HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Rabu, 2021/11/08 12:37 WIB
Geram Disebut Pedofil, Saipul jamil Polisikan Psikolog Lita Gading
-
Rabu, 2021/11/08 11:13 WIB
Gracia Indri Pamer Momen Dilamar Kekasih Hati
-
Rabu, 2021/11/08 11:22 WIB
Cuitan Tentang Baby Gala Jadi Pro-Kontra, Ernest Prakasa Klarifikasi
-
Rabu, 2021/11/08 15:48 WIB
Kemalingan Sepeda Lipat, Arief Muhammad Ancam Pelaku Kembalikan 1 x 24 Jam
-
Sabtu, 2021/11/05 10:09 WIB
Sopir Vanessa Angel dan Bibi Tuai Hujatan hingga Trending Topic
-
Rabu, 2021/11/08 10:46 WIB
8 Orang Tewas di Konser Travis Scott, Kylie Jenner Buka Suara
|
Thread Tools |
7th September 2012, 00:50 |
#581
|
Mania Member
|
Impor itu menarik, murah, dan...
PRINSIP dagang -- dengan modal sekecil-kecilnya meraih laba sebanyak-banyaknya -- ternyata sangat menentukan ayunan langkah yang diambil TV swasta di Indonesia yang waktu itu masih regional, baik RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Jakarta maupun SCTV (Surya Citra Televisi) Surabaya. Hal ini bisa dibuktikan dari pelbagai acara yang dipancarkan dari kedua stasiun tersebut. Kaktu itu, hampir 90% merupakan program impor. Apakah itu film hiburan, film pendidikan, ataupun film-film yang bersifat informasi, hampir semuanya didatangkan dari luar negeri.
Sedangkan acara yang merupakan produksi sendiri bisa dihitung cukup dengan 10 jari. Sebutlah misalnya sinetron Opera Tiga Jaman, Aneka Citra (iklan), Seputar Indonesia, Forum Diskusi, Rocket (musik), dan Kuis Keluarga yang sudah habis masa putarnya. Itu di RCTI. Di SCTV program lokal lebih sedikit jumlahnya. TV swasta yang waktu itu masih regional di Surabaya ini, selain menampilkan beberapa siaran produk RCTI -- seperti Rocket, Opera Tiga Jaman, Wok With Yan, Basic Training, Miami Vice, Tour Of Duty, Knight Rider, 21 Jump Street, Mac Gyver, dan Seputar Indonesia -- SCTV saat itu acara sendirinya hanya membuat program Ramadhan: Kisah-Kisah Islam dan Dakwah Puasa, dengan waktu siaran setengah jam. Kalau dihitung berdasarkan panjangnya siaran, dalam sepekan RCTI hanya "menyisihkan" waktu untuk menayangkan produksi sendiri sepanjang empat jam saja. Alias sekitar 4% dari panjang total siaran yang 100 jam sepekan. Sisanya, setelah dipotong dengan relai siaran berita dari TVRI (Berita Nasional dan Dunia Dalam Berita), semua tayangan RCTI waktu itu merupakan produk impor. Akan halnya SCTV, bolehlah dibilang "lumayan". Karena ada acara Kisah-Kisah Islam dan Dakwah Puasa, volume produk buatan sendirinya mencapai angka 7,6% dari siaran total yang 78 jam dalam sepekan. Kenapa TV swasta waktu itu enggan membuat acara sendiri? Pertimbangan utamanya tetap saja perhitungan untung rugi. "Acara-acara impor itu murah dan sangat menguntungkan," kata Alex Kumara, Direktur Teknik RCTI. Untuk sebuah film dengan masa putar 60 menit, RCTI waktu itu cukup membayar 2.000 sampai 3.000 dolar, atau (paling mahal) sekitar Rp 5,8 juta. Jadi, seperti film Mac Gyver -- yang sarat iklan -- harganya Rp 5,8 juta itulah. Sedangkan untuk film-film cerita lepas, ini lebih mahal, antara 5 ribu dan 20 ribu dolar per judul. " Film-film yang tergolong box office memang sangat mahal," kata Alex. Salah satu contohnya adalah First Blood, yang dibintangi Sylvester "Rambo" Stallone. Kendati begitu mahal, harga film impor belum ada artinya jika dibandingkan biaya memproduksi film sendiri. Forum Diskusi, yang hanya menggunakan satu tempat shooting, misalnya, dalam waktu satu jam bisa menghabiskan biaya Rp 10 juta. Sementara film sinetron -- seperti Opera Tiga Jaman -- bisa menelan Rp 40 juta, juga untuk masa putar 60 menit. Sialnya, sudah mahal, "produk lokal ini susah dijual". Tentang ini, Alex Kumara bicara terus terang. Contohnya acara Dialog Ekonomi dan Melody Memory. Setelah muncul beberapa episode, dan ketahuan bisa merebut perhatian banyak pemirsa, baru ada perusahaan yang mau memasang iklan di sana. "Itu pun dengan harga khusus," katanya. Sikap seperti ini, kata Alex, sudah sangat longgar. Artinya, RCTI sudah memberikan peluang yang cukup banyak untuk menampilkan produksi sendiri. Padahal, di Amerika dan Eropa, sebuah produk waktu itu akan langsung disetop setelah empat kali diputar tidak juga menghasilkan untung. Keterangan Alex diperkuat oleh Abdul Hamid Mohamed, manajer program TV3 (TV swasta di Malaysia). Katanya, harga produksi sendiri -- seperti drama -- di Malaysia bisa mencapai 40 ribu ringgit (sekitar Rp 28 juta). Sedangkan kalau mengimpor, cukup mengeluarkan biaya seprtiganya saja. Sangat masuk akal, kalau pada usianya yang waktu itu baru 2 tahun, RCTI saat itu tidak atau belum akan berpaling ada produk-produk lokal. Selain sangat mahal, menayangkan film lepas buatan Indonesia bukanlah perkara gampang. Menurut Alex, waktu itu sebuah film nasional baru bisa diputar di televisi setelah melalui masa edar di bioskop selama lima tahun. Jadi, daripada menunggu sampai satu masa Pelita (pembangunan lima tahun), yang membuat film itu tidak populer lagi, alternatif lain tentu impor film dengan harga murah. Untuk memperoleh film asing waktu itu, RCTI gagal mengunjungi bursa film di Cannes (Prancis) dan Hollywood, yang masing-masing diselenggarakan dua kali dalam setahun. Dari kedua pasar itu, biasanya, RCTI memborong puluhan paket acara. Dan kalau dikalkulasikan, TV swasta ini waktu itu cukup membayar 1 juta dolar untuk masa putar 400 jam. Memang, bukan cuma film hiburan atau pendidikan yang digandrungi pemirsa. Film-film olahraga pun, berdasarkan survei saat itu, termasuk acara yang merebut banyak penggemar. Apalagi acara olahraga yang berupa siaran langsung. Untuk live show model ini, RCTI memberikan perhatian ekstra. Siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Inggris dan Italia, contohnya. RCTI ketika itu sudah meneken kontrak dengan International Management Group (agen yang memegang hak penyiaran peristiwa olahraga tingkat dunia) untuk 76 pertandingan. Harganya lumayan mahal, sekitar Rp 2,66 milyar. Atau Rp 35 juta per paket siaran langsung. Kendati mahal, acara impor tetap lebih menguntungkan, karena digemari oleh pemasang iklan. Buktinya, banyak penonton yang kesal karena sebuah iklan bisa "nyelonong" di tengah-tengah acara begitu saja. Tanpa basa-basi. Padahal, layar TV sedang menampilkan acara yang seru. "Saya sampai tidak sempat melihat gol yang dicetak, karena terhalang iklan," seorang pemirsa mengeluh. Perkara berkeluh-kesah, siapa pun boleh melakukannya. Tapi kapan dan di saat apa sebuah iklan harus muncul, haknya tetap berada di tangan penyelenggara siaran. Apalagi, menurut Alex, perolehan iklan di RCTI saat itu baru mencapai 40% dari jatah yang diperbolehkan. Sedangkan untuk mencapai titik impas, "Kami harus mampu mengisi 80%," katanya. Hanya saja, 40% bukanlah penghasilan kecil. "Jatah" yang diberikan departemen untuk pemasangan iklan adalah 20% dari jam total siaran. Nah, RCTI ini kan waktu