Kerajaan Janggala
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Kerajaan Janggala | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1042–1135 | |||||||||
Ibu kota | Kahuripan (1042 - 1135) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno, Sansekerta | ||||||||
Agama | Hinduisme, Buddhisme, Animisme | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Sri/Maharaja | |||||||||
• 1042 - 1052 | Mapanji Garasakan | ||||||||
• 1052 - 1059 | Alanjung Ahyes | ||||||||
• 1059 - ? | Samarotsaha | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1042 | ||||||||
• Dibagi oleh Airlangga dari Medang Kahuripan | 1042 | ||||||||
• Ditaklukkan oleh Jayabaya dan menjadi bagian kerajaan Kadiri | 1135 | ||||||||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Janggala atau Jenggala (bahasa Jawa: ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦗꦁꦒꦭ, translit. jaṅgala) adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia, antara tahun 1042 dan berakhir disekitar tahun 1135-an. Wilayah Jenggala membentang dari Mojokerto hingga Banyuwangi, yang saat ini menjadi pusat wilayah kebudayaan wetanan. Janggala Merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan oleh Airlangga. Kerajaan ini diperintah oleh wangsa Isyana. Lokasi pusat kerajaan diperkirakan sekarang berada di wilayah Porong, Sidoarjo.[1]
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Pada isi kalimat dalam prasasti Mula Malurung terdapat frasa yang tertulis pada lempeng VI-B :
"..sira śrī harṣawijaya, parṇnaḥ pahulunan dai nira narārrya sminingrāt, inandĕlakĕn muṅgweng ratnakanaka siṅhāsana, ṅkāneŋ bhūmi jaṅgala..."
"... 4) patih ira narapati kṛtānagara. saŋ inanugrahan anusuka sīma swatantra. ṅkāneŋ bhūmi jaṅgala. makanāmaŋ harija 5) ya. saṅ apañji siṅanambat. apatih i wurawan. amaṅku kaprabhū ni raji jayakatyöŋ (73). saŋ wineh anusuka dharmma sīma swatantra. ṅkaneŋ bhūmi kaḍiri (74). ataganikaŋ wahuta rāma triṇitaṇḍa. maka saŋ jñākṛṣṇāsana (75). tlas karuhun saŋ prāṇarāja ..."
Kata jenggala berasal dari bahasa Sanskerta jaṅgala (Sanskerta: जङ्गल ) yang berarti kasar dan gersang.[2][3][butuh rujukan] Meskipun kata Sanskerta itu merujuk pada tanah kering, telah dikemukakan bahwa penafsiran Inggris-India menyebabkan konotasinya menjadi "sekumpulan belukar berbelit-belit" yang lebat.[4]
Nama Janggala juga diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China tahun 1225, buku Zhu fan zhi yang ditulis oleh Zhao Rugua.[5] Pada masa Kerajaan Medang, dan Kahuripan, Hujung Galuh dikenal sebagai pelabuhan, kemungkinan terletak di daerah Canggu, Jetis, Mojokerto. Sumber otentik yang dapat dipakai sebagai dasar acuan. Yakni Prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang dibuat Airlangga pada tahun 959 Saka atau 1037 M.
Dengan berjalannya waktu, hingga Raja Airlangga membagi dua kerajaannya, sebutan daerah Hujung Galuh yang terletak di daerah aliran Sungai Brantas meluas, mencakup wilayah Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo hingga Pasuruan, hingga bagian timur kerajaan Kahuripan, yang kemudian disebut wilayah "Jenggala", dengan menjadikan Kali Mas dan Kali Porong sebagai pintu gerbang Kerajaan pada saat itu.
Pada masa kerajaan Kadiri, Singhasari dan Majapahit, daerah kali porong, Sidoarjo, kembali disebut Kahuripan dan pelabuhan yang berada di Kali Mas, Surabaya, tetap bernama Hujung Galuh. Pelabuhan di daerah Surabaya ini akhirnya menjadi pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Singhasari, Majapahit hingga Hindia Belanda.
Berdirinya kerajaan Janggala
[sunting | sunting sumber]Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan (kahuripan i bhumi janggala) didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena pada satu tahun sebelumnya 1031, ibu kota lama yaitu "Watan Mas" (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) dihancurkan seorang musuh wanita, yaitu Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur).
Pembagian kerajaan oleh Airlangga
[sunting | sunting sumber]Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya untuk putranya. Sri Samarawijaya menjadi Raja wilayah Panjalu, di sebelah barat, yang berpusat di ibukota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan menjadi Raja wilayah Janggala di sebelah timur, yang berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan.
Dalam Nagarakretagama, disebutkan sebelum dibelah menjadi dua (kerajaan Janggala dan Panjalu), Airlangga telah berpindah ibukota ke Daha di wilayah Panjalu. Sebelum pembelahan kerajaan, kerajaan pimpinan Airlangga bernama Medang Kahuripan atau disebut juga Kerajaan Kahuripan.[6]
... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...
... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M). Di akhir masa pemerintahannya tahun 1042 Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, raja yang sebenarnya merupakan putri Airlangga. Nama asli dari putri tersebut dimuat dalam prasasti Cane (1021 M) sampai dengan prasasti Pasar Legi (1043 M) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kahuripan. Namun ia memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani kehidupan suci sebagai pertapa biksuni atau pendeta wanita Buddha, di dalam cerita rakyat ia kemudian dikenal bergelar Dewi Kili Suci. Sedangkan dalam prasasti Pucangan (1041 M) memuat nama baru dan memunculkan Sri Samarawijaya sebagai putra mahkota atau rakryan mahamantri i hino dan diduga adalah putra Airlangga dan merupakan adik dari Sanggramawijaya Tunggadewi, berselang tahun kemudian berdasarkan berita pada prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang, Airlangga telah memindahkan ibu kotanya dan mendirikan kota Dahana.[6]
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih penggantinya mengingat dirinya juga putra dari raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali untuk mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata selanjutnya digantikan adiknya yaitu Anak Wungsu.
Sebelum turun takhta, pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan. Batas pemisah wilayah antara keduanya dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas.
2. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga, Diam di tengah kuburan Lemah Citra, jadi pelindung rakyat, Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan, Hyang Mpu Barada nama beliau, paham tentang tiga zaman.
3. Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah negara, Tapal batas negara ditandai air kendi, mancur dari langit, Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan, Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
(Nagarakertagama, Pupuh 68)
Prasasti Wurare yang dipahatkan di alas sandar Arca Mahaksobhya pada masa Singhasari, menceritakan tentang dua wilayah baru yang telah terbagi yang dilakukan oleh pendeta Aryya Bharad.
5-6. Yang telah membagi dataran Jawa menjadi dua bagian dengan batas luar adalah lautan, oleh sarana kendi (kumbha) dan air sucinya dari langit (vajra). Air suci yang memiliki kekuatan putus bumi dan dihadiahkan bagi kedua pangeran, menghindari permusuhan dan perselisihan – oleh karena itu kuatlah Janggala sebagaimana Jayanya Panjalu (vishaya).
(Prasasti Wurare)
Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042 M) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut prasasti Pasar Legi, baik Airlangga maupun Sanggramawijaya masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai pendeta raja. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.
Perkembangan kerajaan
[sunting | sunting sumber]Perkembangan kerajaan Janggala sepeninggal raja Airlangga dipenuhi oleh perang saudara, antara Janggala melawan Panjalu. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala.
Pada tahun 1044, berdasarkan Prasasti Turun Hyang, Mapanji Garasakan memenangkan pertempuran melawan Panjalu, karena para pemuka desa Turun Hyang setia membantu Janggala melawan Panjalu.
Pada tahun 1050, berdasarkan Prasasti Kambang Putih, Raja Sri Mapanji Garasakan mempertahankan istana dari pasukan Kambang Putih yang menyerang istana kerajaan Janggala. Kambang Putih (sekarang daerah Tuban) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu.
Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Malenga, Mapanji Garasakan telah mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Aji Linggajaya ini merupakan raja bawahan Panjalu.
Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Banjaran, Janggala di serang oleh musuh dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala. Raja Janggala kedua, Alanjung Ahyes melarikan diri ke hutan "Marsma" untuk menyusun kekuatan, ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.[7]
Pada tahun 1053, berdasarkan Prasasti Garaman, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Panjalu dari Kadiri dibantu oleh pasukan dari desa Garaman.[8]
Pada tahun 1059, berdasarkan Prasasti Sumengka, Raja ketiga Janggala, Samarotsaha, dibantu para pemuka desa Sumengka, memperbaiki saluran air peninggalan Airlangga yang dimakamkan di tirtha atau pemandian (Petirtaan Belahan).
