Dituduh 'ilegal', dua perusahaan tambang batu bara dilaporkan ke KLHK
Dua perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (06/04) siang, karena dianggap melakukan usaha tambang di hutan secara ilegal.
Dua perusahaan itu, yang berlokasi di Kabupaten Barito Timur, Kalteng, dan di Kabupaten Berau, Kaltim, diduga melakukan penambangan batu bara di kawasan hutan tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), kata pihak pelapor yaitu LSM ICEL dan Jatam Nasional.
"Kita mengecek ke lapangan bersama masyarakat di Barito Timur, dan kita overlay dengan peta yang ter-update, yaitu peta 2012. Ternyata benar, bahwa PT BNJM melakukan usaha tambang di kawasan hutan," kata peneliti LSM Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Rayhan Dudayev.
Bukti lainnya, sambungnya, adalah surat resmi dari Kantor Dinas Kehutanan Kalteng yang menyatakan 'PT BNJM tidak memiliki IPPKH'. "Padahal untuk melakukan usaha di kawasan hutan harus memiliki IPPKH," tegasnya.
IPPKH adalah salah-satu izin yang wajib dimiliki oleh siapapun yang akan menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Sementara, pegiat LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Ahmad Saini, mengatakan, pihaknya juga memiliki apa yang disebutnya bukti bahwa perusahaan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Berau, Kaltim, diduga tidak memiliki IPPKH dalam menjalankan usaha batu bara di kawasan hutan.
"Ada laporan warga bahwa diduga mereka tidak memiliki IPPKH, dan kita cek ulang ke Dinas Kehutanan di Kota Samarinda, meminta permohonan informasi, diberi daftar perusahaan yang memiliki IPPKH, ternyata tidak ada PT KJB," ungkap Saini menyebut salah-satu buktinya.
Di gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, laporan dugaan pelanggaran pidana itu kemudian disampaikan kepada dua orang staf Ditjen pengaduan, pengawasan dan sanksi adminstrasi, KLHK, Jakarta.
Sampai Kamis (06/04) malam, BBC Indonesia telah menghubungi kantor perusahaan yang dilaporkan melalui sambungan telepon, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Tetapi dalam berbagai kesempatan, Asosiasi Pengusaha Pertambangan Mineral Indonesia ( APEMINDO) mengatakan tuduhan bahwa sebagian pengusaha tambang melakukan pengrusakan lingkungan tidak sepenuhnya salah, meski banyak pengusaha tambang di Indonesia yang disebut masih memegang teguh prinsip tata kelola tambang yang baik.
KLHK: Langkah-langkah tindakan
Dihubungi secara terpisah, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Rido Sani, mengatakan dirinya belum mengetahui isi laporan tersebut.
Namun demikian, Rasio Rido mengatakan semua laporan harus dianalisis dan diverifikasi terlebih dahulu untuk memastikan kebenarannya.
"Tentu berdasar itu kita akan lakukan langkah-langkah tindakan sesuai permasalahan yang ada," katanya kepada BBC Indonesia, Kamis (06/04) malam.
Apabila ditemukan bukti-bukti, pihaknya akan memberikan sanksi kepada perusahaan yang bersangkutan. "Apakah peringatan, sanksi adminitratif, apakah kita melakukan penegakan hukum," jelas Rasio Rido.
Ditanya sampai kapan proses pengecekan dan verifikasi ini dilakukan, Rasio mengatakan, "Secepatnya, tapi kita tak bisa mengatakan apakah satu atau minggu, karena persoalannya banyak."
ICEL dan JATAM meminta agar KLHK bertindak tegas untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak taat pada aturan dan telah merusak kelestarian hutan.
Meluaskan penggunaan batubara
Bagaimanapun, Indonesia serta negara-negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, telah diprediksi akan menaikkan konsumsi batu bara, walaupun banyak negara-negara di dunia menurunkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Akhir tahun lalu, Asosiasi Energi Internasional (IEA) menyebutkan bahwa Asia Tenggara bakal memakai batu bara dalam 20 tahun mendatang sebagai pembangkit tenaga listrik sebanyak tiga kali lipat dari jumlah penggunaan saat ini.
"Tiga konsumen energi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, dan Malaysia, telah menyatakan niat mereka untuk meluaskan penggunaan batu bara," sebut kajian IEA pada November 2016 lalu.
Seperti disinggung dalam kajian IEA, hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.
Dari total ekspor batu bara di dunia, jumlah ekspor Indonesia pada 2014 mencapai 31%. Jumlah itu, sebagaimana diprediksi kajian IEA, akan tetap stabil pada 2040.
Sejumlah pakar memprediksi permintaan batu bara di Asia Tenggara akan berkembang dan laju penggunaannya menjadi yang tercepat di antara sumber-sumber energi lainnya.
Keprihatinan pegiat lingkungan
Kenyataan inilah yang mengundang keprihatinan para pegiat lingkungan yang mengkhawatirkan dampak industri batu bara bagi masalah perubahan iklim.
Mereka kemudian mengusulkan seharusnya tidak boleh ada pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru jika dunia ingin tetap membatasi peningkatan suhu pada 1,5 derajat Celsius.
Tentu saja, usulan agar batu bara dicoret dari sumber energi ditolak oleh kalangan industri batu bara.
Dalam pidato di KTT Perubahan Iklim atau COP ke-21 di Paris, November 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia hadir sebagai bagian dari solusi.
Menurutnya, Indonesia akan berupaya menurunkan emisi sebesar 29% pada 2030.
Penurunan itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor produktif, meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi energi nasional tahun 2025, dan mengolah sampah menjadi sumber energi.
Namun, organisasi Greepeace meragukan komitmen itu karena pemerintah menitikberatkan pada sektor energi. Padahal, kebakaran hutan dan lahan kini menjadi sumber emisi utama.