Wudu

Prioritas: a, Kualitas: b
Dari wikishia

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Wudu (bahasa Arab:الوضوء) adalah sebuah terminologi fikih yang berarti membasuh muka dan tangan serta mengusap kepala dan kaki, dengan tata cara, urutan dan niat yang telah dijelaskan dalam fikih. Wudu dengan sendirinya hukumnya adalah mustahab dan menjadi wajib untuk sebagian aktivitas, seperti salat dan tawaf Ka'bah. Dalam sebagian hal, harus dilakukan tayammum sebagai ganti dari wudu, dan mandi besar dapat mencukupkan dari berwudhu. Wudhu dapat dilakukan dengan tiga cara: Tartibi (secara urut), Irtimasi (secara dibenamkan) dan Jabirah (berbalut).

Al-Qur'an dalam ayat wudu[1] telah menjelaskan tata caranya dan riwayat-riwayat juga telah menjelaskan urgensitas dan perinciannya. Hadis-hadis Islam, para tokoh agama dan ulama ilmu akhlak juga menganjurkan agar senantiasa memiliki wudu dan bersuci.

Pengertian Wudu

Wudu secara etimologi berasal dari kata Wadha'ah, yang berarti kebersihan/bersih dan bersuci, bukan dari kalimat Dhau' yang berarti cahaya. Wudu secara terminologi fikih berarti membasuh muka dan tangan serta mengusap kepala dan kaki, sesuai dengan metode yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an dan sunnah. Amal yang menyebabkan kesucian jasad dan jiwa ini dinamakan dengan wudu.

Berwudu hukumnya mustahab dan menjadi wajib jika ingin melaksanakan salat, tawaf, menyentuh tulisan Al-Qur'an, menyentuh nama-nama Allah dan secara ikhtiyat nama Rasulullah saw dan Ahlulbait as. Disunnahkan berwudu dalam sebagian pekerjaan seperti membawa Al-Qur'an, berdoa, pergi ke masjid atau berziarah.

Wudu dalam Al-Qur'an dan Riwayat

Satu-satunya ayat Al-Qur'an yang mengkaji tentang wudu dan tata caranya adalah surah Al-Maidah ayat 6, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku. Usaplah kepala dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki."

Ahlusunah menafsirkan ayat ini berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Syiah dan tata cara wudu mereka berbeda dengan Syiah dalam tiga aspek: mengusap tangan, kadar lazim dalam mengusap kepala dan membasuh kaki. Ada 565 riwayat terkait wudu dalam dua buku Wasail al-Syiah dan Mustadrak al-Wasail, yang menunjukkan kedudukan agungnya. Sebagian riwayat tersebut menjelaskan hukum-hukum syariat wudu dan sebagian lainnya membahas tentang dimensi-dimensi lainnya:

  • Wudu menambah panjang umur. [2]
  • Menghilangkan murka dan amarah. [3]
  • Pembuka duka dan lara. [4]
  • Wudu adalah cahaya dan wudu di atas wudu adalah sebuah cahaya yang berlipat dan kaffarah (penebus) dosa-dosa antara dua wudu. [5] [6]
  • Pahala wudu sebelum tidur adalah dicatat ibadah sampai terbangun dari tidur. [7]
  • Berwudu sebelum makan menghilangkan kefakiran dan setelahnya menghilangkan kebimbangan. [8]

Perbedaan dalam Wudu

Dengan melihat sebagian riwayat, tidak ada perselisihan dalam wudu sampai akhir kekhilafahan Umar bin Khattab dan semua kaum muslimin berwudu dengan tata cara yang sama, namun sejak masa Utsman muncul perselisihan dalam tata cara berwudu. Al-Muttaqi Hindi menegaskan, Utsman menciptakan perubahan dalam wudu. [9] Dalam menjabarkan wudu Rasulullah saw, ia sekali menyebut mengusap kaki[10] , namun ditempat lain ia mengatakan wudu Rasulullah saw dengan membasuh kaki. [11]

Imam Ali as dalam hal ini mengatakan, "Jika agama mengikuti pendapat orang-orang, maka setiap ajaran yang mengusap telapak kaki lebih baik ketimbang di atas kaki; namun aku melihat bahwa Rasulullah saw mengusap di atas kaki." [12]

Berdasarkan riwayat dari Ahlusunnah, malaikat Jibril juga mengajari Rasulullah saw dengan mengusap kaki. [13]

Pembagian Wudu

Wudu ada tiga macam. Dalam kondisi biasa wudu dapat dilakukan dengan cara tartibi atau irtimasi dan dalam kondisi tertentu, maka harus melakukan dengan cara wudu jabirah.

