Imam-imam Syiah (bahasa Arab:أئمة الشيعة) adalah para pemimpin yang terdiri dari dua belas orang dan berasal dari keluarga Rasulullah saw. Dalam pandangan Syiah, para Imam ini adalah para khalifah setelah Nabi Muhammad saw dan pemimpin-pemimpin umat Islam. Imam Pertama adalah Imam Ali as dan para Imam setelahnya adalah anak-anak dan cucu-cucu dari pasangan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa.
Imam-imam ini diangkat oleh Allah swt dan memiliki ilmu Ilahi, maqam ishmah (maksum) dan wewenang untuk memberi syafaat. Umat Islam dengan ber-tawassul (berperantara) kepada mereka dapat ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Para Imam as di samping berposisi sebagai pusat rujukan ilmu, mereka juga adalah pemimpin politik umat Islam. Terdapat banyak ayat yang membahas tentang masalah kepemimpinan (imamah) para Imam tanpa menyebut langsung nama mereka. Ayat-ayat seperti Ayat Ulil Amri, Ayat Tathir, ayat wilāyah, Ayat Ikmāl, Ayat Tabligh dan Ayat Shadiqin adalah beberapa contoh ayat yang menyinggung tentang kepemimpinan mereka.
Dalam beberapa riwayat dari Rasululah saw disebutkan tentang ciri-ciri, nama-nama dan jumlah para Imam as. Di antara hadis yang paling terkenal yang dapat disebutkan di sini adalah Hadis Tsaqalain, Hadis Manzilah, Hadis Safinah, Hadis Yaumuddar, Hadis Madinatul 'Ilmi, hadis al-thair al-masywi, hadis rayat, Hadis Kisa', hadis Jabir, dan hadis dua belas khalifah. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, para imam seluruhnya berasal dari Quraisy dan Ahlulbait Nabi Muhammad saw dan Imam Mahdi as yang dijanjikan adalah Imam Pamungkas dari silsilah imamah dalam mazhab ini.
Terdapat juga banyak riwayat dari Rasulullah saw terkait dengan imamah Imam Ali as sebagai Imam yang Pertama dalam pelbagai literatur. Demikian juga, terdapat beberapa riwayat dari Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as yang menegaskan tentang keimamahan Imam yang Kedua. Kemudian setelah itu, setiap Imam, memperkenalkan Imam setelahnya sesuai dengan nash. Sesuai dengan kandungan nash-nash ini, para Imam dan khalifah setelah Nabi Muhammad saw terdapat dua belas orang. [1]
Nama | Lakab | Kunyah | Hari lahir | Tahun Lahir |
Tempat Lahir |
Tanggal Syahid | Tahun Syahid |
Tempat Sahid |
Imamah | Periode Imamah |
Nama Ibu |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Imam Ali as | Amirul Mukminin | Abul Hasan | 13 Rajab | 30 Tahun Gajah | Mekkah | 21 Ramadhan | 40 H | Najaf | 11-40 | 29 tahun | Fatimah binti Asad |
Imam Hasan as | Mujtaba | Abu Muhammad | 15 Ramadhan | 2 H | Madinah | 28 Shafar | 50 H | Madinah | 40-50 | 10 tahun | Fatimah az-Zahra sa |
Imam Husain as | Sayid al-Syuhada | Abu Abdillah | 3 Sya'ban | 3 H | 10 Muharram | 61 H | Karbala | 50-61 | 10 tahun | ||
Imam Ali Zainal Abidin as | Al-Sajjad | Abu al-Hasan | 5 Sya'ban | 38 H | 12 atau 25 Muharram | 95 H | Madinah | 61-94 | 10 tahun | Syahrbanu | |
Imam Muhammad bin Ali as | Al-Baqir | Abu Ja'far | 1 Rajab | 57 H | 7 Dzulhijjah | 114 H | 94-115 | 19 tahun | Fatimah | ||
Imam Ja'far bin Muhammad as | Al-Shadiq | Abu Abdullah | 17 Rabiul Awwal | 83 H | 28 Syawal | 148 H | 114-148 | 19 tahun | Fatimah | ||
Imam Musa bin Ja'far as | Al-Kazhim | Abu al-Hasan | 7 Shafar | 128 H | 25 Rajab | 183 H | Kazhimain | 148-183 | 35 tahun | Hamidah al-Barbariyah | |
Imam Ali bin Musa as | Al-Ridha | Abu al-Hasan | 11 Dzul-Kadah | 148 H | 17 Shafar | 203 H | Masyhad | 183-203 | 20 tahun | Taktum | |
Muhammad bin Ali As | Al-Jawad | Abu Ja'far | 10 Rajab | 195 H | Akhir Dzulkaidah | 220 H | Kazhimain | 203-220 | 17 tahun | Sabikah | |
Ali bin Muhammad As | Al-Hadi | Abu al-Hasan | 2 Rajab | 212 H | 3 Rajab | 254 H | Samarra | 220-254 | 34 tahun | Samanah Maghribiyah | |
Imam Hasan al-Askari as | Al-Askari | Abu Muhammad | 8 Rabiu-Tsani | 232 H | 8 Rabiul Awwal | 260 H | 254-260 | 6 tahun | Haditsah atau Salil | ||
Muhammad bin Hasan Ajf | Al-Qaim | Abul Qasim | 15 Sya'ban | 255 H | Samarra | Narjis |
Kedudukan Para Imam bagi Syiah
Ajaran imamah para Imam Duabelas merupakan salah satu fondasi keyakinan Syiah Dua Belas Imam. Keyakinan ini didukung oleh banyak nash dari Rasulullah saw dan para Imam as yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur. Para ahli tafsir dan teolog Syiah meyakini bahwa dalam Alquran juga disinggung tentang masalah imamah para Imam. [2]
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung masalah imamah adalah Ayat Ulil Amri, Ayat Tathir, Ayat Wilayah, Ayat Ikmal, Ayat Tabligh, dan Ayat Shadiqin. Sesuai dengan keyakinan Syiah Duabelas Imam, masa keimamahan Dua Belas Imam bermula semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun 11 H/632 dan ketika Imam Ali as menjadi Imam dan terus berlangsung hingga sekarang ini tanpa terputus. Semenjak tahun 260 H/873, setelah wafatnya Imam Hasan Askari as dan berpindahnya posisi imamah ke putranya, Imam Mahdi as. Pada masa Imam Mahdi as, kondisi imamah berubah dari kondisi lahir (zhuhur) menjadi kondisi ghaib dan masa panjang keimamahan Imam Mahdi as hampir dalam kondisi ghaibat. Kaum Syiah memandang para Imam itu maksum (terjaga dari dosa) dan memiliki ilmu ladunni (diberi oleh Allah swt tanpa perlu belajar). [3]
Mereka meyakini bahwa dengan bertawassul kepada mereka dapat bertaqarrub kepada Allah swt. Ziarah kuburan para Imam merupakan bagian dari ajaran Syiah dan mereka menilai bahwa para Imam ini menyandang kedudukan di sisi Allah swt dan dapat memberikan syafaat kepada umatnya.[4]
Dalil-dalil Pembuktian Imamah