itu mengudara sekitar 400 jam sebulan. Sehingga ia punya "jatah" memasang iklan sepanjang 80 jam setiap bulan. Alhasil, yang 40% itu sama artinya dengan 36 jam alias 2.160 menit, yang kalau dikalikan dengan tarif iklan termurah (Rp 2,7 juta per menit) RCTI bisa meraih pendapatan minimal sekitar Rp 5,2 milyar per bulan. Angka ini, kalau dibandingkan dengan biaya mengimpor film ditambah biaya merelai siaran langsung (sekitar Rp 4,9 milyar), jatuhnya nyaris seimbang. Nah, tidaklah kebetulan bila RCTI membagi beban ini dengan SCTV di Surabaya. Sesuai dengan penjanjian yang telah diteken, 35% biaya dari produk impor merupakan tanggungan SCTV. Dengan demikian, RCTI waktu itu hanya membayar sekitar Rp 3,25 milyar. Tapi apa boleh buat, biarpun sudah ada hitungan kasar seperti itu, TEMPO belum bisa menyatakan RCTI telah melaba atau masih merugi. Soalnya, masih banyak biaya lain -- seperti untuk membuat program acara sendiri -- yang sangat banyak kalau dirinci. Terlebih SCTV, yang waktu itu baru mengudara beberapa, su bulansah diduga sampai di mana napasnya saat itu. Terlepas dari keadaan saat itu, tampaknya TV swasta di negeri berkembang seperti Indonesia agak mustahil kalau sampai merugi. Ini berdasarkan perkiraan jangka panjang. Apalagi lahan ini merupakan captive market, yang sepi dari pesaing. Contoh paling dekat adalah TV3 di Malaysia. Ketika dibangun (1984) TV3 hanya menelan investasi 45,7 juta ringgit. Pada tahun pertama, penghasilan iklannya memang belum apa-apa. Tapi lima tahun kemudian (1989), TV3 menerima pembayaran iklan sekitar 100 juta ringgit (dalam setahun) atau sekitar Rp 70 milyar. Dan laba bersihnya mencapai 15,4 juta ringgit (Rp 10,7 milyar). Mungkin, karena melihat prospek yang cerah itulah, RCTI waktu itu berniat mengembangkan sayapnya. Perhitungannya sederhana. Membuka stasiun baru, misalnya, tidaklah membutuhkan investasi yang terlalu besar. Sementara meluasnya jangkauan penonton, kata Alex, pasti dapat memperbesar animo para pemasang iklan. Sebagai langkah pertama, RCTI waktu itu sudah menanamkan modalnya untuk membangun stasiun di Bandung dengan dana 10 juta dolar. Dengan menyewa transponder Palapa seharga 1,2 juta dolar, di Kota Kembang ini RCTI saat itu optimis mengudara pada pertengahan April 1991 atau beberapa hari setelah Lebaran. Setelah Bandung, yang jadi sasaran adalah Bali. Ini diincar oleh SCTV Surabaya, yang sudah mengantungi izin dari Pemerintah. Menurut rencana, stasiun yang akan mulai dibangun Juli 1991 itu bisa menelan investasi sekitar 25 juta dolar. "Pasar yang sudah jelas memang masih sekitar Jawa dan Bali," kata Alex. Ketika itu, RCTI juga sedang melakukan sebuah studi kelayakan, untuk melihat kemungkinan mengudara di Yogyakarta. Tak jelas, berapa lama studi kelayakan itu akan berlangsung, namun sudah ada selentingan bahwa TV swasta lain berencana muncul di Yogya tahun 1991 juga. Yang pasti, selain jaringan siaran diperluas, acara-acara produksi dalam negeri pun tampaknya akan ditambah. Setelah Opera Tiga Jaman, bulan April 1991, RCTI mulai menampilkan drama komedi baru dengan judul Dunia Dara. Setelah itu, pada bulan Mei 1991, waktu itu akan dimunculkan Lenong Modern. Danasih ada sebuah miniseri berupa drama keluarga. Setelah itu bisa dibuktikan, apakah produk-produk tersebut waktu itu akan gagal menggaet sponsor -- seperti produk lokal sebelumnya atau tidak. Siapa tahu, ada juga yang komersial. Dan waktu itu diprediksikan, suatu waktu setelah itu, produk lokal akhirnya bisa juga mengimbangi produk impor -- baik mutu maupun kemampuannya menggaet pemirsa. Soalnya terletak pada berapa besar RCTI memberi kesempatan untuk para jenius lokal. Itu saja. Dok. TEMPO, 6-12 April 1991, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 00:53 |
#582
|
Mania Member
|
Tampang indo sudah siap...
ARTIS-artis indo pada awal 90an berpeluang untuk semakin laris lagi. Pasalnya adalah SK Menpen yang mengatur soal penyiaran televisi swasta di Indonesia. Di sana disebut, ".... materi siaran niaga alias iklan harus diproduksi di dalam negeri dengan menggunakan latar belakang dan artis Indonesia...."
Orang-orang biro iklan yang bakal memasang advertensi di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) atau TV swasta lainnya, tampaknya, beranggapan bahwa tampang "Barat" memang lebih disukai penonton. "Kewajiban menggunakan artis Indonesia itu tak soal, kan banyak artis indo," kata R. Herdiyanto, Media Director Indo Ad, sebuah biro iklan yang tergolong papan atas di Indonesia. Para biro iklan waktu itu memang sibuk bersiap bukan saja untuk menyambut pencabutan dekoder RCTI yang bakal dimulai 24 Agustus 1990, juga tumbuhnya TV-TV swasta lainnya. Buat mereka ini pasar baru karena orang berhitung penonton RCTI, misalnya, bakal berlipat tiga belas. Sebelumnya cuma sekitar 500 ribu, dihitung secara kasar, dipastikan kurang lebih menjadi sekitar tujuh juta. Cukup layak jadi ajang bagi para produsen untuk memamerkan produk mereka. Belum lagi SCTV (Surabaya Centra Televisi) di Jawa Timur, TV-TV swasta lainnya, termasuk televisi pendidikan jaman itu, TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang bahkan jangkauannya mencakup seluruh Indonesia. Jelas, isi dompet mulai dihitung kembali, agar penggunaan bisa lebih efektif. Indo Ad sebagai contoh. Empat bulan (April-Juli 1990) itu ia rata-rata menyetor Rp 300 juta untuk biaya iklannya di RCTI, tapi pada kuartal terakhir tahun 1990 waktu itu diperkirakan akan naik tajam menjadi Rp 1,2 milyar. Masih ada Rp 800 juta lagi yang saat itu bakal dibagikannya buat jatah SCTV di Surabaya. Kelihatannya, orang memang tak sayang membuang banyak uang ke situ. Habis, siapa yang menyangsikan keampuhan media yang dianggap kotak ajaib itu. Cuma bau sedapnya masakan, atau wanginya parfum yang tak bisa dihantarkannya ke depan penonton. Soal gerak, warna, suara, semuanya dengan sama persis bisa langsung dikirim ke rumah-rumah pemirsa di daerah kumuh atau milik kaum gedongan. Tak heran jika tarif yang sejak itu Rp 5,3 juta untuk setiap spot -- yang lamanya cuma tiga puluh detik -- tidak menjadi halangan. RCTI sendiri berharap sekitar Rp 64 milyar setahun dapat diraupnya dari iklan. Ini berarti ia menghendaki 40 persen dari dana iklan yang tersalur di Jakarta saja. Angka sebesar itu baru 60 persen dari seluruh jatah waktu iklan RCTI -- yang merupakan 20 persen saja dari seluruh jam siaran. Otomatis, jika dana itu mengalir ke RCTI, tentu ada pihak lain yang bakal tersedot jatahnya. David Sparks, seorang tenaga ahli Survey Research Indonesia (SRI), sebuah biro penelitian terkemuka, menyebut tiga media yang akan paling menderita dengan membanjirnya iklan di kotak ajaib itu: promosi perdagangan, billboard atau iklan luar ruang, dan majalah beroplah di bawah 50 ribu. Ini memang tak terelakkan. Sebab, menurut Sparks, selama ini surat kabar atau media cetak lainnya sering menerima iklan yang