkat III
-
Kecamatan
Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas
Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota
Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama
dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah
ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah
Otonom disatukan.
1. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut
Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I
Riau.
2. Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus
Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
192
3. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut
Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Untuk Yogyakartadisebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II
disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten
Daerah Tingkat II Kampar.
5. Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II
disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya
Daerah Tingkat II Pakanbaru.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3) Eksekutif
4) Kepala Daerah
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik
berat
Otonomi
Daerahdiletakkan
pada
Daerah
Tingkat
II.
Dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinasdinas Daerah.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji,
masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya
diatur dengan UU tersendiri.
193
Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat
kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam
Negeri dan selanjutnya diangkat olehPresiden. Kepala Daerah Tingkat II
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala
Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I
diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil
Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu,
Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati
atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam
rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi
atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah
Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur.
Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten
atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil
Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil
Walikotamadya.
Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan.
194
1) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah.
2) Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta
disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala
Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta.
4) Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala
Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Sumedang.
5) Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Garut.
Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa
(LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat
195
Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala
Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa
karena jabatannya adalah Sekretaris LMD.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan.
Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan
tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan
terdiri atas Kepala Kelurahan danPerangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris
Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 UUD
1945 dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada dalam
penjelasan Konstitusi. UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam
perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal dari
koloni Portugis pada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi
Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun
1990 Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah
otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta.
6. Periode VI (1999-2004)
196
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi
satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga
daerah yaitu Aceh, Jakarta, danYogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan
Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak
ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah
administratif.
Undang-undang
menentukan
bahwa
pemerintahan
lokal
menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan
DPRD
menurut
asas
Desentralisasi.
Daerah
Otonom
(disebut
Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan lokal terdiri dari:
a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD
sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari
Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan,
pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
197
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima
tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian
jabatan Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui
pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat
lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah
juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan
sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi.
Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota.
Dalam
menjalankan
tugas
dan
kewenangan
selaku
Kepala
Daerah,
Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda dari
peraturan mengenai daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Ini dikarenakan
Desa atau yang disebut dengan nama lain (Nagari,Kampung, Huta, Bori, Marga
dan lain sebagainya) memiliki susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat
istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan
Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama
lain dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa. Masa
198
jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan
terhitung sejak tanggal ditetapkan.Badan Perwakilan Desa atau yang disebut
dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Anggota Badan Perwakilan Desa
dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan
Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk lembaga
lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan denganPeraturan Desa. UU
ini disusun berdasarkan UUD 1945 pasal 18 dan dikembangkan dengan
mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan konstitusi pasal 18 khususnya bagian
II. UU ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa UUD 1945 amandemen
IV, V, dan VI.
Dalam perjalanannya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur
dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999. Provinsi Aceh juga ditegaskan
keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 dan diberi otonomi
khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur
menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU
No. 21 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Provinsi Papua. Selain
pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi lainnya
mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi Timor-Timur juga
memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama Timor Leste/Timor
Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB. Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil
199
referendum atas status koloni Portugis pada 1999 setelah sekitar 23 tahun
bergabung dengan Indonesia.
7. Periode VII (mulai 2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah91. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan
perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu
Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat
daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain)
beserta
hak
tradisionalnya
sepanjang
masih
hidup
dan
sesuai
dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan92
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan
lokal secara umum terdiri dari:
a. Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
91
92
Akhir-akhir ini telah disyahkannya RUU Pemerintahan Daerah oleh DPR pada tanggal 26
Setember 2014 menjadi UU no 23 tahun 2014, yang kemudian diganti dengan Perpu No 2
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
200
b. Eksekutif (Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan
Perangkat Daerah)
Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi
dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh (Pemda Aceh)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh.
Untuk Provinsi Papua danProvinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis Rakyat
Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.
Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan
Provinsi
Aceh
disebutDewan
Perwakilan
Rakyat
Kabupaten/Kota
(DPR
Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat
Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra DPR
Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh.
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak
diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, danDPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua,
dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari
jumlah yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD.
201
Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut
Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil kepala daerah untuk provinsi
disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota
disebut Wakil Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsiyang bersangkutan dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah
kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD,
dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam
pengertian ini adalah Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh,
Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri
di Maluku. Secara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan. Pada tahun 2014, dikelularkannya Undang-Undang Nomor 6
tahun 2014 Tentang desa dengan 3 (tiga) isu penting yaitu:
a. Kedudukan dan kewenangan
b. Tata Pemerintahan dan demokratisasi
202
c. Perencanaan pembangunan dan ekonomi desa
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa
yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah
Desa terdiri atasKepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung
oleh dan dari penduduk desa yang syarat dan tata cara pemilihannya diatur
dengan Perda. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya[28]. Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota badan
permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang
ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota badan
permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan pasal 18, 18A,
dan 18B UUd 1945. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali
dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 8
Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 dan terakhir melalui
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan kemudian diubah kembali pada
tanggal 2 Oktober 2014 melalui Perpu nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
Tentang
Pemerintahan
Daerah.
Selanjutnya Daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh
diatur secara penuh dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang
203
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat
sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus
sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008).
B. Hubungan Pemerintahan
Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai hubungan kekuasaan
pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi
dalam pemerintahan negara. Pada dasarnya, guna mencapai tujuan Negara yaitu
kemakmuran rakyat, perlu adanya hubungan harmonis dari berbagai pihak.
Termasuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya hubungan yang
harmonis, diharapkan terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan negara
terhadap rakyat dapat diwujudkan.
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dapat dilihat pada hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
khususnya dalam bidang kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah
dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusanurusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung
204
jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari
penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara.
Peran pemerintah pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak
bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi,
kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan
otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada
tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah
berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah
dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma,
standar dan prosedur yang ditentukan Pusat.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah
lainnya. Hubungan tersebut meliputi:
1. Hubungan wewenang
2. Keuangan
3. Pelayanan umum
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar
susunan pemerintahan.
205
1. Hubungan Wewenang
a. Pembagian urusan Pemerintahan
Ketentuan hukum yang mengatur lebih lanjut hubungan antara pempus
dan pemda sebagai penjabaran dari dasar konstitusioanal adalah Pasal 10-18
UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam kaitannya dengan hubungan pempus dan
pemda maka adanya pembagian wewenang urusan pemerintahan. Pembagian
urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakekatnya dibagi dalam 3 kategori,
yaitu :
a) Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat
(pemerintah)
b) Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi
c) Urusan
pemerintahan
yang
dilaksanakan
oleh
pemerintah
Kabupaten/Kota
b. Kriteria
Pembagian
urusan
antar
Pemerintah,
daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota
Dalam rangka mewujudkan pembagian kewenangan yang concurren93
secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten
dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas
dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan
sebagai
suatu
sistem
antara
hubungan
kewenangan
pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
93
artinya urusan pem erintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
206
Kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait,
tergantung dan sinergis.
a) Eksternalitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan
dampak/akibat
yang
ditimbulkan
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang
ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan
kabupaten/kota,
apabila
regional
menjadi
kewenangan
provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
b) Akuntabilitas
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu
bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat
dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan
demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan
tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c) Efisiensi
Adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan
tersedianya
sumber
daya
(personil,
dana,
dan
peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil
yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila
suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan
akan lebih
berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau
207
Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah
maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau
Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih
berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian
urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian
bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup
wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran
dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.
Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi),
saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
c. Urusan Pemerintah yang menjadi urusan pempus
Urusan
pemerintahan
terdiri
atas
urusan
pemerintahan
yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang
dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah
meliputi:
208
1) Politik luar negeri; mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk
warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional,
menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan
negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan
sebagainya;
2) Pertahanan; misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,
menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian
wilayah
negara
dalam
mengembangkan
sistem
keadaan
bahaya,
pertahanan
negara
membangun
dan
dan
persenjataan,
menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap
warga negara dan sebagainya;
3) Keamanan; misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara,
menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang
melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang
kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya;
4) Yustisi; misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim
dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan
kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi,
membentuk undangundang, Peraturan Pemerintah pengganti undangundang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala
nasional, dan lain sebagainya;
209
5) Moneter
dan
menentukan
fiskal
nilai
nasional;
mata
uang,
contohnya
mencetak
menetapkan
kebijakan
uang
dan
moneter,
mengendalikan peredaran uang dan sebagainya.
6) Agama; contohnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku
secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu
agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan dan sebagainya.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan yaitu semua urusan pemerintahan di luar urusan
pempus meliputi :
1) pendidikan;
2) kesehatan;
3) pekerjaan umum
4) pekerjaan umum;
5) perumahan;
6) penataan ruang;
7) perencanaan pembangunan;
8) perhubungan;
9) lingkungan hidup;
10) pertanahan;
11) kependudukan dan catatan sipil;
12) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
13) keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
210
14) sosial;
15) ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
16) koperasi dan usaha kecil dan menengah;
17) penanaman modal;
18) kebudayaan dan pariwisata;
19) kepemudaan dan olah raga;
20) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
21) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah kepegawaian, dan persandian;
22) pemberdayaan masyarakat dan desa;
23) statistik;
24) kearsipan;
25) perpustakaan;
26) komunikasi dan informatika;
27) pertanian dan ketahanan pangan;
28) kehutanan;
29) energi dan sumber daya mineral;
30) kelautan dan perikanan;
31) perdagangan . . .
32) perdagangan; dan
33) perindustrian.
211
d. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Dalam menyelenggarakan 6 urusan pemerintahan sesuai pasal 10 ayat
3 UU No.32/2004 Pemerintah :
a) Menyelenggarakan sendiri
b) Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau
c) Dapat
menugaskan
kepada
pemerintahan
daerah
dan/atau
pemerintahan desa.
Di samping itu, penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (Pasal
10 ayat 3) Pemerintah dapat :
a) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau
b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku
wakil pemerintah,
c) atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
e. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemda
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
yang diselenggarakan berdasarkan kriteria-kriteria, terdiri atas urusan wajib
dan urusan pilihan.
1) Urusan wajib artinya : Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal
dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan
wajib menurut penjelasan UU No.32/2004 artinya suatu urusan
212
pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga
negara seperti perlindungan hak konstitusional, pendidikan dasar,
kesehatan,
pemenuhan
kebutuhan
hidup
minimal,
prasarana
lingkungan dasar; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan
masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka
menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang
berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
2) Urusan pilihan artinya : baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan
yang
secara
nyata
ada
dan
berpetensi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan menurut PP No
38/2007 meliputi :
a) kelautan dan perikanan;
b) pertanian;
c) kehutanan;
d) energi dan sumber daya mineral;
e) pariwisata;
f) industri;
g) perdagangan; dan
h) ketransmigrasian
213
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan
sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian
sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan
urusan yang didekonsentrasikan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang sesuai Pasal 13 UU No 32 tahun
2004 meliputi:
1) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4) penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) penanganan bidang kesehatan;
6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10) pengendalian lingkungan hidup;
11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
214
14) pelayanan
administrasi
penanaman
modal
termasuk
lintas
kabupaten/kota;
15) penyelenggaraan
pelayanan
dasar
lainnya
yang
belum
dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota
16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota (psl 14)
meliputi:
1) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4) penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) penanganan bidang kesehatan;
6) penyelenggaraan pendidikan;
7) penanggulangan masalah sosial;
8) pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10) pengendalian lingkungan hidup;
11) pelayanan pertanahan;
12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14) pelayanan administrasi penanaman modal;
215
15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/kepala
lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan
pilihan.
2.
Hubungan Dalam bidang keuangan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sesuai Pasal 15 ayat 1 UU No.32/2004 meliputi :
a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah
Sementara hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah
meliputi :
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan.
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
216
3.
Hubungan dalam bidang pelayanan umum
Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pempus dan pemda
(vertikal) meliputi :
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
Sementara hubungan dalam bidang pelayanan umum antar pemerintahan daerah
(horisontal) meliputi :
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan
umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
5.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya;
dan
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
217
Sementara hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a.
Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah;
b.
Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan
sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c.
Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan
sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut) meliputi:
a.
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.
pengaturan administratif;
c.
pengaturan tata ruang;
d.
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e.
ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f.
ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
218
perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi
kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber
daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah
dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota
memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
C. Struktur Organisasi Birokrasi Pemerintahan Daerah
Mendasari pada uraian terdahulu, maka dapat dikemukakan bahwa
pengertian Birokrasi Pemerintah Daerah dalam buku ini adalah Perangkat Daerah.
Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa birokrasi adalah sebuah
lembaga/organisasi yang legal rational, dimana dalam birokrasi harus memiliki
aturan yang jelas yang mengatur hubungan kerja secara impersonal. Jabatanjabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang secara teknis berkompeten atau
profesional dibidangnya. Pola rekruitmen dan promosi pegawai dalam birokrasi
didasarkan pada aturan formal. Para pegawai (birokrat) memandang tugas
sebagai karier seumur hidup dan mendapatkan kompensasi (gaji) dari tugas yang
dilaksanakannya. Sumber legitimasi dari birokrasi berasal dari aturan yang berlaku
(legalitas formal).
Dilihat dari persperktif ini maka Birokrasi pada dasarnya adalah sebuah
lembaga/ organisasi karier (nonpolitik). Karena birokrasi adalah organisasi
219
nonpolitik maka dalam kontek Organisasi Pemerintah Daerah, yang disebut
Birokrasi Pemerintah Daerah adalah Perangkat Daerah, yaitu suatu institusi yang
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Dari perspektif ini
pula dapat dikatakan bahwa Kepala Daerah adalah bukan bagian dari Birokrasi
Pemerintah Daerah, karena Kepala Daerah (Bupati) adalah sebuah institusi politik
(non karier). Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan.
Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan
Pemerintah nomor 41 Tahun 2007 tentang pedoman organisasi perangkat daerah
adalah institusi dan para pejabat pemerintahan dari jenjang paling atas sampai
bawah. Dalam hal ini pimpinan puncak Birokrasi Pemerintah Daerah adalah
Sekretaris Daerah. Meskipun Sekretaris Daerah harus bertanggung jawab kepada
Kepala Daerah (Bupati) sebagai Pejabat politik. Sekretaris Daerah Kabupaten
mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
pemerintahan, administrasi, organisasi dan tatalaksana serta memberikan
pelayanan administrative kepada seluruh Perangkat Daerah Kabupaten.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 merupakan Peraturan
Pemerintah
yang
mengatur
tentang
pedoman
dalam
penyusunan
dan
pengendalian Organisasi Perangkat Daerah yang menyeluruh dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003
tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dinilai belum cukup memberi
pedoman dalam penyusunan Organisasi Perangkat Daerah.
220
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh
perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan
kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang
diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk
badan,
unsur
pendukung
tugas
kepala
daerah
dalam
penyusunan
dan
pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga
teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas
daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
birokrasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa
setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi
tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang
bersifat konkuren berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka
dalam
implementasi
kelembagaan
setidaknya
fungsi-fungsi
pemerintahan
terwadahi pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Penyelenggaraan
diselenggarakan
oleh
urusan
seluruh
pemerintahan
provinsi,
kabupaten,
yang
dan
bersifat
kota,
wajib,
sedangkan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat
diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan
daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-
221
masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah
dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007 pada prinsipnya dimaksudkan
memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata
organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi
dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah.
Besaran
organisasi
perangkat
daerah
sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang
meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas
wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi
daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana
penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah
bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
PP 41 tahun 2007 juga menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah
besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan
variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian
ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen)
untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas
wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta
menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai
jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing
222
perangkat daerah. Dalam menentukan besaran jumlah unit kelembagaan Badan
dan Dinas serta sekretariat daerah berdasarkan PP nomor 41 tahun 2007 dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8
Penetapan Variabel Besaran Organisasi
Perangkat Daerah Provinsi
No
Variabel
Kelas Interval
Nilai
≤ 7.500.000
7.500.001 - 15.000.000
15.000.001 - 22.500.000
22.500.001- 30.000.000
> 30.000.000
8
16
24
32
40
≤ 1.500.000
1.500.001 - 3.000.000
3.000.001 - 4.500.000
4.500.001 - 6.000.000
> 6.000.000
8
16
24
32
40
1.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Provinsi di Pulau
Jawa
2.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Provinsi di luar
Pulau Jawa
3.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Provinsi di Pulau
Jawa
≤ 10.000
10.001 - 20.000
20.001 - 30.000
30.001 - 40.000
> 40.000
7
14
21
28
35
4.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Provinsi di luar
Pulau Jawa
≤ 20.000
20.001 - 40.000
40.001 - 60.000
60.001 - 80.000
> 80.000
7
14
21
28
35
5
JUMLAH APBD
≤ Rp500.000.000.000,00
5
Rp500.000.000.001,00 Rp1.000.000.000.000,00
10
Rp1.000.000.000.001,00 Rp1.500.000.000.000,00
15
Rp1.500.000.000.001,00 Rp2.000.000.000.000,00
20
> Rp2.000.000.000.000,00
25
Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007
223
Kemudian untuk menentukan besaran unit organisasi Pemerintahan
Kabupaten dapat dilihat berdasarkan tabel berikut di bawah ini:
Tabel 9
Penetapan Variabel Besaran Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten
No
Variabel
Kelas Interval
Nilai
1.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Kabupaten di
Pulau Jawa dan Madura.