Daftar penguasa
[sunting | sunting sumber]Pada awal berdirinya, kerajaan Janggala merupakan pecahan dari kerajaan Medang Kahuripan yang dipimpin Airlangga raja-raja yang diketahui pernah memerintah Janggala yaitu:
Raja-raja di Bhumi Janggala
[sunting | sunting sumber]Masa pemerintahan | Nama pribadi | Nama abhiseka | Prasasti dan berita |
---|---|---|---|
Pembagian wilayah kerajaan. | |||
1042-1052 | Garasakan | Śrī Mahārāja Rakai Halu Śrī Mapañji Garasakan Uttuṅgadewa (Mapanji Garasakan) |
Disebutkan di prasasti Turun Hyang II (1044), Kambang Putih (1050), Malenga (1052) dan prasasti Garaman (1053), adalah putra kandung dari raja Airlangga. |
1052-1059 | Alañjung Ahyês | Śrī Mahārāja Mapañji Alañjung Ahyês Makoputadhanu Śrī Ajñajabharitamawakana Pasukala Nawanamaninddhita Sasatrahetajñadewati (Alanjung Ahyes) |
Disebutkan dalam prasasti Banjaran (1052). |
1059-? | Samarotsāha | Śrī Mahārāja Rakai Halu Pu Juru Śrī Samarotsāha Karṇnakeśana Ratnaśangkha Kirttisingha Jayāntaka Uttuṅgadewa (Samarotsaha) |
Disebutkan dalam prasasti Sumengka (1059), diduga merupakan putra kandung atau menantu dari raja Airlangga. |
Akhir kerajaan Janggala
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1135, menurut prasasti Ngantang, Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu wilayah Janggala dipersatukan dengan Panjalu oleh Jayabhaya, dan menjadi wilayah Kerajaan Kadiri.
Janggala sebagai bawahan Majapahit
[sunting | sunting sumber]Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya diteruskan oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai Majapahit.
Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Panjalu. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana Dyah Ranawijaya raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatiktapura Janggala Kaḍiri.
Dalam sistem pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat istilah Bhre yang merupakan perwujudan penguasa suatu wilayah bawahan dari kerajaan Majapahit yang biasanya dijabat oleh kerabat atau saudara dari raja. Contoh wilayah-wilayah bawahan kekuasaan Bhre pada masa Kerajaan Majapahit ialah Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Pandansalas, Bhre Wengker, Bhre Kertabhumi dan lain sebagainya.
Bhre Kahuripan
[sunting | sunting sumber]- Tribhuwana Wijayatunggadewi 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 negarakertagama.2:2
- Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
- Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
- Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
- Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
- Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu
- Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23
Situs budaya Janggala
[sunting | sunting sumber]- Candi Prada, Dusun Reno Pencil, Kabupaten Sidoarjo. (Candi Prada berada di dusun Reno Pencil kabupaten Sidoarjo, namun sayang sekali candi tersebut telah dirusak oleh penduduk di tahun 1965. Sangat disayangkan peninggalan candi Prada ini sudah tidak ada karena rusak)
- Situs tumpukan batu bata, Urang Agung, Kabupaten Sidoarjo. (situs bersejarah di area persawahan desa Urang Agung, Sidoarjo yang di duga peninggalan kerajaan jenggala. Situs bersejarah yang ditemukan berupa tumpukan batu bata yang menyerupai tangga dengan luas sekitar 4 m2. Situs bersejarah peninggalan kerajaan jenggala tersebut pertamakali ditemukan oleh salah seorang penduduk desa di area sawah saat sedang menggali)
- Situs Sumur Kuno, Pepe Tambak, Kabupaten Sidoarjo.
- Prasasti Terep (1032 M).
- Prasasti Turun Hyang (1044 M), di daerah Kemlagi, Mojokerto.
- Prasasti Kambang Putih (1050 M), di daerah Kabupaten Tuban.
- Prasasti Malenga (1052 M), di daerah Banjararum, Rengel, Tuban.
- Prasasti Banjaran (1052 M).
- Prasasti Garaman (1053 M), Babat, Lamongan.
- Prasasti Sumengka (31 Maret 1059 M), Diperkirakan dari Sumengko, Jatirejo, Mojokerto.
Peninggalan kerajaan Jenggala memang sangat terbatas, malah hampir tidak dikenali. Dengan terbatasnya peninggalan dari kerajaan jenggala, informasi mengenai kerajaan ini pun masih belum bisa menyeluruh.
Janggala dalam karya sastra
[sunting | sunting sumber]Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri dari Janggala bernama Sri Kirana.
Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kesultanan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya.
Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kadiri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala.
Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.
Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
- Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Prasasti Sukun Malang
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ https://www.britannica.com/place/Janggala
- ^ "Meaning of jungle in English". Lexico. Oxford University Press/Dictionary.com. 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Juni 2020. Diakses tanggal 11 Juni 2020.
Origin: Late 18th century from Sanskrit jāṅgala ‘rough and arid (terrain)’.
- ^ "Home : Oxford English Dictionary". www.oed.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1-4-2019. (perlu berlangganan)
- ^ Francis Zimmermann (1999). The jungle and the aroma of meats: an ecological theme in Hindu medicine. Volume 4. Motilal Banarsidass. ISBN 81-208-1618-8.
- ^ F. Hirth and W.W. Rockhill, Chau Ju-kua, St Petersburg, 1911
- ^ a b Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9.
- ^ "Jayati Seni ing Tlatah Jenggala | beritajatim.com". beritajatim.com (dalam bahasa Inggris). 2021-04-09. Diakses tanggal 2021-12-29.
- ^ https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20156408.pdf