Wudu Tartibi

Membasuh Muka
Membasuh Tangan

Jenis wudu yang sering dan biasa dilakukan adalah wudu tartibi, yaitu setelah berniat[14] , pertama-tama membasuh muka kemudian tangan kanan dan selanjutnya tangan kiri dan setelah itu baru mengusap kepala dan permukaan atas kaki dengan basahan air yang tersisa di telapak tangan.

Mengusap Kepala
Mengusap Kaki

Membasuh Muka dan Tangan

Muka harus dibasuh dari atas ke bawah, dari tempat biasa tumbuhnya rambut sampai ujung dagu dan dengan ukuran lebar tangan (antara ibu jari dan ujung jari tengah). Tangan juga dibasuh dari atas siku sampai ujung jari, air juga harus masuk sampai di bawah cincin, jam tangan dan gelang. Basuhan pertama hukumnya wajib, basuhan kedua juga berdasarkan fatwa mayoritas para faqih hukumnya jaiz (boleh), namun basuhan ketiga, meski haram namun tidak membatalkan wudu, kecuali basuhan ketiga tangan kiri, karena jika demikian, maka membasuh kepala atau kaki tersebut dengan basahan air tambahan.

Mustahab hukumnya bagi laki-laki supaya memulai dari bagian luar siku dan bagi perempuan dari bagian dalam siku. [15] [16]

Apabila bulu muka (kumis, jenggot dan alis) sangat pendek dimana kulit bawahnya terlihat, maka air harus sampai ke kulit tersebut, namun jika kulitnya tidak terlihat, maka cukuplah dengan membasuh bagian bulu atau rambutnya saja.[17]

Mengusap Kepala dan Kaki

Setelah membasuh kedua tangan, selanjutnya adalah mengusap (sebagian) kepala sekali dengan basahan air yang tersisa di telapak tangan dan mengusap kaki kanan sekali dan selanjutnya mengusap kaki kiri sekali. Usapan kepala harus dilakukan di atas rambut di bagian depan kepala (jaraknya antara dahi sampai pangkal rambut) atau akar rambut atau kulit bagian tersebut, dari atas kepala ke arah dahi. Jika rambutnya terlalu lebat, maka pangkal rambut atau kulit kepala harus diusap (dapat membelah dan mengusap akar rambut).[18] Ukuran mengusap kepala, cukup seukuran apapun, meski sunnahnya (menurut sebagian fatwa ikhtiyat wajib) dengan seukuran panjang satu jari dan lebar tiga jari tertutup). [19] Saat mengusap, kepala atau kaki harus dalam keadaan tetap (tidak bergerak) dan tangan yang mengusap di atasnya. [20] Mengusap kaki dilakukan dari ujung jari (bukan permulaan kuku) sampai persendian kaki (sebagian menganggap cukup sampai benjolan di atas kaki).

Tempat yang diusap harus kering dan jika sedikit basah, dimana basahan tangan tidak berpengaruh maka usapan tersebut batal, namun jika basahan tersebut sangat sedikit sehingga basahan setelah mengusap dapat terlihat, dan dikatakan hanya dari basahan tangan maka tidak masalah. [21]

Wudu Irtimasi

Dalam wudu irtimasi, sebagai ganti dari menuangkan air di atas anggota wudu, seseorang dengan niat berwudu memasukkan anggota wudu tersebut ke dalam air dari atas ke bawah atau pertama-tama seseorang memasukkan anggota wudunya terlebih dahulu ke dalam air dan dengan niat berwudu mengeluarkannya dari atas permukaan air ke bawah, dan dengan basahan tangan mengusap kepala dan kaki. [22] Sebagian marja' seperti Ayatullah Shafi Ghulpaigani berpendapat ikhtiyat wajib harus membasuh tangan kiri secara biasa dan setelah itu mengusapnya. [23]

Wudu Jabirah

Menutup luka atau anggota wudu yang patah dengan kain perban, membubuhkan obat di atas luka dan semisalnya adalah jabirah dan berwudu dengan kondisi demikian disebut dengan wudu jabirah.