≤ 250.000
250.001 - 500.000
500.001 – 750.000
750.001 – 1.000.000
> 1.000.000
8
16
24
32
40
2.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan Madura.
≤ 150.000
150.001 - 300.000
300.001 – 450.000
450.001 – 600.000
> 600.000
8
16
24
32
40
3.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Kabupaten di
Pulau Jawa dan Madura
≤ 500
501 - 1.000
1.001 – 1.500
1.501 – 2.000
> 2.000
7
14
21
28
35
4.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan Madura
≤ 1.000
1.001 – 2.000
2.001 – 3.000
3.001 – 4.000
> 4.000
7
14
21
28
35
5
JUMLAH APBD
≤ Rp200.000.000.000,00
5
Rp200.000.000.001,00 –
Rp400.000.000.000,00
10
Rp400.000.000.001,00 –
Rp600.000.000.000,00
15
Rp600.000.000.001,00 –
Rp800.000.000.000,00
20
> Rp800.000.000.000,00
25
Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007
224
Untuk menentukan besaran unit organisasi Pemerintahan Kota dapat dilihat
berdasarkan tabel berikut di bawah ini:
Tabel 10
Penetapan Variabel Besaran Organisasi
Perangkat Daerah Kota
No
Variabel
Kelas Interval
Nilai
1.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Kabupaten di
Pulau Jawa dan Madura.
≤ 100.000
100.001 - 200.000
200.001 - 300.000
300.001 - 400.000
> 400.000
8
16
24
32
40
2.
JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
Untuk Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan Madura.
≤ 50.000
50.001 - 100.000
100.001 - 150.000
150.001 - 200.000
> 200.000
8
16
24
32
40
3.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Kabupaten di
Pulau Jawa dan Madura
≤ 50
51 - 100
101 - 150
151 – 200
> 200
7
14
21
28
35
4.
LUAS WILAYAH (KM2)
Untuk Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan Madura
≤ 75
76 - 150
151 - 225
226 – 300
> 300
7
14
21
28
35
5
JUMLAH APBD
≤ Rp200.000.000.000,00
5
Rp200.000.000.001,00 –
Rp400.000.000.000,00
10
Rp400.000.000.001,00 –
Rp600.000.000.000,00
15
Rp600.000.000.001,00 –
Rp800.000.000.000,00
20
> Rp800.000.000.000,00
25
Sumber : lampiran PP 41 tahun 2007
225
Pada PP nomor 41 Tahun 2007 juga memuat perubahan nomenklatur
Bagian Tata Usaha pada Dinas dan Badan menjadi Sekretariat yang dimaksudkan
untuk lebih memfungsikannya sebagai unsur staf dalam rangka koordinasi
penyusunan program dan penyelenggaraan tugas-tugas Bidang secara terpadu
dan tugas pelayanan administratif. Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas dan
objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat
Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.
Selain itu, eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah
kabupaten/kota diturunkan yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb,
dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karir, efisiensi, dan
penerapan
koordinasi
sesuai
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
kepegawaian, namun demikian bagi pejabat yang sudah atau sebelumnya
memangku jabatan eselon IIIa, sebelum Peraturan Pemerintah tsb ditetapkan
kepada yang bersangkutan tetap diberikan hak-hak kepegawaian dan hak
administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa, walaupun organisasinya
menjadi eselon IIIb, dan jabatan eselon IIIb tersebut efektif diberlakukan bagi
pejabat yang baru dipromosikan memangku jabatan.
Beberapa perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan,
kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya
merupakan amanat peraturan perundang-undangan,
maka perangkat daerah
tersebut tidak mengurangi jumlah perangkat daerah yang ditetapkan dalam PP no
226
41 tahun 2007 tsb, dan pedoman teknis mengenai organisasi dan tata kerja diatur
tersendiri.
Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini
dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing pemerintah
daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah.
Sehingga berdasarkan ketentuan pada PP nomor 41 Tahun 2007, pemerintah
dapat
membatalkan
bertentangan
peraturan
dengan
peraturan
daerah
tentang
perangkat
perundang-undangan
dengan
daerah
yang
konsekuensi
pembatalan hak-hak keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif
lainnya.
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat
daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian
arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama, sehingga
sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah ini
mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan
Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti secretariat badan
narkoba provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga
lain untuk mewadahi penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus
dilaksanakan
oleh
pemerintah
daerah,
namun
untuk
pengendaliannya,
pembentukannya harus dengan persetujuan pemerintah atas usul kepala daerah.
227
Pengertian pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala
badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah
pertanggungjawaban
administratif
yang
meliputi
penyusunan
kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
tugas dinas daerah, sekretariat DPRD dan lembaga teknis daerah, dengan
demikian kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah
sakit daerah bukan merupakan bawahan langsung sekretaris daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi
dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi
pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja
yang jelas.
BAB VII
REKONSTRUKSI BIROKRASI INDONESIA
Rekonstruksi birokrasi dapat diartikan sebagai sebuah proses restrukturisasi
atau penataan ulang terhadap tatanan birokrasi yang telah ada untuk menjadi
lebih baik. Ketika terjadi dinamika pada lingkungan baik internal maupun
eksternalnya maka birokrasi juga harus mengadaptasi dinamika tersebut supaya
dapat survive. Adaptasi terhadap dinamika yang terjadi menyebabkan birokrasi
228
harus tampil sesuai dengan realitas yang ada. Restrukturisasi atau penataan
kembali organisasi birokrasi pada hakekatnya adalah aktivitas untuk menyusun
kelembagaan birokrasi yang akan diserahi bidang kerja, tugas atau fungsi
tertentu.
Keberhasilan restrukturisasi organisasi tergantung pada 2 hal yaitu
penetapan kebijakan perubahan struktur yang mampu mengantisipasi perubahan
struktur di masa depan, dan partisipasi seluruh anggota organisasi, kemampuan
mengubah tingkah laku mereka, keterampilan dan sikap. Kegiatan mendesain
struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor
kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang
akan diikuti. Oleh karena itu, struktur organisasi sangat penting bagi suatu
organisasi agar mekanisme kerja dapat berjalan dengan baik.
Rekonstruksi birokrasi juga dapat mengandung makna reformasi birokrasi
yang telah ada dengan mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap kelembagaan
birokrasi.. Kata reformasi digunakan sebagai upaya kolektif dan korektif terhadap
penyimpangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan
tindakan penguasa yang
betentangan dengan akal sehat yang dilancarkan oleh kelompok atau pihak yang
merasa tertindas94. Menurut Oxford Advanced Learner‘s Dictionary kata reform
berarti mengubah sesuatu menjadi lebih baik dari yang sudah ada. 95
Reformasi dalam bahasa inggris dikenal dengan reformation atau reform
(perbaikan/pembaruan). Secara sederhana dalam etimologi, reformasi terdiri dari
94
95
Rewansyah, Asnawi, Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance, Jakarta, Yusaintanas
Prima, 2010:117.
Rewansyah 2010 :118
229
dua suku kata yakni re (kembali) dan formasi (susunan/barisan). Tetapi
pengertian tersebut belum memberikan arti mendalam dari reformasi. Untuk lebih
jelasnya, dapat diamati dalam pengertian secara terminologi sebagai berikut :
1) Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) reformasi adalah perubahan
secara drastis untuk perbaikan.
2) Menurut Eko Prasojo dalam bagian pengantar bukunya berjudul ‗reformasi
kedua, melanjutkan estafet reformasi‘ (2009), reformasi merujuk pada
upaya perubahan yang dikendaki (intended change) dalam suatu kerangka
kerja yang jelas dan terarah. Reformasi harus menyentuh berbagai aspek
sesuai porsi dan kedudukannya masing-masing.
Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara
teratur pekerjaan dari banyak orang. Frits Morstein Marx merumuskan birokrasi
sebagai
tipe
organisasi
yang
dipergunakan
pemerintah
modern
untuk
melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam
sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. 96
Prayudi Atmosudirjo mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai tiga arti 97
yaitu :
1) Birokrasi sebagai suati tipe organisasi,
2) Birokrasi sebagai sistem,
3) Birokrasi sebagai jiwa kerja. Selanjutnya
96
97
Santosa, Pandji, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung : Refika
Aditama, 2008: 2
Pasolong, Harbani, Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta, 2008 : 67
230
Birokrasi sebagai lembaga pemerintah yang menjalankan tugas pelayanan
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah hingga tingkat desa.
Sekurang-kurangnya ada tiga macam arti birokrasi
98
yaitu:
1) Birokrasi diartikan emerintahan biro oleh pegawai yang diangkat pemegang
kekuasaan, pemerintah, atau pihak atasan dalam organisasi formal.
2) Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan.
3) Birokrasi sebagai tipe ideal sebuah organisasi yang bermula dari teori Max
Weber.
Pada periode 1999-2004 dilakukan amandemen UUD 1945. Dimulai tahun
1999 (amandemen I), 2000 (amandemen II), 2001 (amandemen III) dan 2002
(amandemen IV). Dengan sendirinya, hasil amandemen tersebut mempengaruhi
sistem birokrasi pemerintah sampai saat ini.
Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia masa orde baru, orde lama dan
orde reformasi harus diperbaiki sampai pada akarnya. Permasalahan birokrasi
seolah-olah sudah membudaya dalam diri birokrat. Ibarat semua pohon yang
memiliki banyak komponen mulai dari ujung daun sampai ujung akar. Begitupun
dalam birokrasi pemerintahan, perbaikan dimulai dari ujung paling atas sampai
ujung paling bawah dalam bentuk cross sectional atau perpaduan verticalhorisontal untuk semua aspek kehidupan (hukum, ekonomi, politik, administrsi,
pendidikan, dll).
Secara umum reformasi birokrasi diartikan suatu perubahan yang
terintegrasi secara kompleks meliputi sistem, struktur dan watak. Ketiga hal ini
98
Rewansyah, 2010 : 118
231
diharapkan dilaksanakan secara beriringan karena satu sama lain saling berkaitan
Agenda reformasi birokrasi merupakan agenda strategis nasional. Akibat dari
patologi birokrasi dapat mengakibatkan permasalahan pada sektor lainnya. Oleh
karena itu, hakikat reformasi birokrasi mengarah pada perubahan yang
sebenarbenarnya tanpa ada tendensi atau intervensi dari pihak manapun dengan
prinsip keadilan dan persamaan. Bukan hanya reformasi aspek struktur tetapi juga
reformasi system yang diberlakukan di pemerintahan karena kerancuan system
akan berdampak signifikan pada aspek lainnya.
Begitu pula dengan watak, kiranya perlu di reformasi karena meskipun
struktur dan sistem baik tetapi watak atau etika birokrat yang apatis maka akan
berdampak pula pada struktur dan sistem. Jadi, ketiga dimensi ini harus di
sinergikan satu sama lain layak suatu siklus roda yang saling kait mengait.
A.
Arah dan Muatan Reformasi Birokrasi.
Organisasi dapat mencapai level kompetensi dengan cara mengambil
masalah secara kompleks dan memecahkan kedalam bentuk yang lebih kecil
karena melalui cara tersebut tugas lebih mudah dikelola99. Pernyataan tersebut
mendukung kedudukan birokrasi sebagai model organisasi modern. Ada beberapa
komponen yang perlu diperhatikan dalam reformasi birokrasi. Namun dalam
realitasnya, birokrasi mengalami banyak masalah. Maka sesuai dengan maksud
dan tujuannya, birokrasi perlu direformasi agar mekanisme tata kelola pemerintah
99
Rourke, Francis E, Bureucracy, Polities, and Public Policy, Toronto : Little Brown and Company
1922 : 16
232
bisa lebih bagus. Dalam komponen
ini, perlu
kembali
meninjau
ulang
permasalahan yang mendasar dalam birokrasi.
Pada umumnya birokrasi memiliki kelemahan sebagai model organisasi
modern.
Bahkan
melahirkan
patologi
yang
dapat
melemahkan
sistem
pemerintahan pada suatu negara. Patologi birokrasi di Indonesia meliputi birokrasi
paternalistis, pembengkakan anggaran, prosedur berlebihan, pembengkakan
birokrasi, fragmentasi birokrasi. Patologi birokrasi yang terjadi di Indonesia
berimplikasi pada kinerja birokrasi publik. Pada dasarnya pernyakit tersebut sudah
klasik, namun sampai saat ini terasa sulit untuk menghilangkan penyakit tersebut.
Sebut saja birokrasi paternalistis yang sudah ada sejak awal kemerdekaan bahkan
pra kemerdekaan.
Jika dihitung mundur dengan bermula dari proklamasi kemerdekaan,
patologi birokrasi paternalistis sudah melanda tata pemerintahan selama 67 tahun.
Dimensi waktu yang sudah lebih dari setengah abad. Malah membuat patologi
birokrasi semakin meluas. Usaha dalam mengimplementasikan konsep David
Osborne dan Peter Plastrik mengenai ‗memangkas birokrasi‘ masih jauh dari
harapan, perkembangan jumlah pegawai sampai tahun 2009 masih terjadi. Jumlah
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sampai dengan akhir 2013 adalah 4,46 juta orang.
Dalam kurun waktu 10 tahun pertumbuhannya mencapai 22,47% dengan laju
pertumbuhan rata-rata 1,63%. Kenaikan tertinggi terjadi pada periode 2008
menuju 2009 dengan kenaikan mencapai 10,8%. Pada akhir tahun 2010 tercatat
jumlah PNS telah mencapai 4,59 juta orang. Pada 2011 jumlahnya menjadi 4,52
233
juta orang. Sementara pada 2012 sebesar 4,46 juta orang dan pada 2013 turun
tipis sekitar 1000 orang. 100
Pos anggaran juga semakin bertambah. Maka peluang untuk korupsi
terbuka lebar. Sebenarnya logika reformasi birokrasi sangat sederhana, tetapi
malah sulit untuk dijalankan. Cukup dimulai dari pimpinan atau atasan. Ada
kesadaran obsesi dan komitmen diharapkan datang dari atas agar bawahan lebih
mudah diperbaiki101. Potret patologi terjadi juga disebabkan oleh kelemahan
birokrasi secara umum seperti standar efisiensi fungsional kurang diperhatikan,
penekanan yang berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas dan hierarki,
penyelewengan tujuan dan pita merah102. Jangan sampai pendapat Geral Caiden
yang menyatakan bahwa ‗reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti
permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas
dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian
memadai pada reformasi administrasi‘ menjadi suatu keniscayaan.
Hal senada dibahasakan oleh Tjokromidjojo103 bahwa didalam kenyataannya
birokrasi pemerintahan di dalam negara-negara yang relatif kurang maju
seringkali ditujukan tidak kepada usaha pencapaian tujuan-tujuan secara teratur,
tetapi untuk tujuan-tujuan yang lebiih bersifat pribadi ataupun kepentingan
kelompok masyarakat tertentu. Meskipun motif dasar sebuah sistem birokrasi
100
101
102
103
detik.com,
Jumlah
PNS
Makin
Gemuk
Dalam
10
Tahun
Terakhir,
https://finance.detik.com/read/2014/09/01/065131/2677344/4/jumlah-pns-makin-gemukdalam-10-tahun-terakhir.
Utomo, Warsito, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006:210.
Ali Mufiz dalam Santosa, 2008.
Tjokromidjojo, Bintoro, 1974, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES,
1972:76.
234
rasional dan efisien dalam mencapai tujuan.Tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi
membawa ke dalam bentuk tidak efisien pada dirinya sendiri.
Pemerintah wajib melakukan upaya pemecahan masalah. Untuk menjawab
masalah demi masalah yang muncul dalam birokrasi maka perlu menerapkan
prinsip good governance yang dipadukan dengan good mindset dan good
cultureset. Terutama yang wajib dilakukan pemerintah adalah menetralkan
birokrasi dari politik. Pelaksanaan model trias politica dengan sistem multipartai di
Indonesia membuat birokrasi cenderung kehilangan arah dan jati dirinya.
Tingginya intensitas politik dalam seluruh aspek kehidupan memaksa pelaksanaan
birokrasi ideal semakin tidak jelas. Pada kondisi sebaliknya, ketika reformasi
birokrasi berhasil diterapkan maka ranah yang lainnya dengan sendirinya akan
membaik.
