Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara.Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.
CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.
Teknik pemboran konvensional untuk gas alam umumnya bisa diaplikasikan untuk hampir semua CBM. Sebelum pada tahap komersial, CBM dapat diproduksikan dimana pengetesan sumur dapat dilakukan pada 4 atau 5 sumur pertama. Pemboran CBM umumnya hampir sama dengan pemboran untuk minyak dan gas. Bahkan dalam beberapa daerah , peralatan pemboran yang dipakai hampir sama dengan pemboran untuk sumur air. Selain itu, dibeberapa tempat pemboran berarah (directional drilling) dan pemboran horizontal diterapkan untuk mengoktimalkan produksi dan juga tergantung daerah atau lapangan CBM-nya.
Pemboran horizontal sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM. Pemboran horizontal ini dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki secara vertical kemudian dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000 ft.
Hydraulic fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik untuk meningkatkan luas area permukaan dari batubara. Sistem fluida dan additive yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok digunakan untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara mempunyai katakteritik yang unik dan oleh karenanya dibutuhkan material yang spesial. Secara umum banyak cara untuk mengembangkan CBM. Teknologi produksi termasuk pengeboran konvensional, pemboran sebelum penambangan dan pemboran horizontal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa keberhasilan dalam mengembangkan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran dikoordinasikan dengan pertambangan batubara. Di mana sumur-sumur dibor sampai lapisan batubara (coal bed) atau sedikit di atasnya dimana mungkin gas akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung. Batubara kemudian ditambang dan kemungkianan lapisan atasnya akan runtuh yang membuat lubang besar dinamakan “gob” yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan batubara di atas lapisan utamanya. Gas yang terakumulasi di gob kemudian dipompa melalui sumur-sumur yang ada.
Produksi CBM
Produksi CBM merupakan produksi yang mempertimbangkan beberapa faktor mulai dari pengembangan permeabilitas rekahan dari cekungan ke cekungan, migrasi gas, maturasi batubara, distribusi batubara, geologi struktur, pilihan penyempurnaan CBM, dan produksi pengaturan air. Hal tersebut dimulai dengan pengembangan cleat (rekahan). Batubara mengandung porositas tapi sangat sedikit akan permeabilitas. Sehingga dibutuhkan permeabilitas sekunder seperti rekahan untuk memproduksi gas dari batubara tersebut. Rekahan tersebut mengizinkan air, gas alam, dan fluida lainnya untuk migrasi dari porositas matriks ke sumur produksi. Cleat adalah istilah untuk jaringan rekahan alami yang terbentuk pada coal seam sebagai bagian dari pematangan batubara. Bentuk cleat sebagai hasil dari dehidrasi batubara, tekanan lokal dan regional, dan overburden. Cleat menjadi pengontrol permeabilitas batubara, kemudian di dalam eksploitasi berperan untuk memposisikan sumur dan jaraknya satu sama lain.
Gambar 2. Skema produksi gas dan air pada tipe sumur CBM (USGS, 2000).
Pada coal seam, gas terabsorpsi pada laminasi mikroskopis dan mikropori pada maseral batubara. Gas alam akan migrasi melewati rekahan dan kekar-kekar yang berhubungan. Kemudian terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi CBM yaitu pengembangan hidrokarbon dan fluida lainnya. Selama pematangan batubara mulai dari gambut sampai antrasit, mereka mentransformasi fluida pada sumur. Low rank peat dan lignit memiliki porositas tinggi, kandungan air tinggi, suhu biogenik rendah, dan sedikit fluida lainnya. Sedangkan batubara tipe bituminous, airnya telah hilang, porositas menurun, formasi biogenik metana menurun karena suhu naik di atas suhu rata-rata bagi bakteri. Pada waktu yang sama, panas merusak senyawa organik kompleks untuk mengeluarkan metana dan gas dengan fraksi yang lebih berat (etana dan yang lebih tinggi). Inorganik gas dapat dihasilkan dari termal batubara yang hancur. Selama proses pematangan sampai antrasit, metana yang rendah dihasilkan dan sedikit akan porositas dan sisa air pada matriks.
Gambar 3. Cleat pada coal seam. Cleat merupakan jaringan rekahan alami untuk tempat terabsorpsinya gas pada coal seam (Amijaya, 2010).