Wudu jabirah dilakukan ketika seseorang merasa sulit untuk membuka perban atau berbahaya atau tidak dapat menuangkan air atau mengusap tangan secara langsung di atas luka atau patah, yakni mengusap tangan yang basah di tempat-tempat yang dapat dibasuh secara alami dan di atas perban yang ada luka atau kain di atasnya. [24] Jika jabirah menutupi semua atau mayoritas anggota wudu, maka ia harus bertayammum sebagai ganti dari wudu (namun sebagian marja' berpendapat selain tayammum ia juga diharuskan untuk melakukan wudu jabirah). [25]

Syarat dan Hukum Wudu

  1. Air dan anggota wudu harus suci (tidak najis).
  2. Air wudu adalah air murni (bukan mudhaf seperti air buah, air mawar, air lumpur).
  3. Air wudu, bejana dan tempat wudu harus mubah, bukan ghasab (tidak ada izin).
  4. Bejana air wudu tidak terbuat dari emas dan perak.
  5. Adanya waktu untuk berwudu (jika waktu untuk melakukan salat dan wudu tidak cukup dan shalatnya diqadha, maka harus bertayammum sebagai ganti dari wudu).
  6. Dengan niat taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah).
  7. Menjaga tartib (urut).
  8. Muwalat (berkesinambungan).
  9. Tidak meminta bantuan orang lain dalam berwudu.
  10. Tidak berbahaya jika menggunakan air.
  11. Tidak ada rintangan untuk sampainya air ke anggota wudu. [26]

Keraguan-keraguan Wudu

Keraguan dalam melakukan wudu Keraguan dalam pengambilan wudu, ragu apakah ia sudah mengambil wudu atau tidak Sebelum salat Harus berwudu
Di pertengahan salat Salatnya batal
Setelah salat salat sudah dilakukan benar, namun untuk salat-salat selanjutnya harus mengambil wudu
Ragu dalam bagian wudu Di pertengahan wudu Harus kembali dan melaksanakan yang diragukan tadi kemudian secara tertib menyempurnakan wudu
Setelah wudu wudunya benar

Jika sebelumnya seseorang memiliki wudu, dan sekarang ini ragu apakah wudunya sudah batal ataukah tidak, maka di sini dia tidak perlu berwudu lagi dan jika yakin wudunya sudah batal, namun sekarang ragu apakah sudah berwudu ataukah belum, maka ia harus mengambil wudu.

Menggunakan Air di luar Wudu

Dalam mengusap kepala dan kaki, seseorang tidak diperbolehkan untuk menggunakan air selain dari basahan yang diperoleh dari basuhan tangan dan muka dalam berwudu, namun jika saat membasuh tangan dan muka sedikit tercampur dengan air di luar air wudu, seperti saat membuka dan menutup keran kemudian bercampur dengan tetasan air wudu atau tetasan-tetesan dari air wudu lainnya atas anggota wudu, maka tetesan-tetesan tambahan tersebut dapat diniatkan sebagai bagian dari air wudu dan wudunya dapat dibenarkan. Sebelum membasuh tangan kanan juga dapat menutup keran dengan tangan tersebut dan selanjutnya air yang ada di genggaman tangan kanan ditambah dengan tetesan-tetesan baru dikategorikan sebagai air wudu, tapi setelah selesai membasuh tangan kiri, tidak diperbolehkan mengusap kepala dan kaki dengan basahan tambahan tersebut. [27]

Penghalang dalam Anggota Wudu

Saat berwudu, tidak boleh ada sesuatu di anggota wudu yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit. Jika ketika berwudu seseorang ragu apakah ada penghalang ataukah tidak, apabila kemungkinannya tepat menurut pendapat masyarakat, maka harus diperiksa atau mengusapnya sampai merasa yakin bahwa jika sebelumnya ada hal itu sudah hilang atau air masuk dan mengalir di bawahnya. [28]

Jika setelah berwudu muncul keraguan apakah ketika berwudu ada penghalang ataukah tidak, maka tidak perlu memperhatikan keraguan tersebut; namun jika setelah wudu ia melihat ada penghalang dan dia ragu apakah saat ia berwudu tadi penghalang itu ada ataukah penghalang itu ada setelah ia berwudu, maka wudunya dianggap benar, kecuali saat ia berwudu sama sekali tidak memperhatikan adanya penghalang, jika demikian maka ia harus mengulangi wudunya[29] (menurut sebagian maraji seperti Ayatullah Sayid Ali Sistani wudu tersebut hukumnya adalah mustahab) [30] .

