Lompat ke isi

Secang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Caesalpinia sappan)
Secang
Biancaea sappan Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Risiko rendah
IUCN34641 Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
SuperkerajaanEukaryota
KerajaanPlantae
DivisiTracheophytes
OrdoFabales
FamiliFabaceae
TribusCaesalpinieae
GenusBiancaea
SpesiesBiancaea sappan Edit nilai pada Wikidata
Tod., 1875
Tata nama
BasionimSecang Edit nilai pada Wikidata
Sinonim taksonCaesalpinia sapang (en) Terjemahkan
Secang
Caesalpinia angustifolia (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata


Secang atau sepang (Biancaea sappan (L.) Tod.) adalah perdu anggota suku polong-polongan (Fabaceae) yang dimanfaatkan pepagan (kulit kayu) dan kayunya sebagai komoditas perdagangan rempah-rempah.

Asal-usul tumbuhan ini tidak diketahui dengan pasti;[1] namun telah sejak lama dibudidayakan orang di wilayah India, Asia Tenggara, Melanesia, hingga Pasifik, terutama sebagai penghasil bahan pewarna dan juga bahan obat tradisional.[2] Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti seupeueng (Aceh); sepang (Gayo); sopang (Toba); sapang, cacang (Mink.); sĕpang, sĕcang (Btw.); sĕcang (Sd.); kayu secang, soga jawa (Jw.); kajo sècang (Md.); cang (Bl.); sĕpang (Sas.); supa, supang (Bm.); sapang (Mak.); sĕpang (Bug.); sèpè (Rote), sèpèl (Timor), hapé (Sawu), hong (Alor); sèfèn (Weda), sawala, singiang, sinyianga, hinianga (aneka dialek di Maluku Utara), sunyiha (Ternate), roro (Tidore); sema (Man.), naga, pasa, dolo (aneka dialek di Sulawesi Utara).[3] Dalam bahasa asing dikenal sebagai sappanwood (Ingg.), dan suou (Jp.).

Kerabat dekatnya yang berasal dari Amerika Selatan, kayu brazil atau brezel (P. echinata), juga dimanfaatkan untuk hal yang sama.

Pertelaan botani

[sunting | sunting sumber]
Pelat botani menurut Blanco

Pohon kecil atau perdu, tinggi 4–10 m.[1][2] Batang dengan tonjolan-tonjolan serupa gigir, dengan banyak duri, pepagannya berwarna cokelat keabu-abuan.[2] Ranting-ranting biasanya dengan duri-duri yang melengkung ke bawah; jarang tak berduri.[1] Ranting muda dan kuncup berambut halus kecokelatan.[2]

Malai bunga
Batang secang, bagian pepagan yang terluka mengeluarkan cairan merah.

Daun majemuk menyirip ganda, dengan daun penumpu 3–4 mm, lekas gugur. Tulang daun utama sepanjang 25–40 cm; dengan 9–14 pasang tulang daun samping. Anak daun sebanyak 10–20 pasang di tiap tulang daun samping, berhadapan, duduk atau hampur duduk, bentuk lonjong, 10–25 × 3–11 mm, dengan pangkal rompang miring, dan ujung melekuk atau membundar, bertepi rata, lokos atau berambut pendek jarang-jarang. Perbungaan dalam malai di ujung batang atau di ketiak atas, panjang 10–40 cm; daun pelindung 5–12 × 2–5 mm, berambut, lekas rontok; tangkai bunga (pedicels) sepanjang 15–20 mm.[1] Bunga kuning, berbilangan-5; kelopak gundul, taju kelopak 7–10 × 4 mm; mahkota berambut balig, 9–11,5 × 6–10 mm, yang teratas berukuran paling kecil, berkuku lk. 5 mm; tangkai sari lk. 15 mm, putik lk. 18 mm. Buah polong bentuk lonjong atau jorong senjang (asimetris), 6–10 × 3–4 cm, ujung seperti paruh, berisi 2–4 biji, hijau kekuningan menjadi cokelat kemerahan jika masak. Biji bulat panjang (elipsoida), 15–18 mm × 8–11 mm, cokelat hitam.[1][2]

Agihan dan ekologi

[sunting | sunting sumber]
Serpihan batang secang yang telah dikeringkan.

Asal-usul tumbuhan ini tidak diketahui dengan pasti;[1][2] akan tetapi ada pula yang memperkirakan bahwa secang berasal dari wilayah sekitar India tengah, ke timur hingga Cina selatan, dan ke selatan hingga Semenanjung Malaya.[2] Di kawasan Asia Tenggara dan Nusantara, tumbuhan ini telah lama dibudidayakan orang, bahkan sebagiannya telah meliar kembali di alam.[2] Di Afrika tumbuhan ini tercatat didapati di Nigeria, Kongo, Uganda, Tanzania, Reunion, Mauritius, dan Afrika Selatan.[4]

Secang kebanyakan tumbuh alami pada lahan-lahan yang berlereng. Tidak tahan terhadap penggenangan, tanaman ini tumbuh pada tanah-tanah yang berliat atau berbatu kapur, atau adakalanya di tanah berpasir dekat sungai.[2]