Tuntutan masyarakat menjadi permasalahan tersendiri yang harus diatasi
oleh pemerintah. Adapun beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan
birokrasi104, yaitu :
a. Manajemen Perubahan, Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah
secara sistematis dan konsisten dari sistem mekanisme kerja organisasi yang
meliputi Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) Pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture-set) birokrat. Tetapi keberadaan 3 indikator
tersebut belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan
produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki
104
Muskamal, 2013, Model Assesmen Kebutuhan Pengembangan Kapasitas ( Capacity Building
Need Assesment ) Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, LAN-Pusat
kajian dan Diklat Aparatur II, Makassar.
235
pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik
(better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).
b. Peraturan perundang-undangan, Beberapa peraturan perundang-undangan di
bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak
jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat
maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya
atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak
peraturan perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika
perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat.
c.
Organisasi dan Tata laksana, Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan
tepat ukuran (right sizing). Demikianhalnya dengan belum meningkatnya
penggunaan teknologi Informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen
pemerintahan efesiensi dan efektivitas bisnis proses dan mekanisme kerja/
prosedur dalam sistem manajemen yang belum terlaksana secara optimal
juga.
d. Manajemen SDM Aparatur, Masalah utama SDM aparatur negara adalah
alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial
(daerah) tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah.
Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara
optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi.
Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot
pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang
236
ditetapkan berdasarkan golongan/pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan
beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya
dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin
kesejahteraan. Demikian juga dengan belum diterapkannya secara optimal
sistem rekruitmen dan promosi serta pengembangan kualitas aparatur yang
berbasis kompetensi dan transparan.
e. Penguatan Pengawasan, Pengawasan belum mampu meningkatkan aspek
penyelenggaraaan Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN terutama pada
aspek meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara,
belum meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara, belum
meningkatnya
status
opini
BPK,
dan
belum
menurunnya
tingkat
penyalahgunaan wewenang.
f.
Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Laporan akuntabilitas kinerja dinilai belum
maksimal, demikian juga dengan belum terbangunnya sistem yang mampu
mendorong tercapainya kinerja organisasi yang terukur, serta belum
maksimalnya penggunaan
(IKIU ) pada Pemerintah Daerah.
g. Peningkatan Kualitas Pelayanan publik, Pelayanan publik belum dapat
mengakomodasi
memenuhi
kepentingan
hak-hak
dasar
seluruh
warga
lapisan
masyarakat
negara/penduduk.
dan
belum
Penyelenggaraan
pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan
menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.
h. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan, belum lengkapnya laporan monitoring,
laporan evaluasi tahunan serta evaluasi lima tahunan.
237
Maraknya kasus korupsi harus diakui salah satu dampak buruk dari
lemahnya birokrasi. Oleh karena itu perlu memahami esensi birokrasi secara
komprehensif terkait patologi birokrasi, masalah birokrasi dan langkah konkrit
pelaksanaan reformasi birokrasi. Sangat menggilitik ketika KPK merilis informasi
bahwa latar belakang koruptor sepanjang tahun 2004-Agustus 2012 berasal dari
pejabat eselon I, II dan III. Notabene jabatan eselon merupakan jabatan tertinggi
birokrat. Mestinya pejabat dalam ranah pemerintahan harus memberikan tauladan
yang terbaik kepada bawahannya. Bukan malah sebaliknya karena reformasi
birokrasi harus dimulai dari pusat atau jabatan tertinggi.
Untuk mendorong timbulnya reformasi birokrasi, Thoha mempersyaratkan 4
hal105 yaitu :
a. Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaruan
b. Memahami perubahan yang terjadi dilingkungan strategis nasional
c. Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global
d. Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigm manajemen pemerintahan
Keempat aspek ini mempertegas perlunya keseriusan Presiden selaku
pucuk tertinggi dalam pemerintahan. Jadi perlu ada keberanian dalam melakukan
terobosan baru dalam pemerintahan. Minimal mengikuti keberanian Woodrow
Wilson saat menjadi Presiden Amerika Serikat yang mampu menerapkan konsep
baru dalam memperbaiki pemerintahannya. Mengamati kondisi sekarang banyak
hal yang menjadi pekerjaan birokrasi pemerintah mulai dari seleksi CPNS sampai
105
Thoha, Miftah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana
Prenada, 2008: 106.
238
pada pengaturan dana pensiun. Dengan demikian, yang diperlukan adalah
berupaya melakukan reformasi birokrasi.
Arah dan kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi secara nasional mulai
berjalan dan ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, sedangkan operasionalisasinya
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010-2014. Berdasarkan arahan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional
dan sejalan dengan proses pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan
Kementerian/Lembaga, pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah
dilaksanakan mulai tahun 2012.
Masing-masing pemerintah daerah mempunyai kondisi obyektif yang
beragam, dalam hal karakteristik, kesiapan aparatur, dan lingkungan strategis.
Oleh karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah dilakukan
secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah
tersebut. Untuk memastikan keberhasilan reformasi birokrasi, maka pelaksanaaan
reformasi birokrasi pada pemerintah daerah diawali dengan ditetapkannya
pemerintah
daerah
yang
menjadi
pilot
project.
Bersamaan
dengan
itu,
pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah dapat dilakukan pada
pemerintah daerah nonpilot project.
Dengan adanya Grand Design Reformasi Birokrasi maka pelaksanaan
reformasi birokrasi yang akan dilaksanakan harus bersandar atau mengacu pada
ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk tetap menjaga kelangsungan reformasi,
239
dimana pelaksanaan sering dihadapkan pada berbagai kendala baik yang bersifat
internal maupun eksternal maka dibutuhkan adanya pengendalian. Pengendalian
dimaksudkan untuk menjaga, mengkoreksi dan meluruskan kembali apabila terjadi
penyimpangan dari rencana strategis yang telah ditentukan. Akhirnya untuk tetap
menjaga agar reformasi tetap sesuai dengan kebutuhan maka perlu dilakukan
evaluasi secara berkala.
Kebijakan reformasi birokrasi diarahkan pada upaya-upaya pembentukan
profil birokrasi yang efisien, mampu, tanggap dan dinamis terhadap tuntutan yang
ditujukan kepada birokrasi itu sendiri, baik berasal dari lingkup nasional, regional
dan internasional yang berjalan kearah good governance106. Sasaran reformasi
birokrasi adalah :
a. Birokrasi yang bersih
b. Birokrasi yang efektif dan efisien
c. Birokrasi yang produktif
d. Birokrasi yang transparan
e. Birokrasi yang terdesentralisasi
Terkait dengan arah kebijakan yang lebih komplit, dijelaskan oleh
pemerintah dalam :
a. Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010 – 2025
b. Permenpan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010 – 2014.
106
Rewansyah, 2010:149
240
c.
Permenpan RB tentang:
1) Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi K/L dan Pemda
(Permenpan RB No. 7/2011)
2) Pedoman Penilaian Dokumen Usulan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
(Permenpan RB No. 8/2011)
3) Pedoman Penyusunan Road Map Birokrasi K/L dan Pemda (Permenpan RB
No. 9/2011)
4) Pedoman Pelaksanaan Quick Wins (Permenpan RB No. 10/2011)
5) Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan (Permenpan Rb
No. 11/2011)
6) Pedoman Penataan Tatalaksana (Business Process) (Permenpan Rb No.
12/2011)
7) Kriteria Dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokras (Permenpan Rb No.
13/2011)
8) Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge
Management) (Permenpan Rb No. 14/2011)
9) Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Dan Tunjangan
Kinerja Bagi K/L (Permenpan Rb No. 15/2011).
Dalam mempercepat program reformasi birokrasi maka pemerintah
menetapkan suatu kebijakan yang disebut 9 program percepatan reformasi
birokrasi yaitu :
a. Penataan organisasi/birokrasi
b. Penataan kualitas dan distribusi PNS
241
c. Sistem promosi dan seleksi secara terbuka
d. Profesionalisasi PNS
e. Pengembangan sistem e-government
f. Debirokratisasi dan deregulasi izin usaha
g. Peningkatan akuntabilitas dan tranparansi
h. Penataan remunerasi
i. Efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana
Reformasi Birokrasi yang dikehendaki meliputi Organisasi dan Manajemen
Pemerintah. Organisasi Pemerintah Daerah tidak lagi bersifat homogen, tetapi
disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan sehingga model organisasi Pemerintah
Daerah tidak hanya line and staff tapi bisa mengembangkan organisasi fungsional
atau organisasi matriks. Reformasi Manajemen pemerintahan dilakukan dengan
menyempurnakan pengelolaan SDM (Sistem Rekruitmen, Sistem Pengembangan
Pegawai, Sistem Karier, Sistem Penggajian, Sistem kesejahteraan, sistem penilaian
kinerja pegawai, Sistem pemberhentian pegawai), Pengelolaan Keuangan (system
penganggaran, sistem pertanggungjawaban keuangan), Pengelolaan Sarana dan
Prasarana (sistem pengadaan, pemeliharaan, penghapusan) serta Prosedur Kerja
(hubungan kerja, koordinasi). Menyempurnakan Proses Perencanaan (integrasi
rencana Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota), Pengorganisasian, Pelaksanaan dan
Pengawasan serta Pengendalian.
242
Untuk mewujudkan good local governance, Reformasi Birokrasi di
Pemerintah Daerah dapat dilakukan dengan mengadakan pembaharuan dalam
hal-hal antara lain : 107
1) Penyelenggaraan
Pemerintahan
dengan
semangat
desentralisasi,
kewenangan tidak tersentralisasi di Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi
dapat didesentralisasikan dengan pola delegasi ke Pemerintah Kecamatan
dan
Pemerintah
Kelurahan/Desa.
Semangat
ini
dilakukan
untuk
memberdayakan Pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat dalam
memberikan pelayanan publik.
2) Dikembangkannya kelembagaan yang semi otonom yang memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat dan merasionalisasi (right seizing)
kelembagaan unsur lini yang tidak memberikan layanan langsung dengan
mengembangkan organisasi matriks atau organisasi fungsional.
3) Dikembangkannya lembaga pengawas independen yang bebas dari
pengaruh Eksekutif dan legislatif. Bawasda yang ada saat ini merupakan
pengawas
internal
Pemerintah
Daerah
dan
tidak
memiliki
otoritas
melakukan pengawasan kepada legislatif.
4) Masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menempatkan peran sesuai
dengan posisi atau kedudukannya, maka untuk mencegah intervensi politik
terhadap birokrasi atau untuk mencegah terjadinya politisasi birokrasi maka
konsepsi dikotomi politik-administrasi memungkinkan untuk dikembangkan
107
Asep Kartiwa, Reformasi Birokrasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Baik (Good
Local Governance) Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda Mahasiswa STISIP
Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005 bertempat di Gedung Anton Soedjarwo
Secapa POLRI Sukabumi.
243
kembali. Perwujudan dikotomi politik dan administrasi dapat dilakukan
dengan mengurangi kewenangan Pejabat politik dalam pengangkatan dan
pemberhentian pejabat birokrasi.
5) Reformasi dilakukan secara sistematis dan terpadu, pembaharuan satu
aspek harus didukung oleh pembaharuan aspek yang lain. Misalnya
pembaharuan dengan meningkatkan kesejahteraan pegawai akan sia-sia
apabila tidak didukung oleh sistem penilaian kinerja dan sistem sanksi
(Punishment).
Dengan adanya pembaharuan dalam sistem administrasi pemerintahan
pada tahap selanjutnya akan merubah pola pikir dan budaya birokrasi. Dengan
adanya perubahan sistem yang didukung oleh perubahan perilaku birokrasi maka
akhirnya akan meningkatkan kinerja pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan
fungsi pemerintahan baik pembangunan maupun pelayanan kepada masyarakat.
B.
Proses Perjalanan Reformasi Birokrasi
Dengan diimplementasikannya paket peraturan otonomi daerah yang baru,
maka Pemerintah Daerah salah satunya harus melakukan restrukturisasi terhadap
birokrasinya. Keharusan Pemerintah Daerah untuk melakukan restrukturisasi
terhadap
birokrasi
haruslah
sejalan
dengan
perkembangan
paradigma
penyelenggaraan pemerintahan yang baru yaitu harus mampu mewujudkan Good
Governance khususnya ditingkat lokal. Realitas masyarakat yang tidak berdaya
sebagai akibat dari kebijakan masa lalu, maka melalui restrukturisasi birokrasi,
244
Pemerintah Daerah harus mampu menciptakan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat ini dimaksudkan untuk dapat mencapai kesejajaran
dengan unsur lain sebagai penopang terciptanya Good Governance, yaitu
negara/pemerintah (birokrasi) dan sektor swasta yang selama ini lebih berdaya
dari masyarakat.
Restrukturisasi Birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam
kerangka pengembangan Good Governace di tingkat lokal, maka restrukturisasi
haruslah mampu menciptakan sebuah Birokrasi Pemerintah Daerah yang tampil
dengan performa yang baru. Tampilan Birokrasi Pemerintah Daerah haruslah tidak
lagi seperti masa sebelumnya, yaitu sebuah Birokrasi Pemerintah Daerah yang
besar dan banyak memerlukan resosis, namun harus eksis dengan ramping
namun kaya fungsi.
Apabila Birokrasi Pemerintah Daerah bisa tampil dengan performa baru
yang maka kehendak untuk memberdayakan rakyat akan dapat diwujudkan.
Karena resosis yang selama ini dipakai untuk birokrasi bisa digunakan untuk
memberdayakan masyarakat. Dengan berdayanya masyarakat maka akan ada
keseimbangan peran dari semua unsur penopang Good Governance. Adanya
keseimbangan peran antar unsur penopang Good Governance akan dapat
mewujudkan
penyelenggaraan
pemerintahan
yang
baik.
penerapan
Good
Governance dapat dilihat melalui aspek-aspek :
1) Hukum/kebijakan. Hukum/kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan
sosial, politik dan ekonomi.
245
2) Administrative
competence
and
transparency.
Kemampuan
membuat
perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan
melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model
administrative, keterbukaan informasi.
3) Desentralisai. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi didalam departemen.
4) Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar,
peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta,
deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi
makro.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsepsi Good Governance dapat dilihat
dari (empat) aspek pemerintahan (government), maka dalam kaitannya dengan
restrukturisasi
birokrasi
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
Daerah,
aspek
pemerintahan dari Good Governance hanya akan difokuskan pada aspek kedua,
yaitu kompetensi administrasi, transparansi dan efisiensi.
Sesuai dengan aspek pemerintahan dari Good Governance, maka tampilan
Birokrasi Pemerintah Daerah yang akomodatif terhadap pengembangan ―Good
Governance― hanya mungkin tercipta jika birokrasi tersebut telah mampu merubah
dirinya menjadi sebuah organisasi yang dapat meningkatkan kompetensi
administrasi, transparansi dan efisiensi dalam diri birokrasi itu sendiri. Tampilan
birokrasi yang demikian akan mampu banyak mengurangi penggunaan resosis
yang selama ini dipergunakannya. Sehingga resosis yang selama ini digunakan
oleh birokrasi bisa transfer untuk peningkatan pemberdayaan masyarakat.
246
Kompetensi
administrasi
dari
Birokrasi
Pemerintah
Daerah
akan
memungkinkan organisasi tersebut memiliki kompetensi lembaga dan kompetensi
personil.
Kompetensi
diartikan
sebagai
kewenangan
(kekuasaan)
untuk
menentukan/memutuskan sesuatu. Kompetensi individu/personil pendekatan ini
menitikberatkan pada keunggulan seseorang khususnya dilihat dari knowledge
dan skillnya.
Sesuai dengan perspektif diatas, maka dalam kontek restrukturisasi
birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, organisasi birokrasi harus
memiliki kompetensi baik dari sisi kelembagaan maupun dari sisi personil.
Kompetensi kelembagaan dimaksudkan sebagai kemampuan atau kewenangan
yang dimiliki oleh lembaga/organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien. Kompetensi kelembagaan ini mengandung makna bahwa
organisasi yang dibentuk benar-benar memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dan efisien.
Kompetensi kelembagaan dimaksudkan untuk menghindari adanya duplikasi
pelaksanaan tugas (overlap antar lembaga yang ada) karena dengan adanya
kompetensi lembaga maka setiap lembaga akan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan lembaga lainnya dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi dari tujuan organisasi.
Tidak adanya duplikasi antar organisasi mensyaratkan dibangunnya sebuah
organisasi birokrasi yang ramping. Dengan bangunan organisasi birokrasi yang
demikian maka resosis untuk birokrasi juga akan mengalami pengecilan.
Sedangkan kompetensi personil diartikan sebagai kemampuan dan karakteristik
247
yang dimiliki personil berupa pengetahuan dan keterampilan yang dijadikan dasar
dalam penempatan/promosi pada jabatan – jabatan yang tersedia dalam jajaran
organisasi birokrasi hasil proses restrukturisasi. Dengan ada kompetensi personil
di jajaran organisasi birokrasi pemerintah daerah maka penggunaan resosis untuk
keperluan birokrasi akan mengalami pengecilan, karena profesionalisme birokrat
dapat diwujudkan. Kemampuan personil dalam menjalakan tugas dengan baik
(wujud dari profesionalisme) akan mengurangi penggunaan biaya-biaya yang
tidak semestinya.
