Muncul berbagai versi terkait asal-usul dan sejarah sate yang kini menjadi salah satu kuliner populer di Indonesia.
tirto.id - Sate ayam dari Indonesia menempati urutan 14 makanan terenak di dunia menurut hasil survei CNN yang dirilis pada 2017 lalu. Namun, apakah sate memang kuliner asli Nusantara? Atau justru sajian daging bakar ini memiliki riwayat sejarah dari bangsa lain, semisal Tamil dan Gujarat (India), Arab, atau Cina?
Terdapat berbagai jenis sate di Indonesia dengan ciri khas dan resep tersendiri, sebut saja Sate Madura, Sate Padang, Sate Lilit dari Bali, Sate Buntel dari Solo, Sate Klathak dari Yogyakarta, Sate Ambal dari Kebumen, Sate Kerang dari Surabaya dan seterusnya.
Bahan utama sate adalah daging, bisa daging ayam, kambing, domba, sapi, kerbau, kelinci, bebek, babi, kerang, udang, bahkan kuda. Namun, yang paling familiar dibikin sate di Indonesia biasanya adalah kambing, sapi, atau ayam.
Daging dipotong-potong kecil sebelum dibumbui, ditusukkan dengan rapi, kemudian dibakar di atas bara api dengan menggunakan arang. Masing-masing sate di berbagai daerah di Indonesia menggunakan bumbu yang berbeda, dan disantap dengan beberapa bahan tambahan yang tidak serupa pula.
Sate Madura, misalnya, biasa dimakan dengan bumbu kacang dan dimakan bersama lontong. Sate klathak di Yogyakarta dibakar hanya berbumbu garam dan disantap dengan kuah gulai. Sate Padang beda lagi, citarasa kari yang kuat menjadi ciri khas sate jenis ini.
Cara mengolah daging kebab khas Turki dan Arab menjadi inspirasi bagi kaum saudagar muslim Tamil dan Gujarat yang berasal dari Asia Selatan (India) untuk menciptakan kuliner daging bakar. Mereka membawa resep itu ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Sebelumnya, orang Jawa memasak daging dengan cara direbus. Setelah mengenal kebab berkat interaksi dengan kaum pedagang Tamil, Gujarat, juga Arab serta Turki, mereka menjadi lebih suka membakar atau memanggang daging sebelum disantap.
Hal itu berlanjut hingga sekarang. Di Indonesia, sate kambing atau domba menjadi kesukaan warga keturunan Arab. Olahan ini juga populer digunakan pada saat perayaan Idul Adha saat daging kambing dan sapi melimpah.
Tak hanya bangsa India dan Arab yang dikait-kaitkan dengan sejarah sate, Cina pun demikian. Dilansir Medium.com, ada juga teori lain yang mengatakan bahwa kata sate berasal dari istilah Minnan –salah satu dialeg bahasa di Cina– yakni sa tae bak yang berarti tiga potong daging.
Supaya mudah dibumbui dan dibakar serta dimakan, Satah memotong daging itu menjadi kecil-kecil. Ia lalu menusukkan potongan-potongan daging itu dengan batang bambu kemudian dibakar atau dipanggang.
Orang-orang ternyata menyukai daging bakar bikinan Satah sehingga mereka menyebutnya “daging satah”. Lama-kelamaan, pelafalan satah berubah menjadi sate, dan itulah istilah untuk menamakan daging yang dipotong kecil-kecil, ditusuk batang bambu sebelum dibakar.
Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese & Oriental Cookery (1988) rupanya mendukung teori ini meskipun belum terbukti sahih kebenarannya. Brennan mengakui, sate di Indonesia terinspirasi dari pengolahan daging untuk kebab.
Namun, ia meyakini bahwa sate memang berasal dari Jawa dan itu berbeda dengan kebab. Brennan juga menegaskan bahwa Thailand dan Malaysia tidak bisa mengklaim sate sebagai kuliner khas mereka meskipun di dua negara Asia Tenggara itu juga dikenal jenis makanan serupa.
“Meskipun Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, tanah air sate yang sesungguhnya adalah Jawa, Indonesia. Di sini [Indonesia] sate dikembangkan dan diadaptasi dari kebab yang dibawa oleh pedagang muslim ke Jawa," tulis Brennan.
Terlepas dari semua teori itu, sate pada akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Nusantara lalu diadaptasi di berbagai daerah dengan masing-masing ciri khasnya.
Orang-orang lokal yang melaut atau merantau ke luar pulau turut membawa resep kuliner ini sehingga sate pun dikenal di sejumlah negara Asia Tenggara bahkan hingga ke Afrika.
Terdapat berbagai jenis sate di Indonesia dengan ciri khas dan resep tersendiri, sebut saja Sate Madura, Sate Padang, Sate Lilit dari Bali, Sate Buntel dari Solo, Sate Klathak dari Yogyakarta, Sate Ambal dari Kebumen, Sate Kerang dari Surabaya dan seterusnya.