Serpihan secang dipakai sebagai pewarna merah dalam minuman wedang uwuh.
Pewarna

Sebagaimana kayu brazil, kayu secang terutama dimanfaatkan sebagai penghasil zat pewarna: makanan, pakaian, anyam-anyaman, dan barang-barang lain.[3] Rumphius mencatat bahwa "Lignum Sappan" ini pada masa lalu ditanam orang hampir di semua pulau di Nusantara.[5] Kayu ini menjadi komoditas perdagangan antarbangsa hingga penghujung abad ke-19; setelah itu nilainya terus menurun akibat persaingan dengan bahan pewarna sintetik, dan kini hanya menjadi barang perdagangan di dalam negeri.[2]

Bahan obat

Kayu secang memiliki khasiat sebagai pengelat (astringensia). Kandungan utamanya adalah brazilin, yakni zat warna merah-sappan, asam tanat, dan asam galat. Simplisia kayu secang berupa irisan atau keping-keping kecil kayu ini dikenal sebagai Sappan lignum dalam sediaan FMSo (Formularium Medicamentorum Soloensis).[6]

Polong secang, dibelah untuk memperlihatkan isinya.

Brazilin dari kayu secang teruji secara ilmiah bersifat antioksidan, antibakteri, anti-inflamasi, anti-photoaging, hypoglycemic (menurunkan kadar gula darah), vasorelaxant (merelaksasi pembuluh darah), hepatoprotective (melindungi hati), dan anti-acne (anti jerawat).[7] Ekstrak kayu secang juga ditengarai berkhasiat anti-tumor, anti-virus, immunostimulant, dan lain-lain.[8]

Pepagannya dimanfaatkan sebagai sumber pewarna merah karena menghasilkan brazilin, sebagaimana kayu brazil dan kerabat-kerabat dekatnya, meskipun warnanya tidak sekuat kayu brazil. Pewarna ini dipakai untuk cat, pakaian, dan juga obat herbal.[9]

Secara tradisional, potongan-potongan kayu secang biasa digunakan sebagai campuran bahan jamu di Jawa. Di samping itu, kayu secang adalah salah satu bahan pembuatan minuman penyegar khas Yogyakarta selatan (wedang secang dan wedang uwuh).

Lain-lain

Karena kekuatan, keawetan, dan keindahan warnanya, kayu secang juga dimanfaatkan dalam pembuatan perkakas rumah tangga. Hanya, karena tidak ada eksemplar kayu yang berukuran cukup besar dan panjang, kayu ini melulu digunakan untuk pembuatan perkakas kecil-kecil, kayu lis dan pigura, pasak dan paku kayu dalam pembuatan perahu, dan lain-lain.[3]

Perdu secang yang banyak berduri biasa digunakan sebagai tanaman pagar di lahan-lahan hutan jati di Jawa.[10]:98-99,[11]:17

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f Ding Hou. (1996). "Caesalpinia L." Flora Malesiana 12(2): 535-55 (C. sappan, p. 552)
  2. ^ a b c d e f g h i j Zerrudo, J.V. (1991). "Caesalpinia sappan L." In: R.H.M.J. Lemmens & N. Wulijarni-Soetjipto (Eds). Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 3, Dye and tannin-producing plants: 60-2 Diarsipkan 2020-09-22 di Wayback Machine.. Bogor: PROSEA Foundation.
  3. ^ a b c Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia 2: 934-6. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. (versi berbahasa Belanda -1916- II: 256.).
  4. ^ Jansen, PCM. (2005). "Caesalpinia sappan L." In: P.C.M. Jansen & D. Cardon (Eds). Plant Resources of Tropical Africa (PROTA) No. 3, Dyes and tannins: 51-3. Wageningen: PROTA Foundation & Backhuys Publishers.
  5. ^ Rumpf, G.E. (1743). Herbarium Amboinense: plurimas conplectens arbores, frutices, ... Pars IV: 56-59, Tab. 21. Amstelaedami:apud Franciscum Changuion, Hermannum Uttwerf. MDCCXLIII.
  6. ^ Sutrisno, B. (1974). Ihtisar Farmakognosi, Ed. IV: 122. Jakarta: Pharmascience Pacific.
  7. ^ Nirmal, NP., MS. Rajput, RGSV. Prasad, M. Ahmad. (2015). "Brazilin from Caesalpinia sappan heartwood and its pharmacological activities: A review". Asian Pacific Journal of Tropical Medicine Vol. 8(6): 421–30 (June 2015).
  8. ^ Badami, S., S. Moorkoth, & B. Shuresh. (2004). "Caesalpinia sappan, a medicinal and dye yielding plant". Natural Product Radiance Vol. 3(2): 75-82 (March-April 2004).
  9. ^ Dapson RW, Bain CL (2015). "Brazilwood, sappanwood, brazilin and the red dye brazilein: from textile dyeing and folk medicine to biological staining and musical instruments". Biotech Histochem. 90 (6): 401–23. doi:10.3109/10520295.2015.1021381. PMID 25893688. 
  10. ^ Hakim, I., S. Irawanti, Murniati, Sumarhani, A. Widiarti, R. Effendi, M. Muslich, & S. Rulliaty. (2010). Social Forestry: menuju restorasi pembangunan kehutanan berkelanjutan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. ISBN 978-979-18767-8-0
  11. ^ Budiadi; Wiyono; Lestari, L.D.; Sofiyulloh, M.; Suyanto. (2023). "Tumpangsari dan Hutan Rakyat: dinamika budidaya kayu dan pangan petani Jawa". Seri Katalog Agroforestri Nusantara (AFN), Vol. 2: 1-185 Bogor: World Agroforestry Center (ICRAF). ISBN 978-602-5894-13-8

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]