Faktor lainnya adalah metode penyempurnaan CBM. Sumur CBM dikomplitkan dengan beberapa jalan tergantung pada tipe batubara dan fluidanya. Setiap tipe batubara (sub-bituminous, bituminous, antrasit) menawarkan cara produksinya masing-masing sesuai dengan rekahan alami dan kompetensi dari coal seam. Contohnya saja, sub-bituminous lebih lembut dan memiliki kompetensi coal seam yang rendah dibandingkan dengan bituminous, sehingga secara tipe coal seam-nya produksi dilakukan dengan cara konvensional yaitu sumur vertikal. Sedangkan batubara dengan peringkat tinggi memiliki kompetnsi yang tinggi, sehingga dapat dilakukan dengan open pit. Namun untuk teknik yang banyak digunakan dengan horizontal drain-hole.
Gambar 4. CBM Drilling Example (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).
Tahap produksi CBM
Tentusaja pada saat awal sumur ini dipompa hanya air yang diproduksi. Setelah tekanan pori-porinya berkurang maka akan keluarlah gasnya. Proses awal inilah yang memerlukan kesabaran, karena dapat memakan waktu hingga 3 tahun, bahkan mungkin 5 tahun masih akan memproduksi air.
Walaupun memakan waktu cukup lama, saat ketika memproduksi air ini akan tetap terproduksi gas metana walau dalam jumlah yang sangat kecil. Juga gas ini tentusaja memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk mempompakan gas ke penampungan.
Perbedaan CBM dengan gas konvensional.
Gas konvensional memiliki tekanan cukup tinggi sehingga produksi awalnya sangat besar dengan sedikit atau bahkan tanpa air yang ikut terproduksi. Dengan tekanan yang seringkali sangat tinggi ini menjadikan gas ini dapat ditransfer melalui pipa tanpa perlu pompa. Gas konvensional berisi metana C1H4 dan komponen-komponen gas hidrokarbon lainnya, bahkan dapat juga mengandung gas butana atau bahkan pentana yang sering kali menghasilkan kondensat.
Gas CBM seringkali berada pada lapisan batubara yang dangkal, sehingga memiliki tekanan yang sangat rendah. Pada masa produksi awal justru hampir 100% air. Dengan tekanan rendah ini maka apabila akan mengalirkan gas ini memerlukan kompressor untuk mendorong ke penampungan gas. Isinya diatas 95% hanya metana. Gas lainnya sangat sedikit. Sehingga sering disebut drygas atau gas kering.\
https://rovicky.wordpress.com/2010/07/27/sumberdaya-gas-alam-2-cbm/
Prinsip Produksi CBM
Pemanfaatan Coal Bed Methane untuk sumber energi akan melalui tahapan produksi gas CBM. Terdapat tiga tahapan proses dalam produksi gas metana dari reservoir CBM. Pertama adalah desorpsi metana dari micropore coal. Terjadinya desorpsi dimungkinkan dengan penurunan tekanan reservoir melalui proses dewatering. Kedua, ketika tekanan reservoir turun hingga mencapai tekanan desorpsi, metana akan berdifusi dalam matriks hingga methane mencapai rekahan. Kemudian, setelah mencapai rekahan, methane akan mengalir mengikuti hukum Darcy (merupakan pergerakan gas metana dari cleat menuju wellbore akibat adanya perbedaan tekanan (pressure gradient ) antara coal bed dan atmosfer.) hingga mencapai lubang sumur. Proses produksi gas metana ditunjukkan di Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme Produksi Metana
Seiring dengan menurunnya tekanan reservoir, produksi gas akan meningkat hingga mencapai puncaknya hingga mencapai kestabilan. Setelah itu, produksi gas akan menurun. Produksi gas diawal produksi disertai dengan produksi air yang besar hingga akhirnya produksi air menurun drastis ketika produksi gas mencapai maksimum. Skema produksi reservoir CBM dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2. Skema Produksi Reservoir CBM
Pada umumnya produksi reservoir CBM dilakukan dengan menggunakan constraint laju produksi air. Selain dipengaruhi oleh laju produksi air tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai produksi gas maksimum dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain luas area, ketebalan, permeabilitas fracture, porositas matriks dan fracture, volume Langmuir, serta tekanan reservoir. Berbagai variable tersebut nantinya akan disensitivity untuk melihat pengaruhnya terhadap tercapainya t peak.
Cekungan yang mengandung CBM memiliki sifat yang sangat berbeda dengan cekungan pasir (sand reservoir), dengan karakteristik sebagai berikut :
Metana tersimpan dalam matriks (pori-pori batubara) melalui proses adsorpsi. Metana terkandung dalam bentuk mendekati cairan, “membasahi” sisi dalam pori-pori batubara.
Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%).
Gas seringkali terperangkap (namun tidak selalu) dalam batubara, tersegel di dalam batubara dengan kejenuhan air 100%. Cekungan ini harus dikeluarkan airnya sebelum gas metana dapat terdesorpsi dari batubara.