Dalil-dalil pembuktian imamah, senantiasa menjadi tema penting bagi penyusunan buku di kalangan Syiah Imamiyah dan ulama Syiah telah banyak menulis buku dengan pendekatan yang beragam dalam hal ini. Kitab Sulaim bin Qais al-Hilali adalah kitab yang ditulis pada akhir-akhir abad pertama Hijriyah. Kitab ini tergolong sebagai kitab yang paling kuno yang menyebutkan tentang Dua Belas Imam. [5]
Sebagai contoh buku dalam masalah nash atas Dua Belas Imam as yang harus disebutkan di sini adalah tulisan-tulisan seperti Muqtadhab al-Atsar karya Ibnu ‘Ayyassy Jauhari (W. 401 H/1010), dan Kifayat al-Atsar karya Khazar Qummi (akhir-akhir abad 4 H) dimana para penulisnya berusaha mengumpulkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan nash para imam Dua Belas dari literatur-literatur yang beragam dari kalangan Syiah dan Sunni. Di samping kitab-kitab nash-nash, yang patut disebut di sini seperti Dalāil al-Imāmah dalam masalah mukjizat para Imam, seperti Dalāil al-Imāmah yang disandarkan sebagai karya Ibnu Rustam Thabari (cetakan Najaf, 1383 H), atau karya dengan judul umum Al-Washiyah dalam memaparkan perpindahan wasiat dalam silsilah para Imam Dua Belas, seperti Itsbāt al-Washiyyah karya Mas'udi (cetakan Najaf, Kitabkhaneh Haidairiyah). [6]
Para teolog membuktikan ke-imamahan dua belas Imam as secara referensial (naqli) dan mengkhususukan sebuah bab tertentu dalam karya penting mereka terkait hal tersebut. [7]
Diantara yang terkenal dari riwayat ini yang dapat disebut pada kesempatan ini adalah seperti hadis tsaqalain, hadis Manzilah, hadis Safinah, hadis Yaum al-Dar, hadis Madinah al-'Ilm, hadis Thair Masywi, hadis Rayat, hadis Kisa, hadis Jabir, dan hadis Dua Belas Khalifah.
Hadis 12 Khalifah
Di samping hadis-hadis Syiah, di kalangan Sunni juga terdapat hadis-hadis yang menyebutkan tentang adanya 12 imam setelah Nabi Muhammad saw. Sepanjang abad pertama Hijriyah diriwayatkan hadis-hadis dari sahabat Nabi saw dengan kandungan berisi berita gembira tentang 12 imam yang disampaikan oleh Nabi saw dalam berbagai kesempatan. Di antara hadis-hadis ini, hadis dari Jabir bin Samurah yang dinukil dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim merupakan hadis yang paling dikenal; dalam hadis ini dijelaskan bahwa para pemimpin setelah Nabi Muhammad saw ada 12 orang dan kesemuanya berasal dari Quraisy. [8] Hadis ini yang merupakan hadis terkenal di dunia Islam, pertama-tama disebutkan dalam literatur-literatur Sunni dan kemudian masuk ke dalam literatur-literatur Syiah. [9] Dalam tingkatan selanjutnya harus disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud yang menyatakan bahwa jumlah pemimpin terdapat 12 orang sama dengan jumlah pemimpin Bani Israel. [10] Sunni menyodorkan penafsiran lain dari 12 pemimpin ini dan memperkenalkan 12 orang lain selain para Imam Syiah.
Mengenal Para Imam Syiah
1. Imam Ali as
Para Imam as dan khalifah | |
---|---|
Imam Ali as
Masa Keimamahan: 11/632 - 40/661 | Abu Bakar
|
Imam Hasan al-Mujtaba as
Masa Keimamahan: 40/661 - 50/670 | Abu Bakar
Muawiyah |
Imam Husain as
Masa Keimamahan: 50/670 - 61/680 | Abu Bakar
Yazid bin Muawiyah |
Imam Ali Zainal Abidin as
Masa Keimamahan: L. 61/680 – 94/713 | Imam Ali
|
Imam al-Baqir as
Masa Keimamahan: 94 H/713 - 114 H/733 | Muawiyah bin Yazid
Hisyam bin 'Abd al-Malik |
Imam al-Shadiq as
Masa Keimamahan: 114 H/733 - 148 H/765 | 'Abd al-Malik bin Marwan
|
Imam al-Kazhim as
Masa Keimamahan: 148 H/765 - 183H/799 | Marwan bin Muhammad
|
Imam al-Ridha as
Masa Keimamahan: 183 H/799 - 203 H/818 | Manshur al-Dawaniqi
|
Imam al-Jawad as
Masa Keimamahan: 203 H/818 - 220 H/835 | Amin al-'Abbasi
|
Imam al-Hadi as
Masa Keimamahan: 220 H/835 - 254 H/868 | Ma'mun al-'Abbasi
|
Imam al-Askari as
Masa Keimamahan: 254 H/835 - 260 H/874 | Mutawakkil al-'Abbasi
|
Imam al-Mahdi as
Masa Keimamahan: 260 H/874 - Sekarang | Mu'tazz al-'Abbasi
... |
Imam Ali as adalah putra Abu Thalib paman Nabi Muhammad saw dan salah seorang pemimpin Bani Hasyim. Abu Thalib menjadi wali Nabi Muhammad saw semasa kecil dan membesarkan kemenakannnya itu di rumahnya. Ia hidup hingga setelah awal misi kenabian dan mendukung Nabi Muhammad saw. Abu Thalib menjaga Rasulullah saw dari ancaman orang-orang musyrik Arab khususnya kaum Quraisy.[11]
Di Masa Rasulullah
Amirul Mukminin Ali as (berdasarkan penukilan masyhur) lahir 10 tahun sebelum Bi'tsah. Setelah 6 tahun akibat kekeringan yang melanda kota Makkah dan sekitarnya, sesuai dengan permintaan Nabi Muhammad saw, Imam Ali as pindah dari ruamhnya ke kediaman saudara sepupunya yaitu Nabi saw dan berada di bawah bimbingan dan gemblengan langsung Nabi Muhammad saw. [12]
Pada permulaan masa risalah, tatkala Nabi Muhammad saw kembali dari goa Hira dan pulang ke kediamannya, Ali as disertai Khadijah sa istri Rasulullah saw adalah orang yang pertama beriman kepadanya. Pada awal masa penyampaian risalah secara terbuka yaitu pada peristiwa Yaum al-Dar juga Imam Ali as adalah satu-satunya yang menyatakan iman kepada Nabi Muhammad saw secara terang-terangan. Sepanjang hidupnya Imam Ali as sekali pun tidak pernah menyembah selain Allah swt. [13]
Imam Ali as senantiasa berada di samping Rasulullah saw hingga Sang Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Pada malam hijrah juga dimana ketika itu orang-orang kafir mengepung rumah Nabi Muhammad saw dan memutuskan untuk mencabik-cabik Rasulullah saw di atas pembaringan, Ali tidur di atas pembaringan Rasulullah saw demi menjaga keselamatan Rasulullah saw supaya ia dalam keadaan aman bertolak menuju Madinah. [14]Sebab turun (asbabun nuzul) ayat Isytira juga sehubungan dengan pengorbanan Imam Ali as ini.