kurang cocok dengan karakternya. Misalnya saja iklan kosmetik, makanan dan minuman, juga iklan-iklan yang bertujuan membangun citra yang lebih bergengsi. "Iklan-iklan seperti inilah jang bakal lari ke televisi," tutur Sparks. Dari data yang ada, porsi iklan di televisi saat itu memang masih sangat kecil. Maklum, baru RCTI yang saat itu bisa menampungnya. Dengan dicabutnya dekoder, diperkirakan porsi ini pasti melejit dari enam persen menjadi 16 persen dari dana iklan seluruh Indonesia. Sudah melejit pun jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, menurut data yang dihimpun Indo Ad, persentase itu terhitung masih mini. Di Singapura, misalnya, TV waktu itu menyedot 35 persen, di Hong Kong malah 60% persen dari total iklan di sana. Diperkirakan, Indonesia waktu itu bisa mencapai taraf itu juga, yakni jika televisi swasta sudah mengudara di semua provinsi. Saat itu Herdiyanto memperkirakan sekitar 40 persen dari iklan akan terserap oleh televisi saja. Namun, orang koran atau majalah sebenarnya tak perlu gugup dahulu. Sebuah penelitian di Inggris menyebut adanya efek berganda alias multiplied effect. Maksudnya, iklan akan lebih efektif jika produk yang sama dilihat oleh konsumennya baik di TV maupun di media cetak. "Kalau cuma TV, ia tak bisa menganalisa karena terlalu cepat," kata Sparks. Ini dibenarkan oleh Aswan Soendojo, dari Matari Inc., sebuah biro iklan papan atas juga. Ia punya contoh bagus: iklan mobil mewah. Untuk membangun citra, TV memang pas. Tetapi tentunya konsumen perlu keterangan rinci tentang mobil itu. "Ini cuma bisa diiklankan lewat koran atau majalah," katanya. Hal yang sama juga berlaku untuk iklan perusahaan yang sedang go public. Persaingan yang sudah seru ini masih dipastikan diperseru dengan terjunnya televisi pendidikan swasta jaman itu: TPI, yang juga harus hidup dari iklan, Januari 1991. Cuma, sampai saat itu orang-orang iklan masih berjaga-jaga saja. Maklum, mereka belum punya informasi yang jelas tentang "iklan yang menunjang pendidikan" sebagaimana disebut-sebut sebagai syarat iklan di sana. "Kriterianya kita belum tahu," kata Lanny Ratulangi, Direktur Pelaksana Citra Lintas, sebuah biro iklan peringkat atas. Mengurus iklan di TV memang bukan semata soal bisnis. Sebab, semua orang tahu dampak negatifnya cukup besar. Merangsang nafsu berbelanja yang berlebihan, misalnya. Itu sebabnya dalam SK Menpen juga disebut jelas dan tegas, rokok dan minuman keras haram hukumnya untuk diiklankan. Repotnya, orang-orang dari bagian kreatif di biro iklan memang kreatif. "Sebut saja namanya, orang sudah tahu ini iklan bir atau rokok," kata Lanny. Maksudnya, banyak cara bisa dipakai untuk menyelundupkan iklan kedua barang itu ke layar televisi. Dok. TEMPO, 25-31 Agustus 1990, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 00:55 |
#583
|
Mania Member
|
Sepintas melongok ke tpi
Akhir 1991, TPI waktu itu merencanakan mengudara 12 jam per hari (kecuali Minggu / hari libur tidak siaran), dan paling lambat medio 1993, semua stasiun pemancarnya selesai dibangun.
JAUH sebelum RCTI meng-Indonesia (masuk parabola), Direktur Televisi Ishadi SKsudah membayangkan akibat persaingan TVRI dengan televisi swasta. "Kami akan punya ketakutan. Ketakutan itu akan memacu kami membuat siaran yang lebih bagus," katanya setengah cemas. Dalam evaluasinya, kekalahan TVRI dari TV swasta, selain terletak pada pemilihan tema dan materi, juga pada tempo pergantian acara dan kualitas teknik. "Kualitas teknik memerlukan penggantian peralatan teknik," kata Ishadi. Tapi, selagi menunggu dana untuk meremajakan peralatan teknik, TVRI masih harus menanggung TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Maklumlah, sejak TPI diresmikan sampai kurang lebih tahun 1993-an, fasilitas dan tenaga operasionalnya masih menumpang di TVRI. Padahal, jam siaran TPI meningkat terus dari empat jam sehari (06.00-10.00), ke lima jam kurang lebih, hingga akhir tahun 1991 TPI berencana mengudara selama 12 jam. Sementara itu, Senin (24 Juni 1991), Menteri Penerangan Harmoko mengatakan bahwa beberapa satuan pemancar TVRI harus segera direhabilitasi. "Sebanyak 30 persen satuan pemancar televisi yang dibangun tahun '70-an sudah dalam keadaan tua," ujar Harmoko menjawab pertanyaan pers, seusai diterima Wapres Sudharmono di Istana Merdeka Selatan. Selain satuan pemancar, di berbagai stasiun TVRI daerah WAKTU ITU masih banyak dijumpai kekurangan peralatan primer. Seorang awak TVRI di Surabaya mengeluh, karena untuk menjaring berita ia terpaksa berebutan kamera berikut juru kameranya dengan rekan reporter yang lain. Beban itu diperberat dengan masuknya TPI, yang secara tak langsung diakui Ishadi. "TPI itu mengganggu, ya jelas. Tapi ini kan demi kepentingan nasional," celetuknya sambil tertawa. Chris Pattikawa, Kasubdit Bina Produksi Direktorat Televisi, menghitung pengalihan siaran ke TPI telah menciutkan acara TVRI hingga 13 persen. Tapi dari segi finansial, TPI memberikan 12,5% dari pendapatan iklannya kepada TVRI. "Kami gunakan untuk perawatan alat," ujar Chris. Apakah dengan begitu kekhawatiran seorang awak TVRI bisa diredakan? Sumber TEMPO itu menyatakan, beban rangkap TVRI-TPI ini membuat peralatan teknik TVRI aus sebelum waktunya. Itu terjadi ketika TVRI harus bersaing menghadapi TV swasta. Sangat lain halnya dengan TPI, yang menurut Direktur Utama PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana -- dalam keterangannya di depan Komisi IX DPR, Desember 1990 -- waktu itu diperkirakan pada medio 1993 paling lambat, studio dan stasiun pemancarnya di seluruh Indonesia selesai dibangun. Untuk itu, Cipta Televisi menyediakan tak kurang dari Rp 400 milyar. Dari mana uang sebanyak itu? Besar kemungkinan, dari perolehan iklan TPI. Coba kita berhitung. Siaran iklan TPI hanya 20% dari jam siaran. Selama 6 jam siaran waktu itu (sekitar jam 06.00-12.00), ada 72 menit yang tersedia untuk iklan. Dengan tarif iklan TPI rata-rata Rp 220 ribu per detik (tertinggi Rp 14,4 juta, terendah Rp 4,8 juta), tiap hari TPI bisa mengantungi Rp 1 milyar dari iklan saja. Atau dalam setahun -- dikurangi hari Minggu dan hari libur -- TPI beroleh Rp 313 milyar. Lalu, TVRI punya apa? Dalam perhitungan Ishadi, TVRI bisa berkembang kalau punya dana Rp 120 milyar per tahun. Sayang, pada usianya ke-29, TVRI baru memasukkan Rp 90 milyar dari iuran. "Struktur yang disamakan dengan birokrasi pemerintah membuat TVRI sulit bergerak," kata Ishadi. Dan inilah juga faktor yang menyulitkan TVRI untuk bersaing melawan TPI, apalagi RCTI/SCTV (Surya Citra Televisi). Dok. TEMPO, 6-12 Juli 1991, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 00:57 |
#584
|
Mania Member
|
Kemenangan sang rajawali
Hanya dalam tiga tahun, RCTI meluaskan jelajahnya dari sebatas Jakarta sampai ke seluruh Indonesia. Pada pertengahan 1991 penontonnya bertambah dua juta, karyawannya 480, dan iklannya milyaran rupiah.