Fatwa para marja' taklid bagi seseorang yang pada anggota wudunya terdapat penghalang, yang tidak dapat dihilangkan atau sangat sukar dihilangkan sangat beragam:

  1. Cukup dengan wudu Jabirah[31] , dan ikhtiyat wajibnya, jika semua atau sebagian dari tempat tayammun tidak ada penghalang, maka ia juga bertayammum. [32]
  2. Wudu jabirah hanya dapat dilakukan jika terdapat luka atau patah. [33]
  3. Cukup bertayammum[34] , kecuali jika di tempat tayammum juga ada penghalang yang melekat, jika demikian, maka wudu saja sudah cukup. [35]
  4. Jika ada penghalang yang melekat di tempat tayammum, maka ia harus menggabungkan antara wudu dan tayammum. [36]

Wudu dengan Make Up atau Gel Rambut

Jika memakai krim atau make up yang memiliki substansi yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit maka harus dihilangkan, namun jika hanya lemak biasa saja maka hal itu tidak masalah. Jika menggunakan gel, minyak, semprotan dll di rambut, jika saat berwudu rambutnya dibelah dan mengusap di atas kulit kepala, maka wudunya benar.

Tinta Pena, Tato dan Rajah

Apabila ada tinta pena, tato atau rajah di atas kulit dan memiliki substansi maka itu menghalangi wudu dan harus dihilangkan (terlebih dahulu) [37] , namun jika tidak bersubstansi dan hanya warnanya saja yang tersisa dan menembus ke dalam kulit, maka berwudu dan mandi dengannya tidak masalah dan benar. [38]

Mengusap di atas Rambut Palsu (Wig)

Rambut palsu atau wig harus dilepas dari kepala saat berwudu atau mandi. Jika rambut yang ditanam tanpa adanya perekat sudah menjadi bagian dari badan, maka wudu dan mandinya benar, namun jika penanaman rambut dilakukan dengan perekat yang menghalangi sampainya air ke kulit kepala, jika sebagian dari tempat mengusap kepala adalah rambut aslinya sendiri, maka orang tersebut dapat mengusap di bagian tersebut, namun jika semua bagian tersebut adalah rambut tanaman, maka fatwanya sangatlah beragam sebagaimana yang telah disiyaratkan di atas: membasuh rambut tersebut, wudu jabirah, tayammum, penggabungan antara tayammum dan wudu jabirah. [39]

Kutek dan Memasang Kuku Palsu

Jika kutek yang dipakai dapat dihilangkan dengan mudah, maka harus dihilangkan dan kemudian baru berwudu[40] namun jika tidak dapat dihilangkan atau sangat sukar menghilangkannya, maka sebagian para marja' selain mengharamkan hal tersebut (butuh referensi) juga orang itu harus melakukan wudu jabirah dan juga bertayammum (perbedaan fatwa disini juga berlaku). [41]

Jika penghalang sampainya air ke kulit seperti kutek, di atas kuku jemari kaki atau sebagian di atas kaki, maka cukup hanya dengan menghilangkan penghalang satu jari dari setiap kaki untuk wudu dan tidak perlu menghilangkannya yang ada di semua jemari kaki[42] (sebagian maraji menganggap kuku kecil tidak mencukupi dan mereka meyakini lebar usapan harus seukuran tiga jari [43] ).

Memasang kuku jika untuk wudu atau mandi tidak dapat dilepas, menurut fatwa sebagian maraji hal itu tidak diperbolehkan (dilarang) dan jika memasangnya, maka disitu berlaku perbedaan fatwa seperti yang tertera diatas. [44] [45] [46] Jika kukunya panjang, selain air harus sampai di atasnya, dibawah kukunya juga harus bersih dan tidak ada penghalang untuk sampainya air ke sana. Jika kukunya pendek, dimana tidak terlihat dari balik tangan, maka tidak diharuskan membasuh dibawah kukunya selama tidak menghalangi sampainya air ke kulit bagian tersebut.

Luka Melepuh di Angggota Wudu

Jika ada luka melepuhan di anggota wudu akibat terbakar atau sesuatu lainnya, maka cukuplah membasuh dan mengusap di atasnya, dan jika berlubang, maka tidak perlu mengalirkan air ke bawahnya. Jika kulit satu bagiannya terlepas, maka tidak perlu untuk mengalirkan air di bawah bagian yang terlepas, namun jika kulit yang terlepas terkadang menempel di badan dan terkadang tidak menempel, maka harus mengalirkan air di bawahnya juga. [47]

Wudu setelah Mandi

Jika seseorang melakukan mandi janabah, selama ia tidak berhadas (buang air besar, buang air kecil dll), maka dia melaksanakan salat dengan mandi tersebut dan tidak diharuskan berwudu. dan jika ia bewudu dengan tanpa keluarnya hadas, ia telah melakukan hal yang haram, namun mandi dan salatnya benar[48], namun jika keluar hadas maka dia diharuskan berwudu untuk melaksanakan salat [catatan 1], namun jika ada kemungkinan setelah wudu melakukan hal yang membatalkan wudu, meski tidak wajib baginya untuk berwudu, namun lebih baik ia melakukan wudu.