Demikian juga, selama di Madinah Imam Ali as senantiasa mendampingi Rasulullah saw dan menikah dengan Fatimah Zahra sa putri kinasih Rasulullah saw. Tatkala mengikatkan tali persaudaraan di antara para sahabat, Nabi Muhammad saw menjadikan Imam Ali as sebagai saudaranya. [15]
Setiap perang yang diikuti Nabi Muhammad saw, Imam Ali as hadir dan turut serta bersama Rasulullah saw kecuali perang Tabuk dimana Rasulullah saw menjadikan Imam Ali as sebagai penggantinya di Madinah. Imam Ali as tidak pernah kabur dari medan perang dan tidak pernah berpaling dari musuhnya. Imam Ali as tidak pernah menentang Nabi Muhammad saw sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw sendiri, "Sekali-kali Ali tidak pernah berpisah dari kebenaran dan kebenaran pun tidak pernah berpisah dari Ali." [16]
Sepeninggal Rasulullah saw
Masa ketika Rasulullah saw wafat, Imam Ali as berusia 33 tahun. Meski ia memiliki segudang keutamaan dan kepribadian unggul di antara para sahabat, dan pada berbagai peristiwa misalnya hari Ghadir Khum, Rasulullah saw memperkenalkan Imam Ali as sebagai khalifahnya. Namun karena usianya masih muda dan orang-orang memusuhinya karena banyak menumpahkan darah pada peperangan bersama Rasulullah saw, Imam Ali as disingkirkan dari posisi khalifah sehingga dengan demikian Imam Ali as tersingkir dari pelbagai urusan pemerintahan.
Setelah lebih dari setahun menyampaikan protes, Imam Ali as berdiam diri selama 25 tahun (masa tiga khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw) dan menghabiskan waktunya untuk menggembleng orang-orang untuk menjaga dan membela Islam. Setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, orang-orang memberikan baiat kepada Imam Ali as dan memilihnya sebagai khalifah. [17]
Imam Ali as pada masa khilafahnya yang berumur kurang lebih 4 tahun 9 bulan terlibat dalam 3 perang saudara. Sebagian sahabat diantaranya Aisyah, Talhah dan Zubair menjadikan darah Utsman (menuntut pembunuhnya) sebagai dalih untuk memberontak dan mengobarkan Perang Jamal di dekat daerah Basrah, Irak.
Dalam Perang Shiffin di perbatasan Irak dan Suriah, Imam Ali as kontak senjata dengan Muawiyah selama satu tahun setengah. Adapun fitnah terakhir yang harus dihadapi oleh Imam Ali as selama masa pemerintahannya adalah Perang Nahrawan melawan kaum Khawarij. Dapat dikatakan bahwa kebanyakan urusan pemerintahan Imam Ali as adalah untuk menyelesaikan persoalan internal, selang tidak beberapa lama, disubuh hari tepatnya pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H/660 di Masjid Kufah, ketika menunaikan salat, kepala Imam Ali as ditebas oleh sebagian Khawarij dan pada malam ke-21 bulan itu juga, Imam Ali as gugur sebagai syahid. [18]
Tipologi Karakter Imam Ali as as
Sesuai dengan kesaksian sejarah dan pengakuan dari kawan dan lawan, Amirul Mukminin Ali as tidak memiliki cela dan kekurangan dalam kesempurnaan. Imam Ali as adalah teladan sempurna sebagai murid dan hasil gemblengan Rasulullah saw. [19]
Imam Ali as dalam masalah ilmu dan pengetahuan merupakan sahabat Nabi Muhammad saw yang paling cerdas dan pandai. Ia adalah orang yang paling fasih dalam Islam, dalam mengekspresikan penjelasan-penjelasan ilmiah, dalam argumentasi dan dalil. Ia mengemukakan pembahasan-pembahasan filosofis dalam masalah-masalah teologi dan berbicara tentang batin Al-Quran. Imam Ali as adalah orang yang paling fasih dalam bahasa Arab dan menetapkan sastra Arab untuk menjaga lafadz-lafadznya. Ia adalah orang yang paling fasih di kalangan Arab dalam berpidato. [20] ( Lihat Nahj al-Balaghah)
Dalam masalah keberanian, Imam Ali as bak pepatah. Banyak cerita dan kisah tentang Imam Ali as dalam urusan takwa dan ibadah, sikap pengasih kepada orang-orang yang ada di bawahnya dan peduli kepada orang-orang yang kurang mampu, pemurah kepada orang-orang miskin. [21]
2. Imam Hasan al-Mujtaba as
Imam Hasan Mujtaba as dan saudaranya Imam Husain as adalah dua putra Imam Ali as dari Sayidah Fatimah Zahra sa. Berulang kali Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah putraku". Berdasarkan pernyataan Nabi saw ini, Imam Ali as berkata kepada anak-anaknya yang lain, "Kalian adalah anak-anakku. Hasan dan Husain adalah anak-anak Rasulullah."[22] Imam Hasan lahir di Madinah pada tahun 3 H/624. Pada usia 7 tahun, Imam Hasan as kehilangan datuknya Rasulullah saw dan kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, Imam Hasan berduka atas kepergian ibundanya Fatimah Zahra sa. [23] Setelah kesyahidan sang ayah, berdasarkan perintah Allah swt dan sesuai dengan wasiat Imam Ali as, Imam Hasan as menduduki pos imamah dan selama hampir 6 bulan menjadi khalifah mengatur urusan umat. Dalam masa ini, Imam Hasan as berperang melawan Muawiyah yang merupakan musuh bebuyutan Imam Ali as dan keluarganya sudah sekian lama mendambakan khilafah menjadi miliknya (mula-mula dengan dalih ingin menuntut darah Khalifah Ketiga dan kemudian secara tegas menyatakan ingin mengambil alih khilafah). Muawiyah membawa pasukannya ke Irak yang menjadi pusat pemerintahan Imam Hasan as dan memulai perang. Para panglima pasukan Imam Hasan as juga secara perlahan terbeli dengan uang Muawiyah diiming-imingi janji-janji muluk sehingga mereka melawan dan menentang Imam Hasan as sedemikian rupa, sehingga memaksa Imam Hasan untuk berdamai dengan Muawiyah. Akhirnya Imam Hasan menyerahkan pemerintahannya kepada Muawiyah dengan beberapa syarat (di antaranya dengan syarat bahwa apabila Muawiyah mangkat, khilafah harus dikembalikan kepada Imam Hasan as dan keluarganya dan syarat yang kedua adalah keluarga dan para Syiahnya tidak boleh didzalimi). [24] Muawiyah sejak masa-masa awal pemerintahannya telah melanggar syarat-syarat perdamaian. Kehidupan Imam Hasan as selama masa imamahnya yang berlangsung selama 10 tahun senantiasa dibawah tekanan. Selama itu, Imam Hasan as bahkan dalam rumahnya saja tidak pernah merasa aman. Pada akhirnya pada tahun 50 H/670 atas provokasi dan perintah Muawiyah, Imam Hasan gugur sebagai syahid akibat racun yang dibubuhi oleh istrinya. [25]
3. Imam Husain as
Imam Husain as (Sayid al-Syuhada) putra kedua Imam Ali as dari Fatimah Zahra binti Rasulullah saw lahir pada tahun 4 H/625. Setelah kesyahidan saudara tuanya, Imam Hasan as, berdasarkan perintah Allah swt dan wasiat saudaranya, Imam Husain as menjabat sebagai imam. [26] Periode keimamahan Imam Husain as berlangsung selama 10 tahun kecuali 6 bulan terakhir semasa dengan khilafah Muawiyah. Pada masa itu, Imam Husain as hidup di bawah tekanan. Muawiyah berusaha mengukuhkan fondasi khilafahnya dengan mengangkat putranya yaitu Yazid sebagai khalifah, dimana ia adalah orang yang tidak mengenal etika dan agama . [27] Pada pertengahan tahun 60 H/679, Muawiyah meninggal dunia dan putranya Yazid yang menggantikannya sebagai khalifah. [28] Segera setelah ayahnya wafat, Yazid menginstruksikan kepada gubernur Madinah untuk mengambil baiat dari Imam Husain as dan kalau ia menolak untuk memberikan baiat, maka kepalanya harus dikirim ke Syam (Suriah)!! Setelah gubernur Madinah menyampaikan permintaan Yazid kepada Imam Husain as untuk berbaiat, Imam Husain meminta waktu untuk memikirkan permintaan itu dan pada malam harinya Imam Husain bertolak ke Makkah bersama keluarganya. Imam Husain as mencari perlindungan di Kakbah yang merupakan Rumah Tuhan tempat aman secara resmi dalam Islam. [29] Gelombang surat berdatangan dari Irak khususnya dari kota Kufah ke kota Makkah memanggil Imam Husain as untuk datang ke Irak guna menjadi pemimpin dan pengatur urusan umat serta untuk memimpin gerakan perlawanan melawan pemeritahan dzalim. [30] Pada musim haji, Imam Husain as memperoleh informasi bahwa sekelompok orang bayaran Yazid dengan pakaian haji masuk ke kota Makkkah. Mereka datang dengan satu misi yaitu untuk membunuh Imam Husain as. [31] Imam Husain menyampaikan pidato singkat di hadapan jamaah haji yang berjumlah sangat banyak dan mengabarkan kepada mereka tentang keinginan Imam Husain untuk pergi ke Irak dan demikian juga kesyahidan yang akan dijumpainya dalam perjalanan ini. Imam Husain as meminta pertolongan kepada umat Muslim untuk membantunya dan mempersembahkan diri mereka di jalan Allah swt. Keesokan harinya Imam Husain as disertai dengan keluarga dan sekelompok sahabatnya bertolak menuju Irak. [32] Sekelompok orang terkemuka mengingatkan akan bahaya yang akan menimpa Imam Husain as dan keluarganya dalam perjalanan dan perjuangan ini. Mereka menyampaikan itu demi kebaikan Imam Husain as sendiri. Namun Imam Husain menyatakan bahwa ia tidak akan berbaiat dan tidak akan menyetujui pemerintahan dzalim dan tiran. Imam Husain as menyadari bahwa kemanapun ia pergi dan dimanapun ia berada, mereka akan membunuhnya. Dan kini ia meninggalkan kota Makkah demi untuk menjaga kehormatan Baitullah supaya tidak ternodai dengan pertumpahan darah. [33]
Karbala
Kurang lebih 70 KM dari kota Kufah terdapat sebuah padang bernama Karbala. Imam Husain as beserta keluarga dan orang-orang yang menyertainya dikepung oleh lasykar Yazid. Selama 8 hari, Imam Husain as dan rombongan berhenti di tempat itu dan setiap hari ruang kepungan semakin sempit dan jumlah pasukan musuh semakin bertambah. Pada akhirnya Imam Husain as, keluarga dan para sahabatnya yang sangat sedikit jumlahnya berperang melawan 30.000 pasukan musuh. [34] Dalam beberapa hari ini, Imam Husain semakin mengukuhkan sikapnya dan menyeleksi sahabat-sahabatnya. Ketika malam tiba, Imam Husain as mengundang para sahabatnya untuk bertemu dan menyampaikan, "Kita tidak punya jalan kecuali mati syahid. Mereka hanya berurusan dengan saya. Saya melepaskan baiat dari kalian. Barang siapa yang ingin pergi, silakan gunakan kegelapan malam untuk menyelamatkan diri kalian dari bala ini." [35] Hari terakhir 9 Muharram, ultimatum (entah baiat atau perang) pihak musuh kepada Imam Husain as tiba. Imam Husain as memanfaatkan malam hari itu untuk beribadah dan memantapkan tekadnya untuk berperang keesokan harinya. [36] (silahkan lihat Hari Tasu'a). Hari 10 Muharram tahun 61 H/680, Imam dengan jumlah pasukan yang sangat minim (keseluruhannya sebanyak 90 orang dimana 40 orang dari mereka merupakan sahabat lama Imam Husain dan 30-an orang lainnya pada malam dan siang hari dari pasukan musuh bergabung dengan Imam Husain as. Selebihnya adalah kerabat Imam Husain dari Bani Hasyim, anak-anak, saudara-saudara dan kemenakan, serta sepupu) berhadapan dengan pasukan musuh dan perang tidak seimbang berkecamuk. [37] (Lihat Hari Asyura). Hari itu mereka berperang semenjak pagi hari hingga matahari tenggelam. Imam Husain as dan para pemuda Bani Hasyim lainnya serta para sahabat hingga orang terakhir kesemuanya syahid (di antara mereka yang syahid dua anak kecil Imam Hasan as dan seorang putra Imam Husain as yang masih belia dan seorang bayi yang masih menyusui gugur sebagai syahid). [38]
Penawanan Keluarga Imam
Setelah perang usai, pasukan musuh mengobrak-abrik dan membakar kemah-kemah serta memenggal kepala para syahid, lalu membawa kepala-kepala para syahid dan keluarga Imam Husain as ke Kufah kemudian dibawa ke hadapan Yazid. [39] Peristiwa Karbala dan para tawanan wanita dan putri-putri Ahlulbait as diarak dan digiring dari kota ke kota. Pidato dan orasi yang disampaikan oleh Imam Sajjad as dan Sayidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib di Kufah dan Syam berhasil membongkar kedok Bani Umayah. Keduanya berpidato tentang propaganda Muawiyah selama puluhan tahun sedemikian sehingga Yazid menyatakan kebencian terhadap para anteknya karena telah membiarkan hal ini terjadi di hadapan khalayak ramai. Tragedi Karbala sangat berpengaruh dalam sejarah Islam sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama, telah berhasil membongkar kedok pemerintahan Bani Ummayah dan semakin mengokohkan akar Syiah. Semenjak Peristiwa Asyura, perlawanan-perlawanan dan pemberontakan terjadi dimana-mana berlangsung hingga 12 tahun. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Imam Husain as tidak satu pun dari mereka yang luput dan selamat dari tindak balas dendam. [40]
4. Imam Ali Zainal Abidin as
Imam Ali as bin Husain as yang bergelar Sajjad dan Zainal Abidin adalah anak dari Imam Ketiga, Imam Husain as. Ia lahir dari seorang putri raja Iran, Yazdgerd. Tiga orang lagi saudara Imam Sajjad syahid di Karbala. Namun karena jatuh sakit, Imam Sajjad as tidak turut berperang. Beliau bersama para tawanan dari Ahlulbait Imam Husain as digiring ke Syam. [41] Setelah melalui masa penawanan, Imam Sajjad as dikembalikan ke Madinah secara terhormat sesuai dengan perintah Yazid untuk mencegah kemarahan dan amukan massa. Imam Sajjad as untuk kedua kalinya, sesuai perintah Abdul Malik salah seorang Khalifah Bani Umayah, dengan tangan dan kaki terantai dibawa dari Madinah ke Syam dan kemudian kembali ke Madinah. [42] Setelah kembali ke Madinah, Imam Keempat Syi'ah ini banyak berdiam diri di dalam rumah dan menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah swt. Imam Sajjad as tidak menemui seorang pun kecuali beberapa orang khusus (khas) Syiah seperti Abu Hamzah Tsumali, Abu Khalid Kabili dan orang-orang semisalnya. Mereka mempelajari ajaran-ajaran Ilahiyah dari Imam Sajjad as dan menyebarkannya kepada orang-orang Syiah. Dengan cara seperti ini ajaran Syiah semakin berkembang luas yang hasilnya dapat dijumpai pada masa keimamahan Imam Kelima, Imam Baqir as. Shahifah Sajjadiyah yang mencakup 57 doa merupakan salah satu karya Imam Sajjad as. [43] Setelah 35 tahun menjalani masa keimamahannya, Imam Sajjad as syahid pada usia 95 tahun akibat racun Walid bin Abdul Malik yang diperintahkan oleh Hisyam salah seorang Khalifah Bani Umayah. [44]
5. Imam Muhammad al-Baqir as
Imam Muhammad bin Ali as yang lebih dikenal dengan nama Baqir al-'Ulum (Sang Penyingkap Ilmu). Gelar Bāqir al-'Ulum ini diberikan oleh Rasulullah saw kepadanya. Imam Baqir as lahir pada tahun 57 H/677 dan ia turut menjadi saksi atas Tragedi Karbala. Ketika itu usianya baru menginjak 4 tahun. Imam Baqir as mencapai posisi imamah setelah ayahnya berdasarkan perintah Allah swt dan diperkenalkan oleh pendahulunya. Imam Baqir as gugur sebagai syahid pada tahun 114 H/732 atau 117 H/735 (sesuai dengan sebagian riwayat Syiah, Imam Baqir diracun oleh Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik kemenakan Hisyam Khalifah Bani Umayah). [45] Pada masa Imam Baqir as, karena kezaliman Bani Umayah kepada umat, setiap hari terjadi perang dan pemberontakan di mana-mana yang menyita perhatian, waktu dan tenaga aparat pemerintahan sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengusik Ahlulbait as. [46] Dari sisi lain, terjadinya tragedi Karbala dan ketertindasan Ahlulbait semakin menyedot perhatian dan membuat umat Islam simpati terhadap mereka sehingga tersedia kesempatan berharga bagi Imam Baqir as untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam hakiki dan Ahlulbait as kepada masyarakat. Kondisi seperti ini tidak alami oleh para Imam sebelumnya. Banyaknya hadis dan riwayat yang tidak terbilang banyaknya yang diriwayatkan dari Imam Baqir as.[47]
6. Imam Ja'far al-Shadiq as
Imam Ja'far bin Muhammad (Shadiq) putra Imam Kelima, Imam Muhammad Baqir as lahir tahun 83 H/702 dan syahid pada usia 65 tahun (148 H/765) akibat diracun oleh Manshur Khalifah Abbasi. [48] Imam Shadiq as adalah Imam yang usianya lebih panjang dan lebih lama periode keimamahannya. Tentunya setelah Imam Mahdi as yang hidup dalam masa keghaiban. Pada masa keimamahan Imam Shadiq as berkat adanya perlawanan dan pemberontakan di mana-mana dan khususnya pemberontakan Musawwadah (bendera hitam) yang bangkit untuk menggulingkan pemerintahan Bani Umayah, Pemberontakan dan peperangan ini berujung pada jatuhnya Bani Umayah. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Imam Kelima selama 20 tahun keimamahannya. kesempatan itu sangat terbuka lebar bagi Imam Shadiq as dalam menyebarkan hakikat-hakikat Islam dan ajaran-ajaran Ahlulbait as . [49] Selama 34 tahun masa imamahnya, Imam Shadiq as menghabiskan waktunya untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama dan menggembleng ribuan ulama dalam pelbagai bidang keilmuan seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Huraiz, Hisyam Kalbi Nisabih, Jabir bin Hayyan, dan lainnya. Bahkan sebagian ulama Sunni seperti Sufyan Tsauri, Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi), Qadhi Sakuni, Qadhi Abu al-Bakhtari dan lain sebagianya adalah orang-orang yang menuntut ilmu di hadapan Imam Shadiq as (dalam sejarah dikenal terdapat 4000 lulusan ulama dari madrasah Imam Shadiq as). [50] Hadis-hadis dari Shadiqain (Imam Kelima dan Imam Keenam) yang dikutip berasal dari kumpulan-kumpulan hadis dari Rasulullah saw dan 10 Imam lainnya. [51] Manshur Abbasi memerintahkan untuk mendatangkan Imam Shadiq as dari Madinah (Imam Shadiq sebelumya pernah datang ke Irak atas perintah Safah Khalifah Abbasi dan sebelumnya juga pernah didatangkan ke Syam bersama Imam Kelima atas perintah Hisyam Khalifah Abbasi). Manshur mengawasi Imam Shadiq as selama beberapa waktu dan berulang kali telah berniat untuk membunuh Imam Ja'far as. Namun akhirnya ia membolehkan Imam Shadiq as untuk kembali ke Madinah. Imam Shadiq as terpaksa harus melakukan taqiyyah selama sisa hidupnya dan hidup jauh dari hiruk-pikuk masyarakat hingga ia syahid akibat diracun oleh Manshur. [52]
7. Imam Musa al-Kazhim as
Imam Ketujuh Musa bin Ja'far al-Kazhim as putra Imam Keenam lahir pada tahun 128 H/745 dan gugur syahid tahun 183 H/799 dalam penjara karena diracun. [53] Imam Ketujuh semasa dengan Khalifah Abbasiyah seperti Manshur, Hadi, Mahdi dan Harun. Ia hidup pada masa yang sangat mencekik dan pelik serta banyak mempraktikkan taqiyah. Tatkala dalam perjalanan haji ke Madinah, Khalifah Abbasiyah pada waktu itu memerintahkan untuk menangkap Imam Kazhim as ketika sedang salat di Masjid Nabawi. Imam Kazhim as ditangkap dengan rantai dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia dibawa dari Madinah ke Basrah dan dari Basrah ke Baghdad. Beberapa tahun lamanya ia dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya hingga akhirnya gugur syahid di penjara Baghdad akibat diracun oleh Sindi bin Syahik. Imam Musa Kazhim dimakamkan di sebuah tempat bernama Maqabir Quraisy yang kini bernama kota Kazhimain, Baghdad, Irak. [54]
8. Imam Ali al-Ridha as
Imam Kedelapan Ali bin Musa al-Ridha as adalah putra Imam Ketujuh yang lahir pada tahun 148 H/765 (menurut kebanyakan kitab sejarah) dan syahid pada tahun 203 H/818. [55] Setelah kesyahidan ayahnya, berdasarkan perintah Allah swt dan diperkenalkan oleh pendahulunya, Imam Ridha as menduduki posisi imamah dan untuk beberapa lama dalam periode imamahnya semasa dengan Harun Khalifah Abbasiyah dan setelah itu putranya Amin dan putranya yang lain yaitu Makmun. [56] Setelah Khalifah Harun meninggal, Makmun berselisih dengan saudaranya, Amin. Perselisihan ini berujung pada peperangan berdarah dan berakhir pada terbunuhnya Amin. Hingga pada masa itu, kebijakan politik Bani Abbasiyah dalam menghadapi para sayid Alawi penuh dengan kekerasan. Dan terkadang salah seorang Alawiyyin bangkit mengusung perlawanan dan pemberontakan terhadap penguasa. Tentunya perlawanan ini sangat menyulitkan pemerintahan Bani Abbasiyah pada saat itu. Para Imam Syiah meski tidak bekerja sama dengan para pejuang dan pengusung perlawanan, namun orang-orang Syiah pada waktu itu cukup banyak dari sisi kuantitas (jumlah) selalu menjadikan para Imam Ahlulbait as sebagai para pemimpin agama. Dan menganggap para aparat pemerintahan sebagai orang-orang berdosa dan sangat jauh berbeda dengan para pemimpin agama. Kondisi yang berkelanjutan ini sangat membahayakan pemerintahan khilafah dan mereka merasa terancam dengan kondisi seperti ini. [57]
Makmun berpikir untuk menyudahi kebijakan politik yang telah digunakan selama 70 tahun oleh para pendahulunya. Ia membuat cara baru yang sesuai dengan tuntutan zaman ketika itu. Karena itu, Makmun memutuskan untuk menjadikan Imam Ridha as sebagai putra mahkota. Dengan alasan ketika keturunan Alawiyyin melihat pemimpin mereka dekat dengan penguasa, hasilnya mereka tidak akan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan khalifah. Dan orang-Orang Syiah ketika menyaksikan Imam mereka dekat dengan penguasa yang mana orang-orang di sekelilingnya adalah orang-orang yang bergelimang dosa, tentunya mereka tidak lagi memiliki keyakinan yang dalam kepada Imam. Dengan demikian, bangunan mazhab mereka akan hancur dan tidak lagi menjadi ancaman bagi para aparat pemerintahan. [58] Makmun berpikir setelah tujuannya tercapai, untuk melenyapkan Imam Ridha as tidaklah begitu sulit. Untuk merealisasikan keputusan ini, Makmun pada tahun 200 H/815 meminta Imam Ridha as dari Madinah untuk datang ke Marw (kemudian bernama Aleksandria), Turkmenistan. Pada awalnya, Makmun menawarkan khilafah kepada Imam Ridha as namun kemudian berubah menjadi putra mahkota. Imam Ridha menolak secara halus permintaan itu namun Makmun mendesak supaya Imam Ridha as menerima tawaran itu. Akhirnya Imam Ridha as menerima tawaran menjadi putera mahkota itu dengan syarat bahwa ia tidak turut campur dalam urusan pemerintahan, mengangkat dan menurunkan. [59] Tidak lama berselang, Makmun menyadari kesalahannya dengan menyaksikan perkembangan pesat Syiah. Akhirnya ia memutuskan untuk meracuni Imam Ridha as dan akibat racun itu Imam Ridha as gugur syahid. Imam Kedelapan dikebumikan di kota Thusy Iran yang kini terkenal dengan kota Masyhad. [60]
9. Imam Muhammad al-Jawad as
Imam Muhammad bin Ali bin Musa as (yang digelari dengan Ibnu al-Ridha, Taqi, Jawad) putra Imam Kedelapan lahir pada tahun 195 H/810 di kota Madinah. Sesuai dengan beberapa riwayat Syiah, Imam Jawad as syahid pada tahun 220 H/835 akibat provokasi Khalifah Mu'tashim salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah. Ia menyuruh istri Imam Jawad as yang merupakan putri Makmun Abbasi untuk meracuninya. Imam Jawad as dimakamkan di samping datuknya Imam Ketujuh di Kazhimain. [61] Imam Jawad menduduki kedudukan imamah berdasarkan perintah Allah swt dan setelah diperkenalkan pendahulunya (Imam Ridha as). Tatkala ayahandanya wafat, Imam Kesembilan Syiah ini, ketika itu masih berada di Madinah. Makmun memintanya untuk datang ke Baghdad yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Khilafah Bani Abbasiyah. Secara lahiriah, Makmun menampakkan kecintaannya kepada Imam Jawad as sehingga ia menikahkan putrinya dengan Imam. Makmun menjaganya di Baghdad dan pada hakikatnya ingin mengontrol beliau dari dalam dan luar rumah. Setelah beberapa lama Imam Jawad as kembali ke Madinah hingga akhir masa pemerintahan Makmun. Setelah Makmun meninggal dunia, Mu'tashim naik takhta khilafah dan kembali meminta Imam Jawad kembali ke Baghdad dan mengawasinya. Pada akhirnya Imam Jawad as syahid akibat diracun oleh istrinya atas perintah Mu'tashim. [62]
10. Imam Ali al-Hadi as
Imam Ali as bin Muhammad as (bergelar Naqi atau Hadi) adalah putra Imam Kesembilan lahir pada tahun 212 H/827 di kota Madinah. Imam Hadi as syahid pada tahun 254 H/868 akibat diracun oleh Khalifah Abbasiyah, Mu'taz (menurut riwayat-riwayat Syiah). [63] Imam Hadi as pada masa hidupnya semasa dengan 7 Khalifah Abbasiyah yaitu Makmun, Mu'tashim, Watsiq, Mutawakkil, Muntashir, Musta'in, Mu'taz. [64] Mutawakkil pada tahun 243 H/857 memanggil Imam Hadi as dari Madinah ke Samarra (Irak) – yang menjadi ibukota pemerintahan - karena omongan-omongan yang tidak senonoh tentang Imam Hadi as. Setelah Imam Hadi as memasuki kota Samarra, secara lahiriah Mutawakkil tidak melakukan tindakan apa-apa kepadanya namun di balik panggung, Mutawakkil sama sekali tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun untuk tidak mengganggu dan mengusik Imam Hadi as. Berulang kali Mutawakkil memanggil Imam Hadi as dengan maksud untuk membunuhnya dan terkadang memerintahkan kepada orang-orangnya untuk menggeledah rumah Imam Hadi as. [65] Mutawakkil tiada bandingannya di antara para khalifah Abbasiyah dalam memusuhi Ahlulbait as khususnya kepada Imam Ali as. Ia secara terang-terangan melaknat Imam Ali as. Mutawakkil menyuruh salah seorang untuk meniru-niru mimik Imam Ali as di acara-acara istana dengan maksud ingin melecehkannya. Pada tahun 237 H/851, Mutawakkil memerintahkan untuk menghancurkan kubah Haram Imam Husain as di Karbala. Ia juga menginstruksikan untuk meratakan rumah-rumah yang ada terdapat di sekitar tempat itu dengan tanah. [66] Pada masa Mutawakkil, kondisi hidup para sayid Alawi – yang tinggal di Hijaz – sangat memprihatinkan, sehingga para wanitanya tidak memiliki pakaian yang cukup dan sebagian dari mereka hanya memiliki satu mukenah untuk salat dan harus bergantian mengenakannya. Kondisi yang sama juga dialami oleh para sayid Alawi di Mesir. Imam Kesepuluh penuh kesabaran dalam menghadapi siksaan dan gangguan Mutawakkil hingga ia meninggal. Setelah Mutawakkil tutup usia, yang menggantikannya adalah Muntashir, Musta'in dan Mu'taz. Imam Hadi as syahid akibat diracun oleh Mu'taz. [67]
.
11. Imam Hasan al-Askari as
Hasan bin Ali (digelari Askari) putra Imam Kesepuluh lahir pada tahun 232 H/846 dan syahid pada tahun 260 H/874 (menurut sebagian riwayat Syiah) akibat diracun oleh Khalifah Abbasiyah, Mu'tamid. [68] Setelah ayahandanya wafat, Imam Askari as menduduki posisi imamah berdasarkan perintah Allah swt dan setelah diperkenalkan oleh pendahulunya. Imam Kesebelas menjalani periode imamah selama 7 tahun. Selama masa imamah ini, Imam Askari as sangat banyak mempraktikkan taqiyyah karena perlakuan yang berlebihan pemerintahan Abbasiyah. Imam Askari as tidak banyak berhubungan dengan masyarakat bahkan orang-orang Syiah secara umum kecuali orang-orang tertentu. Masa hidup Imam Askari as lebih banyak dihabiskan dalam penjara. Alasan banyaknya tekanan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya: pertama, pada masa itu populasi masyarakat Syiah semakin banyak dan kekuataannya sudah diperhitungkan. Semua orang tahu bahwa komunitas Syiah meyakini imamah dan mereka juga telah mengenal para Imam. Karena itu, pihak pemerintah Abbasiyah mengawasi secara ketat gerak-gerik para Imam dan dengan segala cara berupaya untuk melenyapkan mereka. Kedua, pihak pemerintah Abbasiyah tahu bahwa orang-orang khusus Syiah meyakini putra Imam Kesebelas dan menganggapnya sebagai Mahdi yang dijanjikan karena adanya riwayat-riwayat mutawatir Syiah dan Sunni bahwa Rasulullah saw telah mengabarkan tentang keberadaannya semenjak dulu. [69] Karena itu, Imam Kesebelas lebih banyak diawasi ketimbang para Imam sebelumnya dan khalifah yang berkuasa pada masa itu memutuskan dengan segala cara supaya silsilah imamah Syiah berakhir. Tatkala diberitakan kepada khalifah yang berkuasa pada waktu itu bahwa Imam Askari as jatuh sakit, ia mengirim tabib (dokter) disertai beberapa orang kepercayaannya dan beberapa hakim ke rumahnya guna mengawasi kondisi Imam Askari as dan segala sesuatu yang terjadi di dalam rumahnya. Setelah kesyahidan Imam Askari as, khalifah Abbasiyah yang memerintah saat itu tetap saja mengawasi rumah Imam Kesebelas dan memeriksa istri dan para budak perempuan Imam Askari as untuk memastikan kehamilannya. Pemeriksaan ini berlangsung selama dua tahun semenjak kesyahidan Imam Askari hingga benar-benar mereka putus asa. [70] Imam Kesebelas dimakamkan di rumahnya di kota Samarra di dekat kuburan ayahadannya. [71]
12. Imam Mahdi afs
Mahdi Mau'ud (yang umumnya dikenal dengan Imam Ashr dan Shahib al-Zaman) adalah putra Imam Kesebelas. Nama dan julukannya sama dengan nama dan julukan (kunyah) Rasulullah saw. Imam Mahdi afs yang dijanjikan lahir pada tahun 255 H/869 di kota Samarra. Hingga tahun 260 H/874 (yang merupakan tahun kesyahidan ayahandanya) berada di bawah bimbingan dan gemblengan ayahandanya. Selama itu, keberadaan Imam Mahdi afs tidak diketahui oleh masyarakat kecuali beberapa orang-orang khusus Syiah. Setelah kesyahidan Imam Askari as, periode keimamahan Imam Mahdi afs dimulai. Dan atas perintah Allah swt beliau disembunyikan dari pandangan masyarakat (gaib).
Gaibnya Imam Mahdi afs dibagi menjadi dua bagian:
- Ghaibah Sughra yang bermula semenjak tahun 260 H/874 hingga tahu 329 H/940 (yang kurang lebih berlangsung selama 70 tahun). Pada masa-masa ini, Imam Mahdi afs berhubungan dengan masyarakat melalui empat wakil khususnya (nawwab khas). [72]
- Ghaibah Kubra yang bermula dari tahun 329 H/940 dan berlanjut hingga kini. Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang diterima oleh Sunni dan Syiah bersabda: "Sekiranya tidak tersisa dari usia dunia ini kecuali hanya satu hari, maka Allah swt akan memanjangkan hari itu hingga Mahdi dari keturunanku muncul dan memenuhi dunia dengan keadilan yang mana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman."[73]
Literatur Sunni tentang Para Imam
Di samping apa yang disampaikan di atas, ulama dan masyarakat Sunni senantiasa menyebut para Imam as dengan penuh penghormatan dan kemuliaan sehingga karena rasa hormat ini mendorong mereka untuk menulis kitab terkait dengan kemuliaan-kemuliaan dan keutamaan-keutamaan mereka.
Kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama Sunni terkait dengan keutamaan Ahlulbait as tidak terhitung banyaknya. Salah satu tindakan yang menginspirasi banyak penulis dalam hal ini adalah sebuah kasidah karya Abu al-Fadhl Yahya bin Salamah Hashkafi yang memuji satu persatu Imam Dua Belas dalam kasidah tersebut. [74]
Berikut ini adalah beberapa contoh kitab yang ditulis oleh ulama Sunni terkait dengan keutamaan para Imam Ahlulbait as:
- Mathalib al-Su'ul fi Manaqib Al al-Rasul, Kamaluddin Ibnu Thalhah Syafi'i (W. 562 H/1167), cet. Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah.
- Tadzkirah Khawwash al-Ummah fi Khasaish al-Aimmah, karya ulama Hanafi, Yusuf bin Qazhawagli, Sibth Ibnu Jauzi (W. 654 H/1256), telah berulang kali dicetak salah satunya di Najaf, tahun 1369 H/1950.
- Al-Fushul al-Muhimmah fi Ma'rifah al-Aimmah, Ibnu Sabbagh Maliki (W. 855 H/1451), yang telah berulang kali dicetak salah satunya di Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah. Ibnu Sabbagh dalam karyanya ini banyak mengutip kitab al-Irsyad Syaikh Mufid. [75]
- Al-Syadzarat al-Dzahabiyah atau al-Aimmah al-Itsna ‘Asyar, karya Syamuddin Ibnu Thulun, salah seorang ulama Hanafi kelahiran Suriah (W. 953 H/1546), cet. Beirut, 1958.
- Al-Ittihaf Bihubb al-Asyraf, karya Abdullah bin Amir Syabrawi, salah seorang ulama Syafi'i berkebangsaan Mesir (W. 1172 H/1758), cet. Kairo, 1313 H/1895.
- Nur al-Abshar fi Manaqib Ali Bait al-Nabi al-Mukhtar, Sayid Mu'min Syablanji (W. 1290 H/1873), telah berulang kali dicetak salah satunya di Mesir, 1346 H/1927.
- Yanabi' al-Mawaddah, karya Sulaiman bin Ibrahim Qundusi, salah seorang ulama Hanafi (W. 1294 H/1877), cet. Istanbul, 1302 H/1885. [76]
Catatan Kaki
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm. 197-199.
- ↑ Makarim Syirazi, Payām Qur'ān, jld. 9, Imāmān dar Syiah, hlm. 182 dan seterusnya.
- ↑ Terjemahan Persia al-Mizan, jld. 13, hlm. 274.
- ↑ Syaikh Thusi, al-Tibyan, jld. 1, hlm. 214.
- ↑ , Syaikh Thusi, al-Tibyan, jld. 1, hlm. 227; silakan lihat Najjasyi, hlm. 440.
- ↑ Untuk contoh-contoh lainnya silakan lihat, ibid, hlm. 219, 298.
- ↑ Misalnya silakan lihat, Sayid Murtadha, hlm. 502-503; Allamah Hilli, hlm. 314.
- ↑ Silakan lihat, Bukhari, jld. 8, hlm. 127; Muslim, jld. 3, hlm. 1454-1453; Abu Daud, jld. 4, hlm.106; Tirmidzi, jld. 4, hlm 501.
- ↑ Bandingkan dengan Nu'mani, hlm. 62; Ibnu Babawaih, hlm. 469 dan seterusnya; Khazar, 49 dan seterusnya; Ibnu ‘Ayyasyh, hlm. 4.
- ↑ Silakan lihat, Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hlm. 398, 406; Hakim, jld. 4, hlm. 501; bandingkan dengan Nu'mani, 74-75; Khazar, hlm. 23 dan seterusnya; Ibnu Ayyash, hlm 3.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 199.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 199.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 199-200.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 200.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 200-201.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 201.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 201.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 201-202.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 202.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 202-203.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 204-205.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 205.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 205.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 205-206.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 206-207.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 207.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 207-208.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 208.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 209.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 209-210.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 210.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 210.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 211.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 211-212.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 212.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 212-213.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 213.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 213.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 213-214.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 214.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 215-216.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 216.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 216.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm. 216.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 217.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 217.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 217-218.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 218.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 218-219.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 219.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 219.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 220.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 221.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 221.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 222.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 222.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 222-223.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 223.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 223-224.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 224.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 224-225.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 225.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 225-226.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 226.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 226.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 226-227.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 227.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 227-228.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 228.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 229.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 229.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 230.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 231.
- ↑ Sibth Ibnu Jauzi, hlm. 365-367; Ibnu Thulun, hlm. 40-43.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 199.
- ↑ Thabathabai, Syi'ah dar Islām, hlm, 199.
Daftar Pustaka
- Abu Daud Sajistani, Sulaiman. Sunan, Kairo, Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah.
- Ahmad bin Hanbal, Musnad, Kairo, 1313 H.
- Allamah Hilli, Hasan. Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrid al-I'tiqād, Qum, Maktabah al-Mustafawi.
- Bukhari, Muhammad. Shahih, Istanbul, 1315 H.
- Hakim Naisyaburi, Muhammad. al-Mustadrak, Haidar Abad, 1334 H.
- Ibnu ‘Ayyash Jauhari, Ahmad. Muqathadhib al-Atsar, Qum, 1379 H.
- Ibnu Babawaih, Muhammad. Al-Khishāl, 1403 H.
- Ibnu Shabbagh Maliki, Ali. Al-Fushul al-Muhimmah, Najaf, Dar al-Kutub al-Tijariyah.
- Ibnu Thulun, Muhammad. Al-Aimmah al-Itsnā Asyar, Beirut, 1958 M.
- Ibnu Yamin Farayumundi. Diwān Asy'ar, Editor oleh Husain Ali Bastani Rad, Tanpa Tempat, Intisyarat Kitabkhaneh Sanai, 1344 S.
- Khazar Qummi, Ali. Kifāyat al-Atsar, Qum, 1401 H.
- Kitab Sulaim bin Qais, Beirut, 1400 H/1980 M.
- Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Kairo, 1955 M.
- Nahj al-Balāghah, Penj. Sayid Ja'far Syahidi, Tehran, Ilmi wa Farhanggi, 1377 S.
- Najasyi, Ahmad. al-Rijāl, Qum, 1407 H.
- Nu'mani, Muhammad. al-Ghaibah, Beirut, 1403 H/1983 M.
- Sayid Murtadha, Ali. al-Dzakhirah, Qum, 1411 H.
- Sibth Ibnu Jauzi, Yusuf. Tadzkirah al-Khawwāsh, Najaf, 1383 H/1964 M.
- Thabathabai, Abdul Aziz. Ahlulbait as fi al-Maktabah al-Arabiyah, Qum, 1405 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Syi'ah dar Islām, Qum, Daftar Intisyarat Islami, 1383 S.
- Tirmidzi, Muhammad. Sunan, Kairo, 1357 H/1938 M.