RAJAWALI Citra Televisi Indonesia alias RCTI sejak tahun 1991 bisa dengan mantap mengepak-ngepakkan sayapnya. Terhitung 1 Juli 1991, secara resmi TV swasta pertama itu boleh menyiarkan segenap acaranya ke seluruh Indonesia, lewat transponder Palapa. Siaran ini waktu itu hanya bisa ditangkap dengan antena parabola (kecuali di Jakarta dan Bandung dapat menggunakan antena UHF), yang waktu itu dimiliki oleh sekitar 400.000 orang se-Indonesia. Berkat adanya izin untuk beriklan, dan izin terbaru untuk meng-Indonesia dengan parabola dan Palapa, maka bagi RCTI sewa transponder US$ 1,1 juta setahun tidak lagi terasa mencekik. Apalagi jumlah pemirsa, menurut Komisaris RCTI, Peter F Gontha, saat itu dipastikan bertambah sekitar dua juta. Penyebaran siaran lewat Palapa waktu itu akan membuat pentas dunia benar-benar masuk ke rumah para pemilik parabola, di manapun mereka berada. Kenyataan ini jelas merupakan kemenangan bagi RCTI. Ganjalan terakhir saat itu adalah SK Menteri Penerangan No. 111/1990 tertanggal 24 Juli 1990, yang membatasi siaran RCTI hanya untuk Jakarta dan sekitarnya. Peter Gontha mengatakan, "Sementara banyak orang sudah bisa menonton siaran dari Cina dan negeri lainnya melalui parabola, peraturan yang lama tersebut jadi kontroversial." Apalagi dalam waktu dekat setelah itu dipastikan makin banyak siaran luber dari stasiun-stasiun televisi di Selandia Baru, Australia, bahkan Amerika Serikat. Sejak diawali dengan siaran percobaan pertama kali pada 13 November 1988 (tapi resmi beroperasi per 15 November 1989 setelah ditetapkan hari jadinya pada 24 Agustus 1989), RCTI telah beberapa kali melenturkan ketentuan yang diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Radio Televisi dan Film Departemen Penerangan. Sebelum melunakkan SK Menpen No. 111, sang Rajawali lebih dulu melepaskan ketergantungannya pada dekoder pada 24 Agustus 1990. Selama dua tahun berdekoder, RCTI tercatat hanya memiliki terakhir sekitar 125 ribu pelanggan, padahal mereka sebelumnya menargetkan pada tahun 1989 pelanggan sudah ada 150 ribu orang. Mereka membayar uang pangkal dan jaminan dekoder Rp 131 ribu. Selain itu, masih dibebani iuran Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu, tergantung jumlah siaran yang dipesan. Untuk pelayanan seperti itu, menurut Direktur Teknik RCTI, Alex Kumara -- RCTI telah menanamkan investasi US$ 90 juta, ditambah ongkos dekoder yang harganya US$ 400 per unit. Tentu semua itu jadi beban. Akibatnya, target penambahan pelanggan tak tercapai. Maka, Alex Kumara lalu memutuskan untuk "mengambil langkah mundur". Taktik ini diterjemahkan oleh komisaris dan direksi RCTI dengan permohonan kepada Departemen Penerangan, agar perusahaan TV swasta itu dilepaskan dari kewajiban berdekoder. Dengan kata lain, mereka boleh menayangkan siarannya secara bebas di Jakarta dan sekitarnya. Tanggapan Pemerintah ternyata positif. Pada 24 Agustus 1990, bertepatan dengan hari ulang tahun TVRI yang ke-28 dan RCTI yang pertama, RCTI dinyatakan bebas dari dekoder. Ketetapan tersebut didahului dengan penjelasan Menteri Penerangan Harmoko di depan DPR pada 11 Juli 1990, lalu di Bina Graha (Jakarta) pada 14 Juli 1990, disusul dengan penegasan bahwa Presiden Soeharto juga sudah menyetujui RCTI tanpa dekoder. "Itu sesuai dengan permintaan mereka yang sudah lama sekali diajukan," kata Harmoko ketika itu kepada TEMPO. Peter Gontha, salah seorang direksi Bimantara Citra, pernah mengatakan bahwa dari sejak awal RCTI memang ingin mengudara tanpa dekoder. Tapi keinginan ini tidak begitu saja dipenuhi, karena katanya harus melalui, "masa percobaan untuk melihat tanggapan masyarakat ... tahapannya memang harus begitu." Gontha membenarkan bahwa pemakaian dekoder, yang secara komersial cuma berlangsung empat bulan, pada hakikatnya hanyalah merupakan testing. Dari sisi lain, testing itu bisa terlihat sebagai kesediaan Pemerintah untuk setiap kali mengubah kebijaksanaannya terhadap RCTI. Nah, setelah mengantungi izin untuk beroperasi tanpa dekoder, RCTI pun menyewa transponder Palapa hanya untuk menyalurkan programnya dari Jakarta ke Surabaya lewat Surya Citra Televisi -- sebelumnya Surabaya Centra Televisi -- (SCTV) dan ke Bandung lewat RCTI Bandung. Siapa menduga bahwa itu juga cuma testing, untuk kemudian memenangkan izin agar bisa berkibar ke seluruh Indonesia. Jangkauannya menjadi sama seperti Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), stasiun swasta yang saat itu menumpang fasilitas dan awak TVRI, yang juga berhak memajang iklan di sela-sela siarannya itu, persis seperti RCTI. Bicara tentang lonjakan penerimaan dari iklan, yang pasti terjadi setelah siarannya meng-Indonesia, Peter Gontha waktu itu tampak enggan mengungkapkannya. Hanya diperkirakan, tarif iklan rata-rata (sebelum melalui satelit) Rp 5 juta per 30 detik -- jumlah ini pasti berlipat-lipat dengan 20% porsi iklan dari 11 jam siaran. Pemirsa RCTI tentu waktu itu berharap agar dengan meningkatnya penerimaan iklan, ikut meningkat pula kualitas siarannya. Bila waktu itu karyawan RCTI mencapai 480 orang, adalah beralasan jika program impornya bisa ditekan di bawah 90%. Memang, jika dari dekoder ke transponder bisa bertahap, mengapa dari program impor ke nasional tidak? Anggap saja testing. Dok. TEMPO, 6-12 Juli 1991, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 00:59 |
#585
|
Mania Member
|
Memperebutkan rejeki iklan
DI awal era 1990-an sudah diprediksikan mulai dasawarsa tersebut adalah era televisi swasta. Ketika Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) di Jakarta diizinkan melepas dekoder pada 24 Agustus 1990, itulah titik awal masa keemasan mereka. Masa gemilang ini didukung oleh arus pemasangan iklan di layar kaca yang terus-menerus meningkat. Ketika Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) diresmikan pada 23 Januari 1991, bisnis iklan televisi sedang elok-eloknya. Bahkan bisa dibilang, TPI telah memilih saat kelahirannya secara tepat sekali.