Untuk memproduksi CBM, lubang sumur yang diperkuat dengan pipa baja digali melalui lapisan batubara/coal seam (200-1500 meter di bawah permukaan). Dengan berkurangnya tekanan di dalam lapisan batubara, akibat adanya lubang di permukaan atau masuknya sejumlah kecil air pada coalbed, baik gas maupun air mengalir ke permukaan melalui pipa. Gas yang keluar dari sumur ini kemudian dikirim ke stasiun kompresor menuju jalur pipa gas alam. Air yang ikut keluar bersama gas ini dapat diinjeksikan kembali ke formasi yang terisolasi, dimasukkan ke aliran air dalam pipa, atau digunakan untuk irigasi. Air yang keluar umumnya mengandung natrium bikarbonat dan klorida.
Laju produksi sumur CBM sangat rendah, umumnya berkisar antara 300 ribu cubic feet per hari (sekitar 0,1 m3/detik), dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Profil produksi sumur CBM umumnya memiliki karakteristik laju alir gas “negative decline”, karena produksi CBM terjadi setelah air dipompakan dan gas mulai terdesorpsi dan mengalir. Sumur CBM yang kering terlihat tidak berbeda dengan sumur pada umumnya, kecuali laju alir gas yang lebih rendah dan senantiasa menurun.
Proses desorpsi metana mengikuti kurva isoterm Langmuir (kandungan gas vs. Tekanan reservoir). Kurva isoterm ini dapat dideskripsikan secara analitik dengan volume gas maksimum (pada tekanan tak terhingga), dan tekanan saat separuh dari gas yang ada keluar dari batubara. Parameter tersebut (disebut volume Langmuir dan tekanan Langmuir) merupakan sifat batubara, dan sangat bervariasi. Batubara di Alabama jika dibandingkan batubara di Colorado dapat memiliki parameter Langmuir yang sangat berbeda, walaupun memiliki sifat-sifat lainnya yang serupa.
Gambar 3. Kurva Langmuir
Karena produksi gas dilakukan pada cekungan batubara, maka perubahan tekanan diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap porositas dan permeabilitas batubara. Hal ini dikenal juga sebagai matrix shrinkage/swelling (pengerutan/pemekaran matriks). Saat gas terdesorpsi, tekanan gas di dalam pori berkurang, menyebabkan batubara mengkerut dan mencegah aliran gas keluar batubara. Dengan mengkerutnya pori, maka seluruh matriks akan mengkerut, yang akan memperbesar ruang untuk gas keluar melalui cleat, dan meningkatkan laju alir gas.
Pada prinsipnya, sejumlah banyak cbm tersimpan dalam coal matrix secara adsorption, yang arti mudahnya adalah 'gas menempel di dalam pori-pori coal matrix' (ada juga sih cbm sebagai free gas atau gas yang tidak menempel pada coal matrix). Cara terkandungnya cbm ini berbeda dengan cara tersimpannya conventional gas. conventional gas tersimpan secara compressed (sebenarnya sama saja dengan free gas). Jadi, lapisan batubara pada target eksplorasi cbm selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock (tidak ada migrasi seperti pada conventional gas).
CBM dapat keluar (desorption) dari coal matrix melalui cleat (bidang rekahan dengan merendahkan pressure (air) pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas cbm yang tersimpan dalam coal matrix terhadap pressure dinamakan Kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan pressure). Tekanan tersebut direndahkan dengan cara memompa air (dewatering). Jadi, sejumlah banyak air juga akan diproduksikan dan ini menyebabkan kalau mengeksploitasi CBM akan berhadapan dengan environmental challenge, karena banyaknya air yang diproduksi.
3.4 Produksi Coal Bed Methane (CBM)
Produksi CBM merupakan produksi yang mempertimbangkan beberapa faktor mulai dari pengembangan permeabilitas rekahan dari cekungan ke cekungan, migrasi gas, maturasi batubara, distribusi batubara, geologi struktur, pilihan penyempurnaan CBM, dan produksi pengaturan air. Hal tersebut dimulai dengan pengembangan cleat (rekahan). Batubara mengandung porositas tapi sangat sedikit akan permeabilitas. Sehingga dibutuhkan permeabilitas sekunder seperti rekahan untuk memproduksi gas dari batubara tersebut. Rekahan tersebut mengizinkan air, gas alam, dan fluida lainnya untuk migrasi dari porositas matriks ke sumur produksi. Cleat adalah istilah untuk jaringan rekahan alami yang terbentuk pada coal seam sebagai bagian dari pematangan batubara. Bentuk cleat sebagai hasil dari dehidrasi batubara, tekanan lokal dan regional, dan overburden. Cleat menjadi pengontrol permeabilitas batubara, kemudian di dalam eksploitasi berperan untuk memposisikan sumur dan jaraknya satu sama lain.