Transparansi memungkinkan masyarakat dapat mengontrol birokrasi dalam
menjalankan aktivitasnya. Adanya kontrol yang ketat dari masyarakat inilah yang
menyebabkan birokrasi tidak lagi bisa seenaknya menggunakan sumber daya yang
ada. Dengan demikian maka resosis yang digunakan birokrasi khususnya untuk
kepentingan subjektif birokrat dapat dikendalikan menuju kearah yang semakin
mengecil.
Konsep Transparansi atau keterbukaan organisasi yang ada di jajaran
birokrasi Pemerintah Daerah dari hasil proses restrukturisasi birokrasi, akan dilihat
dengan indikator sebagai berikut : kewajiban untuk terbuka yang ada dalam tugas
pokok dan fungsi organisasi dan implementasi dari kewajiban untuk terbuka yang
dimiliki oleh organisasi berdasarkan tugas pokok dan fungsi. Sedangkan efisiensi
dimaksudkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan Pemerintah
Daerah harus mampu menghasilkan sebuah organisasi birokrasi yang lebih
sederhana, ramping namun kaya fungsi sehingga aspek efisiensi khususnya dalam
penggunaan dana publik untuk keperluan birokrasi menjadi lebih baik (efisien).
248
Mengenai pentingnya penyederhanaan lembaga dan efisiensi dalam kerangka
Good Governance Nisjar108 menyebutkan bahwa penerapan prinsip - prinsip ―Good
Governace‖,
pemerintah
harus…menciptakan
struktur
kelembagaan
bagi
berkembangnya partisipasi masyarakat,…dengan demikian perlu ada perampingan
birokrasi atau corak pemerintah. Karena birokrasi adalah lembaga implementasi
kebijakan publik maka dalam kegiatan pelaksanaan kebijakan publik harus
dilakukan secara efisien109. Efisiensi merupakan penggunaan waktu yang
sesingkat-singkatnya dengan biaya yang semurah-murahnya dalam memberikan
pelayanan110. Perspektif tersebut menunjukkan bahwa efisiensi dapat dilihat dari
dua dimensi yaitu dimensi biaya/dana dan dimensi waktu.
Rekonstruksi birokrasi khususnya pembentukan organisasi-organisasi di
jajaran birokrasi Pemerintah Daerah maka efisiensi akan dilihat dari efisiensi
penggunaan dana publik (APBD) untuk keperluan birokrasi dan efisiensi pelayanan
kepada masyarakat. Konsep ini akan dilihat dengan indikator sebagai berikut:
kemampuan melakukan penyederhanaan Organisasi Birokrasi, meliputi jenis
organisasi, jumlah organisasi dan eselonisasi organisasi, Distribusi alokasi
anggaran (APBD) untuk keperluan penyelenggaraan pemerintahan (birokrasi) dan
untuk
keperluan
publik
(masyarakat)
serta
kemampuan
melakukan
perubahan/perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia di tinjau dari sejarah
perjalkanan pemerintahan Indonesia sulit dipisahkan dengan sistem pengelolaan
108
109
110
Widodo Joko, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, cv Citra Malang, 2001:56
Widodo Joko, 2001:56
Agus Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: PPSK-UGM, 2002:49
249
pada masa kerajaan dan sistem pengelolaan masa kolonial. Budaya birokrasi di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan sistem kerajaan misalnya sebutan
abdi dalem bagi prajurit raja yang hanya patuh kepada atasan. Hal ini pula
dirasakan dalam birokrasi Indonesia sehingga muncul istilah birokrasi paternalistis.
Bawahan hanya bertanggungjawab dan loyal pada atasannya. Disamping itu,
pengaruh masa penjajahan kolonial juga mempengaruhi birokrasi Indonesia
seperti ketergantungan pada aturan yang kaku. Dimasa penjajahan banyak
produk hukum formal yang dibuat sebagai acuan pemerintahan.
Sejarah pra kemerdekaan Indonesia tanpa disadari melekat dalam sistem
birokrasi pasca kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari sistem
birokrasi yang diterapkan sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Meskipun ada upaya reformasi birokrasi tetapi kelihatannya
masih tetap jalan ditempat sehingga kemajuan bangsa masih tetap terpuruk. Perlu
disadari bahwa pengaruh patologi birokrasi sangat mempengaruhi kemajuan suatu
negara.
1. Orde Lama
Menurut Rewansyah (2010:1) bahwa reformasi birokrasi bukanlah hal yang
baru dalam penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia. Pada era orde
lama terdapat beberapa upaya dalam reformasi birokrasi. Upaya ini ditandai
dengan dibentuknya Panitia Organisasi Kementrian (PANOK) pada tahun 1953,
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) tahun 1957, Komando Retooling
Aparatur Negara (KONTRAR) tahun 1962, dan Tim Penertiban Aparatur dan
Adminitrasi Pemerintah (Tim PAAP) tahun 1966.
250
Pada masa orde lama kekuatan birokrasi dipengaruhi oleh kekuatan politik
yang dibangun oleh Presiden Sukarno. Kekuatan politik Presiden Sukarno meliputi
nasionalis, agama dan komunis yang terbentuk dalam kelompok partai PNI,
MASYUMI dan PKI. Birokrat pemerintahan didominasi oleh tiga kelompok dengan
latar
belakang
pematangan
tersebut.
dengan
Masa
ini,
membentuk
birokrasi
organisasi
pemerintah
khusus
dalam
yang
tahapan
menangani
pemerintahan. Salah satu organisasi yang dibentuk pada masa orde lama adalah
Lembaga Administrasi Negara.
2. Orde Baru
Urgensi untuk memperhatikan birokrasi pada masa orde baru mulai
menjadi perhatian serius pemerintah. Pada masa orde baru pemerintah mulai
membentuk Kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara,
kemudian berubah menjadi Kemetrian Penertiban Aparatur Negara. Kabinet
pembangunan III. Selanjutnya diubah lagi menjadi Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara. Meskipun demikian, birokrasi di Indonesia justru semakin tidak
jelas.
Aspek independensi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI kurang diperhatikan.
PNS dipaksa masuk ranah politis melalui GOLKAR dan adanya dwi fungsi ABRI
sehingga biokrasi semakin terkontaminasi dengan politik. Sering terjadi otoriratif
elitis dan politisasi birokrasi dari Presiden Suharto kepada aparatur pemerintahan.
Kondisi birokrasi masa orde baru mulai dirasuki praktek kolusi dan nepotisme yang
merajalela. Aspek birokrasi pemerintahan dibawah satu komando. Akibatnya
muncullah istilah Asal Bapak Senang (ABS) pada masa pemerintahan orde lama.
251
Ketimpangan tersebut merembet hingga ke pemerintah daerah. Birokrasi sangat
kaku dan sentralistis.
Pembatasan ruang lingkup birokrat sering terjadi tumpang tindih. Membuat
fungsi-fungsi birokrasi berjalan lambat. Fenomena birokrasi yang terlihat pada
masa ini adalah birokrasi paternalistis dengan prinsip Asal Bapak Senang.
Manajemen birokrasi mirip dengan majamen tusuk sate, bawahan harus patuh,
taat dan loyal pada atasan.
3. Era Reformasi
Era reformasi yang bermula sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun
1998. Seluruh lini dalam lingkup kenegaraan direformasi, termasuk birokrasi. Era
ini diawali oleh Presiden Habibi yang berusaha kembali memperbaiki struktur dan
kultur negara Indonesia yang krisis multidimensi. Birokrasi mulai ditata kembali
dengan sebutan reformasi birokrasi. Usaha Presiden Habibi (1998-1999)
dilanjutkan oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (1992001), Presiden Megwati (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyonu
(2004- oktober 2014).
Di era ini, reformasi birokrasi masih terlihat sekedar wacana kenegaraan.
Sampai saat ini, Menurut Menteri Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi
Birokrasi kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa permasalahan birokrasi menjadi
permasalahan terbesar yang lebih besar dari masalah korupsi dan infrastruktur. Ini
sebuah pertanda yang mengusik tata pemerintahan di Indonesia. Upaya untuk
menanggulangi masalah birokrasi akhirnya dijadikan prioritas utama RPJMN 2010-
252
2014. Target ini diperkuat dalam Perpres Nomor 81 tahun 2010 dan Permenpan
Nomor 20 tahun 2010. Selanjutnya di elaborasi dalam 9 program percepatan
reformasi biokrasi.
C.
Penataan Birokrasi pemerintahan pusat dan daerah
Penataan birokrasi memiliki peran strategis dalam hal penyelenggaraan
urusan pemerintahan. karena posisinya yang strategis tersebut, maka performa
birokrasi berkinerja tinggi (hight performance) mutlak diperlukan, sehingga
tuntutan terhadap pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, dan
akuntabel) dapat diwujudkan.
Untuk bidang kelembagaan, Daniel Pahabol, menjelaskan reformasi
birokrasi
bertujuan
meningkatkan
efisiensi
dan
efektifitas
kelembagaan
Pemerintah Pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan kebutuhan
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga organisasi birokrasi menjadi
tepat fungsi dan tepat ukuran.
Salah satu penerapan dari semangat reformasi birokrasi tersebut adalah
mewujudkan
organisasi
proporsional
sebagai
pemerintahan
wadah
untuk
negara
yang
melangsungkan
efektif,
efisien,
berbagai
dan
kegiatan
pemerintahan berbasis good governance dan clean government,
Proses reformasi birokrasi pada pemerintah daerah yang dilakukan
pemerintah saat ini merupakan satu kesatuan dalam manajemen pengelolaan
reformasi birokrasi nasional sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan
Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Komite Pengarah Reformasi Birokrasi
Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional Sebagaimana Telah Diubah Dengan
253
Keputusan
Presiden
Nomor
23
Tahun
2010
serta
beberapa
peraturan
pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi/Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Struktur
pengelolaan reformasi birokrasi nasional adalah sebagai berikut:
Gambar 4
Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional
Sumber: Permen PAN RB Nomor 30 Tahun 2012
Tim Reformasi Birokrasi Pemda dibentuk pada masing-masing pemerintah
provinsi/kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana
dengan susunan organisasi yang dibentuk dengan memperhatikan aspek efisiensi
254
dan efektivitas. Tim Pengarah diketuai oleh gubernur/bupati/walikota dengan
wakil ketua adalah wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota serta sekretaris
daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai Sekretaris Tim Pengarah. Anggota tim
pengarah terdiri dari pejabat terkait sesuai kebutuhan.
Tim Pelaksana Reformasi Birokrasi Pemda diketuai oleh sekretaris daerah
dengan anggota para asisten sekretaris daerah, inspektur, kepala badan
perencanaan pembangunan daerah, kepala badan kepegawaian daerah, dan
pejabat
lain
yang
terkait
pada
masing-masing
pemerintah
provinsi/kabupaten/kota. Sedangkan sekretaris tim pelaksana adalah asisten
sekretaris daerah provinsi/ kabupaten/kota yang menangani masalah aparatur dan
wakil sekretaris tim pelaksana adalah kepala biro/bagian yang menangani
organisasi pada sekretariat daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pilot Project Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah, dilakukan terhadap
seluruh pemerintah provinsi dan ibukota provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota
yang diusulkan oleh pemerintah provinsi dimana merupakan pemerintah
kabupaten yang memiliki kesiapan lebih baik diantara pemerintah kabupaten/kota
lainnya, sebagaimana kriteria yang telah ditentukan. Pemerintah provinsi dalam
mengajukan pemerintah kabupaten dengan memperhatikan kriteria sebagai
berikut:
a. telah membentuk Tim Reformasi Birokrasi Pemerintah Kabupaten;
b. menyediakan anggaran yang cukup untuk pelaksanaan reformasi birokrasi
dari optimalisasi anggaran yang ada;
255
c. memiliki anggaran belanja aparatur kurang dari 50 (lima puluh) persen dari
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan
d. memiliki komitmen dalam upaya memajukan reformasi birokrasi yang
dibuktikan dengan perolehan prestasi di bidang pengelolaan birokrasi
antara lain opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) minimal Wajar Dengan
Pengecualian
(WDP),
hasil
evaluasi
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah (AKIP) minimal nilai CC, dan Indeks Kepuasan Masyarakat ratarata bernilai baik.
Tata cara penetapannya adalah sebagai berikut:
a. Tim
Reformasi
Birokrasi
Nasional
(TRBN)
menyampaikan
surat
pemberitahuan kepada pemerintah provinsi untuk mengajukan pilot project
reformasi birokrasi pemerintah daerah.
b. Pemerintah provinsi menyampaikan pemerintah daerah pilot project
reformasi kepada Menpan dan RB/Ketua TRBN sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan.
c. Menteri melaporkan pengajuan pemerintah provinsi mengenai pemerintah
pilot project reformasi birokrasi kepada Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional (KPRBN).
d. Menteri menetapkan dengan Keputusan Menpan dan RB pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota tersebut sebagai
pemerintah daerah pilot project reformasi birokrasi;
256
e. Pemerintah
pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
daerah
pilot
project
yang
telah
reformasi
ditetapkan
birokrasi
sebagai
menyampaikan
dokumen usulan dan rancangan road map.
f. Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
pilot
project
reformasi
birokrasi
melakukan konsultasi teknis dokumen usulan dan rancangan Road Map
Reformasi Birokrasi kepada TRBN/UPRBN.
g. Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
pilot
project
reformasi
birokrasi
menetapkan Road Map dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengusulan,
Penetapan, Dan Pembinaan Reformasi Birokrasi Pada Pemerintah Daerah
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat
daerah, pemerintah pusat senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi,
pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama,
sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam
penataan kelembagaan perangkat daerah dan setelah kurang lebih 2 tahun
penerapan PP 41 tahun 2007 beberapa daerah kemudian berinisiatif melakukan
evaluasi kelembagaan pemerintah daerahnya.
Reformasi birokrasi pemerintahan daerah tersebut merupakan bagian dari
organization development yang dilakukan secara sistemik (meliputi aspek input,
proses, output & outcome dalam penataan kelembagaan)
Evaluasi bersifat
gradual atau incremental , tidak radikal. Tujuan utama dari evaluasi adalah
257
reformasi kelembagaan pemerintah daerah meningkatkan efektivitas perangkat
daerah
dalam menjalankan
tupoksinya. Wujud Organization
Development
pemerintah daerah dalam konteks evaluasi kelembagaan meliputi : Penyesuaian
struktur organisasi, Penyesuaian kewenangan, Penataan mekanisme dan tata
laksana kerja, Penguatan kapasitas institusional
D.
Penataan Aparatur Pemerintahan Daerah
Otonomi daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
penataanatas manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) aparaturnya secara kreatif
daninovatif sesuai dengan kewenangan dan pembagian urusan yang diserahkan.
Upaya-upaya pengelolaan SDM aparatur tersebut telah terbukti mendorong kinerja
organisasi untuk lebih optimal melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Secara
umum, manajemen SDM aparatur adalah keseluruhan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan
tugas,
fungsi,
pengadaan,
kesejahteraan,
dan
kewajiban
pengembangan
dan
kepegawaian,
kualitas,
pemberhentian.
SDM
yang
meliputi
penempatan,
aparatur
perencanaan,
promosi,penggajian,
sebagai
penggerakdan
penyelenggara tugas-tugas pemerintahan memegang peranan penting dalam
suatu sistem pemerintahan. Oleh karenanya, pondasi dasar reformasi birokrasi
seutuhnya harus dimulai dari reformasi terhadap pengelolaan/manajemen SDM
aparaturnya.
Reformasi pengelolaan SDM aparatur ini merupakan kebutuhan mendesak
untuk dijalankan agar diperoleh aparatur yang professional, berkinerja tinggi, dan
sejahtera dalam menyokong pencapaian pengelolaan birokrasi yang baik.
258
Reformasi birokrasi adalah strategi untuk membangun aparatur negara agar lebih
berdayaguna dan berhasilguna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional. Selain itu, dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, serta perubahan lingkungan
strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan
dengan dinamika tuntutan masyarakat. Atas dasar tuntutan tersebut serta dengan
dilandasi otonomi daerah telah mendorong percepatan reformasi birokrasi di
berbagai daerah. Beberapa daerah telah melakukan terobosan-terobosan dalam
upaya penataan SDM aparaturnya, sehingga menjadi model percontohan bagi
daerah lain.