Lalu, Oktober 1992, TPI merencanakan menambah waktu siaran selama lima jam di malam hari. Dan para pengamat pun sampai pada kesimpulan yang sama. Saatnya tepat sekali, ketika dunia bisnis yang semula lesu di bawah tekanan uang ketat, kini pelanpelan bangkit kembali. Selanjutnya adalah urusan biro iklan untuk menilai, apakah kualitas siaran tambahan TPI itu bisa dijual atau tidak kepada klien mereka. Sementara itu, para penerbit media cetak harus membuat kalkulasi lainnya pada waktu itu. Mengapa? Pangsa iklan TV swasta terus saja membengkak -- saat itu ada RCTI, Surabaya Centra Televisi -- belakangan Surya Citra Televisi -- (SCTV), dan TPI, sedangkan tahun 1993 direncanakan bertambah enam stasiun TV swasta lagi -- dan ini berarti perolehan media cetak dari iklan semakin berkurang. Sebelum TPI mulai dengan tayangan malam hari pun, jumlah iklan media cetak sudah nyata-nyata menyusut akibat agresivitas TV swasta. Perolehan beberapa media cetak bahkan merosot tajam. Itulah konsekuensi dari persaingan bisnis media massa, yang napasnya sebagian bergantung pada iklan. Kepala Urusan Iklan Harian Suara Pembaruan saat itu, Yoseph Sumantri, mengakui bahwa racikan acara TV swasta yang semakin menarik telah ikut mengurangi iklan di korannya. "Kita memang tidak bisa membendung arus itu. Terus terang, kami kerepotan menanggapinya," kata Sumantri kepada TEMPO. Suara Pembaruan mengalami banjir iklan pada tahun 1990. Berbagai produk, mulai dari mobil, obat-obatan, sampo, sabun, dan deretan toiletris lainnya sering terpampang di harian yang beredar selepas makan siang itu. Pokoknya, rata-rata per tahun, iklannya mencapai 40% halaman koran. Tapi, ketika RCTI muncul sejak 13 November 1988, iklan mobil, sampo, sabun, dan toiletris mulai enggan tampil di koran. Persentase iklan di Suara Pembaruan susut ke 35%. Belakangan, ketika dekoder RCTI dicabut pada 24 Agustus 1990 -- hingga siarannya meluas -- yang disusul dengan kehadiran TPI pada Desember 1990, iklannya turun jadi 29%. Yoseph Sumantri tak menyangkal keunggulan media elektronik yang bisa memvisualkan produk-produk secara lebih hidup dan atraktif. Ya, siapa bisa menyangkal kalau rambut indah setelah kena sampo menjadi tampak begitu memikat di televisi (karena bergerak-gerak) ketimbang di koran yang cuma diam saja. "Padahal, dari iklan-iklan produk itu bisa diperoleh pendapatan besar, dua kali dibandingkan iklan-iklan lainnya yang sampingan," katanya. Namun Sumantri enggan bicara soal angka. Kompas, harian dengan oplah terbesar di Indonesia, juga tak luput dari penurunan rezeki iklan. Wakil Pemimpin Umum merangkap Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, August Parengkuan, mengatakan bahwa sekarang mendapatkan iklan sebesar 35% (dari pemberitaan) sulitnya setengah mati. "Padahal, sampai 1990, sebelum ada televisi swasta, bisa dengan mudah memperoleh iklan sampai 50% dari porsi pemberitaan," August menambahkan. Hanya saja, peraturan Departemen Penerangan yang mengharuskan iklan maksimal 35% dari pemberitaan tak memungkinkan media cetak untuk panen iklan sebanyak itu. August Parengkuan menghitung, pangsa pasar iklan sekarang tiap bulan mencapai Rp 250 milyar. "Sejak adanya televisi yang boleh menerima iklan, sekitar Rp 50 milyar telah ter sedot ke sana," ujarnya. Iklan yang diterima Kompas saat itu 25%-30% dari pemberitaan. Setengahnya merupakan iklan baris, sedangkan iklan ukuran besar sudah tidak lagi menjadi sumber penghasilan utama. Sebuah sumber di luar Kompas menyebutkan, perolehan koran ini dari iklan setiap bulan waktu itu berfluktuasi dari Rp 6 milyar sampai Rp 7,8 milyar (angka bulan Agustus 1992). Bicara tentang pangsa iklan, rupanya ada hitungan yang berbeda. Menurut Manajer Humas RCTI Eduard Depari, pangsa tersebut saat itu Rp 900 milyar. Katanya, 55% saat itu masih dikuasai oleh media cetak, 35% oleh televisi (RCTI, SCTV, dan TPI), sisanya yang 10% dinikmati oleh radio, billboard, dan bioskop. Karena TPI menambah jam siarannya, Eduard Depari tidak menyangkal kalau pangsa iklan media cetak akan bergeser ke televisi yang didirikan Ny. Indra Rukmana ini. "Tapi saya rasa tidak terlalu memukul media besar seperti Kompas, TEMPO, Femina, dan Kartini. Dampaknya mungkin ke media cetak yang kecil-kecil," ujar Eduard. Sebenarnya, tanpa tambahan jam siaran pun, TPI sudah meraup banyak untung dari iklan. Menurut Direktur Pro Team (perusahaan yang mendukung pemasaran TPI) saat itu: Ernest Katoppo, "Sejak Oktober 1991 sampai Oktober tahun 1992, peningkatan iklan di TPI sekitar 300%." Ini luar biasa, mengingat usia TPI yang belia (pada waktu itu) dan target kenaikan iklannya "cuma" 70%." Saat itu, pendapatan TPI dari iklan Rp 5 milyar per bulan. Dengan tambahan lima jam siaran malam hari, Ernest Katoppo memperkirakan tambahan dari iklan sebesar 50%. Tapi sejak mengudara sore dan malam, TPI tidak lagi bisa menikmati seluruh pendapatan itu dengan leluasa, karena perusahaan ini harus mulai menghitung ongkos produksi serta perawatan peralatan dan studio. Lalu, bagaimana peluang media cetak? Toiletris dan produk makanan plus minuman barangkali condong ke televisi. Tapi produk-produk yang perlu didukung oleh informasi detail seperti perbankan, real estate, mobil, properti, atau mesin industri, mustahil bisa ditayangkan di televisi. Lagipula, seperti dikatakan Veronica dari Matari Advertising, hampir tidak ada produk yang diiklankan di satu media saja. Berarti, peluang media cetak masih ada, hanya tak sebongsor dasawarsa-dasawarsa sebelumnya. Dok. TEMPO, 10-16 Oktober 1992, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 01:02 |
#586
|
Mania Member
|
Suka tak suka inilah pilihan itu
ANAK-anak SD di Jakarta atau Surabaya sejak awal 90an punya pahlawan dan idola baru. Bukan lagi si Abang Jampang dari Betawi atau Pak Sakerah dari Madura, tapi Mac Gyver, String, Michael Knight, atau Spenser. Pahlawan fantasi itu secara rutin mengunjungi pemirsa RCTI (Jakarta) dan SCTV (Surabaya). Mereka memang lebih "dekat" pada anak-anak zaman itu dibanding Jampang atau Sakerah di TVRI era 80an yang bahkan ceritanya pun pada 90an hampir terkubur.