Pada coal seam, gas terabsorpsi pada laminasi mikroskopis dan mikropori pada maseral batubara. Gas alam akan migrasi melewati rekahan dan kekar-kekar yang berhubungan. Kemudian terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi CBM yaitu pengembangan hidrokarbon dan fluida lainnya. Selama pematangan batubara mulai dari gambut sampai antrasit, mereka mentransformasi fluida pada sumur. Low rank peat dan lignit memiliki porositas tinggi, kandungan air tinggi, suhu biogenik rendah, dan sedikit fluida lainnya. Sedangkan batubara tipe bituminous, airnya telah hilang, porositas menurun, formasi biogenik metana menurun karena suhu naik di atas suhu rata-rata bagi bakteri. Pada waktu yang sama, panas merusak senyawa organik kompleks untuk mengeluarkan metana dan gas dengan fraksi yang lebih berat (etana dan yang lebih tinggi). Inorganik gas dapat dihasilkan dari termal batubara yang hancur. Selama proses pematangan sampai antrasit, metana yang rendah dihasilkan dan sedikit akan porositas dan sisa air pada matriks.
Teknologi CBM telah mengalami banyak perkembangan dalam 2 dekade terakhir, akan tetapi apapun yang telah didapatkan dan dipelajari pada masa eksplorasi, karakteristik dan management reservoir dalam konteks sumber cadangan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Lapangan CBM memiliki karakter yang berbeda-beda dan begitu pula pengelolaannya. Teknik pemboran konvensional untuk gas alam umumnya bisa diaplikasikan untuk hampir semua CBM. Sebelum pada tahap komersial, CBM dapat diproduksikan dimana pengetesan sumur dapat dilakukan pada 4 atau 5 sumur pertama.
Gambar 4. Pemboran horizontal
Pemboran CBM umumnya hampir sama dengan pemboran untuk minyak dan gas. Bahkan dalam beberapa daerah , peralatan pemboran yang dipakai hampir sama dengan pemboran untuk sumur air. Selain itu, dibeberapa tempat pemboran berarah (directional drilling) dan pemboran horizontal diterapkan untuk mengoktimalkan produksi dan juga tergantung daerah atau lapangan CBM-nya.
Pemboran horizontal sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM. Pemboran horizontal ini dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki secara vertikal kemudian dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000 ft.
Hydraulic fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik untuk meningkatkan luas area permukaan dari batubara. Sistem fluida dan additive yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok digunakan untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara mempunyai katakteritik yang unik dan oleh karenanya dibutuhkan material yang spesial. Secara umum banyak cara untuk mengembangkan CBM. Teknologi produksi termasuk pengeboran konvensional, pemboran sebelum penambangan dan pemboran horizontal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa keberhasilan dalam mengembangkan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran dikoordinasikan dengan pertambangan batubara. Di mana sumur-sumur dibor sampai lapisan batubara (coal bed) atau sedikit di atasnya dimana mungkin gas akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung. Batubara kemudian ditambang dan kemungkianan lapisan atasnya akan runtuh yang membuat lubang besar dinamakan “gob” yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan batubara di atas lapisan utamanya. Gas yang terakumulasi di gob kemudian dipompa melalui sumur-sumur yang ada.
Gambar 5. Bidang Rekahan di Bidang Batubara
Gambar 6. Skema produksi gas dan air
pada tipe sumur CBM (USGS, 2000)
Gambar 7. Tipe Pengembangan CBM
Faktor lainnya adalah metode penyempurnaan CBM. Sumur CBM dikomplitkan dengan beberapa jalan tergantung pada tipe batubara dan fluidanya. Setiap tipe batubara (sub-bituminous, bituminous, antrasit) menawarkan cara produksinya masing-masing sesuai dengan rekahan alami dan kompetensi dari coal seam. Contohnya saja, sub-bituminous lebih lembut dan memiliki kompetensi coal seam yang rendah dibandingkan dengan bituminous, sehingga secara tipe coal seam-nya produksi dilakukan dengan cara konvensional yaitu sumur vertikal. Sedangkan batubara dengan peringkat tinggi memiliki kompetnsi yang tinggi, sehingga dapat dilakukan dengan open pit. Namun untuk teknik yang banyak digunakan dengan horizontal drain-hole.
Gambar 8. CBM Drilling Example (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).