Meskipun demikian, keberhasilan penataan kepegawaian berbagai daerah
tersebut, hanya menonjol/berinovasi pada satu atau beberapa dimensi dari
berbagai dimensi manajemen SDM yang ada. Prasojo (2008) pernah melakukan
kajian tentang Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices
sejumlah daerah di Indonesia, yang menggambarkan secara utuh inovasi
penyelenggaraan pemerintahan dengan dukungan peranan kepemimpinan yang
merupakan faktor sangat menentukan untuk dapat mendorong reformasi birokrasi
dan good governance di daerah lainnya. Berbagai macam best practices yang ada
tersebut tentunya dapat menjadi referensi bagi daerah lain dalam menyusun
kebijakan serupa, sehingga keberhasilan dan pencapaian kinerja di bidang
aparatur dapat tercapai pula.
Oleh karenanya, untuk lebih memperkenalkan best practices yang telah
dilaksanakan berbagai daerah dalam penataan SDM aparaturnya, serta untuk
259
memudahkan pengambilan kebijakan di bidang aparatur. Hingga saat ini seringkali
disinyalir bahwa manajemen sektork pemerintahan pada umumnya masih
tertinggal dibandingkan sektor swasta. Kinerja aparatur daerah yang masih rendah
dan tertinggal tersebut dapat terjadi dikarenakan kekeliruan dalam desain strategi
proses rekrutmen, reposisi, pembekalan, dan perawatannya. Belum optimalnya
kinerja aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsinya, ditunjukkan dengan
masih banyaknya keluhan-keluhan yang disampaikan masyarakat atas pelayanan
public yang diberikan pemerintah selama ini, juga masih seringnya ditemukan
kasus penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), juga penempatan aparatur yang tidak sesuai dengan persyaratan jabatan.
Kurangnya komitmen, maupun daya inovasi dan kreativitas pemerintah daerah
untuk melakukan upaya penataan di bidang kepegawaian menjadikan kondisi
kepegawaian berjalan di tempat (statis).
Adapun praktik-praktik terbaik (bestpractices) bidang kepegawaian yang
sudah dijalankan oleh beberapa daerahpun, masih kurang tersosialisasikan/
terdokumentasikan dengan baik. Padahal, hal tersebut sangat penting sebagai
bahan benchmarking daerah lain dalam menyusun strategi penataan SDM
aparatur yang lebih baik.
Aparatur
memiliki
peran
dan
fungsi
yang
sangat
penting
dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Namun, terdapat berbagai macam fenomena
yang menggambarkan kondisi aparatur daerah saat ini yang masih banyak
masalah dan memerlukan perhatian dan prioritas utama dalam perbaikannya.
Permasalahan-permasalahan bidang kepegawaian ini dirasakan oleh sebagian
260
besar pemerintah daerah, tidak hanya daerah-daerah baru hasil pemekaran,
namun juga daerah-daerah induk yang sudah ada sebelumnya/ exist. Fenomenafenomena tersebut diantaranya: 111
1) Pengadaan/ rekrutmen PNS yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Mekanisme
pengusulan
calon
PNS
yang
tidak
menyerap
aspirasi
dankebutuhan SKPD yang bersangkutan (bottom up), disamping faktor
beralihnya tenaga honorer menjadi PNS yang sebagian besar merupakan
tenaga-tenaga kurang berkualitas. Mengakibatkan terjadinya penumpukan
PNS (overload) secara kuantitas namun kurang dari sisi kualitas.
2) Mismatch, dimana antara sosok PNS yang ada belum sesuai dengan
tuntutan
kompetensi
bidang
tugasnya.
Ketidaktepatan
penempatan
pegawai dalam jabatan salah satunya karena belum disusunnya standar
kompetensi jabatan yang menunjukkan syarat minimal PNS yang dapat
menduduki jabatan tersebut. Hal ini kemudian berimplikasi terhadap kinerja
dan pencapaian tujuan organisasi yang kurang optimal.
3) Belum adanya target atau kontrak kinerja yang harus dilakukan PNS
dalammelaksanakan tugasnya. Belum adanya upaya penyusunan target dan
sasaran
kinerja
PNS
mengakibatkan
sulitnya
untuk
menilai
atau
mengevaluasi PNS tersebut. Padahal, dengan adanya target dan kontrak
kinerja ini akan memicu semangat kerja dan motivasi kerja PNS
secaraproduktif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Disamping itu,
111
Ashari, Edy Topo, 2009, Sistem Pembinaan SDM PNS, Makalah, Badan Kepegawaian Negara,
Jakarta
261
adanya pengukuran yang jelas akan sangat berguna dalam memberikan
penghargaan kepada PNS yang berprestasi/ kinerja tinggi.
4) Alokasi dan distribusi PNS yang tidak merata mengenai kuantitas, kualitas,
dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah). Tidak adanya aturan dan
upaya yang tegas, menjadikan PNS dapat menolak untuk ditempatkan pada
SKPD di tingkat kecamatan atau kelurahan, terutama yang jauh dari pusat
ibukota. Akibatnya, terjadi kekurangan pegawai pada SKPD di tingkat
kecamatan atau kelurahan di satu sisi, namun di sisi lain terjadi over
capacity
pada
instansi
lain
yang
berada
di
pusat-pusat
ibukota/pemerintahan.
5) Masih rendahnya tingkat produktivitas PNS dan belum optimalnya
pelayanan PNS terhadap masyarakat. Objektifitas sistem penilaian kinerja
masih dipertanyakan, termasuk belum diterapkannya job description secara
rinci, pengukuran terhadap beban kerja, serta standar kompetensi jabatan.
6) Belum disusunnya pola karir yang jelas dan tegas juga berdampak pada
sulitnya melakukan identifikasi kebutuhan diklat. Pemerintah daerah hingga
saat ini masih lebih bersikap pasif menunggu aturan berupa Keppres
tentang pola dasar karir PNS. Padahal dengan adanya penyusunan pola
karir bagi PNS daerah tentunya akan memudahkan bagi pemerintah daerah
dalam menata pegawainya.
7) Database
PNS
belum
sesuai
dengan
harapan
untuk
manajemen
kepegawaian, terutama dalam pembuatan perencanaan kebutuhan pegawai
dan pengambilan keputusan terkait mutasi dan promosi.
262
8) Masih rendahnya penghasilan dan kesejahteraan PNS. Penghasilan yang
rendah dan juga setara antara PNS yang berkinerja tinggi dengan PNS
berkinerja rendah menjadikan PNS kurang termotivasi/ tertantang untuk
aktif dan produktif. Peningkatan penghasilan dan kesejahteraan PNS
dengan menerapkan sistem imbalan berbasis beban kerja dan prestasi kerja
tentunya akan sangat berguna sebagai reward system.
Ditemukan berbagai macam upaya atau program bidang kepegawaianyang
merupakan praktik-praktik terbaik (best practices) dan dapat dijadikan contoh oleh
daerah lain dalam menyusun kebijakan dibidang kepegawaian. Jika analisis,
keberhasilan dalam penataan aparatur oleh daerah-daerah percontohan tersebut,
dikarenakan komitmen kepala daerahnya (political will) yang sangat tinggi dengan
ditunjang upaya-upaya inovatif dan kreatif, sehingga masing-masing daerah
tersebut memiliki inovasi tertentu/ khas yang belum/tidak terdapat di daerah
lainnya. Selain itu, dukungan seluruh komponen aparatur daerah telah mendorong
pelaksanaan upaya penataaan manajemen SDM aparatur tersebut dapat berjalan
dengan optimal.
Berdasarkan kondisi SDM Aparatur yang telah diuraikan sebelumnya dan
dikaitkan
dengan
upaya
yang
telah
dikembangkan
oleh
daerah-daerah
percontohan tersebut, ternyata memiliki hubungan yang saling terkait. Hubungan
saling terkait dimaksudkan bahwa uraian kondisi SDM Aparatur yang banyak berisi
masalah-masalah kepegawaian tersebut, ternyata dapat diselesaikan melalui
upaya yang telah dijalankan oleh daerah-daerah percontohan. Dengan demikian,
263
strategi yang digunakan oleh daerah percontohan tersebut bisa diaplikasikan pula
pada daerah lain yang mengalami masalah dibidang kepegawaian. Strategistrategi tersebut kemudian digabungkan (mix-strategy) sehingga menjadi satu
strategi besar manajemen kepegawaian yang dapat dikatakan sebagai ―best
practices strategy‖.
Best practices strategy ditetapkan dengan mengedepankan pembangunan
kompetensi aparatur daerah dalam mendukung pencapaian tujuan utama. Guna
menjalankan best practice strategy tersebut diperlukan langkah atau tahapantahapan pendukung yang akan mempercepat realisasi strategi tersebut. Oleh
karena itu dikembangkan melalui 6 (enam) langkah penataan SDM Aparatur
daerah yang bisa diterapkan atau menjadi kebijakan langsung oleh pemerintah
daerah, yaitu :
1) Merekrut PNS yang berkualitas secara profesional sesuai dengan kebutuhan
organisasi. Melalui langkah ini diharapkan tersedianya PNS-PNS yang
berkompeten dan siap ditempatkan sesuai bidang keahliannya.Langkah ini
dapat dijalankan melalui upaya melakukan identifikasikebutuhan PNS
melalui Analisis Kebutuhan Pegawai (termasuk analisis jabatan dan analisis
beban kerja) yang dapat dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh
instansi/ perangkat pemerintah daerah. Upaya lainnya adalah bekerjasama
dengan Perguruan Tinggi dalam pelaksanaan perekrutan PNS maupun
penyediaan (supply) SDM yang berkualitas. Langkah ini merupakan replikasi
sistem rekrutmen di Korea, yang menerapkan MoU antara pemerintah
daerah dengan perguruan tinggi dimana isinya adalah lulusan terbaik dari
264
berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan pemerintah daerah akan ditawarkan
untuk bekerja menjadi PNS.
2) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan PNS berbasis kompetensi. Langkah
ini menekankan pada penguatan kompetensi PNS melalui kegiatan-kegiatan
kediklatan yang sangat dibutuhkan organisasi. Langkah ini dijalankan
melalui upaya peningkatan kemampuan PNS baik kemampuan teknis,
manajerial,
maupun
administratif
sesuai
kebutuhan
organisasi
dan
kebutuhan pegawai dengan berbasis pada Training Needs Assessment
(TNA). Pengembangan kebijakan pada dimensi diklat PNS memang belum
banyak dilakukan inovasi oleh pemerintah daerah. Pada umumnya
kebijakan diklat ini hanya berupa pengiriman diklat baik formal maupun
teknis ketika ada penawaran. Oleh karenanya, perlu dikembangkan
assessment center dan development center sebagai sarana untuk
menyeleksi dan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan
potensi PNS.
3) Menempatkan PNS sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan. Langkah ini
menekankan pada kesesuaian antara kompetensi pejabat yang akan
menduduki suatu jabatan dengan persyaratan kompetensi yang dibutuhkan
oleh jabatan tersebut. Langkah ini dijalankan melalui upaya penyusunan
standar kompetensi jabatan (SKJ); pelaksanaan assessment bagi calon
pejabat; dan menciptakan indikator kinerja bagi pejabat yang ditempatkan,
sehingga bisa diukur dan dievaluasi pencapaian-pencapaian kinerjanya
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Selain upaya tersebut, juga
265
diperlukan kebijakan penyusunan pola/alur karir PNS yang jelas dan tegas
dengan melakukan perumpunan atas lingkup atau bidang tugas yang sama.
Di lain pihak, guna menghindari adanya ketidak merataan kuantitas dan
kualitas aparatur pada suatu instansi (khususnya di tingkat kecamatan dan
kelurahan), maka perlu diterbitkan peraturan ditingkat daerah yang secara
tegas mengatur mengenai perpindahan atau mutasi PNS ke instansi di
tingkat kecamatan atau kelurahan. Kebijakan ini penting mengingat secara
umum terjadi penumpukan jumlah PNS di pusat pemerintahan, dan di sisi
lain terjadi kekurangan pada instansi pemerintah daerah di tingkat
kecamatan atau kelurahan. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi PNS
untuk menolak ditempatkan di instansi pemerintah yang berada di luar
pusat ibukota daerah.
4) Meningkatkan kesejahteraan PNS berbasis pada kinerja. Langkah ini
diarahkan untuk memotivasi kinerja PNS dengan jalan memberikan
tunjangan kinerja dan fasilitas pendukung lainnya. Insentif atau tunjangan
yang diberikan memberikan bobot yang lebih besar pada kinerja
(prestasikerja) disamping kedisiplinan. Adapun fasilitas pendukung lainnya
juga sangat penting demi menjaga loyalitas dan integritas aparatur daerah,
fasilitas ini dapat berupa pemberian kesehatan gratis, konsultasi psikologi,
atau melaksanakan kegiatan bersama di luar kantor (family day atau
outbond).
5) Mengembangkan budaya kerja organisasi. Langkah ini mengedepankan
kesamaan visi dan persepsi PNS secara utuh dalam mendukung pencapaian
266
tujuan organisasi. Langkah ini dapat dijalankan dengan melaksanakan
forum kelompok budaya kerja secara regular yang ditujukan untuk
membangkitkan
menjalankan
motivasi,
peran
semangat,
sebagai
serta
pelaksana
penegasan
tugas
diri
dalam
pemerintahan,
upaya
selanjutnya adalah menciptakan nilai-nilai dasar organisasi yang kemudian
menjadi landasan bagi aparatur dalam bertindak dan berperilaku sesuai
fungsinya kepada pelanggan atau masyarakat.
6) Mengembangkan penggunaan sistem informasi manajemen kepegawaian
(SIMPEG). Kemajuan teknologi dan informasi perlu disikapi dengan
penerapan
aplikasi
sistem
kepegawaian
berbasis
elektronik
(e-
kepegawaian). Pengembangan SIMPEG sangat berguna dalam memantau
perkembangan dan kondisi kepegawaian di daerah secara langsung (online). Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem
manajemen
dan
proses
kerja
di
lingkungan
pemerintah
dengan
mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi
informasi tersebut mencakup pengolahan data, pengelolaan informasi,
system manajemen dan proses kerja secara elektronis; serta pemanfaatan
kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara
mudah dan murah.
Keseluruhan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut diatas tidak lain
adalah untuk mendapatkan aparatur yang memiliki kompetensi optimal sesuai
dengan kebutuhan organisasi. Kompeten dimaksudkan secara sederhana memiliki
267
knowledge, skill, dan attitude yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan standar yang dituntut dalam organisasi. Kompetensi didefinisikan
secara resmi oleh Management Charter Initiative dalam Subagyo (2009) sebagai
kemampuan
seseorang
untuk
mendemonstrasikan
pengetahuan
dan
keterampilannya untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan standar
yang ditetapkan dalam konteks tertentu, dan kemampuan untuk mengalihkan
pengetahuan dan keterampilan ke konteks yang baru dan/ atau berbeda.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu upaya
penataan aparatur dapat berjalan dengan optimal jika didukung oleh komitmen
kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian di daerah. Oleh karenanya,
kepala daerah perlu untuk mengawal kebijakan kepegawaian sejak proses
pengadaan hingga pemberhentian pegawai. Disamping itu, pemerintah daerah
perlu untuk menuangkan kebijakan pengelolaan dibidang kepegawaian yang
berbasis pada strategi tersebut di atas, ke dalam suatu peraturan yang mengikat
agar pelaksanaannya tetap konsisten berjalan meskipun terjadi pergantian kepala
daerah.
Hal lain, dituntut pula inovasi dan kreativitas kepala daerah dengan
didukung secara penuh oleh seluruh aparatur daerah dalam mewujudkan
penataan di bidang kepegawaian yang optimal dalam rangka mendorong
tercapainya reformasi birokrasi. Strategi yang dapat digunakan pemerintah daerah
dalam melakukan penataan aparaturnya adalah menerapkan best practice
strategy yang merupakan strategi gabungan (mix-strategy) dari strategi yang
diterapkan pada daerah percontohan.
268
BAB VIII
REKONSTRUKSI BIROKRASI PADA PELAYANAN PUBLIK
Dalam
kehidupan
kenegaraan
modern,
birokrasi
semakin
menjadi
perangkat sentral untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Pada abad ke
duapuluh satu ini birokrasi menjadi demikian penting, dan masyarakat hanya akan
mendapat pelayanan publik secara memuaskan jika itu diselenggarakan melalui
birokrasi modern. Oleh karena keberadaan birokrasi yang demikian penting, maka
peran birokrasi menjadi sangat menentukan ―hitam putihnya‖ kehidupan negara
dan masyarakat. Apabila birokrasi mempunyai kinerja yang baik, inovatif, kreatif
dan produktif,maka akan baiklah negara dan masyarakatnya. Sebaliknya, apabila
birokrasi tidak baik dan tidak produktif, maka juga akan menghancurkan negara.
Dengan kata lain, peran birokrasi dapat memiliki akibat ganda yang saling bertolak
belakang bagi masyarakat. Di satu sisi dapat menjadi lembaga yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat mencapai tujuan-tujuan hidupnya, namun pada sisi
269
lain birokrasi juga dapat menyengsarakan, menindas, mengeksploitasi dan bahkan
dapat mendorong masyarakat menuju kehancuran.