Kaum ibu boleh jadi punya kesibukan lain pada jaman itu: senam di depan layar kaca. Tiap hari, kecuali Minggu, selama setengah jam mulai 13.30-14.00 WIB, waktu itu ada acara senam Bodies in Motion atau Basic Training. Gampang diikuti dan segar karena dibawakan oleh pria-pria berotot dan cewek-cewek cantik yang padat. Siapa tahu menghemat uang karena tak perlu ke sanggar senam. Kedua acara itu sempat menimbulkan kontroversi karena banyak mempertonjolkan aurat wanita. Atau mau memasak? Saat itu pemirsa dapat hidupkan televisi pukul 13.00 siang tiap hari dan hadirlah Stephen Yan dalam acara Wok with Yan. Kadangkala, diseling oleh Elegant Appetite yang mengenalkan menu lain di luar yang disajikan Yan. Memang menarik melihat Yan -- lelaki keturunan Cina yang berdomisili di Kanada -- memasak. Ia sangat tangkas memotong bahan sambil terus melontarkan guyon. Menu disajikan Yan umumnya dari daratan Cina, dengan atau tanpa babi. Kalau suka, Anda boleh mencatat. Kalau tidak suka, ya, penonton bisa matikan saja pesawat TV. Sayangnya acara ini menimbulkan kontroversial (soalnya termasuk tayangan memasak babi). Televisi swasta mestinya menawarkan program lebih menarik ketimbang televisi pemerintah supaya pemirsa mau memindahkan saluran pesawat TV-nya dari TVRI. Setiap hari, sejak mengudara pada 13.00 WIB -- Sabtu Minggu, dan hari libur lainnya mulai pukui 08.00 -- pemirsa RCTI memang bagai "diguyur" berbagai jenis hiburan sampai lewat tengah malam. Hiburan itu tentu saja tak semua menghibur. Ada juga yang bikin "sebel", misalnya, film Another World. Film pendidikan untuk anak-anak yang saat itu diputar oleh RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi) adalah 3-2-1 Contact dan Sesame Street. Lumayan belajar mengenal angka dan huruf. Film pendidikan terbaik -- untuk anak dan dewasa -- mungkin National Geographics, yang menjelaskan soal gejala alam atau kehidupan suku terasing. Di hari Minggu, diputar Silk Road, karya NHK Jepang soal perjalanan menyusuri jalur sutera di Tibet dan perbatasan Cina. Ada banyak film kartun yang diputar. Mulai dari Dinosaucer, Dora Emon, atau Real Ghostbusters. Dora Emon tampaknya diminati karena di-dubbing sehingga berbahasa Indonesia. Lalu, film fantasi anak-anak pun beragam. Ada serial Greatest American Hero, pahlawan Amerika yang tak dapat mengendalikan posisi terbangnya itu. Ada Incredible Hulk, manusia hijau yang kuat perkasa. Ada My Secret Identity, kisah anak yang bisa terbang. Yang agak keras Captain Power, polisi robot itu. Ya, lumayan untuk menumbuhkan daya fantasi anak-anak meski khayalan semacam ini kadang kurang mendidik. Yang paling buruk di barisan ini adalah Batman, film seri lama. Yang juga buruk, setidak-tidaknya tak merangsang akal, adalah Wonder Woman -- film seri yang sempat diprotes masyarakat Surabaya. Para remaja punya serial Doogie Howser MD. Ini cerita tentang seorang anak jenius yang jadi dokter di usia 13 tahun dan karena itu sedang masa puber. Yang lain ada 21 Jump Street. Ceritanya soal polisi remaja yang menyamar untuk menyelidiki kriminalitas di kalangan remaja. Kisahnya ringan dan ada aktor kece Johnny Depp yang main sebagai polisi. Namun, memang tak ada pelajaran apa pun dari film-film semacam ini, selain hiburan. Masih ada lagi, Head of Class, lakon sebuah kelas anak-anak cerdas. Gurunya "nyentrik" dan rambutnya dikuncir. Kisah di film ini tak layak ditiru, misalnya, ada murid yang duduk di meja guru. Film komedi keluarga Who's the Boss (sudah diudarakan RCTI sejak tahun 1988 kurang lebih) sungguh bukan "adat kita". Tentang dua orang yang kumpul kebo. Yang lumayan adalah Jeffersons -- Srimulat Amerika -- tentang juragan binatu George Jeffersons yang selalu bertengkar dengan pembantu, tetangga, dan calon besan. Ini guyon khas orang hitam, yang kadangkala mengolok si putih di Amerika sana. Film ini menarik karena dialog-dialog lucu yang dilontarkan mengejutkan urat geli. Setara dengan Golden Girls (sudah diudarakan RCTI dari tahun 1988), cerita tiga wanita separuh abad dan seorang nenek yang hidup di satu rumah. Yang biasa-biasa saja juga ada, misalnya Growing Pains. atau Family Ties. Yang termasuk banyak penggemarnya tentu saja Knight Rider. Ini cerita tentang Michael Knight, petugas sebuah yayasan yang sering ditugasi melacak kejahatan. Modalnya, KITT -- sebuah mobil berkomputer yang mampu bicara. Khayal soal mobil canggih itu menarik minat banyak orang. Yang senada dengan film ini adalah Airwolf. Bedanya, Michael Knight punya mobil canggih, sedangkan String Hawk, si pilot, punya helikopter masa depan yang dilengkapi komputer supercanggih dan peralatan perang. Hawk, yang bekerja untuk pemerintah, hampir setiap kali menghajar ludas lawannya di udara. Yang menandingi reputasi Knight Rider dan String Hawk adalah Mac Gyver, andalan yayasan riset Phoenix. Kehebatan Mac Gyver adalah selalu melumpuhkan lawannya dengan akal, lewat ilmu kimia dan fisika yang prima. Di barisan film action bisa disaksikan Miami Vice. Berkisah ihwal pemberantasan narkotik oleh polisi-polisi Miami. Menarik, selain karena sang pemeran adalah aktor ganteng Don Johnson -- sebagai Sonny Crocket -- kisah-kisah polisi semacam ini disukai di sini. Lagi pula, alam Miami yang indah dan cewek-cewek yang kerap pamer sekwilda alias sekitar wilayah dada, menjadi bumbu khusus di film ini. Film sejenis Miami Vice, antara lain Spenser for Hire, kisah detektif swasta, atau Jake and the Fatman, cerita detektif swasta dan pengacara andal yang bekerja sama. Masih ada Wise Guy yang dibintangi Ken Wahl, dan Fall Guy, kisah "stuntman" yang dimainkan oleh Lee Majors. Film semacam ini enak ditonton, terutama untuk otak yang lagi capek berpikir. Semata hiburan. |
7th September 2012, 01:03 |
#587
|
Mania Member
|
SUKA TAK SUKA INILAH PILIHAN ITU (Bag. 2)
Yang agak berat adalah LA Law. Bercerita tentang sebuah firma hukum yang penuh hiruk-pikuk dan penuh debat, mulai soal penjatahan kasus sampai soal pemecatan sekretaris kantor. Kasus yang mereka tangani di pengadilan juga banyak yang aneh-aneh, dan kebanyakan dialog di pengadilan seru dan argumentatif. Namun, ada yang tak cocok dengan "budaya hukum" di sini. Kasus seorang istri yang dianiaya suaminya dalam pengadilan di sini akan segera dinyatakan sebagai kasus tertutup.