Tentang mandi-mandi lain yang mencukupi dari wudu:

  1. Ayatullah al-Uzhma Imam Khomeini, Ayatullah al- Uzhma Bahjat, dan Ayatullah al- Uzhma Shafi: Hanya dengan mandi janabah saja dapat melaksanakan salat, namun dengan mandi-mandi lainnya dia harus melakukan wudu. [49]
  2. Ayatullah Makarim: dengan mandi wajib dan mustahab dapat melaksanakan salat dan tidak wajib kembali melakukan wudu, namun ikhtiyat mustahab adalah pada selain mandi janabah, juga melakukan wudu. [50]
  3. Ayatullah Fadhil: Dengan semua mandi-mandi wajib – selain mandi istihadhah mutawassitah – dapat melakukan salat, meski ikhtiyat mustahab adalah (di selain mandi janabah) juga melakukan wudu. [51]
  4. Ayatullah Tabrizi, Ayatullah Sistani, Ayatullah Nuri dan Ayatullah Wahid Khurasani: dapat melakukan salat dengan semua mandi-mandi wajib dan mustahab – selain dari mandi istihadhah mutawassitah –, meski ikhtiyat mustahab adalah (di selain mandi janabah) juga mengambil wudu. [52]

Hal-hal yang Membatalkan Wudu

Ada beberapa hal yang dapat membatalkan wudu diantaranya adalah:

  • Buang air kecil, buang air besar dan buang angin (kentut).
  • Tidur yang karenanya mata tidak lagi melihat dan telinga tidak lagi mendengar, namun jika telinga masih mendengar maka tidak membatalkan wudu.
  • Sesuatu yang menghilangkan akal, seperti gila, mabuk dan tidak sadar.
  • Istihadah wanita (pendarahan).
  • Setiap perbuatan yang mengharuskannya mandi, seperti janabah dan menyentuh badan mayit dalam kondisi tertentu.[53] Keluarnya cairan selain mani dan kencing, maka tidak perlu berwudu.

Hal-hal yang Disunnahkan dalam Wudu

Saat berwudu disunnahkan untuk menghadap kiblat[54] , bersiwak[55] , yang melipat gandakan 70 kali ganjaran salat[56] , berkumur-kumur sebelum wudu[57] , dan istinsyaq{enote|Memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya dari hidung.} [58] , air wudu tidak lebih dari 50 gram (kurang lebih tiga gelas) dan tidak mengeringkan anggota wudu setelah berwudu. [59] Dianjurkan juga untuk membaca surah Al-Qadr saat berwudu. [60]

Doa saat Berwudu

dianjurkan saat berwudu hendaknya membaca doa yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as, beliau menjelaskan sebagian rahasia dan adab-adab maknawi wudu dengan mengatakan:

Ketika melihat air اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذی جَعَلَ الْمآءَ طَهُورا وَلَمْ یجْعَلْهُ نَجِساً Puji syukur kepada Allah yang telah menjadikan air suci dan mensucikan dan tidak menjadikannya najis.
Ketika Membasuh tangan بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ اَللّهُمَّ اجْعَلْنی مِنَ التَّوّابینَ وَاجْعَلْنی مِنَ الْمُتَطَهِّرینَ Dengan nama Allah dan dengan kebenaran Dzat-Nya, ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.
Ketika berkumur-kumur اَللّهُمَّ لَقِّنی حُجَّتی یوْمَ اَلْقاک وَاَطْلِقْ لِسانی بِذِکراک Ya Allah, temuilah aku dengan hujjahku di hari aku menghadapMu, dan tuntunlah lisanku dengan berzikir padaMu.
Ketika beristinsaq اَللّهُمَّ لا تُحَرِّمْ عَلَی ریحَ الْجَنَّةِ وَاجْعَلْنی مِمَّنْ یشَمُّ ریحَها وَرَوْحَها وَطیبَها Ya Allah, jangan Kau haramkan padaku aroma surga dan jadaikanlah aku termasuk dari orang-orang yang mencium aroma keharuman anginnya.
Ketika membasuh muka اَللّهُمَّ بَیضْ وَجْهی یوْمَ تَسْوَدُّ فیهِ الْوُجُوهُ وَلا تُسَوِّدْ وَجْهی یوْمَ تَبْیضُّ فیهِ الْوُجُوهُ Ya Allah, putihkanlah mukaku di hari penghitaman muka-muka dan jangan Kau hitamkan mukaku di hari pemutihan muka-muka.
Ketika membasuh tangan kanan اَللّهُمَّ اَعْطِنی کتابی بِیمینی وَالْخُلْدَ فِی الْجِنانِ بِیساری وَحاسِبْنی حِساباً یسیراً Ya Allah, berilah catatan amalku di tangan kananku dan surat kekekalanku di surga di tangan kiriku dan mudahkanlah perhitunganku.
Ketika membasuh tangan kiri اَللّهُمَّ لا تُعْطِنی کتابی بِشِمالی وَلا مِنْ وَرآءِ ظَهْری وَلا تَجْعَلْها مَغْلُولَةً اِلی عُنُقی وَاَعُوذُ بِک مِنْ مُقَطَّعاتِ النّیرانِ Ya Allah, jangan Kau letakkan catatan amalku di tangan kiriku dan juga tidak dari belakang punggungku, dan jangan kau gantungkan ke atas leherku, dan aku berlindung kepadaMu dari sambaran dan jilatan (yang merobek) api neraka.
Mengusap kepala اَللّهُمَّ غَشِّنی رَحْمَتَک وَبَرَکاتِک Ya Allah, tenggelamkanlah aku dalam rahmat dan keberkahanMu.
Mengusap kaki اَللّهُمَّ ثَبِّتْنی عَلَی الصِّراطِ یوْمَ تَزِلُّ فیهِ الاَقْدامُ وَاجْعَلْ سَعْیی فیما یرْضیک عنّی یا ذَاالْجَلالِ وَالاِکرامِ Ilahi, tegapkanlah aku pada shiratMu di hari semua kaki-kaki tergelincir dan jadikan usahaku pada hal-hal yang engkau ridhai, wahai pemilik kebesaran dan kemuliaan.
Setelah selesai wudu اَللّهُمَّ اِنّی اَسْئَلُک تَمامَ الْوُضُوءِ وَتَمامَ الصَّلوةِ وَتَمامَ رِضْوانِک وَالْجَنَّةَ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمینَ Ya Allah, kepadaMu aku meminta kesempurnaan wudu, dan kesempurnaan salat dan juga kesempurnaan keridhoan dan aku mengharap surgaMu. Puji syukur hanya untuk Allah Tuhan semesta alam.

Pranala terkait

catatan

  1. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 227, masalah 391, seseorang yang mandi janabah tidak harus (tidak dilazimkan) berwudu, ketika hendak melaksanakan salat, namun ia tidak dapat melaksanakan salat dengan mandi-mandi yang lainnya dan harus juga berwudu