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 membawa perubahan
yang signifikan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini juga
terjadi di dalam birokrasi yang merupakan organisasi pemerintah dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pemberian pelayanan langsung
kepada masyarakat. Gerakan reformasi menghendaki birokrasi memiliki netralitas
politik, transparan, responsif, dan akuntabel. Dengan tuntutan ini, otomatis
birokrasi harus membangun frame dan karakteristik baru dalam menjalankan
tugasnya sesuai dengan amanat yang dikehendaki rakyat. Namun harapan publik
untuk melihat adanya perbaikan kualitas pelayanan publik dalam bidang
kependudukan dan pencatatan sipil sering tidak terwujud. Hal ini disebabkan
stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintah sebagai suatu penyakit
(bureau patology) yang diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit, lambatnya
pelayanan, dan korupsi dengan beranekaragam bentuknya. Di samping itu juga
karena paradigma yang selalu melekat pada para birokrat selalu cenderung
menganggap sebagai abdi negara daripada sebagai abdi masyarakat. Padahal
idealnya bahwa, pemerintah pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat.
Birokrat sebagai pelaksana penyelenggara negara serta pelayan masyarakat
harus dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat agar ketertiban dan
keadilan di dalam masyarakat dapat tercapai. Di samping itu tujuan birokrasi
270
bukanlah hanya sekedar pelayanan publik. Pelayanan publik hanyalah merupakan
salah satu manifestasi fungsi birokrasi. Membatasi fungsi birokrasi hanya pada
pelayanan publik akan menjadikan birokrasi berfungsi pada level teknis rutin dan
jangka pendek. Padahal birokrasi tidak hanya melayani tujuan teknis rutin dan
jangka pendek, namun birokrasi dibentuk dalam rangka untuk tercapainya tujuan
bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, diperlukan berbagai
sarana pendukung, dalam hal ini salah satunya adalah sarana hukum, khususnya
hukum administrasi negara, yang mengatur dan memungkinkan administrasi
negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak
administrasi negara itu sendiri.
Pada dasarnya birokrasi merupakan mata rantai yang menghubungkan
pemerintah dengan rakyatnya, dan birokrasi merupakan alat pemerintah yang
bekerja untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi
demikian, maka tugas birokrasi adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat
dan merealisasikan setiap kebijakan pemerintah dalam mencapai kepentingan
masyarakat. Oleh sebab itu, DPR telah mensyahkan Undang-undang tentang
Administrasi Pemerintahan yang memuat pengaturan dan pembentukan sistem
yang mencerminkan adanya reformasi di bidang administrasi pemerintahan.
Selanjutnya
dinyatakan
Ryaas
Rasyid
bahwa,
birokrasi
pemerintah
setidaknya memiliki 3 (tiga) tugas pokok yaitu : 112
1) Memberikan pelayanan umum (public service) yang bersifat rutin kepada
masyarakat
112
seperti
memberikan
pelayanan,
perijinan,
pembuatan
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Mutiara
Sumber Widya, Jakarta, 2002: 12
271
dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan
kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk.
2) Melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk
mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan
pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan
fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan.
3) Menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat
seperti
membangun
infrastruktur
perhubungan,
telekomunikasi,
perdagangan dan sebagainya.
Dari uraian di atas jelas bahwa, birokrat sebagai pelaksana penyelenggara
negara serta pelayan masyarakat harus dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan masyarakat agar ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat dapat
tercapai. Di samping itu, birokrat juga dituntut untuk mampu menciptakan iklim
dan tata kerja baru bagi aparatnya agar dapat mengatasi tantangan di masa yang
akan datang. Pelayanan publik hanyalah merupakan salah satu manifestasi fungsi
birokrasi113, namun yang terpenting adalah bagaimana memberikan pelayanan
public yang berkualitas yang merupakan kunci utama dalam rangka memenuhi
hak-hak dasar/konstitusional rakyat sehingga pembangunan nasional dapat
dilakukan secara berkelanjutan114. Membatasi fungsi birokrasi pemerintahan hanya
pada pelayanan publik akan menjadikan birokrasi berfungsi pada level teknis rutin
dan jangka pendek. Padahal birokrasi tidak hanya melayani tujuan teknis rutin dan
113
114
M. Mas‘ud Said, Birokrasi Di Negara Birokratis, UMM Press, Malang, 2007: 218
Taufiq Effendi, Reformasi Birokrasi: Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan
Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan
Rakyat. Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Tanggal 27 Oktober 2008 :80.
272
jangka pendek, namun birokrasi dibentuk dalam rangka untuk tercapainya tujuan
bangsa dan Negara.
A. Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan
pemerintah
publik
beserta
merupakan
aparaturnya
serangkaian
kepada
aktivitas
masyarakat
yang
dalam
dilakukan
mewujudkan
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sekaligus memberikan kepuasan
kepada masyarakat yang dilayani. Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab
pemerintah kepada masyarakat, sudah tentunya suatu pelayanan publik yang
diselenggarakan
pemerintah
harus
mencakup
seluruh
masyarakat
yang
membutuhkannya, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana masyarakat
dapat merasakan kepuasan dari layanan yang diberikan kepada mereka.
Pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapkan115. Pelayanan publik
merupakan kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
baik yang pusat, maupun yang di daerah dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban.
Lebih lanjut, pelayanan publik dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan
115
Widodo Joko, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, cv Citra Malang, 2001:131.
273
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa,
penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi azas pelayanan yang dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, BAB II, Pasal 4
menyebutkan asas pelayanan publik sebagai berikut:
1)
Kepentingan Umum;
2)
Kepastian Hukum;
3)
Kesamaan Hak;
4)
Keseimbangan Hak dan Kewajiban;
5)
Keprofesionalan;
6)
Partisipatif;
7)
Persamaan Perlakuan/Tidak Diskriminatif;
8)
Keterbukaan;
9)
Akuntabilitas;
10) Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Rentan;
11) Ketepatan Waktu; dan
12) Kecepatan, Kemudahan, dan Keterjangkauan.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah dalam berbagai sendi pelayanan antara lain yang menyangkut
pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar penduduk, masih dirasakan belum
seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat antara lain dari
banyaknya pengaduan, keluhan masyarakat baik yang disampaikan secara
274
langsung kepada pimpinan unit pelayanan maupun melalui surat pembaca pada
berbagai media massa. Di lain pihak masyarakat sebagai unsur utama yang
dilayani belum memberikan kontrol yang efektif untuk menjadi unsur pendorong
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.
Namun dalam menciptakan suatu pelayanan yang berkualitas yang
melahirkan kepuasan kepada para masyarakat yang menerimanya, tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak hal yang menjadi kendala
dan factor lain yang mengkibatkan pelayanan public yang diselenggarakan
pemerintah dirasakan masih kurang dan cenderung tidak melaksanakan dengan
sepenuh hati. Masih banyak kita temui keluhan-keluhan dari masyarakat dan
media massa yang menilai bahwa kualitas pelayanan public yang diselenggarakan
pemerintah belumlah maskimal.
Tentunya keadaan seperti diatas haruslah dibenahi dan diperbaiki untuk
menciptakan dan mewujudkan kondisi negara yang semakin baik. Apalagi
fenomena yang telah berlangsung di Negara kita saat ini, dengan bergulirnya era
otonomi daerah seharusnya dengan terciptanya desentralisasi kekuasaan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah semakin mempercepat proses pelayanan
public kepada masyarakat.
Berbagai upaya pun terus dilakukan oleh pemerintah dan aparaturnya
dalam peningkatan pelayanan public itu. Hal ini menjadi strategi atau upaya untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia sepenuhnya dan masyarakat Indonesia
seutuhnya. Adapun upaya peningkatan pelayanan publik itu meliputi :
1) Peningkatan kualitas perilaku dan keprofesionalan aparatur pemerintah.
275
Peningkatan kualitas dan keprofesionalan aparatur pemerintah adalah
salah satu strategi dalam menciptakan pelayanan publik yang baik kepada
masyarakat. Sebab dewasa ini, keluhan-keluhan yang datang dari
masyarakat yang menilai pelayanan publik yang diberikan kepada mereka
terkendala akibat masih belum tingginya sikap atau perilaku sumber daya
manusia aparatur yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Rendahnya tingkat kualitas sumber daya manusia aparatur dan
keprofesionalan
pegawai
ini
juga
mengakibatkan
sering
terjadinya
diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Sebagian besar
masyarakat ada yang menerima pelayanan itu dengan maksimal akan tetapi
sebagian lagi hanya mendapatkan pelayanan yang sekedarnya.
Karena itulah peningkatan sumber daya manusia dan profesionalitas
pegawai menjadi suatu aspek yang patut diperhatikan dalam upaya
peningkatan pelayanan publik. Kondisi birokrat yang memiliki kecakapan,
ketrampilan, perilaku yang patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku,
serta penempatan posisi yang sesuai dengan bidangnya, tentunya akan
memberikan dampak yang positif kepada terciptanya pelayanan publik
berkualitas.
Satu hal lagi yang perlu dicermati dalam upaya peningkatan pelayanan
public
melalui
peningkatan
kualitas
sumber
daya
aparatur
dan
keprofesionalan pegawai adalah masalah attitude atau perilaku. Diperlukan
sikap dan mental yang baik dari setiap aparatur pemerintah yang langsung
berhadapan dengan masyarakat dalam pemberian layanan. Sikap baik ini
276
tentunya bukanlah seperti yang terjadi selama ini, dimana masyarakat
dibuat susah dengan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh
pegawai yang melayani. Hal ini perlu diperhatikan sebab, seprofesional
apapun aparatur penyelenggara pelayanan public, bila memiliki sikap yang
bobrok, hanya akan menimbulkan ketidakpuasan lain kepada masyarakat.
2) Menciptakan kebijakan pelayanan publik yang tidak terlalu prosedural dan
berbelit-belit.
Langkah selanjutnya sebagai salah satu strategi peningkatan pelayanan
publik adalah dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang mendukung
terselenggaranya peningkatan
pelayanan
publik kepada masyarakat.
Diharapkan dengan penerbitan kebijakan mengenai peningkatan pelayanan
publik itu akan semakin mendorong terciptanya kualitas pelayanan yang
efektif, efisien dan akuntabel. Salah satu tujuan dari pembuatan kebijakan
itu juga untuk mengubah image dan citra pelayanan public selama ini yang
cenderung berbelit-belit, boros dan memakan waktu yang lama. Sehingga
pada akhirnya nanti, masyarakat akan semakin lebih terpuaskan dengan
setiap layanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Salah satu bentuk kebijakan itu adalah dengan menerbitkan atau
membuat
standar
pelayanan
minimal.
Standar
pelayanan
minimal
merupakan sebuah kebijakan public yang mengatur jenis dan mutu
pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap masyarakat secara minimal.
Kebijakan ini juga dibuat seiring dengan diselenggarakannya proses
desentralisasi kekuasaan di Negara kita, sehingga dengan mekanisme
277
tersebut masyarakat di tiap daerah mampu mendapatkan pelayanan yang
optimal dari pemerintah.
Disamping untuk mempercepat proses pelakasanaan pelayanan public
bagi masyarakat, kebijakan pemerintah dengan menerbitkan standar
pelayanan minimal juga bertujuan untuk memberikan jenis pelayanan
beserta transparansi dan akuntabilitasnya kepada masyarakat. Sehingga
dengan kebijakan itu, akan menghindarkan perilaku-perilaku menyimpang
yang selama ini dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam memberikan
layanan kepada masyarakat.
Selain memperhatikan kedua aspek diatas, salah satu sisi lain yang patut
diperhatikan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan publik adalah
dengan meningkatkan penyediaan fasilitas yang menunjang kualitas pelayanan
public tersebut. Sebab, tanpa didukung tersedianya fasilitas yang lengkap maka
akan menghambat proses penyelenggaraan pelayanan public kepada masyarakat.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sudah
sepatutnya pemerintah menerapkan kemajuan teknologi itu untuk menunjang
penyelenggaraan pelayanan public. Peningkatan fasilitas ini tentunya mencakup
fasilitas fisik dan non fisik.
Ketersediaan prasarana ini disadari atau tidak akan semakin mempercepat
sekaligus
meningkatkan
penyelenggaraan
pelayanan
publik.
Dan
untuk
mewujudkannya maka haruslah diperlukan alokasi dana untuk penyediaan sarana
dan prasarana tersebut. Dengan begitu maka segala kendala yang menghalangi
penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat akan dapat teratasi.
278
B. Budaya dan Etika Pelayanan
Fenomena tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia
sering dikeluhkan dan dibahas masyarakat secara luas, meskipun telah disadari
bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah
masalah moralitas. Budaya dan etika aparat birokrasi sering dilihat sebagai elemen
yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur
tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus
keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
Dalam paradigma ―dikotomi politik dan administrasi‖ ditegaskan bahwa
pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan
dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang
menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Dengan demikian, kekuasaan membuat
kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk
melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara.
Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki
kewenangan secara umum disebut discretionary power, yakni keleluasaan untuk
menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka
279
timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa
kewenangan itu digunakan secara baik dan tidak secara buruk116.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat
dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan
sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan
kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Ada enam ide agung landasan
etika yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak sebagaimana yang
dikemukakan Adler117, yaitu:
1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral
beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial,
2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang
menimbulkan pujian,
3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsip-prinsip estetika mendasari
segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap
keindahan,
4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak
berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang,
5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu
dengan yang lain, dan
116
117
Widodo, Joko, Good governance, telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol birokrasi pada
era desentralisasi dan otonomi daerah. Surabaya: Insan Cendekia, 2001.
Adler, Mortimer J, Six great ideas. New York: Touchstone Rockefeller Center, 1984.
280
6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan
kepada setiap orang apa yang semestinya.
Dalam konteks birokrasi, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu
panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada
masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada
pilihan-pilihan
kebijakan
yang
benar-benar
mengutamakan
kepentingan
masyarakat luas118. Oleh karena itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan
cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur
tingkah laku manusia yang dianggap baik119.
Di Indonesia, etika birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam
organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara struktural telah diatur aturan
mainnya, dan dikenal sebagai ―Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)‖. Adapun
dasar hukum ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
118
119
Dwiyanto Agus, Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat
Kependudukan dan Kebijakan (PSKK). UGM. 2002.
Kumorotomo, Wahyudi, Etika administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Studi
281
Tantangan besar yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana
menampilkan
aparatur
yang
memiliki
sikap
mental
dan
perilaku
yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai asas etis yang
bersumber pada kebajikan moral, khususnya keadilan. Oleh karena itu, setiap
aparat birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai
kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga sungguhsungguh menghayati
asas-asas etis itu, dan terakhir benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin
dalam tindakan jabatannya120. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru
mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal
ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis. Banyaknya tindakan
indisipliner yang dilakukan birokrat juga akan mengurangi kredibilitas dan
performanya sebagai pelayan publik. Misalnya pada sebuah kesempatan sidak
(inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah setempat,
didapati sebanyak 50% lebih pegawai pada sebuah kantor dinas daerah mangkir
dari pekerjaannya.
Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku
yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral
120
The Liang Gie, Etika administrasi pemerintahan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 2006..
282
terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan ―six great ideas‖ 121 yaitu
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan
(liberty),
kesamaan
(equality),
dan
keadilan
(justice).
Dalam
kehidupan
bermasyarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya
sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak.
Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan
perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilainilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut,
mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk mensukseskan
pemberian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan
dipromosikan. Nilai-nilai tersebut sering dilihat sebagai ―muatan lokal‖ yang wajib
diikuti seperti keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama
yang jelas, bertaqwa, dan sebagainya.
Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau
nilai, dan disebut dengan ―professional standars‖ (kode etik) atau ―right rules of
conduct‖ (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik122. Sebuah kode etik meru-muskan berbagai tindakan apa,
kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh
para pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari
kode etik yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas
pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik bagi
121
Denhardt, KG, The ethics of public service: resolving moral dilemmas in the public
organizations. New York: Greenwood Press, 1988.
122
Denhardt, KG, The ethics of public service: resolving moral dilemmas in the public
organizations. New York: Greenwood Press, 1988.
283
kalangan profesi yang lain masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat
bahwa nilai-nilai agama dan etika moral Pancasila sebenarnya sudah cukup untuk
menjadi pegangan bekerja atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah
sebenarnya adalah bagaimana implementasi dari nilainilai tersebut. Pendapat
tersebut tidak salah, tetapi harus diakui bahwa tidak adanya kode etik ini memberi
peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengeyampingkan kepentingan pulik.
Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol lansung sikap
dan perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur
secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada dalam suatu organisasi
pelayanan
publik.
Kode
etik
tidak
hanya
sekedar
bacaan,
tetapi
juga
diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya
melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan
melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar
masyarakat semakin yakin bahwa birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel
dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik.
Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju
dan memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran
beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi
pelayanan publik yang telah menetapkan kode etiknya. Salah satu contoh yang
relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (America
Society for Public Administration), yang telah direvisi berulang-ulang kali dan
284
mendapat penyempurnaan dari para anggotanya123. Nilai-nilai yang dijadikan kode
etik bagi pelayan publik di Amerika Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran,
kejujuran, ketabahan, respek, penuh perhatian, keramahan, cepat tanggap,
mengutamakan kepentingan publik, memberi perlindungan terhadap informasi
yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap ―system merit‖ dan program
―affirmative action‖.
Semua nilai yang terdapat dalam kode etik pelayan publik ini bukan muncul
tiba-tiba tetapi melalui suatu kajian yang mendalam dan membutuhkan waktu
lama, dan didukung oleh diskusi dan dialog yang tidak pernah berhenti. Konferensi
atau seminar berkala diantara para akademisi dan praktis administrasi publik terus
dilakukan, para peserta seminar atau konferensi sangat diharapkan untuk
berpartisipasi dalam diskusi dan dialog terbuka dan mendalam untuk menetapkan
nilai-nilai moral dan etika yang harus diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam
kondisi apa seorang birokrasi publik harus bertindak atau memperhatikan nilainilai
etika. Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di Indonesia,
pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada
saat ini Indonesia dikenal sebagai Negara koruptor nomor muda atau paling muda
di dunia, perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika
perumusan kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika
pelayanan publik, etika perencanaan publik, etika PNS, dan sebagainya, harus
diprakarsai
dan
mulai
diterapkan
sebelum
berkembangnya
budaya
yang
bertentangan dengan moral dan etika.
123
Wachs, M, Ethics in Planning Center for Urban Policy Research. The State University of New
Jersey, 1985.
285
Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute
Josephson America124 dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para
birokrasi public dalam memberikan pelayanan, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan
berbelit-belit;
2) Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak
bermuka dua;
3) Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak;
4) Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5) Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima
perbedaan serta berpikiran terbuka;
6) Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang,
memberikan kebaikan dalam pelayanan;
7) Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat
manusia privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang;
8) Kewarganegaraan, kaum professional sektor publik mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati dan menghargai serta mendorong pembuatan
keputusan yang demokratis;
9) Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan
seorang professional publik harus berpengetahuan dan siap melaksanakan
wewenang publik;
124
The Liang Gie,Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006.
286
10) Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan,
konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh
kepada orang lain;
11) Menjaga kepercayaan publik.
Orang-orang yang berada disektor publik mempunyai kewajiban khusus
untuk mempelopori dengan cara mencontohkan untuk menjaga dan meningkatkan
integritas
dan
reputasi
prosses
legislatif.
American
Society
for
Public
Administration (ASPA), pada tahun 1981 mengembangkan kode etik pelayan
publik125 sebagai berikut:
1) Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri;
2) Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah
pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat;
3) Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum
atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu
perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat
sebagai patokan;
4) Manajemen yang efesien dan efektif adalah dasar bagi administrasi negara.
Suversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau
penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Pegawai-pegawai bertanggung jawab
untuk melaporkan jika ada tindakan penyimpangan;
5) Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asasasas itikad yang
baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan;
125
The Liang Gie, Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006.
287
6) Perlindungan terhadap kepentingan rakyat adalah sangat penting. Konflik
kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritiasme yang merendahkan
jabatan publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima;
7) Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat
keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi, dan kasih sayang. Kita
menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
8) Hatinurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini
memerlukan kesadaran akan makna ganda mora dalam kehidupan, dan
pengkajian
tentang
prioritas
nilai;
tujuan
yang
baik
tidak
pernah
membenarkan cara yang tak bermoral (good and never justify immoral
means);
9) Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang
salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan
tanggung jawab engan penuh dan tepat pada waktunya.
Nilai-nilai etika di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi
publik dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah
sikap, tindakan, perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau
buruk oleh publik. Sejalan dengan penilaian tersebut Jabbra dan Dwivedi126
mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja pegawai sesuai dengan standard dan
untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah, maka
aparat harus mampu mengembangkan 5 macam akuntabilitas, yaitu: Pertama,
126
Jabbra, J.G dan Dwivedi, O.P, Public Service Accountability. Conneticut: Kumarian Press, Inc,
1989.
288
akuntabilitas administrative (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan
adanya hubungan hirarkhis yang tegas diantara pusatpusat pertanggungjawaban
dengan unit-unit di bawahnya. Hubunganhubungan hirarkhis ini biasanya telah
ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan organisasi yang disampaikan
secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas
pertanggungjawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti
terus ke bawah, dan pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap
menuruti perintah yang diberikan. Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan
peringatan mulai dari yang palig ringan sampai pemecatan; Kedua, akuntabilitas
legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari
aparat pemerintah di badan legislative dan/atau di depan makamah. Dalam hal
pelanggaran kewajibankewajiban hukum ataupun ketidakmampuannya memenuhi
keinginan legislatif, maka pertanggungjawaban aparat atas tindakan-tindakannya
dapat ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan
undangundang (judicial review); Ketiga, akuntabilitas politik. Para administrator
yang terkait dengan kewajiban menjalankan tugastugasnya mengikuti adanya
kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas
dan pendistribusian sumbersumber dan menjamin adanya kepatuhan pelaksanaan
perintahperintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima tanggung jawab
administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugastugasnya dengan baik; Keempat, akuntabilitas profesional. Sehubungan dengan
semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional
(seperti dokter, camat, lurah, bidan, pustakawan, pekerja sosial dan sebagainya)
289
mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan
tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Kalaupun mereka
tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan mememperoleh
masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik
profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan
keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada
kepentingan publik; Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa
pemerintah
memang
tindakantindakannya.
selayaknya
Landasan
bertanggungjawab
bagi
setiap
secara
tindakan
pegawai
moral
atas
pemerintah
seharusnya diletakan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui
konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai
norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau
publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah
itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk menghindari
perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai
dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka.
C. Standarisasi Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang berkualitas merupakan standar yang harus
diupayakan apabila birokrasi pemerintahan ingin memberikan kontribusi yang
optimal pada pemakai masyarakat. Pengguna jasa unit organisasi dalam birokrasi
pemerintahan akan mempunyai perasaan dimudahkan dan dilayani segala
keperluan
warkat
dan
penyelesaian
permasalahan
yang
dirasakan
oleh
masyarakat. Kualitas ini meliputi aktivitas kegiatan yang harus dilalui oleh
290
pekerjan organisasi untuk memenuhi hasil/produk yang harus dipenuhi oleh
penguna jasa. Secara spesifik kegiatan tersebut merupakan metode, prosedur
maupun sistem yang ada sebagai satu kesatuan untuk menghasilkan layanan yang
memuaskan
Di sisi lain peningkatan pelayanan publik juga tidak lepas dari upaya
perubahan dari SDM organisasinya, sebagaimana dikatakan John Dilulio127 bahwa
deregulating the public service means changing personnel and procurement
employes.
Sejalan
dengan
perkembangan
jaman,
pimpinan
organisasi
pemerintahan dituntut untuk lebih mempunyai wawasan berpikir secara kompleks
dan komprehensip ketika akan menentukan segala kebijakan yang ada dalam
organisasi yang dipimpinnya. Hal tersebut mengimbangi tuntutan perkembangan
teknologi informasai dan perkembangan paradigma berpikir masyarakat sesuai
dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Membangun Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan menjadi penting artinya
ketika dalam organisasi timbu permasalahan yang terkait dengan tuntutan kualitas
pelayanan serta complain dari pengguna layanan. Tidak saja itu, namun semakin
bertambahnya lembaga yang serupa maka adanya kompetisi dalam rangka
memberikan pelayanan tersebut juga memberikan sinyal kepada lembaga untuk
memperbaiki layanan kepada pihak lain.
Kondisi tersebut menjadi bagian permasalahan dalam perusahaan maupun
lembaga yang memperjuangkan peningkatan produk. Hal tersebut tidak saja
berlaku pada perusahaan swasta akan tetapi pada era sekarang manajemen
127
John Dilulio, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings Instirtution,
1994.
291
publik juga tidak lepas dari persoalan peningkatan kualitas pelayanan. Pemikiran
John Dilulio128 bahwa the idea of deregulating the publik service needs to be
studied and tested. eregulating the public service while maintaining appropriate
avenues of accountability is almost certain to improve the administration of the
nation‘s federal, state and local government. Jadi sebuah kualitas pelayanan
merupakan tuntutan akuntabilitas dalam sebuah lembaga. Memulai berpikir kearah
peningkatan
kualitas
pelayanan
dan
kesadaran
untuk
mengembangkan
organisasinya melalui berbagai aspek, mulai dari perhatian terhadap kualitas
produknya, kemasan, sarana dan prasarananya, serta kualitas sumberdaya
manusianya serta akuntabilitasnya adalah sebuah perubahan yang berarati.
Kesadaran tersebut harus melekat keseluruh jajaran serta telah menjadi visi
organiasi. Selanjutnya visi tersebut selalu disosialisasikan, yang pada akhirnya
akan menjadi budaya dalam melakukan kerja sehari-hari dan menjadi pedoman
berperilaku serta pengembangan kearah peningkatan produk.
Melihat
betapa
kompleksnya
masalah
yang
terjadi
dalam
praktik
penyelenggaraan pelayanan publik, maka upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik di Indonesia tentu saja menuntut perubahan yang holistic, menyeluruh dan
menyentuh semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan.
Upaya Peningkatan kualitas terkoptasi dengan persoalan yang terjadi dalam
aspek-aspek lainnya. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik hanya akan
berhasil kalau mampu mewujudkan perubahan yang menyeluruh dan dilakukan
secara konsisten. Perubahan tersebut harus mencakup: revitalisasi, restukturisasi,
128
John Dilulio, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings Instirtution,
1994.
292
dan deregulasi, peningkatan profesionalisme aparat dan partisipasi masyarakat,
korparatisasi, e-government,
pemberian penghargaan dan sanksi kepada unit
pelayanan masyarakat. Hanya dengan mendorong perubahan yang menyeluruh
dan menyentuh semua dimensi masalah pelayanan publik itulah yang akan
mampu memperbaiki kualitas pelayanan publik, terutama dalam memperbaiki
tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Hasil yang diharapkan dari otonomi daerah adalah pemberian pelayanan
publik yang lebih memuaskan, pengakomodasian
pengurangan
beban
pemerintah
pusat,
kedewasaan daerah serta penyusunan
partisipasi masyarakat,
penumbuhan
kemandirian
dan
program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan daerah129. Dalam hal ini terlihat bahwa otonomi daerah, merupakan
manifestasi kemauan politik untuk meningkatkan pelayanan publik 130. Di samping
itu otonomi daerah juga diakui sebagai suatu prinsip yang diperlukan demi
efisiensi pemerintahan131. Oleh kerena itu, pemerintahan perlu semakin didekatkan
kepada masyarakat, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik
(the closer government, the batter it services).
Menurut pandangan ilmu pemerintahan, salah cara untuk mendekatkan
pemerintahan
129
130
131
kepada
masyarakat
adalah
dengan
menerapkan
kebijakan
Wilson, James Q, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do it. New
York: Basic Books, Inc.1989:27-28.
Diamar, Son, ―Beberapa Catatan Dimensi Politik Pelayanan Publik‖, Makalah disampaikan
dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi
& Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta, 2003:1
Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester Masschusetts:
Allen & Unwin, Inc, 1995:4-5
293
desentralisasi132. Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) yang digulirkan 1
Januari 2001 untuk mengganti sistem sentralisasi, sebagai perwujudan dari
amanat Undang-undang tentang Pemerintah Daerah133, yang telah memberikan
perluasan kewenangan pada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah mau
tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus
disediakan. Pemberian otonomi ini, dari sisi pelayanan dipandang sebagai salah
satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali mengakibatkan
pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi.
Konsekuensinya,
pemerintah
daerah
dituntut
untuk
lebih
mampu
memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih berorentasi kepada
aspirasi masyarakat. Kalau kita diamati secara cermat, terlihat kecenderungan
rendahnya
kinerja
birokrasi
pelayanan
publik
dipengaruhi
paternalisme yang masih kuat yang mendorong pejabat
oleh
budaya
birokrasi untuk lebih
berorentasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai
penguasa, dan memperlakukan para pengguna jasa (publik) sebagai obyek
pelayanan
yang
membutuhkan
bantuannya.
Rendahnya
kinerja
birokrasi
pelayanan publik menurut Abdulwahab134 juga disebabkan oleh sistem pembagian
kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan, sehingga bawahan yang
132
133
134
Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester Masschusetts:
Allen & Unwin, Inc, 1995:8
Perubahan tersebut melalui UU 22 tahun 1999 kemudian revisi dengan UU 32 tahun 2004,
dan sekarang rubah dengan UU 23 Tahun 2014, seminggu setelahnya presiden SBY
mengeluarkan Perpu nomor 2 tahun 2014 yang merevisi UU tersebut.
Abdulwahab, Solichin, Reformasi Pelayanan Publik: Kajian dari Perspektif Teori Governance,
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Addministrasi
Universitas Brawijaya. Malang: PT Danar Wijaya 1999:7
294
lansung
yang
berhubungan dengan pengguna jasa sering tidak memiliki wewenang
memadai
untuk
merespon
dinamika
yang
berkembang
dalam
penyelenggaraan pelayanan
Banyak faktor yang mesti diperhatikan dalam membangun kualitas
pelayanan antara lain dengan menggali faktor pendorong yang menjadikan
kepuasan masyarakat. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui:
1) Kepuasan User
Perusahaan/ lembaga harus dapat mencari informasi terkait dengan
apa yang menjadi harapan masyarakat yang ingin dipuaskan atau harus
mengetahui persepsi masyarakat. Informasi tersebut didapatkan memalui
survai
masyarakat
dengan
membuat
daftar
pertanyaan
yang
dikirimkan/diberikan kepada pemakai jasa, yang selanjutnya jawaaban
masyarakat tersebut dianalisis sehinga akan memperoleh informasi yang
diibutuhkan. Apabila harapan masyarakat puas kalau harapannya terhadap
transaksi yang dilakukan maka mereka akan setia terhadap produk layanan
kita. Pertanyaan yan muncul selanjutnya adalah bagaimanan mendorong
masyarakat merasa puas.
2) Menciptakan Manajemen Pelayanan Publik
Salah satu faktor penting untuk melakukan pengembangan organisasi
pemerintahan adalah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para
masyarakat (masyarakat) yang melakukan kerjasama atau membutuhkan jasa
dalam hal pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik kepada
masyarakat adalah persoalan yang unik karena setiap masyarakat mempunyai
295
karakterisstik yang berbeda dalam setiap kontak. Perbedaan ini muncul karena
masing-masing individu masyarakat mempunyai temperamen yang berbeda.
Untuk itu dibutuhkan kemampuan profesional dalam melayani berbagai tipe
tersebut. Jasa pelayanan yang baik dan memuaskan sangat diharapkan oleh
konsumen atau masyarakat. Biasanya mereka melakukan konrtol kualitas
pelayanan dengan membandingkan harapannya dengan pengalamannya.
masyarakat akan mempunyai kenangan atau pengalaman yang tidak dapat
dihilangkan begitu saja, yang akan memberikan dampak pada siklus
selanjutnya misalnya pada pelayanan pembuatan Kartu keluarga kemudian
selanjutnya pada pembuatan KTP dll. Salah satu cara yang mampu
menetralisir kesalahan yakni dengan permohonan maaf. Untuk itu diperlukan
kehati-hatian dalam memberikan pelayanan publik dengan berdasar pada
kualitas pelayanan.
3) Service quality
Dalam memberikan kepuasan masyarakat service quality menjadi faktor
penting yang harus diupayakan. Meskipun dari sisi produk telah meyakinkan
untuk dapat memberi kepuasan kepada masyarakat namun apabila dalam
proses mendapat pelayanan dari aparat kurang baik kemungkinan yang terjadi
masyarakat tidak merasa dipuaskan dengan menggunakan produk/jasa yang
mereka terima. Kepuasan terhadap kualitas pelayanan berkaitan dengan
faktor sikap dan perilaku ketika melayani masyarakat. Untuk itu maka
penyelenggaraan diklat-diklat terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku
perlu dilakukan oleh pemerintah.
