CIVIL SOCIETY DI INDONESIA
Zamzami M
Konsep civil society (masyarakat sipil) tidak bisa dilepaskan dari pembahasan politik, pemerintahan dan demokrasi. Masyarakat sipil dipahami sebagai sebuah bangunan masyarakat di mana warga (negara) di dalamnya bisa terlibat secara aktif dalam proses pengambilan kebijakan maupun pembangunan. Masyarakat sipil, sebagaimana dinyatakan Kuper dan Kuper (2000: 114), tidak lain merupakan “arena” bagi warga negara yang aktif secara politik. Istilah tersebut juga berkonotasi bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah bagian dari masyarakat beradab yang mendasarkan hubungan-hubungannya pada suatu sistem hukum, bukannya pada tatanan hukum otokratis yang korup.
Dalam bukunya, Philosophy of Right (1958 [1821]), Hegel memberikan batasan yang cukup jelas tentang masyarakat sipil. Ia menyebutkan bahwa masyarakat sipil merupakan bentuk kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewargaan. Sebagai seorang filsuf yang juga ekonom, Hegel melihat bahwa kandungan masyarakat sipil itu terutama ditentukan oleh permainan bebas kekuatan-kekuatan ekonomi dan pencarian jati diri individual. Namun masyarakat sipil juga mencakup lembaga-lembaga sosial dan kenegaraan yang mewadahi dan mengatur kehidupan ekonomi, yang selanjutnya memicu proses pendidikan bagi gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional.
***
Dalam studi pembangunan dan perubahan sosial, proses pembentukan masyarakat sipil seringkali terfokus pada pencarian aktor dan agen-agen perubahan yang terjadi di masyarakat. Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di masyarakat dalam perspektif ini dilihat sebagai sebuah social construction ataupun historical endowness.
Kasus jatuhnya rejim Orde Baru, misalnya, setalah sekian lama berkuasa dengan gaya pemerintahan otoriternya, tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-politik yang terjadi akibat kebijakan-kebijakan rejim tersebut serta peran dari institusi sosial (non-pemerintah) yang beroperasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Gerakan masyarakat di bawah satu paradigma untuk membangun pemerintahan yang demokratis yang menghargai hak-hak warga merupakan fenomena yang lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang distimulasi oleh kekuatan negara (state) yang korup dan otoriter. Bagaimana gerakan sosial itu kemudian bisa menjadi sebuah bentuk tuntutan bersama akan perlunya dilakukan reformasi merupakan indikasi bahwa di dalam masyarakat telah berkembang suatu proses rasionalisasi atas gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional dan demokratis. Proses inilah yang disebut pembentukan masyarakat sipil (civil society).
Masyarakat sipil mengandaikan adanya kemandirian berpikir dan bertindak setiap warga masyarakat. Tapi, proses pembentukan masyarakat sipil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya rekayasa sosial (social engagement). Dalam pemikiran Gramsci (1971 [1929-35]) ditemukan kesimpulan bahwa masyarakat sipil merupakan bagian dari negara yang terlepas dari pamaksaan atau “aturan-aturan formal”, meskipun tetap mengandung rekayasa seperti lazimnya institusi politik. Institusi atau lembaga-lembaga sosial seperti institusi keagamaan (mesjid, gereja, pesantren), sekolah, serikat buruh, dan berbagai organisasi lainnya merupakan lembaga-lembaga yang bisa memainkan peran dalam membentuk masyarakat sipil.
Dalam kaitan ini, reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia banyak dipandang sebagai proses transisi menuju terbentuk dan menguatnya masyarakat sipil dan demokrasi. Proses reformasi tidak bisa hanya dipahami dari konteks politik praktis, tetapi juga dipandang sebagai proses panjang dari kerja-kerja budaya dari institusi-institusi non pemerintah (NGOs) atau yang sering disebut dengan istilah LSM (lembaga swadaya masyarakat.
Realitas semacam itulah yang terjadi di banyak negara pada dekade radikal (1960-1970), ketika teori Gramsci tentang masyarakat sipil mendominasi pemikiran dunia, yakni bahwa arena politik yang disebut masyarakat sipil, meskipun menjadi alat untuk melawan struktur penguasa tetapi tidak berbentuk konfrontasi politik langsung, tetapi melalui perang syaraf budaya secara bergerilya. Keberhasilan revolusi anti komunis di Polandia pada 1989, misalnya, yang diawali oleh terbangunnya solidaritas sosial budaya yang diperjuangkan dan direkayasa oleh masyarakat melalui institusi-institusi kemasyarakatan.
Berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia menjelang jatuhnya rejim Orde Baru pun agaknya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Polandia. Artinya, konfrontasi politik secara langsung seperti melalui partai politik ataupun perang fisik ternyata bukanlah kunci dari terjadinya reformasi, tetapi lebih dikarenakan oleh terbangunnya solidaritas dan terbangunnya tujuan bersama untuk menciptakan tatanan negara yang demokratis. Peran inilahyang diambil oleh NGOs.
Oleh sebab itu, kalau ditarik ke belakang, maka akan terlihat bahwa maraknya kerja-kerja NGOs pada dekade 1990-an baik dari segi kuantitas maupun kualitas, lambat laun melahirkan sejumlah konsekuensi dari menurunnya kekuatan penguasa Orde Baru hingga kejatuhannya pada 1998. Karena arah dan capaian kerja NGOs adalah pembentukan kesadaran kewargaan sipil, bukan semata-mata pergantian kekuasaan, maka reformasi dimungkinkan terjadi.
Istilah NGOs sendiri mempunyai makna konseptual yang khas yang menekankan pada pemisahan antara masyarakat dan negara (state). Kewarganegaraan yang menjadi istilah kunci dari konsep civil society nampaknya sangat tergantung pada praktek partisipasi aktif anggota masyarakat di berbagai lembaga non-pemerintah sebagai landasan untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik resmi. Inilah yang sesungguhnya dikemukakan Tocqueville mengenai demokrasi Amerika yang menekankan pada supresmasi sipil melalui sistem kepartaian.
***
Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah peran NGOs dalam pembentukan masyarakat sipil itu mengarah pada penciptaan lembaga-lembaga politik yang kongkret atau hanya sekedar proses penyadaran masyarakat kewargaan menjadi hal yang selalu diperdebatkan.
Kenyataan di Indonesia reformasi selalu dihadapkan pada dua kelompok, yang pro dan kontra. Jelas bahwa pemerintah yang mengambil alih kekuasaan merupakan kelompok yang pro reformasi atau paling tidak dianggap demikian. Di sini, NGOs sebagai bagian penting dari terjadinya reformasi itu perlu mengambil posisi kembali antara berubah menjadi lembaga politik mapan yang mendukung pemerintahan Orde Reformasi ataukah tetap pada kerja-kerja sosial budaya yang “memfasilitasi” ruang bagi masyarakat untuk berhadapan dengan pemerintah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa jika reformasi politik terjadi berkat dorongan dari kerja-kerja budaya yang dimainkan oleh NGOs, maka reformasi itu sendiri akan mendorong pada reformasi institusional bagi lembaga-lembaga non-pemerintah, tidak saja “NGOs” atau “LSM” tetapi institusi-institusi sosial lainnya seperti yang disebutkan di atas [ ]
Kenyataan di Indonesia reformasi selalu dihadapkan pada dua kelompok, yang pro dan kontra. Jelas bahwa pemerintah yang mengambil alih kekuasaan merupakan kelompok yang pro reformasi atau paling tidak dianggap demikian. Di sini, NGOs sebagai bagian penting dari terjadinya reformasi itu perlu mengambil posisi kembali antara berubah menjadi lembaga politik mapan yang mendukung pemerintahan Orde Reformasi ataukah tetap pada kerja-kerja sosial budaya yang “memfasilitasi” ruang bagi masyarakat untuk berhadapan dengan pemerintah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa jika reformasi politik terjadi berkat dorongan dari kerja-kerja budaya yang dimainkan oleh NGOs, maka reformasi itu sendiri akan mendorong pada reformasi institusional bagi lembaga-lembaga non-pemerintah, tidak saja “NGOs” atau “LSM” tetapi institusi-institusi sosial lainnya seperti yang disebutkan di atas [ ]
Kenyataan di Indonesia reformasi selalu dihadapkan pada dua kelompok, yang pro dan kontra. Jelas bahwa pemerintah yang mengambil alih kekuasaan merupakan kelompok yang pro reformasi atau paling tidak dianggap demikian. Di sini, NGOs sebagai bagian penting dari terjadinya reformasi itu perlu mengambil posisi kembali antara berubah menjadi lembaga politik mapan yang mendukung pemerintahan Orde Reformasi ataukah tetap pada kerja-kerja sosial budaya yang “memfasilitasi” ruang bagi masyarakat untuk berhadapan dengan pemerintah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa jika reformasi politik terjadi berkat dorongan dari kerja-kerja budaya yang dimainkan oleh NGOs, maka reformasi itu sendiri akan mendorong pada reformasi institusional bagi lembaga-lembaga non-pemerintah, tidak saja “NGOs” atau “LSM” tetapi institusi-institusi sosial lainnya seperti yang disebutkan di atas [ ]
PAGE 3