Bahan utama sate adalah daging, bisa daging ayam, kambing, domba, sapi, kerbau, kelinci, bebek, babi, kerang, udang, bahkan kuda. Namun, yang paling familiar dibikin sate di Indonesia biasanya adalah kambing, sapi, atau ayam.
Daging dipotong-potong kecil sebelum dibumbui, ditusukkan dengan rapi, kemudian dibakar di atas bara api dengan menggunakan arang. Masing-masing sate di berbagai daerah di Indonesia menggunakan bumbu yang berbeda, dan disantap dengan beberapa bahan tambahan yang tidak serupa pula.
Sate Madura, misalnya, biasa dimakan dengan bumbu kacang dan dimakan bersama lontong. Sate klathak di Yogyakarta dibakar hanya berbumbu garam dan disantap dengan kuah gulai. Sate Padang beda lagi, citarasa kari yang kuat menjadi ciri khas sate jenis ini.
Terinspirasi dari Kebab?
Ada sejumlah versi asal-usul sate. Buku Balinese Food: The Traditional Cuisine & Food Culture of Bali (2014) karya Vivienne Kruger, misalnya, menyebut bahwa sate atau satay berasal dari istilah Tamil yakni sathai. Ini untuk menyebut potongan daging yang diasinkan lalu dipanggang dengan tusuk kayu dan dicelupkan ke dalam saus khusus sebelum dimakan.Cara mengolah daging kebab khas Turki dan Arab menjadi inspirasi bagi kaum saudagar muslim Tamil dan Gujarat yang berasal dari Asia Selatan (India) untuk menciptakan kuliner daging bakar. Mereka membawa resep itu ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Sebelumnya, orang Jawa memasak daging dengan cara direbus. Setelah mengenal kebab berkat interaksi dengan kaum pedagang Tamil, Gujarat, juga Arab serta Turki, mereka menjadi lebih suka membakar atau memanggang daging sebelum disantap.
Hal itu berlanjut hingga sekarang. Di Indonesia, sate kambing atau domba menjadi kesukaan warga keturunan Arab. Olahan ini juga populer digunakan pada saat perayaan Idul Adha saat daging kambing dan sapi melimpah.
Tak hanya bangsa India dan Arab yang dikait-kaitkan dengan sejarah sate, Cina pun demikian. Dilansir Medium.com, ada juga teori lain yang mengatakan bahwa kata sate berasal dari istilah Minnan –salah satu dialeg bahasa di Cina– yakni sa tae bak yang berarti tiga potong daging.
Keyakinan Asli Nusantara
Ada juga teori lokal bahwa sate memang berasal dari Nusantara. Konon, pada awal abad ke-15, salah satu murid Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim yang bernama Satah sering mengolah daging kambing.Supaya mudah dibumbui dan dibakar serta dimakan, Satah memotong daging itu menjadi kecil-kecil. Ia lalu menusukkan potongan-potongan daging itu dengan batang bambu kemudian dibakar atau dipanggang.
Baca juga: Tan Go Wat, Dari Cina "Mengislamkan" Jawa
Orang-orang ternyata menyukai daging bakar bikinan Satah sehingga mereka menyebutnya “daging satah”. Lama-kelamaan, pelafalan satah berubah menjadi sate, dan itulah istilah untuk menamakan daging yang dipotong kecil-kecil, ditusuk batang bambu sebelum dibakar.
Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese & Oriental Cookery (1988) rupanya mendukung teori ini meskipun belum terbukti sahih kebenarannya. Brennan mengakui, sate di Indonesia terinspirasi dari pengolahan daging untuk kebab.
Namun, ia meyakini bahwa sate memang berasal dari Jawa dan itu berbeda dengan kebab. Brennan juga menegaskan bahwa Thailand dan Malaysia tidak bisa mengklaim sate sebagai kuliner khas mereka meskipun di dua negara Asia Tenggara itu juga dikenal jenis makanan serupa.
“Meskipun Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, tanah air sate yang sesungguhnya adalah Jawa, Indonesia. Di sini [Indonesia] sate dikembangkan dan diadaptasi dari kebab yang dibawa oleh pedagang muslim ke Jawa," tulis Brennan.
Terlepas dari semua teori itu, sate pada akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Nusantara lalu diadaptasi di berbagai daerah dengan masing-masing ciri khasnya.
Orang-orang lokal yang melaut atau merantau ke luar pulau turut membawa resep kuliner ini sehingga sate pun dikenal di sejumlah negara Asia Tenggara bahkan hingga ke Afrika.
(tirto.id - Sosial Budaya)
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Rachma Dania
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Rachma Dania
Editor: Iswara N Raditya