296
Sebagai konsekuensinya, kinerja pelayanan instansi pemerintah harus
ditingkatkan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam
pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh,
bahkan ada beberapa yang melakukan protes bahkan menempuh jalur hukum
atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Di sisi lain, sepeti yang
diungkapkan Ashari135 juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan
prilaku oknum pemberi pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, diskriminatif,
sistem
pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit serta tidak menjamin
adanya kepastian, baik waktu maupun biaya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada
beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kualitas pelayanan
publik, diantaranya adalah:
1) Revitalisasi, rekonstruksi, dan deregulasi di bidang pelayanan publik;
2) Peningkatan profesionalisme aparat pemerintahan;
3) Pengembangan
dan
pemanfaatan
Electronic-Government
(E-
Government) bagi instansi pelayanan publik;
4) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik;
5) Pemberian penghargaan dan sanksi yang jelas kepada unit pelayanan
masyarakat.
Sebagai langkah awal dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
adalah melalui revitalisasi, restrukturisasi, dan deregulasi di bidang pelayanan
135
Ashari, Edy Topo. Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik. Makalah, Disampaikan dalam
Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi &
Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta, 2003;5.
297
publik. Dilakukan dengan mengubah posisi dan peran (revitalisasi) birokrasi dalam
memberikan layanan kepada publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah,
merubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan
kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju kearah yang fleksibel
kolaboratis, dan dari cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realistis136.
Sehubungan dengan itu, Efendi137 menegaskan
bahwa birokrasi publik jangan
mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan
selaku pelayan publik. Aspek lainnya yang penting dalam peningkatan kualitas
pelayanan
publik
adalah
melakukan
restrukturisasi
kelembagaan
dengan
membentuk organisasi yang tepat138.
Bentuk organisasi yang tepat (rightsizing) dapat diartikan sebagai upaya
penyederhanaan
birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan
organisasi yang lebih proposional, datar (flat), transparan, hieraki yang pendek
dan terdesentralisasi kewenangannya. Postur organisasi pelayanan publik nantinya
akan lebih proporsional, efektif dan efesien serta didukung oleh sumber daya
manusia yang berkualitas. Hal ini bisa terjadi apabila pejabat publik mempunyai
komitmen terhadap empat prinsip kualitas pelayanan, yaitu reliability, surprise,
recovery dan fairness139. Reabilitas menyangkut keandalan dan keakuratan dari
jasa pelayanan. Hal ini menyangkut pemenuhan akan janji. Kualitas
136
137
138
139
jasa
Widodo, Joko, Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, Surabaya: UNTAG 2001:70.
Efendi, Taufik,Pejabat Jangan Kedepankan Wewenang, Harian Singgalang, Selasa 18 April
2006, 2006:7.
Rauf, Maswardi, Bahan Propenas Bidang Aparatur Negara Tahun 2005-2009, Jakarta:
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2003: 3.
13 Berry, Leonard L, On Great Service, A Framework for Action, New York: The Free Press,
1995:17.
298
pelayanan akan sangat tergantung dan biasanya diukur atas prinsip TERRA yang
merupakan singkatan dari elemen kualitas jasa yang meliputi: Tangibles, Empaty,
Reliability, Responsiveness dan Assurance. Tangibles adalah penampilan fasilitas
fisik, alat, personil, dan bahan komunikasi.
Empaty adalah sikap memahami, memberikan pelayanan dan perhatian
kepada publik. Reliability
adalah kemampuan untuk menyampaikan pelayanan
yang andal dan akurat sesuai dengan janji. Responsiveness adalah daya tanggap
dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sedangkan Assurance adalah
pengetahuan, keramahan, kesantunan dan kemampuan untuk membangun
kepercayaan publik. Sedangkan surprise adalah cara mencapai keadaan dimana
publik pelanggan merasa kejutan positif atas pelayanan yang diberikan. Perasaan
atau keadaan ini datang dari sesuatu yang diperoleh di luar perkiraannya. Service
recovery adalah strategi organisasi untuk memperoleh kembali kepercayaan publik
yang hilang atau menurun karena telah mengalami kekecewaan atas kualitas
pelayanan yang buruk. Dan fainess adalah prinsip dalam memberikan pelayanan
pada batas yang sesuai dengan etika, ketentuan yang berlaku.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka rekonstruksi birokrasi dan reposisi
jabatan pejabat publik, disusun dengan prinsip ramping tetapi kaya fungsi, dan
menempatkan para pegawai dalam jabatan, didasarkan kepada hasil uji kelayakan
dan kepatutan, serta pengalaman yang bersangkutan. Tidak didasarkan atas rasa
like and dislike.
Sebelum revitalisasi dan rekontruksi kelembagaan dilakukan, maka langkah
pertama yang harus ditempuh adalah deregulasi, dengan mengkaji dan
299
menyempurnakan peraturan dan kebijakan yang melandasi penyelenggaraan
pelayanan di berbagai Instansi Pemerintah Daerah140 untuk lebih disesuaikan
dengan
aspirasi
reformasi
dengan
memangkas
berbagai
peraturan
yang
menghambat agar menjadi lebih sederhana/efesien dan memperpendek jalur
birokrasi yang panjang untuk kemudahan dan kelancaran pelaksanaan pelayanan.
Dalam upaya ini antara lain juga termasuk melalui penetapan berbagai standar
pelayanan, penyederhanaan kelembagaan dan rentang kendalinya.
140
Sebagaimana yang dilakukan pemerintah saat ini dengan menerbitkan berbagai peraturan yang
mengarah pada penyempurnaan pelayanan public seperti UU ASN, UU Desa ,UU Administrasi
Publik. UU Pemerintahan daerah
300
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukur, 1991, Budaya Birokrasi Indonesia, PT Pustaka Utama Grafika, Jakarta.
Abdulwahab, Solichin, 1999, Reformasi Pelayanan Publik: Kajian dari Perspektif Teori
Governance, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada
Fakultas Ilmu Addministrasi Universitas Brawijaya. Malang: PT Danar Wijaya.
Abidin, Said Zainal, 2006, Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta.
Abubakar, Azwar, 2013, Pemimpin adalah agen perubahan, dalam Pemimpin & Reformasi
Birokrasi, cetakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi XVII.
Albrow, Martin, Birokrasi. 1996, Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Adler, Mortimer J., 1984, Six great ideas. New York, Touchstone Rockefeller Center.
Anwar Shah, January, 2006, World Bank Policy Research Working Paper 3824.
Apeldoorn, Van, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.
Arifin, Anwar, 2006, Pencitraan Dalam Politik, Jakarta: pustaka Indonesia.
Ashari, Edy Topo, 2003, Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik. Makalah,
Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik:
Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel
Indonesia Jakarta.
Ashari, Edy Topo, 2009, Sistem Pembinaan SDM PNS, Makalah, Badan Kepegawaian
Negara, Jakarta
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, (Jakarta:
Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta.
Barzelay, M. & Babak. J. Armajani, 1992, Classics of Public Administration, Fifth Edition,
Wordawoith, Thomson Learning Academic ResourceCentre, Belmont,CA.
Benveniste, Guy, 1997, Birokrasi (terjemahan Sahat Simamora), Jakarta, Rajawali Pers.
Berry, Leonard L, 1995, On Great Service, A Framework for Action, New York: The Free
Press.
Budi Winarno, Prof.dr. MA, 2007, Sistem Politik Indonesia, Jakarta PT. Buku Kita
Budi Santoso, Priyo, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan
Struktural, Jakarta, P.T. Raja Grafindo Persada
Budiardjo, Miriam, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet ke 6, Jakarta,
Gramedia.
Cipto, Bambang, 1996, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Cooley, C. H., 1902, Human nature and social order, New York: Scribner's.
Denhardt, KG, 1988, The Ethics Of Public Service: Resolving Moral Dilemmas In The
Public Organizations, New York, Greenwood Press.
Detik.com,
Jumlah
PNS
Makin
Gemuk
Dalam
10
Tahun
Terakhir,
https://finance.detik.com/read/2014/09/01/065131/2677344/4/jumlah-pns-makingemuk-dalam-10-tahun-terakhir
Diamar, Son, 2003, Beberapa Catatan Dimensi Politik Pelayanan Publik, Makalah
disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik:
Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel
Indonesia Jakarta.
Dilulio, John, 1994, Deregulating The Public Service, Washington, D.C: The Brookings
Instirtution.
301
Dwiyanto, Agus,, 2002, Reformasi birokrasi publik di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan (PSKK). UGM.
…………………., 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Eep Saefulloh Fatah, 1998, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Eko
Budi
Sulistio,
2013,
Konsep Birokrasi, staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/
files/2013/09/01-Konsep-Birokrasi.pdf.
Efendi, Taufik, Pejabat Jangan Kedepankan Wewenang, Harian Singgalang, Selasa 18
April 2006.
Effendi, Taufiq, Reformasi Birokrasi: Sebagai Strategi Untuk Menciptakan Kepemerintahan
Yang Baik dan Pelayanan Publik Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan
Kesejahteraan Rakyat. Disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor
Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Tanggal 27
Oktober 2008.
E. Stiglizt, Joseph, 2003, Globalization And It's Discontents, Quebecor fairfiled
Fienso Suharsono, 2010, kamus hukum, jonggol, Van‘Detta Publishing.
Fung, Archon, 2006, Varieties of Participation in Complex Governance. Public
Administration Review, didownload dari www.archonfung.net
Giddens, Anthony, 1986, Capitalism and Social Modern Theory : An Analysis of Writing of
Mark, Durkheim and Max Weber, terjemahan Soeheba K., Jakarta, UI Press.
Gie, The Liang, 2006, Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta, Universitas Terbuka.
Gramsci, Antonio, 1971, Americanism and Fordism dalam Selection from the prison
notebook. London, Lawrence and Wishort.
Hanna litaay Salakory, 1997, Aspirasi dan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan, Politik:
Filosofi dan Sejarahnya di Indonesia, Jakarta, Bina Darma
Haricahyono, Cheppy, 1991, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya.
Haris S, 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan
Obor Indonesia dan PPW LIPI Jakarta.
Hendra, Novi, Sistem Pemilihan Umum, https://www.slideshare.net/Hennov/sistempemilihan-umum, akses tanggal 10 Oktober 2013.
Hetifah Sj, Sumarto, 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Imawan, Riswanda, Membedah Politik Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1998
Indarto, 2003, Kepemimpinan Asta Brata, Back to Nature, Bandung, STPDN Press.
Indrati S, Maria Farida,2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Yogyakarta, Kanisius.
Jabbra, J.G dan Dwivedi, O.P, 1989, Public Service Accountability. Conneticut Kumarian
Press, Inc.
Jeremy Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional
(Buku PanduanTransparency International, alih bahasa Masri Maris, ditertibkan
atas kerjasama Transparency International Indonesia dengan Yayasan Obor
Indonesia dan TI Indonesia, Jakarta, April 2008.
Junaidi, Veri, 2013, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Partisipasi Dan Keterbukaan
Publik Dalam Penyusunan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD Dan DPRD, Yayasan Perludem, Jakarta.
Kartiwa, Asep, Reformasi Birokrasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Baik
(Good Local Governance) Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda
302
Mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005 bertempat di
Gedung Anton Soedjarwo Secapa POLRI Sukabumi
Kartono, Kartini, 2003, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Bina Aksara.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan
Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kolb, Rubin, dan Osland, 1991, The Organizational Behavior Reader (5Th ed). New
Jersey, Prentice Hall Inc.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Panduan untuk
memahami tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi, 1996, Etika administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Lexie M. Giroth, 2004, Edukasi dan Profesi Pamong Praja, Public Policy Studies, Good
Governance and Performance Driven Pamong Praja, Jatinangor, STPDN Press.
Luthans, Fred, 2007, Perilaku Organisasi, Penerbit Andi, Jakarta.
Mikkelsen, Britha, 1999, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia.
Mintzberg, H., 1993, The pitfalls of strategic planning, California Management Review,
Vol. 36 No. 1, pp. 32-47
Miriam Budiardjo, 1998, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
…………............., 1993, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, cet-XIX.
Muskamal, 2013, Model Assesmen Kebutuhan Pengembangan Kapasitas ( Capacity
Building Need Assesment ) Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi, LAN-Pusat kajian dan Diklat Aparatur II, Makassar.
Mowday, R.T, Porter, L.W dan Steers R.M., 1982, Employee OrganizationLingkages: The
Psychology of Commitment, Absenteeism and Turnove, .London: Academic Press
Inc
Myers, Michele Tolela and Gail E. Myers, 1988, Managing By Communication, New York,
New Newsey, London, Mc. Graw Hill Int. Book. Co.
Ndraha, Taliziduhu, 1997, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta.
……………………., 1997, Pengantar Teori: Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Noer, Deliar , 1983, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali.
Nurtjahjo, Hendra, dkk, 2013, Memahami Maladministrasi, Jakarta, Ombudsman Republik
Indonesia.
O‘Rielly, Chatman & Caldwell, 1991, People and organizational culture: A profile
comparison approach to assessing person-organization fit, Academy of
Management Journal, 34, pp. 487–516
Pamudji, 2001, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara,
Pasolong, Harbani, 2008, Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta.
P. Pigors, 1935, Leadership and domination, Boston, Hougton Mifflin.
Rahardjo, Satjipto, 2012. Ilmu Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Rahman, Arfin , 2002, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC.
Rasjidi, Lili, Prof Dr. H. dan Rasjidi, Liza Sonia, 2012, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Rasyid, Ryaas, 2002, Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan,
Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Rauf, Maswardi, 2003, Bahan Propenas Bidang Aparatur Negara Tahun 2005-2009,
Jakarta,Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Rewansyah, Asnawi, 2010, Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance, Jakarta,
Yusaintanas Prima.
303
Riswanda Imawan, 1998, Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
Robbins, Stephen. P, 1992. Essensials of Organizational Behaviour. New Jersey: PreuticHall.
……………..,1994, Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: Jusuf
Udaya. Jakarta, Arcan.
………………, 2002, Organizational Behaviour, New Jersey : Prentice Hall Publishing Inc.
Rourke, Francis E, 1922, Bureucracy, Polities, and Public Policy, Toronto : Little Brown and
Company .
Rukminto Adi, Isbandi, 2007, Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari
Pemikiran Menuju Penerapan. Depok, FISIP UI Press.
Said, Mas‘ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press.
Santosa, Pandji, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung :
Refika Aditama.
Sartori, Giovani. 1976. Parties and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge:
Cambridge University Press.
Schein, Edgar H, 1992, Organizational Culture and Leadership, Jossey Bass, San
Francisco.
Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang:
Puskodak Undip.
Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi : Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta,
Ghala Indonesia.
………………..1983, Administrasi Pembangunan. Jakarta, Gunung Agung.
……………….. 2000, Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.
Sitepu, Antonius, 2004, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fisip-Press.
Smith, B. C., 1988, Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books, Sussex.
Smith, B.C, 1995, Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester
Masschusetts, Allen & Unwin, Inc.
Soesilo Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Jakarta:
Bumi Aksara.
Soerjono, Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, PT. Rajawali
Sofo, F,. 2003, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ed 1. Surabaya, Airlangga
University. Press.
Sugandha, Dann, 1986, Kepemimpinan didalam Administrasi. Bandung, Sinar Baru.
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Memahami Good Governence: Dalam Perspektif Sumber
Daya Manusia, Yogyakarta ,Gava Media.
Sulistio,
Eko
Budi,
2013,
Konsep
Birokrasi,
di
download
dari
staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/01-Konsep-Birokrasi.pdf
Sumarno dan Yeni R.Lukiswara, 1992, Pengantar Study Ilmu Politik, Bandung, Citra Adtya
Bakti.
Supriatna, Tjahya, 1997, Birokrasi, Pemberdayaan, dan Pengentasan Kemiskinan,
Bandung, Humaniora Utama Press.
Syafei, Inu Kencana, 2003, Kepemimpinan Pemerintah Indonesia, Bandung, Refika
Aditama.
Syed Hussein Alatas, 1981, Sosiologi Korupsi, Jakarta , LP3ES.
Thoha, Miftah, 1991, Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi, Yogyakarta, Widya Mandala.
…………………, 2001. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
…………………, 2002, Perspektif Perilaku Birokrasi Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi
Negara Jilid II, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
304
…………………, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana
Prenada.
Tjokromidjojo, Bintoro, 1974, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta, LP3ES.
Transparency International, 2013, Corruption Perceptions index, www.transparency.org
Utomo, Warsito, 2006, Administrasi Publik Baru Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wachs, M, 1985, Ethics in Planning Center for Urban Policy Research. The State University
of New Jersey.
Widodo, Joko, 2001, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, Malang, CV Citra Malang.
Widodo, Joko, 2001, Good governance, telaah dari dimensi akuntabilitas dan kontrol
birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Surabaya: Insan Cendekia
Wilson, James Q, 1989, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do
it. New York: Basic Books, Inc.
Wimalasiri, Jayantha, 1991, Value orientations of the Chinese in Singapore : structure,
content and implications, Boston Spa, West Yorkshire.
West, M.A., 2000, Mengembangkan Kreatifitas dalam Organisasi, Kanisius,Yogyakarta.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
B. Bahan Lainnya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah diganti dengan Undang-Undang 23 tahun
2014 kemudian di ganti dengan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
305