Catatan Kaki

  1. QS. Al-Maidah: 36.
  2. Rasulullah (saw bersabda), "Perbanyaklah bersuci (wudu), Allah swt akan menambah umurmu." Āmāli (Mufid), hlm. 60, hadis 5.
  3. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya kemamarahan dari setan dan sesungguhnya setan tercipta dari api dan sesungguhnya api dapat dipadamkan dengan air, apabila salah satu dari kalian marah, maka berwudulah." Nahj al-Fashahah, hlm. 286, hadis 660.
  4. Imam Shadiq as berkata, "Apa yang menghalangi kalian, setiap kali kesedihan-kesedihan dunia melanda hendaknya berwudu, kemudian pergi ke tempat sujud kalian dan melakukan salat dua rakaat? Tidakkah kalian mendengar Allah Swt berfirman, meminta bantuanlah kalian dari sabar dan salat?" Tafsir Ayasyi, jld. 1, hlm. 43, hadis 39.
  5. Imam Shadiq as berkata, "Wudu di atas wudu adalah cahaya di atas cahaya." Wasail al-Syiah, jld. 1, hlm. 377.
  6. Imam Ali as berkata, "Dan wudu sampai pada wudu adalah kaffarah dosa-dosa diantara keduanya. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 1, hlm. 50.
  7. Imam Shadiq as berkata, "Barang siapa bersuci kemudian tidur di tempat tidurnya, tempat tidurnya pada malam tersebut laksana masjid dan kemudian jika ia teringat bahwa dirinya tidak memiliki wudu, maka ia bertayammum, maka jika demikian ia senantiasa dalam salat dan mengingat Allah Swt." Tahdzib al-Ahkam, (riset Khurasan), jld. 2, hlm. 116.
  8. Rasulullah saw bersabda, "Wudu sebelum makan menghilangkan kefakiran dan setelahnya menghilangkan waswas dan mempertajam pandangan." Nahjul Fashahah, hlm. 797.
  9. Kanz al-Ummal, jld. 9, hlm. 443, h. 26890.
  10. Al-Mushannif fi al-Ahadits wa al-Ātsar, jld. 1, hlm. 16.
  11. Musnad al-Darimi, jld. 1, hlm. 544.
  12. Ibn Abi Syaibah, al-Mushannif fi al-Ahadits wa al-Ātsar, jld. 1, hlm. 25; Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al, jld. 9, hlm. 606.
  13. Shan'ani, al-Mushannif, jld. 1, hlm. 19; Ibn Abi Syaibah, al-Mushannif fi al-Ahadits wa al-Ātsar, jld. 1, hlm. 26.
  14. Yakni di benaknya cukup berkeinginan melakukan wudu dan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan mendapatkan ridha-Nya. Tidak perlu melafazkannya.
  15. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 155, masalah 245.
  16. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 205, Ahkame Wudhu (Istafita'at Rahbar), pertanyaan. 146.
  17. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 158, masalah no.240
  18. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 158, masalah 251.
  19. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 157, masalah 250.
  20. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 159, masalah 255.
  21. (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 158, masalah 256
  22. Taudhih la-Masail Maraji', masalah 261.
  23. Taudhih al-Masail Ayatullah Shafi, masalah 267.
  24. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), masalah 198.
  25. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), masalah 305.
  26. Taudhih al-Masail Maraji', syarat-syarat wudu.
  27. Catatan 1: Ayatullah Khomenei: Jika seseorang yang berwudu, saat membasuh muka dan tangan membuka dan menutup keran air dengan niat berwudu (yakni jika keran air kering tetesan tambahan bagian dari air wudu) maka tidak masalah dan tidak merusak keabsahan wudu. Namun jika setelah selesai membasuh tangan kiri dan sebelum mengusap dengannya, kemudian meletakkan tangannya di atas keran yang basah dan air wudu tangan bercampur dengan air dari luar wudu, maka keabsahan mengusap dengan basahan yang bercampur dengan air wudu dan selainnya tidaklah jelas. (Taudhih al-Masail Mahsyi Lil Imam al-Khomeini)), jld. 1, hlm. 200, Daftar Intisyarate Islami, cet. 8 Qom, 1424 H. Ayatullah Shafi Ghulpaigani: Percikan air wudu orang lain ke atas tangan dan muka seseorang yang sedang melakukan wudu, jika orang-orang disekitarnya berniat melakukan wudunya dengan sekumpulan air yang ada di tangan mereka, baik air yang mereka tuangkan sendiri atau air yang terpercik dari air wudu selainnya, hal itu tidak bermasalah. Ayatullah Shafi Ghulpaigani, Luthfullah, Jami' al-Ahkam (Shafi, jld. 1, hlm. 35, Intisyarat Hazrate Ma'sumah, cet. 4. Qom, 1417 H.
  28. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 177, masalah 293.
  29. Taudhih la-Masail Maraji', masalah 297; Nuri, Taudhih al-Masail, masalah 298; Daftar: Khomenei/ Wahid, Taudhih al-Masail, masalah 303 dan Makarim, Taudhih al-Masail, masalah 321.
  30. Taudhih al-Masail Maraji', masalah 297.
  31. Ayatullah al- Uzhma: Imam Khomeini, Sayid Ali Khamenei, Fadhil, Bahjat, Makarim, Nuri.
  32. Ayatullah al- Uzhma: Ghulpaigani, Shafi.
  33. Ayatullah Khu'i, Ayatullah Tabrizi, Ayatullah Sistani.
  34. Ayatullah al- Uzhma Zanjani.
  35. Ayatullah al-Uzhma Khu'i dan Ayatullah al-Udzma Tabrizi.
  36. Ayatullah al-Udzma Sistani, Taudhih al-Masail (Al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 196, masalah 1338.
  37. Imam Khomeini, Istifta'at, jld. 1, hlm. 36.
  38. Taudhih al-Masail; (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 205.
  39. Porseshkadeh.
  40. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 201.
  41. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 201, Ayatullah al-Udzma Sistani dan Ayatullah al-Udzma Zanjani; Ayatullah al-Udzma Bahjat: harus mengamalkan dengan perintah jabirah dan ikhtiyat dalam mengabung antara tayammum dan wudu jabirah.
  42. Tauhdih al-Masail Maraji'. Masalah 250 dan 252.
  43. Ayatullah Makarim dan Subhani. Masalah 249.
  44. Situs Tibyan.
  45. Markas Melli Posukhgui be Soalate dini.
  46. Portal Anhar.
  47. Taudhih al-Masail (al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 176. Masalah 292.
  48. Haram berwudu untuk salat setelah mandi, dimana dipertengahan atau setelahnya tidak keluar hadas, namun mandi dan salatnya sahih.
  49. Taudhih al-Masail Maraji', 391 dan 646.
  50. Taudhih al-Masail Maraji', 391 dan 646
  51. Taudhih al-Masail Maraji', 391 dan 646
  52. Taudhih al-Masail Maraji', 391 dan 646, Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masail, masalah 397; Ayatullah Nuri, Taudhih al-Masail, masalah 392 dan 647.
  53. Taudhih al-Masail; (Al-Mahsyi lil Imam al-Khomeini), jld. 1, hlm. 188.
  54. Rasulullah saw bersabda, barang siapa yang berwudu dengan menghadap kiblat maka dicatat untuknya pahala dua rakaat salat di catatan amalnya. Miftah al-Falah, hlm. 25.
  55. Rasulullah saw berkata kepada Amirul Mukminin Ali as, "Wahai Ali! Pakailah siwak di setiap kali wudu". Man La Yahdhuruhul Faqih, jld. 1, hlm. 125.
  56. Rasulullah saw: "Dua rakaat salat yang dikerjakan dengan keadaan bersiwak lebih baik dari tujupuluh rakaat salat yang dikerjakan dengan tidak bersiwak". Nahjul Fashahah, hlm. 349.
  57. Memutar-mutar air di mulut dan mengeluarkannya.
  58. Miftah al-Falah, hlm. 27 dan 28.
  59. Man La Yahdhuruhul Faqih, jld. 1, hlm. 122.
  60. Fiqh al-Ridha, hlm. 70.

Daftar Pustaka

  • Allamah Majlisi Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Dar al-Kutub Islamiyyah. Teheran: 1363 S.
  • Darumi, Abdullah bin Abdul Rahman (255 H). Musnad al-Darimi, Riset. Husain Salim Asad ad-Darani, Dar al-Mughni lin Nasyri wa al-Tauzi', al-Mamlikah al-Arabiyyah al-Saudiyyah, cet. 1, 1412 H.
  • Fiqh al-Ridha. Al-Mansub lil Imam al-Ridha as. Al-Mu'tamar al-Alami lil Imam al-Ridha as. Masyhad, 1406 H.
  • Ibn Abi Syaibah, Abu Bakar (23 H). Al-Mushannif fi al-Ahadits wa al-Ātsar. Riset. Kamal Yusuf al-Hut. Maktabah al-Rushd al-Riyadh, cet. 1, 1409 H.
  • Muhammad bin Mas'ud 'Ayasyi. Tafsir al-'Ayasyi. Al-Maktabah al-Ilmiyyah al-Islamiyyah. Teheran, 1380 H.
  • Muttaqi Hindi, Ali bin Husam (975 H). Kanzul Ummal. Riset. Bakri Hayyani, Shafwah al-Saqa, Muassasah al-Risalah, cet. 5, 1401 H.
  • Payandeh Abul Qasim. Nahjul Fashahah. Dar al-Ilm. Teheran, 1387 S.
  • Shan'ani, Abu Bakar Abdul Razzak (211 H), Al-Mushannif. Riset, Habib al-Rahman al-A'dzami, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. 2, 1403 H.
  • Syeikh Baha'i. Miftah al-Falah. Intisyarate Hikmat. Teheran, 1384 S.
  • Syeikh Hur Amuli, Muhammad bin Hasan. Wasail al-Syiah. Muassasah Āl al-Bait as. Qom, 1409 H.
  • Syeikh Mufid. Al-Āmāli. Muassasah al-Naysr al-Islami. Qom: 1412 H.
  • Syeikh Shaduq, Muhammad bin Ali. Man La Yahdhuruhul Faqih. Nasyr Shaduq, 1367 S.
  • Taudhih al-Masail (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), Daftar Intisyarate Islami.
  • Taudhih al-Masail Maraji', Daftar Intisyarate Islami.