Mereka yang suka cerita fiksi boleh menyimak Starman. Paul Forrester, manusia dari bintang di langit, mengembara di bumi dan tiba-tiba punya anak. Kehadirannya diendus CIA dan FBI yang mengejarnya untuk bahan riset. Yang agak "berat" dan kadangkala aneh adalah Twilight Zone. Penggemar film perang punya Tour of Duty, kisah pasukan AS di Vietnam. Alam Vietnam, serunya perang, dan kritik oleh pasukan AS sendiri soal keterlibatannya di sana, membuat film perang ini menarik ditonton. Tapi yang penting, penayangannya tiap Selasa pada pukul 20.00 WIB, saat mata belum mengantuk. Film seri tengah malam hampir tak ada yang menarik. Hero of Shaolin, film kungfu, sama saja dengan yang ada di video-video rental. Werewolf, kisah manusia yang bisa menjelma jadi serigala, tak begitu istimewa. Apalagi Another World yang membosankan itu. Film-film ini mungkin hanya menjadi teman bagi mereka yang sulit tidur. RCTI dan SCTV saat itu punya serial lepas yang bagus. Misalnya Shogun, kisah samurai nakhoda Inggris yang terdampar di Jepang dan diangkat dari novel laris karya James Clavell. Atau crime story yang waktu itu tengah menyajikan cerita-cerita Alfred Hitchcock. Atau serial koboi Paradise yang merupakan favorit pengamat politik luar negeri Juwono Sudarsono itu. Bagaimana dengan produksi RCTI sendiri? Acara-acara yang diproduksi sendiri oleh RCTI tak lepas dari unsur mencari iklan sebanyak-banyaknya. Simaklah Celah Belanja, hampir sepenuhnya iklan. Juga Gelar Sarinah, yang merupakan pergelaran mode dan mereknya. Busana yang ditampilkan memang apik. Tapi paket ini tak menonjolkan inti acara itu. Kamera juga tak sigap menangkap detail busana, yang mestinya ditonjolkan. Akhirnya, yang dipamerkan bukan info perkembangan mode, tapi sekadar unsur extravaganza. Ada acara Cinema-Cinema (dipandu Mayong Surlaksono dan Ira Wibowo) yang bercerita soal di balik pembuatan film, yang hampir serupa dengan On Location yang juga disiarkan RCTI. Sinetron satu-satunya milik RCTI, Opera Tiga Jaman, waktu itu masih jauh dari lucu. Yang bagus justru Seputar Indonesia hasil liputan RCTI-SCTV yang mengetengahkan "berita". Selain aktual, lebih mendalam penggalian masalah, terkadang lebih berani dibanding berita-berita TVRI. Andai saja televisi swasta di sini sejak itu sudah diizinkan menyiarkan berita hasil liputan sendiri, RCTI bisa jadi pilihan yang berarti. Produksi RCTI yang boleh dibilang bagus adalah urusan-urusan musik, Pentas musik dan Melodi Memori. Banyak cabang olahraga yang disiarkan RCTI -- balap mobil, basket, tenis, golf, tinju, dan lainnya -- tetapi yang memikat pemirsa adalah siaran langsung sepak bola dari Italia dan Inggris. Siaran yang sampai menggeser Dunia Dalam Berita TVRI ini belakangan disisipi kuis yang juga banyak pesertanya. Cuma saja, penempatan iklan akhir-akhir itu sangat mengganggu karena di tengah-tengah permainan. Suatu kali dalam pertandingan Everton melawan Southampton di divisi satu Inggris, sebuah gol lewat dari mata pemirsa, saat itu terpotong suara orang batuk dari iklan Decolsin. Pembawa acara Dali Tahir dengan penguasaan bahasa Italianya membantu menuntun penonton walau ia makin sering salah menyebut nama pemain. Acara musik untuk remaja yang ditunggu-tunggu memang waktu itu masih Rocket. Musiknya aktual, Gladys Suwandi yang membawa acara ini sedap dipandang, tetapi suaranya rada berteriak dan terkesan gugup. Acara itu pun juga dipandu Jeffry Waworuntu. Lalu ada Chart Attack, yang memperdengarkan lagu-lagu yang lagi hit di mancanegara. Masih ada American Top 10, lagu-lagu jagoan di Negeri Paman Sam. Adapun acara diskusi, banyak pemirsa yang tertarik. Seperti halnya Seputar Indonesia, mimbar itu lebih bebas -- itu jika dibandingkan acara sejenis di TVRI. Masalah yang diangkat pun yang sedang jadi topik di masyarakat. Cuma saja, Dialog Ekonomi jadi kurang sedap gara-gara sang moderator sering hanya jadi penonton menyaksikan para panelis berbantahan. Namun, harap maklum. Kehadiran televisi swasta kala itu belum lama, masih belia. Yang lebih penting bagi masyarakat -- walau baru sebagian masyarakat perkotaan --tentulah ada alternatif untuk menonton. Anda suka. silakan terus menyimak, kalau tak suka silakan ganti saluran. Bayangkanlah kalau cuma ada satu saluran, mau pindah ke mana lagi? Dok. TEMPO, 6 - 12 April 1991, dengan sedikit perubahan |
7th September 2012, 01:04 |
#588
|
Mania Member
|
Tpi malam dari pondok gede
TELEVISI Pendidikan Indonesia (TPI) dipastikan menambah jam siarannya mulai 10 November 1992. Setelah siaran pagi dan siang (pukul 05.30-13.30), kemudian istirahat satu setengah jam, TPI mengudara lagi sore dan malam hari, pukul 16.00-21.00.
Siaran malam tambahan ini untuk sementara cuma untuk pemirsa di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek). Di luar Jakarta, hanya mereka yang mempunyai antena parabola yang bisa mengikutinya. Khusus untuk siaran malam itu, TPI menggunakan stasiun pemancar sendiri di Pondok Gede, dekat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Artinya, siaran malam ini tidak lagi menumpang fasilitas TVRI seperti selama dua tahun pertama (1990-1992). Namun, perangkat pemancar TPI di Pondok Gede saat itu baru peralatan master control. Belum ada studio. Karena itu, siaran malam TPI untuk sementara hanya tayangan rekaman yang dibuat di Studio 12 TVRI. Selain film dan sinetron, ada kuis keluarga, drama komedi, dan ceramah agama. Juga beberapa film yang menyedot pemirsa, seperti Mahabharata, dipastikan untuk diputar ulang malam hari, mulai episode pertama. Tidak seperti siaran siang hari, siaran malam TPI saat itu tidak menayangkan acara pendidikan. Menurut Direktur Operasi TPI Fahmi Alatas, karena siaran malam ini belum nasional. "Jika pendidikan disiarkan malam hari, yang tambah pintar cuma masyarakat Jakarta, dong," katanya tertawa. Siaran Jakarta itu menunjukkan TPI mencoba mandiri. Untuk ini, diperlukan investasi cukup besar. Menurut sebuah sumber TEMPO, untuk menyewa satelit saja dibutuhkan dana Rp 12 milyar setahun. Sedangkan untuk membangun stasiunnya, TPI sudah mengeluarkan dana Rp 24 milyar. Semua itu belum termasuk peralatan master control dan antena pemancar yang dibeli dalam bentuk pinjaman. Padahal, stasiun pemancar di Pondok Gede tersebut waktu itu masih jauh dari rampung. Di lokasi seluas 11 hektare ini terlihat cuma satu bangunan setengah jadi, yang kelak digunakan sebagai ruang master control. Namun, dengan menyelenggarakan siaran malam, TPI mengharapkan bisa mengumpulkan modal melalui iklan. Sejauh itu pendapatan iklan TPI memang cukup menjanjikan. Kendati belum mencapai target 20% dari waktu siaran waktu itu, pengisian iklan sebesar 12% dari delapan jam siaran, TPI berhasil mengumpulkan dana Rp 5 milyar sebulan. Menurut data Survey Researsch Indonesia (SRI), sampai Agustus 1991, ada 50 produk yang dipromosikan lewat TPI. Bagaimana dengan siaran malam? "Kami optimistis," kata Ellasari, staf Proteam, perusahaan marketing yang kala itu dikontrak TPI. Saat itu saja sudah terdaftar iklan bernilai Rp 500 juta. Padahal, target iklan siaran malam ini pada waktu itu hanya Rp 2,5 milyar. "Kalau begini, naga-naganya target itu akan terlampaui," kata Ellasari yakin. Selain itu, ujar Ella lagi, banyak produk yang sasaran pasarnya kawasan Jabotabek. Di kawasan