Lompat ke isi

Keresidenan Banyumas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keresidenan Banyumas adalah wilayah pemerintahan masa Hindia Belanda yang meliputi: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Pada masa sekarang, jabatan setingkat residen masih diisi oleh pejabat Pembantu Gubernur Wilayah Banyumas, tetapi tidak memiliki kewenangan pengaturan. Wilayah kerjanya meliputi semua kabupaten eks-Karesidenan Banyumas. Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah eks-Keresidenan Banyumas diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf R.

Berdasarkan Resolusi Dewan Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1831 Nomor 1 dibentuklah Keresidenan Banyumas yang pada mula wilayahnya terbatas atas lima kadipaten, yaitu: Kadipaten Banyumas, Kadipaten Ajibarang (Banyumas), Kadipaten Purbalingga, Kadipaten Banjarnegara, dan Kadipaten Majenang (Cilacap). Pasca undang-undang desentralisasi tahun 1903, wilayah Keresidenan Banyumas ditetapkan dalam Staatsblad No. 136 tahun 1907.[1]

Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada keresidenan lagi dan yang muncul faktor kekuasaannya adalah kabupaten. Keresidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur". Istilah ini sudah tidak digunakan lagi, akan tetapi sebutan "eks-keresidenan" masih dipakai secara informal. Setelah itu, muncul nomenklatur baru yaitu Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) yang berada di bawah pemerintahan provinsi. Kepala Bakorwil tidak memiliki kewenangan otonom dan administatif karena hanya bertugas mengkoordinasikan hal-hal tertentu kepada wali kota atau bupati. Cakupan Bakorwil tidak sama dengan keresidenan, semisal Jawa Tengah, eks keresidenan Kedu, Banyumas, dan Pekalongan masuk dalam satu Bakorwil.

Berikut adalah daftar residen yang pernah memerintah Banyumas.

Residen Banyumas Mulai Selesai
Jacques Eduard de Sturler skt. 1830 1835
Guillaume de Seriere 1835 1838
Lodewijk Launy 1838 1843
Pieter Johannes Overhand 1843 1846
Frederik Hendrik Doornik 1846 5 Agustus 1849
tak diketahui 1849 1850
Dirk Carel August van Hogendorp 1850 1852
Herman Constantijn van der Wijck 1853 1855
Christiaan van der Moore 1855 1858
Gerard Cornelis Schonck 1858 1859
Salomon van Deventer 1860 17 Januari 1862
Johannes Petrus Zoetelief 17 Januari 1862 6 Oktober 1867
Cornelis de Waal 6 Oktober 1867 11 Mei 1873
Mathias Herman Willem Nieuwenhuijs 11 Mei 1873 2 September 1874
Jan Paul Frederik Gericke 2 September 1874 5 Oktober 1877
Cornelis de Clercq Moolenburgh 5 Oktober 1877 5 Maret 1881
Frederik August Andries Ruitenbach 5 Maret 1881 19 Juli 1884
Livinus Johannes Selleger 19 Juli 1884 20 April 1890
Carl Eugene Gerard Ottenhoff 20 April 1890 7 April 1896
Lüder Carel Andreas Frederik Lange 7 April 1896 10 Oktober 1901
GA. Hogenraad 10 Oktober 1901 2 Juni 1902
Tjalling Halbertsma 2 Juni 1902 15 September 1906
Leonard Nicolaas van Meeverden 15 September 1906 24 September 1907
Gideon Jan Oudemans 24 September 1907 17 Januari 1908
Herman George Heijting 17 Januari 1908 2 Januari 1913
EWH. Doeve 2 Januari 1913 9 Mei 1916
K. Wijbrands 9 Mei 1916 9 Mei 1919
M. Zandveld 9 Mei 1919 4 Juli 1922
Marinus Jacobus van der Pauwert 4 Juli 1922 6 November 1925
Jacques Jelle van Helsdingen 6 November 1925 1928
Antara tahun 1928-1931 dipecah menjadi Keresidenan Banyumas Selatan dan Utara
Willem Charles Adriaans 15 Oktober 1931 28 Juli 1933
Floris Dersjant 28 Juli 1933 26 Mei 1934
Henri George François van Huls 26 Mei 1934 4 September 1937
JA. Ruys 4 September 1937 14 Februari 1941
Johan Willem Anthonius Boots 14 Februari 1941 Pendudukan Jepang
Ryuzi Iwasige 25 Agustus 1942
Elbert Marinus Stok 1947 1949

Mataram Kuno

[sunting | sunting sumber]

Surakarta

[sunting | sunting sumber]

Kesenian khas di wilayah Banyumasan (eks Keresidenan Banyumas) mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:

  • Begalan, adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.[2]
Salah satu contoh alat musik calung banyumasan
  • Calung Banyumasan, adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas Gambang barung, Gambang penerus, Dhendhem, Kenong, Gong dan Kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut Sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, Gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.
  • Kenthongan Tek-Tek, adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, Seruling, Kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut.
  • Solawatan Jawa, adalah seni musik yang bercorak Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
  • Lengger, adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut Badut (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
  • Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance (mêndhêm), kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
  • Angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, dan pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar).
  • Aplang Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
  • Bongkel, adalah alat musik yang terbuat dari bambu, terdiri atas satu buah instrumen dengan empat bilah berlaras Slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan Gending khusus bongkel. Alat musik ini mirip Angklung.
  • Seni Buncis, yaitu perpaduan antara seni musik dan seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendhem.
  • Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan Jathilan, Kuda kepang dan Kuda lumping di daerah lain.

Bahasa yang dituturkan adalah Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai Bahasa Ngapak, adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-keresidenan Banyumas dan Pekalongan.

Eks-Keresidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Eks Keresidenan Pekalongan meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Dialek Banyumasan juga sampai ke Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah lain seperti Ciamis, Pangandaran meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[3][4]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sri Margana & M. Nursam. Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup Dan Permasalahan.
  2. ^ Begalan, Tradisi Pernikahan Rakyat Banyumas[1]
  3. ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
  4. ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[2]