ini, menurut survai SRI waktu itu, jumlah televisi hitam putih lebih banyak. Jenis pesawat itu hanya bisa menangkap siaran TPI pagi-siang dan TVRI yang menggunakan frekuensi tinggi. Semakin ramainya jam siaran televisi swasta pada malam hari, buntut-buntutnya meramaikan pula persaingan merenggut iklan televisi. Terjadi adu perhitungan dan strategi. Munculnya TPI di malam hari, menurut sebuah sumber TEMPO, disambut baik oleh biro-biro iklan. "Dengan begitu, RCTI tak memonopoli siaran niaga. Kalau harga iklannya terlalu tinggi, pemasang iklan bisa lari ke TPI," kata sumber TEMPO tadi. Lalu apa kata RCTI? "Kami sudah mengantisipasi hal ini," ujar Manajer Humas RCTI Eduard Depari. Soalnya, kata Eduard, orang sudah biasa nonton RCTI di malam hari. "Tidak mudah mengubah channel." Apalagi jika televisi di rumah cuma satu. "Acara RCTI, karena sejak awal disiarkan malam hari, sudah menjadi social event, sedangkan TPI, karena tadinya disiarkan pagi hari, sifatnya individual event," kata Eduard lagi. Namun, Eduard mengakui, pada tiga bulan pertama, TPI akan menarik perhatian pemirsa. Untuk memenuhi rasa ingin tahu, orang memindah saluran RCTI ke TPI. Tentang iklan, mungkin saja ada iklan yang tersedot ke acara TPI. Khususnya ke acara yang menarik seperti Mahabharata. Tetapi pengaruhnya kecil, kata Eduard, karena sasaran iklannya berbeda. Target RCTI kelas menengah ke atas, sedangkan TPI menengah ke bawah. Dari 32% iklan televisi, 25% sasarannya publik RCTI. RCTI ternyata punya juga rencana pengembangan. Televisi swasta ini waktu itu sedang bersiap-siap masuk ke siaran pagi. Permohonannya untuk menyelanggarakan siaran nasional, secara tidak langsung juga sudah disepakati Menteri Penerangan. Artinya, RCTI boleh segera membangun stasiun transmisi, begitu surat keputusan Menteri Penerangan keluar. Jadi, kelak RCTI bisa ditangkap seluruh penduduk Indonesia, dengan atau tanpa antena parabola. Kesepakatan Menteri Penerangan itu tidak lain rencana merevisi SK (Surat Keputusan) Menpen Nomor 111 tahun 1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia. Dalam SK ini, hanya TVRI dan televisi swasta TPI yang boleh mengadakan siaran nasional. Televisi swasta lain pada waktu itu hanya boleh menyiarkan siaran lokal, dan dilarang menggunakan jaringan transmisi untuk menyebarluaskan siarannya ke daerah. Semua yang tidak boleh itu pada waktu itu dipastikan akan menjadi boleh. Dok. TEMPO, 7 - 13 November 1992, dengan sedikit perubahan |
8th September 2012, 10:05 |
#589
|
|
Groupie Member
|
Quote:
|
|
9th September 2012, 19:39 |
#590
|
Mania Member
|
Tvri: Kaya beban
TVRI, kata seorang pakar komunikasi, tak ubahnya orang yang disuruh bertinju dengan tangan terbelenggu. Betapa tidak. Ketika Pemerintah memberi berbagai kemudahan kepada TV swasta, ruang gerak TVRI malah dibatasi. Padahal, dengan TV swasta sebagai pesaing, seharusnya TVRI diberi peluang yang sama. "Jangan lawannya dikasih voor, eh dia malah diikat," sergah Alwi Dahlan, pakar komunikasi itu.
Cetusan ini tidak berlebihan. Coba telusuri penyusunan program siaran tahun 1991 dulu. Kecuali dilarang mengiklankan minuman keras dan rokok, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) Jakarta/Bandung dan SCTV (Surya Citra Televisi) di Surabaya waktu itu bebas menayangkan film apa saja, asalkan tidak melanggar susila, agama, dan tidak menyinggung perbedaan suku. TVRI terseok-seok, bagaikan orang tua renta yang disuruh memikul beban berat. Hampir seluruh misi Pemerintah waktu itu harus muncul di layar TVRI. Mulai dari KB, pertanian, transmigrasi, kelompencapir, sampai tata cara beternak lele dumbo. Tak heran bila banyak pemirsa TVRI yang "gregetan". Pada Minggu (30/6/91) pagi, misalnya, orang tentu ingin acara Ria Jenaka tampil "full banyolan". Tapi, di tengah tawa berderai, penonton dipaksa menelan pesan-pesan sponsor seperti tersebut di atas. Sungguh, sangat mengganggu. Dan sialnya, "musibah" serupa juga terjadi pada acara-acara seperti musik ataupun sinetron. Ternyata, itu pun belum cukup. Mulai 1 April 1991, TVRI diharuskan memakai "borgol baru", yakni berupa pembatasan siaran film impor. Tanpa alasan yang jelas, Pemerintah menginstruksikan TVRI memangkas film-film asingnya sebanyak 35%. Padahal, TVRI sedang hangat-hangatnya bersaing dengan RCTI dan SCTV, yang saat itu 80% acaranya berupa film impor. "Borgol" baru ini dengan telak memukul TVRI. Akibatnya, TVRI harus membuat acara-acara lokal sebagai pengganti, yang biayanya jauh lebih mahal daripada film impor. Sinetron dengan masa putar satu jam membutuhkan dana Rp 40 juta -- bahkan sampai Rp 170 juta, seperti biaya sinetron Tuanku Tambusai. Sedangkan untuk sebuah film seri impor TVRI cukup mengeluarkan 3.000 dolar atau sekitar Rp 6 juta saja. Repotnya lagi, "Anggaran TVRI selama ini pas-pasan," kata Direktur Televisi Ishadi waktu itu. Tahun 1990 TVRI hanya mengandalkan Rp 70 milyar, yang selain diperoleh dari iuran TV, juga sudah termasuk pendapatan dari iklan terselubung (Rp 1,5 milyar), plus subsidi dari Pemerintah Rp 15 milyar. Sejak tahun 1991, dengan PT Mekatama Raya. swasta penarik iuran TV, tahun tersebut TVRI mematok perolehan Rp 90 milyar. Namun, menurut Ishadi, idealnya anggaran TVRI Rp 120 milyar. Dengan demikian, TVRI bisa meremajakan alat-alatnya. Tapi bila terus kembang-kempis, kondisi studio TVRI akan selamanya memprihatinkan. Contohnya, kondisi 104 unit transmisi (TVRI mempunyai 257 transmisi yang waktu itu sudah dalam keadaan "koma". "Dari segi teknik kami kalah oleh TV swasta," Ishadi mengakui. Begitupun dalam hal program siaran. "TVRI memang memiliki acara-acara yang unggul, tapi tetap saja lebih unggul RCTI," katanya waktu itu merendah. Mungkin karena itu Ishadi pasrah. Ia saat itu hanya berharap, suatu hari kelak TVRI yang selama itu berlindung di bawah naungan yayasan bisa berubah status. "Agar kami bisa bergerak lebih lincah. Paling tidak, bisa mengambil kredit dari bank," demikian Ishadi. Harapan itu sesungguhnya tidak berlebihan. Bandingkan dengan RTM bersama TV1 dan TV2-nya. Televisi pemerintah Malaysia ini, untuk produksi Januari dan Februari 1991, telah menghabiskan 135 juta ringgit (Rp 94,5 milyar). Ini berarti, anggaran RTM -- diperbolehkan menyiarkan iklan -- dalam setahun bisa mencapai Rp 567 milyar, waktu itu lima kali lipat lebih besar dari anggaran TVRI. Dan jika TVRI dibandingkan NHK, TV milik pemerintah Jepang, benar-benar mirip gajah berbanding semut. Pada akhir tahun buku 1990, misalnya, NHK mencatat pendapatan 483,8 milyar yen (sekitar Rp 6.800 milyar). Sedang total pengeluarannya Rp 6,28 trilyun. Gila. Dok. TEMPO, 6-12 Juli 1991, dengan sedikit perubahan |
-
Geram Disebut Pedofil, Saipul jamil Polisikan Psikolog Lita Gading
-
Gracia Indri Pamer Momen Dilamar Kekasih Hati
-
Bikin Konten Mistis soal Mendiang Vanessa Angel, YouTuber Ki Soleh Pet Minta Maaf
-
Cuitan Tentang Baby Gala Jadi Pro-Kontra, Ernest Prakasa Klarifikasi
-
Tukarkan detikpoin Kamu dan Menangkan Grand Prize Total Puluhan Juta Rupiah!
-
Wanita Ini Dipenjara Karena Biarkan Foto Presiden Dirumahnya Terbakar
-
Mengapa kasus pemerkosaan di Indonesia tidak seheboh kasus Nirbhaya di Delhi??
-
Seorang Guru Gunakan Situs 18+ untuk Sebarkan Konten Ngajar, Raup Keuntungan 3,5 M!
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer